Yang-Puitis dan Yang-Filosofis tentang Sampah dan Sepah
(Maaf, Saya Tidak Sempat Bicara Limbah)
… dunia tinggal satu-satunya alasan untuk menjelaskan keadaan kita …
Hujan di Pagi Hari | Afrizal Malna
Fragmen sajak Malna menyiratkan
kecemasan. Kecemasan akan kepunahan manusia, jika manusia tidak memperhatikan dunia sebagai satu-satunya alasan untuk menjelaskan keadaan kita. Keberadaan
dunia menjadi satu-satunya alasan bahwa hidup dan kehidupan manusia di masa
depan akan tetap terjamin—keberlangsungan hidup dan kehidupan manusia, tidak
lagi semata-mata ditentukan nalar (reason), melainkan oleh dunia (world). Tanpa dunia,
adakah yang disebut manusia?
Dari sudut filosofis, Greg Kennedy,
penulis buku ‘An Ontology of Trash: The Disposable and Its Problematic
Nature’, meriwayatkan hal serupa. Kennedy mengakui bahwa kepunahan manusia
senantiasa menjadi kemungkinan (Kennedy:2007, hal.160). Di masa-masa dahulu,
isyarat kepunahan manusia dikenali melalui wabah penyakit, hantaman meteor,
hingga bencana alam. Singkat kata, kepunahan dinosaurus adalah isyarat
kepunahan manusia. Namun, di masa sekarang, khususnya di abad ke-20, isyarat
kepunahan manusia tidak lagi dikenali dalam bentuk demikian. Kepunahan manusia
tidak lagi dimungkinkan oleh wabah, hantaman meteor atau bencana alam,
melainkan oleh sampah (waste). Kegagalan
manusia menangani sampah menjadi isyarat akan kepunahan manusia. Dan, Kennedy
menegaskan satu hal bahwa hanya manusia sajalah yang menghasilkan sampah,
sedangkan alam tidak (Kennedy:2007, hal.2)!
Kepunahan
manusia tidak dapat dilepaskan dari kegagalan manusia menangani sampah. Bagi
Kennedy, apa yang disebut sampah tak lain adalah momen ketika nalar kehilangan
daya cengkram (Beck:1992, hal.6). Refleksi filosofis Kennedy tidak dapat
dipisahkan dari pemikiran eksistensialis Martin Heidegger. Momen ketika nalar
kehilangan daya cengkram adalah momen ketika manusia tidak lagi menjadi
otentik, momen ketika manusia mengabaikan apa yang ada di sekitarnya. Dalam
pemikiran Heidegger, manusia adalah Dasein,
Being-in-the-world,
Pengada-di-dalam-dunia. Di dalam dunia, Dasein
berjumpa dengan benda-benda (Things),
yang ada begitu saja, presence-at-hand
(Vorhandenheit). Terhadap
benda-benda, Dasein menginjeksikan
nilai tertentu sehingga benda-benda tersebut memiliki kegunaan. Benda yang
sudah dikerangkakan dalam suatu tujuan tertentu oleh Dasein disebut sebagai
alat (Equipment/Zuhandenheit). Tindakan Dasein
menginjeksikan nilai tertentu ke dalam benda-benda adalah manifestasi dari
otensitas Dasein itu sendiri
(Heidegger:1962, hal.95-102; Gorner: 2007, hal.4-5).
Dari
perspektif Heideggerian, secara esensial, sampah dikenali sebagai momen
pengosongan nilai dari benda
(Kennedy:2007, hal.5). Misalnya, ketika kita membeli minuman kaleng. Minuman kaleng, bagi pembeli, bernilai
karena ada minuman yang tersimpan di dalam kaleng dan rasa haus. Namun, ketika
minuman dalam kaleng habis dan rasa haus terpuaskan, maka yang tinggal hanyalah
kaleng tanpa nilai—dan menjadi sampah. Perubahan minuman kaleng yang bernilai
menjadi kaleng yang tak bernilai mengisyarakat (i) terjadi pengosongan nilai
dan (ii) nalar kehilangan daya cengkram, nalar kehilangan daya pemahaman atas
suatu hal.
Manusia (atau Dasein dalam terminologi Heidegger) menjamin keotentikannya sebagai
manusia melalui apa yang ia lakukan terhadap segala hal yang ia jumpai di
dunia. Transformasi benda-benda (Things)
menjadi alat (Equipment), melalui
penginjeksian nilai ke dalam benda-benda, adalah manifestasi dari otentisitas
manusia. Dalam kasus minuman kaleng, otentisitas manusia lenyap karena manusia
tidak mampu mengubah kaleng tak bernilai, yang berstatus benda-benda, menjadi
kaleng bernilai, yang berstatus alat, melalui tindakan menginjeksikan nilai ke
dalam kaleng tak bernilai. Rute pemikiran yang demikian memperlihatkan bahwa
kegagalan manusia menangani sampah adalah kegagalan manusia mengenali sampah
sebagai sepah (trash). Sesungguhnya,
sampah dapat juga berarti sepah, dan apa yang dimaksud dengan sepah tak lain
adalah benda-benda yang tidak dipedulikan manusia, diperlakukan secara negatif
dan destruktif, padahal benda-benda itu masih berguna bagi manusia, jika
manusia menggunakan nalar demi mengaktualisasikan manfaat yang tersimpan di
dalam benda itu (Kennedy:2007, hal.xvi).
Kegagalan
manusia menangani sampah berarti kegagalan manusia menjamin hidup dan kehidupan
umat manusia di masa depan. Kennedy berharap melalui ilmu pengetahuan dan
teknologi yang semakin dimutakhirkan, manusia dapat mengelola sampah, mengenali
sampah sebagai sepah, sehingga hidup dan kehidupan umat manusia di masa depan
terjamin (Kennedy:2007, hal.185). Kesadaran ekologis, yang mewujud tampil dalam
slogan ‘reduce, reuse, recyle,’ tampaknya menjadi jalan untuk membuktikan bahwa
sampah memang dapat dikenali sebagai sepah. Dari titik ini, saya pikir,
pernyataan puitis Malna adalah juga pernyataan filosofis. Masih dalam sajak yang sama, Malna bilang: Kita bukan pusat segala-galanya.