Kesesatan Riyanto dan Kemenangan Politik Identitas


Pilkada DKI Jakarta sudah berakhir. KPU DKI Jakarta menetapkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno meraih suara terbanyak, 57,96%. Pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat meraih 42,04% (Kompas.com, 30/4/2017). Sebagai fakta, tidak ada yang membantah kebenaran hasil akhir ini. Persoalannya bagaimana menjelaskan fenomena kemenangan pasangan Anies-Sandi/kekalahan Ahok-Djarot. Lebih jauh lagi, apa arti kemenangan Anies-Sandi/kekalahan Ahok-Djarot?

Kesesatan Riyanto
Artikel Geger Riyanto yang berjudul “Kekalahan Ahok Bukan Kekalahan Kemajemukan” (Geotimes.com, 4/5/2017) berupaya memaknai hasil pilkada. Tesis yang diajukan adalah kekalahan Ahok bukan kekalahan kemajemukan. Tesis kontroversial dan menantang diperiksa secara kritis. Apa alasannya?

Setidaknya, saya mengidentifikasi dua premis pendukung. Premis pertama, riset Ian Wilson tentang perubahan preferensi warga-warga di wilayah perkampungan yang terpinggirkan, misalnya Kampung Akuarium, Jakarta Timur. Pilkada 2012, 95% warga Kampung Akuarium mendukung pasangan Jokowi-Ahok. Dukungan diberikan tanpa pertimbangkan latar belakang agama, melainkan berdasarkan keberpihakan Jokowi-Ahok pada warga. Jokowi-Ahok berjanji menerbitkan sertifikat bagi warga yang sudah menetap di sana selama 20 tahun. Sayangnya, ketika menjadi Gubernur pengganti Jokowi, alih-alih tepati janji, Ahok malah menggusur warga. Hal serupa dialami warga Bukit Duri, Jakarta Selatan.

Tentu saja premis pertama benar. Namun tidak kuat menjustifikasi tesis Riyanto. Karena itu, premis kedua muncul. Premis kedua adalah [kemungkinan imajinatif terjadinya] viralisasi citra negatif Ahok oleh warga-warga yang tergusur menjelang pemungutan suara. Inilah kelemahan mendasar argumentasi Riyanto. 

[Kemungkinan imajinatif terjadinya] viralisasi citra negatif Ahok tidak terjadi secara faktual. Alih-alih mencari riset pembenar premisnya, Riyanto malah menggunakan hasil exit poll yang perlihatkan peralihan suara kelas menengah bawah kepada pasangan Anies-Sandi. Disadari atau tidak, data inilah yang ditafsirkan Riyanto sebagai hal yang potensial membuktikan telah terjadi viralisasi citra negatif Ahok. Dan Riyanto melakukan dua kesesatan. Pertama, mereduksi penjelasan atas peralihan suara kelas menengah itu semata-mata kepada faktor viralisasi citra negatif Ahok yang tidak terkonfirmasi secara aktual.

Kedua, membangun argumentasi modus ponens secara sesat dengan mengafirmasi konsekuen, bukan anteseden. Dalam hal ini, konsekuen adalah peralihan suara; anteseden adalah viralisasi citra negatif. Dalam penalaran modus ponens, afirmasi anteseden pada premis minor secara konklusif akan menghasilkan afirmasi terhadap konsekuen pada konklusi. Penyimpulan Riyanto bekerja sebaliknya, yaitu afirmasi atas konsekuen pada premis minor secara konklusif menghasilkan afirmasi terhadap anteseden pada konklusi—dan yang begini sesat (fallacy) seturut ilmu logika.    

Kemenangan Politik Identitas
Argumentasi Riyanto tidak hanya sesat secara internal, namun juga terbatas. Riyanto tidak pertimbangkan hasil riset terkait tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Ahok-Djarot. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis angka 73% (Kompas.com, 13/4/2017) dan Charta Politika merilis angka 71,8% (Kompas.com, 15/4/2017). Tingkat kepuasan publik adalah dampak program Kartu Jakarta Pintar (KJP), Kartu Jakarta Sehat (KJS), pelayanan di kantor pemerintahan dan lainnya. Program-program itu adalah upaya pemerintahan Ahok-Djarot mewujudkan keadilan sosial—Riyanto abaikan fakta ini.

Meski tingkat kepuasan publik tinggi, sayangnya tingkat elektabilitas Ahok-Djarot rendah. LSI merilis angka 42,7% (Kompas.com, 13/4/2017) dan Charta Politika merilis angka 47,3% (Kompas.com, 15/4/2017). Ternyata, fenomena “kepala dan hati terbelah” yang sudah dinyatakan oleh Burhanuddin Muhtadi dalam artikelnya yang berjudul “Rasionalitas Pemilih Jakarta” (Kompas.com, 21/2/2017) masih mewarnai kompetisi putaran kedua. Fenomena “kepala dan hati terbelah” mengisyaratkan warga Jakarta terbelah antara pemilih rasional dan emosional.

Faktor emosional yang mempengaruhi elektabilitas Ahok-Djarot adalah dugaan penodaan agama, kasus Al Maidah. Artinya, identitas menjadi pertimbangan utama warga Jakarta memilih. Melalui artikel “Menangkap Angin Populisme di Jakarta” (Majalah Tempo, 12/3/2017), Eep Saefulloh Fatah membantah Muhtadi. Exit poll PolMark temui hanya 9,4% pemilih Jakarta yang pertimbangkan agama dalam memilih. Persoalannya, apakah bantahan Fatah dapat diterima? Menurut saya: Tidak!

Dalam argumennya, Fatah menyatakan bahwa preferensi pemilih Jakarta ditentukan dua faktor [rasional], yaitu (i) hasil kerja Gubernur dan (ii) di luar hasil kerja Gubernur. Faktor hasil kerja Gubernur adalah beragam program yang hasilkan tingkat kepuasan publik di atas 70%. Faktor di luar hasil kerja Gubernur adalah “kemampuan komunikasi politik” dan “perilaku kepemimpinan”—yang dapat berdampak pada terpecahnya warga Jakarta karena pola komunikasi dan kepemimpinan yang teridentifikasi sebagai hal yang tidak baik. Sekiranya faktor agama terkategorikan sebagai yang-emosional, Fatah mengkategorikan “kemampuan komunikasi politik” dan “perilaku kepemimpinan” sebagai yang-rasional. Inilah dasar Fatah menyimpulkan bahwa pemilih Jakarta rasional—dan persis di sini pulalah, menurut saya, kekeliruan Fatah.

“Kemampuan komunikasi politik” dan “perilaku kepemimpinan” yang seperti apakah yang tergolong rasional? Apakah “kemampuan komunikasi politik a la SBY” yang terkenal santun dan melodramatik adalah komunikasi politik yang rasional? Atas dasar apa “kemampuan komunikasi politik a la Ahok” yang terkenal ceplas-ceplos dan kasar adalah komunikasi politik yang irasional? Bukankah terbuka kemungkinan untuk membaca komunikasi politik dan kepemimpinan dari SBY atau Ahok dipengaruhi oleh faktor budaya dari mereka? Karena itu, kategorisasi rasional atas “kemampuan komunikasi politik” dan “pola kepemimpinan” adalah pereduksian yang-kultural menjadi yang-rasional. Aspek kultural ini tidak terungkap secara eksplisit dalam tesis Muhtadi.

Pada skala global, penjelasan atas penguatan populisme dapat dikembalikan pada faktor kultural. Dalam “Menguatnya Populisme: Trump, Brexit, hingga FPI” (Indoprogress.com, 23/1/2017), Ari A Perdana—mengutip pendapat Ronald F. Inglehart dan Pippa Norris—mengungkapkan dua hipotesis penjelas gelombang populisme global, yaitu (1) kesenjangan ekonomi dan (2) pertentangan kultural. Karena secara empiris tidak ada korelasi antara dukungan terhadap populisme dan kerentanan ekonomi, maka hipotesa kesenjangan ekonomi tidak dapat diterima. Ada pun hipotesa pertentangan kultural terkonfirmasi secara empiris. Perubahan kultural dalam wujud meluasnya dukungan kepada kelompok minoritas (LGBT), feminisme, multikulturalisme yang terjadi secara global menghasilkan reaksi balik berupa populisme dengan basis kultural. Inilah penjelas kemunculan Trump di Amerika Serikat, Brexit di Inggris, juga gerakan radikal di Indonesia. 

Pada kasus Indonesia, konjektur saya, pertentangan kultural ini dipicu sejak pasangan Jokowi-Ahok memenangkan kontestasi Pilkada 2012, yang dilanjutkan dengan kemenangan pasangan Jokowi-Kalla pada Pilpres 2014. Kemenangan Jokowi-Ahok membuka kemungkinan perluasan politik partisipatoris, kesetaraan kesempatan bagi siapa saja, egalitarian, pemberlakuan sistem meritokrasi, transparansi, melindungi kaum minoritas, dan lainnya merupakan kultur politik yang baru bagi Indonesia. Dan demi menghadang laju dan perluasan kultur progresif inilah gelombang populisme dalam bentuk politik identitas beroperasi dalam Pilkada lalu.

Mengingkari peran politik identitas dalam Pilkada DKI Jakarta lalu adalah kesesatan. Karena itu, makna kekalahan Ahok adalah kemenangan politik identitas! Meski begitu, saya tidak mengingkari adanya kebijakan pemerintahan Ahok-Djarot yang tidak adil. Misalnya, penggusuran Bukit Duri, Jakarta Selatan, yang tidak mengindahkan proses hukum di PTUN—yang pada akhirnya PTUN memutuskan penggusuran itu melanggar undang-undang (Kompas, 6/1/2017).


The God Delusion

sumber foto: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/d/d3/Ariane_Sherine_and_Richard_Dawkins_at_the_Atheist_Bus_Campaign_launch.jpg/1024px-Ariane_Sherine_and_Richard_Dawkins_at_the_Atheist_Bus_Campaign_launch.jpg


Duduk Perkara
Duduk perkara yang dibahas Richard Dawkins dalam buku ini adalah “Apa yang dapat menjelaskan keberadaan semesta termasuk mahluk hidup, terutama manusia dan segala fenomena yang mengikutinya, di dunia ini?” Ada dua hipotesa yang berupaya menjawab pertanyaan itu, yaitu (i) hipotesa Tuhan, yang ditemukan pada orang-orang beragama, atau (ii) proses evolusi sebagaimana yang diyakini oleh Dawkins.

sumber foto: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/thumb/7/76/The_God_Delusion_UK.jpg/220px-The_God_Delusion_UK.jpg


Kritik Dawkins terhadap Hipotesa Tuhan
Dawkins berpendapat bahwa hipotesa Tuhan tidak dapat menjelaskan asal-usul dan perkembangan alam semesta, termasuk kehidupan manusia. Untuk menguatkan klaim itu, Dawkins pun mengkritik argumentasi akan eksistensi Tuhan. Misalnya saja, tiga argumen eksistensi Tuhan—gerak, sebab dan kosmologis—dicurigai oleh Dawkins bekerja atas dasar “pemosisian Tuhan sebagai hal yang imun terhadap regresi” (p.77); argumen St. Anselmus juga dikritik oleh Dawkins—yang sesungguhnya bukanlah hal baru, Gaunilo dari Marmoutier, rekan semasa St. Anselmus juga mengkritik pandangan St. Anselmus. Singkat cerita, kritik terhadap argumen eksistensi Tuhan membuktikan bahwa hipotesa Tuhan dalam menjelaskan alam semesta itu lemah.

Konklusi itu punya implikasi luas. Orang beragama adalah orang yang yakin akan adanya hal supranatural, dalam hal ini Tuhan. Pengujian Dawkins terhadap argumen eksistensi Tuhan menyatakan hal sebaliknya, Tuhan itu tidak eksis. Karena itu, Dawkins berpendapat bahwa agama itu tidak dapat dijustifikasi secara rasional—atau dalam kata lain: agama itu irasional. Selain (i)kegagalan argumen eksistensi Tuhan, justifikasi atas irasionalitas agama adalah (ii) adanya kekerasan yang mengatas namakan agama—dan dalam Kitab Suci, khususnya Perjanjian Lama akan tampak bahwa narasi agama itu dipenuhi dengan darah, dan (iii) agama itu efisien serta efektif memproduksi kebencian terhadap orang lain.


sumber foto: http://i.huffpost.com/gen/1342802/images/o-RICHARD-DAWKINS-facebook.jpg

Hipotesa Evolusi  
Karena hipotesa Tuhan sudah lenyap, maka satu-satunya hal yang dapat menjelaskan keberadaan alam semesta adalah evolusi. Secara mendasar, evolusi menjelaskan (i) eksistensi manusia dan (ii) munculnya kesadaran. Eksistensi manusia muncul karena proses evolusi yang bekerja sedemikian rupa pada tingkatan anorganik sehingga menghasilkan organisme bersel satu yang kemudian berkembang secara akumulatif menjadi multisel melalui proses replikasi genetika. Selanjutnya, kesadaran adalah perkembangan lanjutan dari eksistensi manusia. Dawkins memformulasikan kesadaran atau pikiran manusia sebagai interkoneksi yang kompleks antar entitas fisikal dalam otak manusia.

Bertolak dari argumen eksistensi dan kesadaran manusia, Dawkins mengkonstruksikan argument “Fenotip Terluaskan” (Extended Phenotype) demi menjelaskan hal-hal non-biologis yang ditemukan dalam kehidupan manusia, semisal moralitas. Fenotip Terluaskan adalah perluasan konsep fenotip di wilayah biologi ke dalam wilayah sosial sehingga dapat menjelaskan perilaku yang ditemukan dalam kehidupan manusia. Fenotip Terluaskan inilah yang mejelaskan kemunculan moralitas. Fenomena moralitas—peduli (caring) dan altruistik—sesungguhnya ditemukan juga di dunia hewan. Dengan demikian, moralitas dapat dikembalikan kepada insting.

Demikianlah argumen (i) eksistensi manusia, (ii) munculnya kesadaran, dan (iii) fenotip terluaskan memungkinkan Dawkins menyatakan bahwa hipotesa proses evolusi sebagai penjelas keberadaan dan perkembangan alam semesta lebih dapat diterima atau lebih rasional dari hipotesa Tuhan. Bagi Dawkins, orang-orang yang masih percaya pada hipotesa Tuhan sebagai penjelasan bagi keberadaan dan perkembangan alam semesta itu sesungguhnya mengidap delusi, meyakini keyakinan yang keliru—dan kekeliruan itu tersebabkan oleh konsep Tuhan yang semata-mata konsep, tanpa terverifikasi secara ilmiah. Ya, Dawkins mengasumsikan eksistensi Tuhan sebagai fakta saintifik—yang sialnya Dawkins tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksudkan oleh Tuhan dan fakta saintifik itu.

Tanggapan Kritis
Pada bagian ini saya akan berikan tanggapan kritis terhadap pemikiran Dawkins dalam “The God Delusion”. Pertama, pandangan Dawkins bahwa agama semata-mata menghasilkan darah—sebagaimana yang tersua dalam Alkitab bagian Kitab Perjanjian Lama—tentulah tidak dapat dibantah. Tetapi, Dawkins lupa bahwa Alkitab juga memuat Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Baru dapat ditemukan ajaran moral “sekiranya pipi kananmu ditampar, maka berikan juga pipi kirimu,“ juga semangat berkurban demi keselamatan orang lain, atau malah sikap tak mementingkan diri sendiri sebagaimana yang muncul dalam perumpamaan orang Samaria. Tentu argumen ini dapat ditanggapi secara kritis oleh Dawkins dengan menyatakan bahwa dunia hewan juga punya sikap peduli (caring) dan altruistik. Karena itu, tanggapan pertama akan diikuti tanggapan berikutnya.

Kedua, Dawkins menyatakan bahwa agama semata-mata menghasilkan kebencian dan kesengsaraan. Secara historis, hal itu tidak dapat diingkari. Namun cukup pasti bahwa agama bukanlah semata-mata menyangkut hal itu. Agama berperan besar dalam pengembangan peradaban manusia. Agama menghasilkan hospitalitas—yang menjadi akar dari keberadaan rumah sakit—juga pendidikan dan sains. Bentley Hart mengupas tuntas hal itu dalam bukunya yang berjudul: The Atheist Delusion: The Christian Revolution and Its Fashionable Enemies.

Ketiga, Dawkins tidak menjelaskan secara tuntas konsep Tuhan. Keempat, Dawkins tidak menjelaskan apa alasannya menyatakan bahwa eksistensi Tuhan semestinya dapat dibuktikan secara saintifik. Tampaknya Dawkins agak keliru atau lalai menetapkan pembedaan antara filsafat, teologi dan sains. Padahal objek material dan formal antara filsafat, teologi dan sains berbeda—meski terkadang, pada suatu titik tertentu, beririsan. Contohnya, pertanyaan tentang asal-usul semesta menjadikan ketiga bidang itu beririsan sehingga terkadang menjadi kabur. Sejauh pembacaan saya atas buku Dawkins ini, saya berkonjektur bahwa Dawkins mengutamakan sains dari filsafat dan teologi—dan pandangan demikian jamak dikenal dengan nama: saintisisme, keyakinan akan ilmu (science) sebagai satu-satunya pengetahuan (knowledge) yang sah.

Kelima, pandangan bahwa kesadaran adalah hasil evolusi. Pandangan demikian akan menempatkan kesadaran sebagai hal proses material. JBS Haldane (1892-1964)—tokoh yang juga dikutip CS Lewis dalam bukunya “Miracle”—tidak meyakini kesadaran adalah hasil dari proses material. Haldane berpendapat, “Sekiranya proses mental dalam diriku sepenuhnya ditentukan oleh gerak atom dalam otakku, maka aku tidak punya alasan untuk percaya bahwa apa yang kuyakini itu benar… dan aku tak punya alasan untuk percaya bahwa otakku tersusun dari atom-atom.” Dalam kata lain, apakah kita yakin: A=B dan B=C, maka A=C adalah proses penalaran yang ditentukan oleh proses material dalam otak kita?  Atau malah, argumentasi itu adalah proses penalaran yang terpisah dari proses material dalam otak kita—meskipun antara keduanya tidak terseparasi secara mutlak.

Keenam, menyangkut fenotip terluaskan. Dawkins tidak menjelaskan apakah fenotip terluaskan ini adalah hal yang terobservasi atau semata-mata hal konseptual? Di sisi lain, apakah sains merupakan bagian dari fenotip terluaskan? Lalu apa alasannya sehingga sains lebih mendapat tempat dari pada agama?

Ketujuh, reduksi moral kepada insting adalah persoalan serius. Dalam The Mere Christianity, CS Lewis menyatakan reduksi moral pada insting akan kesulitan untuk memecahkan dilema moral yang dipicu oleh pertentangan dua insting. Misalnya pertentangan antara insting kawanan (herd) untuk menyelamatkan teman dan insting merawat-diri (self-preservation) untuk membiarkan teman. Dilema itu terselesaikan jika ada insting ketiga yang memutuskan apa yang  harus dilakukan—namun, sialnya, insting ketiga yang bekerja memecahkan dilema itu tentulah bukan insting, melainkan hal yang lain dari insting; itulah moralitas. Secara empiris, insting dan moralitas akan menjadi kabur; namun secara logis, hal itu menjadi terjernihkan. Moralitas tidak dapat dikembalikan kepada insting.
Kedelapan, kegilaan (insanity) tidak hanya terjadi pada orang beragama, pada saintis juga terjadi. Dawkins mengutip fakta adanya orang beragama yang berkhotbah agar penderita diabetes membuang segala obatnya dan semata-mata mengandalkan mujizat Tuhan untuk menyembuhkan. Tentu hal ini adalah kegilaan. Namun, bukankah saintis juga melakukan kegilaan, sebagaimana yang disampaikan Dawkins, dengan meneliti hubungan antara doa dan kesehatan pasien yang menjalani operasi jantung. Dawkins menempatkan penelitian itu untuk membantah adanya korelasi antara doa dan kesembuhan. Namun, dari sisi yang lain, dana sebesar 2,4 juta dollar yang diberikan untuk mengetahui korelasi antara doa dan kesembuhan adalah kesia-siaan. Alasannya sederhana: doa termasuk ke dalam wilayah yang tak terobservasi, wilayah supranatural. Dengan demikian, sekiranya saintis memberi ruang bagi filsafat dan teologi untuk menetapkan limitasi masing-masing, maka dana 2,4 juta dollar itu tidak terbuang sia-sia.

Kesembilan, tentang kekejaman. Dawkins lupa bahwa dalam sejarah manusia, khususnya di Uni Sovyet, pernah berdiri organisasi Liga Ateis Militan yang juga melakukan kekerasan terhadap rumah ibadah dan orang-orang beragama. Dengan demikian, kekerasan dan kebencian bukanlah khas orang beragama, namun juga orang yang tidak beragama alias ateis.

Kesepuluh, Dawkins mengabaikan adanya kebebasan dalam diri manusia. Manusia, dari sudut pandang Dawkins, adalah materi yang ditentukan oleh sebab-akibat. Padahal, tidak selamanya manusia terdeterminasikan oleh sebab-akibat. Misalnya, ajaran moral adalah antitesis terhadap hukum alam (laws of nature).

Penutup
Hipotesa evolusi dari Dawkins menarik untuk dipertimbangkan. Meski belum ada jawaban final akan evolusi, tampaknya pertanyaan yang menghasilkan hipotesa itu mesti dipertimbangkan. Misalnya saja, “mengapa hewan yang dulu ada ternyata tidak ditemukan pada masa sekarang?”, “mengapa tidak ditemukan fosil Homo sapiens yang berusia sama tuanya dengan mahluk purba?”. Metode verifikasi dan falsifikasi dalam sains berguna untuk mencegah terjadinya pemutlakan atas jawaban saintifik atau pandangan saintifik.

Dawkins benar dalam menyatakan bahwa agama berpotensi mengarahkan kita pada kegilaan. Hal itu mesti diterima orang beragama sebagai kenyataan dan sudah seharusnya orang beragama membuka diri terhadap hal-hal ilmiah secara kritis. Di sisi lain, para ilmuwan juga mesti diingatkan bahwa sains dapat berpotensi mengarahkan kita pada kegilaan—keterbukaan pada realitas supranatural, paling tidak, perlu dipertimbangkan. Atau paling tidak, pemutlakan salah satunya, entah agama atau sains, adalah sikap yang perlu dihindarkan.


Rocky, Hoax dan Demokrasi


sumber foto: https://pbs.twimg.com/media/C1zWsssUAAAOkgt.jpg


PADA 6 Januari lalu, Rocky Gerung menuliskan opini di Koran Tempo. Judulnya, “Hoax dan Demokrasi”. Dalam tulisan itu, dengan menggunakan pendekatan dekonstruksi, Rocky mengajukan tesis yang kontroversial, yaitu hoax adalah bagian dari demokrasi. Terhadap tulisan itu, esai ini berupaya memetakan argumentasi, duduk perkara yang hendak dibahas Rocky, dan tentunya tanggapan kritis terhadap tesis Rocky.

Rocky dan Hoax
Dalam kerangka logika formal Aristotelian, secara sederhana, argumentasi Rocky dapat disusun sebagai berikut:
                Premis Mayor    : Demokrasi memberi ruang bagi kritik terhadap pemerintah.
                Premis Minor     : Kritik terhadap pemerintah dapat disampaikan melalui hoax.
                Konklusi            : Hoax adalah [bagian dari] demokrasi.
Persoalan dalam argumentasi itu bukan pada validitasnya, melainkan pada (i) konsep hoax dan (ii) benar atau tidaknya premis yang diajukan.

Meriam-Webster menempatkan “hoax” dalam kelas kata kerja dengan pengertian “mengelabui atau menipu (seseorang)”. Dalam keseharian, kita memahami “hoax” dalam kelas kata benda dengan pengertian “kabar bohong”. Sekiranya kita bertolak dari pengertian yang demikian, maka tesis Rocky akan terdengar cukup aneh, gila, dan tentu saja provokatif. Bagaimana mungkin demokrasi dapat menerima keberadaan “kabar bohong” atau tindakan-tindakan yang ditujukan untuk “mengelabui atau menipu” publik?

Tentu saja, Rocky menyadari pengertian “hoax” di atas—dan mustahil mengkonstruksikan argumentasi dengan bertolak dari pengertian di atas. Karena itu, Rocky menggunakan strategi dekonstruksi untuk membangun argumentasinya. Hasilnya, tiga pengertian “hoax”, (i) “sinyal bahwa alternatif kekuasaan sedang tumbuh”, (ii) “fabrikasi politik” demi “menunda konglomerasi kebenaran” dan (iii) “konfrontasi terhadap monopoli kebenaran.” Dalam konteks demokrasi, ketiga pengertian itu mewujud sebagai kritik terhadap pemerintah yang disampaikan melalui media.

Suka tidak suka, strategi dekonstruksi yang dilakukan Rocky memungkinkan argumentasi itu masuk akal—dalam arti dapat dimengerti. Persoalannya, apakah argumentasi itu memuat premis yang benar?

Premis mayor argumentasi Rocky sulit untuk disanggah kebenarannya. Demokrasi tentu saja membuka ruang bagi kritik terhadap pemerintah. Tanpa memberi ruang bagi kritik, diam-diam suatu pemerintahan akan melangkah pada bentuk otoritarian. Kritik terhadap demokrasi dapat disampaikan dalam beragam medium—dan utamanya disampaikan melalui media massa.

Dari argumentasi Rocky, menurut saya, yang bermasalah persis pada premis minor. Dalam artikelnya, Rocky sama sekali tidak menunjukkan bukti dari premis minor. Rocky seakan-akan bermain dalam ruang tafsir pembaca dan berupaya mengikuti kemungkinan pemaknaan yang dikehendaki oleh Rocky. Padahal pembuktian akan premis mayor itu sendiri bersifat kondisional, yaitu ketika pemerintah telah berhasil menyeludupkan kepentingannya melalui media mainstream sehingga kritik lenyap.

Sekali lagi, Rocky sama sekali tidak dapat membuktikan adanya “kritik terhadap pemerintah yang disampaikan melalui hoax.” Dengan demikian, sekalipun valid, argumentasi Rocky itu unsound.

Rocky dan Demokrasi
Duduk perkara yang memicu tesis “hoax adalah bagian dari demokrasi” adalah “sikap reaktif pemerintah terhadap “maraknya” adu bohong di media massa. Padahal pemerintah sendiri tidak memiliki sistem evaluasi opini publik.” Persis di sinilah sejatinya tulisan Rocky hendak bersuara, yaitu kritik terhadap standar evaluasi pemerintah terhadap media massa demi meredam hoax.
Rocky mempersoalkan kriteria pemblokiran demi menghadang laju hoax yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu sumber informasi itu sendiri. Jika sumber informasi adalah “bukan [media] mainstream”, maka itu adalah hoax. Rocky tidak menerimanya, karena kriteria itu hanya akan menyisakan “media mainstream”, yang melalui strategi kekuasaan tertentu dapat disusupi oleh kepentingan pemerintah sehingga, pada akhirnya, kritik yang seyogyanya tersuarakan melalui media massa menjadi lenyap. Itulah kondisi otoritarian dan Rocky tak mau hal itu terjadi—tentu saja saya pun tidak mau. 

Sekiranya duduk perkara yang hendak dibahas Rocky adalah kritik terhadap sistem evaluasi opini publik versi pemerintah yang menetapkan kriteria informasi hoax adalah informasi yang bersumber dari “bukan [media] mainstream”, lantas mengapa Rocky malah mengajukan pembelaan terhadap hoax dengan cara mendekonstruksinya—yang sialnya, pada kenyataannya, pertanggungjawaban atas pembelaan itu sesungguhnya tak memiliki dasar yang kuat? Alih-alih mengajukan kriteria alternatif, meski hal ini juga tidak wajib dilakukan, Rocky malah beri argumentasi demi membela hoax lewat pendekatan dekonstruksi. Sungguh, pilihan Rocky membela hoax menyebalkan.

Rocky dan Kontradiksi
Sekali pun Rocky mengajukan argumentasi pembelaan terhadap hoax dalam kerangka kondisional, sikap Rocky terhadap hoax pun tampak kontradiksi. Di satu sisi, hoax adalah bentuk heroisme di dalam demokrasi; di sisi lain hoax adalah bentuk kedangkalan dalam berdemokrasi. Rocky menyatakan “saya tidak suka hoax. Itu buruk bagi kompetisi politik akal sehat.” Pertanyaannya: lantas, apa hoax menurut Rocky? Apakah dekonstruksi hoax yang dilakukan Rocky akan menjernihkan masalah atau malah membuatnya semakin kabur. Menurut saya, dengan menyadari duduk perkara dan argumentasi hoax, Rocky malah mengaburkan persoalan dengan jalan yang cukup sophisticated. Tentu saja menarik—meski pada akhirnya menyebalkan!