Kadang-kadang, berjumpa teman lama itu
menyenangkan. Tiga hari lalu, saya berjumpa teman lama, dia sudah membeli tiket
konser Metallica. Sewaktu ngobrol, teman saya bilang, "Vid, gua pikir
tugas negara itu sederhana saja: lahirin grup band cadas kayak Metallica. Udah
itu aja." Saya pikir, teman saya ada benarnya.
seperti alif beta dan eureka. mawar melati dan segala yang mabuk cuaca. seperti kulkas, semua indah dan selamat membahasa.
Teh dan Niat
Sewaktu minum teh,
tiga hari lalu, teman saya (baru saja ia kembali dari luar negeri) bilang,
"Untuk bernafsu, manusia tidak perlu belajar. Namun, untuk berpikir,
manusia belajar." Saya berniat membantah, namun saya setelah saya timbang
kembali, saya batalkan niat saya.
Suara Korban dan Soldatenkaffee: Membantah Argumentasi Zen RS
SAYA SANGAT KAGET ketika membaca dua artikel yang ditayangkan di id.Yahoo.com—“Kartu
Pos Bergambar Fasisme” (lihat http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/kartu-pos-bergambar-fasisme-120405702.html)
dan “Soldatenkaffee dan Trauma Ke-Indonesia-an” (lihat http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/soldattenkafe-dan-trauma-ke-indonesia-an-114545852.html)—tulisan
Zen RS. Dua tulisan dari Zen RS itu mengajukan tesis bahwa Nazi bukanlah trauma
ke-Indonesia-an, melainkan trauma Eropa—dengan demikian, keberadaan
Soldatenkaffee dapat dipahami semata-mata sebagai tempat yang memuat
simbol-simbol Nazi tanpa perlu mengaitkan simbol-simbol tersebut dengan muatan
ideologis fasisme Nazi. Justifikasi dari tesis itu adalah paparan historis di
mana, melalui kajian sejarah Indonesia, trauma ke-Indonesia-an adalah fasisme
berbalut Pancasila yang muncul melalui slogan “NKRI Harga Mati,” lalu tragedi
1965, tragedi Santa Cruz di Dilli, tragedi Ahmadiyah di Cikeusik, tragedi Syiah
di Sampang, dst. Bagi saya, sejauh afirmasi Zen RS tentang trauma
ke-Indonesia-an, saya tidak membantah—dalam tulisan ini, saya membantah
afirmasi Zen RS yang hendak menjustifikasi bahwa adanya trauma ke-Indonesia-an
yang khas dapat dijadikan justifikasi untuk menolak trauma Eropa akan Nazi.
Bantahan saya terhadap tesis Zen RS
menyangkut dua hal. Pertama, membaca
sejarah Indonesia dapat dilepaskan dari sejarah dunia? Apakah peristiwa
partikular tertentu di suatu tempat tertentu tidak mempengaruhi kondisi atau
situasi di tempat lain? Kedua, apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan trauma oleh Zen RS? Apakah itu hanya
pengalaman personal-individual yang unik dan khas, serta tidak dapat dibagi?
Apakah trauma adalah harta milik pribadi yang eksklusif, yang tidak dapat
dibagi? Apakah perbedaan antara sejarah orang Eropa dan sejarah orang Indonesia
meniscayakan kemustahilan membagi pengalaman pahit atau masa lalu? Lalu, apakah
dengan tidak bersetujunya saya dengan pandangan Zen RS, maka saya bukanlah
orang Indonesia, bukanlah orang tidak mengetahui trauma ke-Indonesia-an? Bagi saya, ketika Zen RS menuliskan “apalah
artinya simbol Nazi dan gambar wajah Hitler?”—dan pada saat yang sama berbicara
tentang trauma, saya menjadi ragu: apakah Zen RS memang benar-benar menghikmati
apa yang disebut dengan trauma?
Tentang yang pertama, saya mulai dari ledakan Gunung Tambora pada tahun
1815. Apakah ledakan itu hanya menjadi sejarah bagi mereka yang tinggal di
Sumba? Apakah ledakan itu tidak menjadi sejarah bagi mereka yang tinggal di
Amerika atau Eropa? Bukankah kekalahan Napoleon Bonaparte dalam perang Waterloo
sesungguhnya disebabkan oleh debu vulkanik dari ledakan Gunung Tambora? Lebih
lanjut, bukankah kekalahan Napoleon dalam perang Waterloo justru mengubah
konfigurasi politik di Eropa, menciutkan kekuasaan politik Prancis yang begitu
besar di Eropa pasca Revolusi 1789?
Ada dua hal yang hendak saya
tunjukkan melalui ilustrasi sejarah ledakan Gunung Tambora. Pertama, secara epistemologis, ada
kemungkinan bahwa peristiwa yang terjadi pada suatu tempat tertentu
mempengaruhi kondisi atau situasi di tempat yang-lain. Secara epistemologis,
istilah “kemungkinan” ini mengacu kepada perspektif—artinya, dapat saja lebih
dari satu perspektif yang mungkin ada untuk membaca suatu peristiwa. Kedua, secara ontologis, adalah suatu
keniscayaan (necessity) menyangkut
adanya keterkaitan antara satu peristiwa pada suatu tempat dengan adanya
perubahan kondisi atau situasi di tempat yang lain.
Barangkali justifikasi historis-geologis
yang saya ajukan dapat dibantah. Misalnya, “Ah, ilustrasi sejarah itu tidak
dapat menjadi dasar untuk menyatakan ada trauma yang sama antara orang-orang di
Sumbawa dan orang-orang di Eropa.” Ok, saya dapat menerima hal itu. Karena itu,
saya akan ajukan peristiwa sejarah berikutnya, yaitu bom atom Hiroshima dan
Nagasaki. Apakah peristiwa jatuhnya bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada
Agustus 1945 adalah semata-mata peristiwa partikular yang terjadi di Jepang?
Peristiwa jatuhnya bom atom Hiroshima dan Nagasaki tidak dapat dipisahkan dari
berkuasanya Nazi di Jerman, terbentuknya triad Jerman-Italia-Jepang dengan
gagasan fasisme mereka, lalu disetujuinya pelaksanaan Manhattan Project? Di
Indonesia, Perang Dunia II memungkinkan Jepang masuk ke Indonesia menggantikan
Belanda. Di sini, ledakan bom atom menjadi bagian dari trauma kemanusiaan
secara menyeluruh—tidak hanya bagi Jepang, namun juga bagi ahli-ahli fisika dan
filsuf-filsuf sains pasca Manhattan Project untuk berbicara tentang batas moral
dalam ilmu pengetahuan yang diklaim bebas nilai.
Terakhir, saya akan bicara tentang
tsunami 2004 yang melanda Aceh. Apa yang dapat kita hikmati dari peristiwa yang
sudah menjadi bagian dari sejarah Aceh, Indonesia, dan dunia ini? Apakah kita
masih dapat berbicara bahwa sejarah, yang secara ontologis berakar pada
peristiwa (event), dapat diisolasi
mutlak tanpa memperlihatkan keterikatan dengan peristiwa lainnya? Tentunya, apa
yang mengikat peristiwa yang satu dengan peristiwa lainnya adalah agen dalam
peristiwa itu sendiri, yaitu manusia. Manusia, dalam hal ini, tidak dapat
semata-mata dipandang berdasarkan ras atau warna kulit atau tampilan
fisik-fisiologis lainnya. Bagi saya, secara ontologis, kemampuan manusia untuk
saling berbagi inilah yang menjustifikasi mengapa kita dapat berbagi sejarah. Manusia,
secara universal, adalah pelaku sejarah—dengan demikian, sejarah kemanusiaan
pada tempat lain adalah sejarah kemanusiaan bagi tempat lainnya. Memposisikan
pembacaan sejarah yang secara ontologis dan metodologis mengisolasi suatu
peristiwa [dan tentunya ingatan tentang peristiwa] pada daerah tertentu lepas
dari peristiwa lainnya, bagi saya, dalam batas-batas tertentu adalah naif. Saya
ingat kata-kata sejahrawan Taufik Abdullah: “sejarah itu adalah lautan masa
lalu, yang darinya kita belajar tentang diri kita, yang darinya manusia belajar
tentang manusia.”
Berikutnya, menyangkut trauma.
Sejauh pembacaan saya terhadap dua artikel Zen RS, saya mencurigai gagasan Zen
RS tentang trauma adalah sebagai entitas yang eksklusif, tidak dapat dibagi,
hanya dimiliki secara personal-individual. Benar, trauma adalah mengacu kepada
luka di masa lalu yang selalu membayangi kehidupan pada masa kini [dan tentunya
juga di masa depan]. Persoalannya, bagi saya, apakah trauma itu benar-benar
tidak dapat dibagi, apakah trauma hanya demi diri sendiri? Lantas, bagaimana
Zen RS memahami peristiwa Human Rights Watch Group (HRWG) berbicara tentang
pelanggaran HAM di Indoensia—suatu trauma ke-Indonesia-an, yang diklaim
Zen—pada forum Sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, Jenewa,
pada pekan lalu? Apakah trauma ke-Indonesia-an adalah semata-mata trauma
ke-Indonesia-an yang tidak dapat dipahami oleh orang lain? Apakah trauma Nazi
hanya semata-mata trauma Nazi yang tidak dapat dipahami oleh orang-orang
Indonesia? Saya pikir, di sinilah kekeliruan mendasar Zen RS: Zen RS mereduksi
trauma menjadi semata-mata hak eksklusif yang tidak dapat dibagikan kepada
orang lain—dan atas dasar ini juga, Zen RS dapat mengisolasi pikirannya dari
trauma terhadap Nazi.
Pada hakikatnya, trauma adalah suara
korban yang tidak dapat bersuara. Trauma adalah suara korban! Korban bersuara
dalam keheningan—inilah trauma. Melalui trauma, melalui suara dalam keheningan,
korban yang hendak berbicara tentang dirinya, apa yang dialaminya, serta
berbicara tentang harapannya di kemudian hari, yaitu apa yang dialami tidak
akan terjadi lagi. Indonesia bersyukur bahwa Auschwitz tidak terjadi di
Indonesia—tetapi, saya pikir hal itu tidak dapat menjustifikasi kita untuk
tidak belajar dari kekelaman sejarah Eropa. Peristiwa holocaust—sebuah peristiwa yang dibantah kebenarannya oleh pemilik
kafe Soldatenkaffee Henry Mulyana (lihat http://www.thejakartaglobe.com/features/bandung-cafes-nazi-kitsch-theme-sparks-some-uncomfortable-questions/)—memperlihatkan
bahwa kemanusiaan (humanity)
sesungguhnya bukan meletak pada rasio atau kesadaran, melainkan meletak pada
relasi kita dengan orang lain, mereka yang menjadi korban, mereka yang tidak
berdaya dan orang-orang yang tidak berdaya inilah yang sesungguhnya memberikan
pelajaran kepada kita tentang apa artinya menjadi manusia. Bukankah trauma
ke-Indonesia-an dan trauma kemanusiaan lainnya mengajarkan bahwa kita adalah
manusia yang dapat saja lebih baik dari apa yang telah kita lakukan di masa
lalu. Kurang lebih, demikianlah gagasan filosofis dari filsuf Perancis Emmanuel
Levinas (1906-1995), seorang Yahudi yang sempat ditahan Nazi, dan hampir
seluruh keluarganya tewas dalam peristiwa Shoah.
Jika trauma bukanlah sesuatu yang
eksklusif, namun sesuatu yang membutuhkan kepekaan kita untuk mendengarkan
suara-suara korban—entah siapa pun dia, apakah ia orang Eropa atau tidak, Islam
atau Kristen atau Budha atau Hindu atau ateis sekalipun, apakah ia berkulit
coklat atau tidak, dst—lantas, mengapa kita dapat memilah dengan tegas dan
begitu pasti ada yang disebut trauma ke-Indonesia-an dan ada yang disebut
trauma Eropa? Bagi saya, sejarah yang lahir dari/atau menjadi trauma bukanlah
sejarah yang eksklusif atau tidak dapat dibagi. Korban selalu senantiasa
bersedia untuk berbagi—masalahnya, kadang kala kita tidak cukup peka untuk
mendengarkan suara yang berbicara dalam keheningan.
Diam-Diam
Tiga hari yang lalu, saya berdiskusi tentang Mesir dengan teman saya. Di akhir perbincangan, dia bilang, "Karena kekuasaan memungkinkan kehidupan yang lebih baik, diam-diam demokrasi berbicara tentang KAMI melalui KITA."
Subscribe to:
Posts (Atom)