1.
Seorang teman
bilang (hal ini ia bilang dengan penuh percaya diri, meski—saya sempat
mencatat, dari 10 hal yang pernah ia bilang kepada saya, sekitar 6 cerita
adalah masalah pribadi, cerita ke-tujuh mistis dan tiga cerita lainnya,
mirip-mirip pernyataan filosofis, yang menurut saya lebih dekat dengan bualan;
dan ini adalah cerita ke-tujuhnya kepada saya): tanpa polisi, negara adalah
kesia-siaan belaka. Saya sempat bertanya: Mengapa? (kata seorang teman,
sebenarnya saya orang yang tidak mudah bergaul dengan orang lain, ada yang
bilang anti-sosial, meski belum menjadi orang psikopat). Tenang saja ia bilang:
“Cobalah kau dengar dulu lagu The Police, judulnya: Every Breath You Take,
nanti aku tafsirkan ayat-ayatnya.” Saya sempat tertawa dan saya sungguh
beruntung: ia bukan seorang yang pemarah, meski saya yakin, bagi orang yang
baru mengenalnya, ia adalah orang yang menyebalkan.
Saya
pun sengaja meluangkan waktu mendengarkan The Police: Every Breath You Take.
Demikianlah lirik lagu itu:
Every breath you take / Every move you
make / Every bond you break / Every step you take / I’ll be watching you
Every single day / Every word you say /
Every game you play / Every night you stay / I’ll be watching you
O can’t you see / You belong to me / How
my poor heart / Aches with every step you take
Every move you make / Every vow you
break /Every smile you fake / Every claim you stake / I’ll be watching
Since you’ve gone I been lost without a
trace / I dream at night / I can only see your face / I look around but it’s
you I can’t replace / I feel so cold and I long for your embrace / I keep
crying baby, baby please
Every move you make / Every vow you
break /Every smile you fake / Every claim you stake / I’ll be watching[1]
Bagi saya, yang
tak paham musik dan segala macam seni lainnya, ini tak lain lagu yang nge-beat, asik dan mantap. Teman saya
bertanya: Menurutmu lagu itu bicara tentang apa. Saya menjawab: tentang cinta
(hal ini saya ucapkan sebelum saya betul-betul mencari liriknya, lalu
menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Santai ia jawab, “Hampir semua orang
bilang begitu, dan kau tidak ada bedanya dengan orang-orang lain itu,
orang-orang yang sekadar saja, yang hanya memahami sebagai sebuah lagu pengisi
waktu luang.” Sebagai orang yang pemarah, saya lantas omong (dengan suara dan
amarah): “Okelah, meski kau orangnya tidak jelas, aku mau tahu juga, menurutmu
lagu ini bicara tentang apa.”
2.
Aku sadar
persoalan tafsir bukanlah hal yang mudah. Apalagi yang hendak ku tafsirkan
adalah hal yang berangkat dari ranah estetika, bukan hal yang berada di ranah
epistemologika. Ya, ranah estetika adalah ranah narasi, titik tolak penilaian
adalah daya pikat dan pukau narasi itu sendiri yang lebih cenderung subjektif,
bahkan personal. Kalau epistemologi, kita akan bicara tentang argumentasi,
konstruksi penalaran yang bernilai benar atau salah, mengandung kontradiktif
atau tidak, atau sejauhmana kontradiktif itu dapat dipahami sebagai paradoks.
Karena itu, saya sadar hal ini tidak mudah, dan jika kau (yang ia maksudkan di
sini adalah saya, yang lagi diliputi emosi amarah) punya pandangan berbeda,
segera ungkapkan, sebab aku akan mendengar, meski belum tentu sependapat
denganmu. Tetapi, dengan segala kerendahan hati, aku memohon maaf darimu, jika
ada penafsiranku kelewat keliru—sebab, kalau hanya keliru (ia begitu menekankan kata ini; agak heran juga aku) aku
sudah biasa dan selalu menjaga agar tidak kelewat
keliru.
Apa
yang kita bahas, meski agak susah, akan aku tempatkan dalam tema: Polisi dan
Warga Negara. Polisi adalah The Police itu sendiri dan Warga Negara adalah
’you’ dalam ’Every Breath You Take’. Dari sejarah pemikiran politik
konservatif, dalam hal ini, kata ‘konservatif’ mengacu pada arus pemikiran
arus-utama—sederhananya, aku akan membatasi, apa yang hendak kita bahas dalam
kajian ini bukan pemikiran anarkis. Namun, ‘anarkis’ yang kumaksud tidak
mengacu pada ‘anarkis’ dalam pengertian sehari-hari, yang melihat anarki
sebagai kekerasan, kebrutalan—singkatnya, kerusuhan dalam demontrasi itu aku
sebut vandalisme, anarkisme. Begini, agar lebih sederhana: dari tradisi
pemikiran politik, setidaknya ada dua dogma politik tentang manusia. Pertama,
manusia pada dasarnya jahat dan institusi-lah yang memberadabkan manusia. Kedua,
manusia pada dasarnya baik dan institusilah yang membiadabkan manusia.
Anarkisme yang kumaksud lebih pada hal kedua: manusia pada dasarnya baik dan
karena itu yakin bahwa kehidupan manusia akan baik tanpa institusi, tanpa
kuasa, dalam bahasa Yunaninya: an-arki. Nah, dalam penggunaan sehari-hari,
anarkisme yang sering kau dengar itu, mengasumsikan manusia pada dasarnya jahat
dan institusi, kuasa, aturan, perlu ada agar manusia lebih beradab. Jika
kembali ke awal soal, aku menempatkan kajian kita dalam posisi pemikiran
mainstream, yaitu: manusia pada dasarnya jahat dan institusi-lah yang
memberadabkan—meski, harus kutekankan: kerusuhan dalam demonstrasi itu bukanlah
anarkis, melainkan vandalisme.
Manusia dan Institusi
Kita akan
melihat relasi antara manusia dan institusi, dalam hal ini: warga negara dan
polisi. Di sini aku membatasi diri pada pemikiran filsafat politik Thomas
Hobbes untuk menjelaskan asal-usul terbentuknya negara—lalu, tanpa memberikan
referensi yang terang, kau bisa melihat beraneka pemikiran lain yang turut
mempengaruhi pemikiranku sendiri. Hobbes menyatakan, sebelum adanya institusi,
sebelum adanya negara, manusia, individu-individu hidup dalam pertempuran semua
melawan semua, bellum omnium contra omnes.
Populernya: manusia adalah serigala bagi manusia yang lain. Kondisi ini adalah
kondisi alamiah manusia, sebelum manusia beradab, sebelum manusia memecahkan
masalah saling memangsa satu sama lain lewat jalan membuat kontrak sosial.
Kontrak sosial inilah yang memberadabkan manusia, melalui kontrak sosial, homo homini lupus menjadi homo homini socius, manusia adalah
sahabat sesama. Perhatikan, bagaimana kontrak sosial, yang menjadi dasar
berdirinya institusi, mengubah manusia dari serigala bagi yang lain menjadi sahabat bagi yang lain.
Persoalannya,
apakah dengan adanya institusi itu, manusia akan tetap menjadi sahabat bagi
yang lain? Jawabannya: tidak, ini adalah posisi ekstrem—sedikit menyimpang,
problem kemanusiaan yang antik adalah ‘menemukan surga yang hilang’, the lost paradise, garden of Eden—jawaban tidak lebih karena menyadari: memang ada
kemungkinan semua manusia menjadi sahabat bagi yang lain; tetapi yang menjadi
persoalan adalah bagaimana jika tidak semua manusia menjadi sahabat bagi yang
lain? Inilah yang hendak dijawab. Kontrak sosial yang menghasilkan institusi,
yang menghasilkan aturan—dan aturan inilah yang memberadabkan serigala menjadi
sahabat—membutuhkan perangkat lain yang berfungsi menegakkan aturan. Dalam
politik modern, kita mengenal lembaga yudikatif—dan seturut dengan kajian kita,
kita membatasi hanya pada lembaga kepolisian. Lembaga kepolisian adalah lembaga
yang menjamin peraturan tetap tegak dan kita dapat menjadi sahabat bagi yang
lain. Karena itu, The Police bilang “I’ll be watching you.” Siapakah ‘you’? Tak
lain adalah ‘warga negara’, individu, seorang pribadi yang pada suatu saat
melorotkan martabat dari sahabat menjadi serigala. The Police berperan
memulihkan martabatnya sekaligus memulihkan keyakinan warga negara lain bahwa
institusi yang memberadabkan mereka adalah dapat diandalkan.
Sekarang,
jika kau mendengar kembali lagu The Police, inilah sesungguhnya motif
berdirinya institusi kepolisian, mengawasi dengan penuh kerinduan agar martabat
manusia sebagai sahabat tidak melorot menjadi serigala. (Sejujurnya, saya mau
bilang: “Ah, kau hanya mengada-ngada saja.” Tetapi, mendengar penjelasannya,
saya mengurungkan niat untuk membantah.)
3.
Setelah temanku
mengutarakan pandangannya, aku bertanya: “Lantas, bagaimana kau menjelaskan
kata ‘baby’? Bukankah itu berarti ‘sayang’ dan mengacu pada konteks
‘percintaan’? Ia diam sejenak lalu berkata:
4
Pertama, aku
nyatakan apa yang aku lakukan bukan ‘menjelaskan’, melainkan ‘menafsir’. Dua
hal itu berbeda—dan, maafkan aku jika enggan menjelaskan hal ini sekarang.
Kedua, aku tidak
akan secara langsung menjawab pertanyaanmu, melainkan memberimu pertanyaan,
demi menjawab pertanyaanmu sendiri: Kira-kira, menurutmu, siapakah yang
mengucapkan lirik itu: the police
atau citizen? Jika kau sudah
menemukan jawabannya, pertanyaan berikut adalah: lantas kepada siapakan lirik
itu diucapkan: kepada the police atau
citizen? Jika menurutmu yang
mengucapkan lirik itu the police,
maka yang menerimanya adalah citizen.
Jika menurutmu yang mengucapkan lirik itu the
citizen, maka yang menerima adalah the
police.
5.
(Jujur saja,
setiap kali saya bertemu dengan cerita ke-tujuh dari teman saya, selalu saja
saya merasa: ia adalah orang yang menyenangkan. Kadang saya merasa ia adalah The Police dan saya adalah Citizen; tetapi tak jarang ia menempati
diri sebagai Citizen dan saya sebagai
The Police. Dan sesungguhnya, saya
lebih menyenangi 6 ceritanya yang memuat masalah pribadinya. Semoga saja, suatu
saat, saya dapat menuliskannya dan membagikannya kepada The Police/Citizen.)
[1] Kira-kira, terjemahan bebasnya (tentunya
dengan bantuan google translator—sahabat
saya, yang tinggal di benua Amerika pernah memanfaatkan instrumen ini untuk
menerjemahkan bahasa Inggris-Amerika ke dalam bahasa Indonesia):
Tiap
kali kau menghirup nafas/Tiap kali kau bergerak/Tiap kali kau bertingkah/Gua
ngeliat elo.
Di tiap pagi/Di tiap kata/Di tiap gaya/Di
tiap malammu/Gua ngeliat elo.
Tak bisakah kau liat/Kau milikku/Dan hatiku
duka/di tiap langkahmu, aku penuh luka (bagian ini memang agak sedikit
di-Chairil Anwar-kan, barangkali karena orang Indonesia, yang senang
memperingati hari kematian, akan mengenang Chairil Anwar di hari kematiannya.)
Tiap kau bergerak/Di tiap kata terucap/Di
tiap gaya/Di tiap malammu/Hanya gue yang ngeliat elo.
Sejak kau pergi, aku sesat kehilangan
jejak/Di tiap mimpi malamku/ndilalah wajahmu yang muncul/Aku cari ke sana dan
di mari (‘di mari’ adalah frase orisinal dari Betawi)/cuma kau yang tak terganti/Aku meriang dan butuh pelukanmu/Selalu aku
menangins, memanggilmu…
Di tiap gerakmu/Di tiap kata-katamu/Di tiap
senyummu/Di tiap denyutmu/Aku ada di situ.