Aku
menyesal menjelaskan hal demikian kepada seorang anak kecil: “Bagi kita, yang
disebut orang asing—hal ini mengingatkan aku pada kebijaksanaan orang-orang
Timur Tengah, khususnya Arab, sebagaimana yang disampaikan perempuan penyair
keturunan Amerika-Palestina Naomi Shihab Nye dalam sajaknya yang berjudul “Red
Brocate”—adalah orang-orang misterius, orang-orang yang tidak kita ketahui
asal-usulnya juga tujuan kehadiran mereka di hadapan kita; mereka dapat saja
berbuat jahat atau malah tidak sama sekali, tetapi adanya baiknya juga bila
kita melupakan sejenak apa yang hendak mereka lakukan terhadap kita. Andaikan
alam semesta adalah orang asing yang hadir di hadapan kita, maka pertanyaan
yang biasa kita ajukan (sambil mengingat tentang percakapan-percakapan yang
biasanya tercantum dalam pelajaran-pelajaran awal berbahasa asing): “dari mana
kau berasal?” Tetapi kita juga sadar bahwa alam semesta sama seperti batu atau
kuda, barangkali mereka—aku sesungguhnya tidak lagi mengerti apa yang hendak
aku sampaikan kepada anak kecil ini dengan kata “mereka”—mendengar
pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan; barangkali juga mereka menjawab
pertanyaan-pertanyaan kita, pastinya dengan bahasa yang tidak kita ketahui, dan
tentu saja: menjawab pertanyaan dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh
penanya sama saja berarti tidak memberi jawaban sama sekali (sialnya, malah-malah
meletup salah paham—aku ingat wawancara yang berisi istilah-istilah dan
penjelasan-penjelasan yang rumit dari narasumber demi menjawab sekaligus
menjelaskan “apakah memperkosa adalah perbuatan kriminal atau tidak?”).”
Sore
pada hari ketujuh hujan turun di kepalaku, aku memutuskan keluar dari kamar,
berjalan-jalan di taman yang berada sekitar 45 menit dari kamarku. Aku pikir,
musim kemarau akan tiba jika aku meninggalkan kamar dan menikmati sore di taman
yang dipenuhi remaja-remaja bermain sepakbola, para ibu yang berkeliling sambil
mendorong kereta bayi anaknya, juga pedagang-pedagang makanan kecil mulai dari
gorengan, siomay, hingga pedagang mie bakso (hujan memungkinkan keceriaan yang
berada di taman untuk sementara waktu berpindah ke dalam selimut atau dapur
umum—sebaliknya, kemarau membuat taman menjadi tempat yang paling menyenangkan
untuk berbagi keceriaan dengan orang-orang asing, meski mereka tidak pernah
saling sapa). Dalam perjalanan menuju taman, seorang anak kecil—aku tidak tahu
pasti, apakah hujan sudah berganti kemarau di dalam kepalaku—tiba-tiba muncul
dan bertanya: “Bagaimana matahari terbakar lalu panasnya sampai di bumi dan
menghasilkan pertanyaan di kepalaku?” Aku hanya sempat berpikir bahwa buku-buku
tentang ilmu alam pasti dapat menjawab pertanyaan bagaimana matahari terbakar
(aku bimbang apakah terbakarnya matahari karena reaksi fisi atau fusi), juga
bagaimana panasnya sampai di bumi (aku berfantasi: tampaknya gelombang-gelombang
panas yang melewati ruang hampa antara bumi dan matahari mirip seperti ombak
laut yang susul-menyusul, berkejar-kejaran menuju tepian pantai dan di tepian
itu seorang anak kecil tengah takjub mendengarkan debur ombak dan merasakan
hempasan air laut di kakinya—aku tidak akan berimajinasi, di ruang hampa, ada orang-orang
yang berselancar memanfaatkan ombak gelombang-gelombang panas). Sejak kehadiran
anak kecil itu di dalam kepalaku, aku tidak lagi peduli apakah kemarau sudah
terjadi atau malah hujan masih saja turun; selama dalam perjalanan, meski dia
sudah menghilang, aku hanya peduli pada pertanyaan anak kecil itu dan berusaha
memberikan jawaban, yang nantinya akan kusesali karena dua hal, yaitu (1)
jawaban yang kuberikan hanya menunjukkan kebodohanku dan (2) setelah lebih dari
90 menit aku berpikir demi menemukan dan memberikan jawaban yang hanya
menunjukkan kebodohanku, akhirnya aku sadar bahwa aku tidak sempat menanyakan
satu hal mendasar kepada anak kecil itu: “Kau berasal dari mana?”