Teman saya—ia baru
saja menyelesaikan pendidikan strata-tiga di suatu institusi pendidikan di
Eropa—berkata, “Vid, pesan orang tua saya soal pendidikan itu hanya ini: Kamu sekolah tinggi-tinggi itu bukan untuk
menjadi pintar, tapi untuk menutupi kebodohan—cacat yang mustahil engkau
lenyapkan dengan bedak dan pesta.”
seperti alif beta dan eureka. mawar melati dan segala yang mabuk cuaca. seperti kulkas, semua indah dan selamat membahasa.
Cita-cita dan Kutukan
Hari ini, saya berjumpa
teman lama. Seperti biasa, setelah bertanya apa kabar dan lainnya, kami
berdiskusi ragam hal. Dari sudut pandang saya, satu hal menarik dalam diskusi
kami adalah ketika teman saya berkata: "Merdeka itu adalah cita-cita.
Ketika menjadi kenyataan, kemerdekaan malah melahirkan kegeraman, amarah,
kekesalan, dan lainnya. Sialnya, kita tak dapat bercita-cita tanpa berpijak
pada kenyataan." Setiap kali berdiskusi dengan teman saya, saya sulit
untuk memutuskan apakah saya mendapatkan berkah atau kutuk dari setiap diskusi
yang kami lakukan.
Tiga Hari dan Mata Kuliah
Tiga hari lalu, saya berjumpa dengan teman saya, teman lama saya. Dari dia, saya belajar tentang banyak hal, antara lain, filsafat, politik, ekonomi, sejarah, dan juga agama. Sembari menikmati sajian teh poci, kami berdiskusi—dan, dia bilang kepada saya, "Vid, filsafat itu bukan sekadar mata kuliah, apalagi semata-mata huruf belaka. Begitu juga dengan manusia." Selalu saja, saya butuh waktu lama untuk memahami apa yang hendak dia sampaikan.
Subscribe to:
Posts (Atom)