Pada situs qureta (http://www.qureta.com/post/101-langkah-beriman-tanpa-homofobia),
saya membaca tulisan Ayu Utami tentang homoseksualitas dan seksualitas. Dalam
tulisan itu—seturut dengan pembacaan saya—Ayu mengajukan tiga tesis, yaitu (i)
kisah Sodom bukanlah kisah tentang homoseksualitas, melainkan kekerasan
seksual, (ii) hubungan seks sejenis bukanlah hal yang dibenarkan dalam Alkitab dan
(iii) tidak ada kemuliaan atau hal yang suci dalam hubungan seks. Terkait
metode, Ayu menggunakan metode—dalam bahasa saya—“membaca teks secara teliti
dan jangan buru-buru menyimpulkan.” Tulisan ini saya tujukan untuk memeriksa argumentasi-argumentasi
yang disampaikan Ayu dalam “10+1 Langkah Beriman tanpa Homofobia”.
Untuk mempertanggungjawabkan
tesis pertamanya, Ayu mengulas kisah Kejadian 18 & 19 secara kritis. Dari
kisah tersebut, tidak ditemukan fakta bahwa adanya pesta orgy kaum gay dan
adanya lelaki yang melambai. Kejadian 18 & 19 mengisahkan tentang dua orang
malaikat yang mendatangi rumah Lot; kemudian Lot meminta mereka menginap; lalu
di malam hari, orang-orang Sodom menggeruduk rumah Lot meminta secara paksa
agar Lot menyerahkan mereka yang menginap di rumahnya untuk dipakai atau
diperkosa; Lot menanggapi dengan jalan menawarkan dua putrinya; penggeruduk
rumah Lot tidak setuju, memaksa masuk ke rumah Lot; akhirnya, Lot diselamatkan
dua malaikat itu—dan Sodom pun hancur.
Sepintas, argumentasi pertama Ayu
sound. Konklusi kisah Sodom bukanlah
kisah homoseksualitas, melainkan kekerasan seksual ditopang oleh evidensi (i) orang-orang
Sodom mau memperkosa dua orang yang menginap di rumah Lot dan (ii) dua orang
yang menginap itu adalah orang baru atau asing. Bukankah tindakan memperkosa
dapat digolongkan tindakan kekerasan seksual? Tentu saja hal ini dapat dengan
mudah dibuktikan: apakah ada orang yang setuju diperkosa? Sejauh tindakan
persetubuhan dilakukan tanpa persetujuan salah satu pihak, maka itu adalah
kekerasan seksual.
Persoalan dalam argumentasi pertama
Ayu persis pada premis (ii). Premis (ii) merupakan reduksi atas kisah Kejadian
18 & 19. Sekiranya konsisten membaca narasi, maka dua orang yang menginap
di rumah Lot dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang
pertama, tentu saja sebagai orang asing atau baru, orang tanpa patron, orang
yang lemah sehingga dapat diperlakukan secara semena-mena. Inilah sudut
pandang, dalam istilah saya, warga Sodom. Ada pun sudut pandang kedua adalah
dua orang yang menginap di rumah Lot itu adalah malaikat, sebagai hal yang
mulia, sebagai hal yang suci—dan Ayu terang menuliskan “dua malaikat yang
tampak sebagai manusia”. Inilah sudut pandang “Lot”.
Kepada pembaca, dalam tulisannya,
Ayu tidak mengulas keberadaan sudut pandang “Lot”. Demi mendapatkan penjelasan
atas fenomena penggerudukan rumah Lot dan sikap Lot menawarkan dua putrinya
kepada mereka, Ayu beralih pada “teks-teks lainnya yang mengisahkan praktik
pemerkosaan atau pembunuhan terhadap orang yang tak punya patron.” Namun apakah
alasan itu dapat dipergunakan untuk menyangkal adanya sudut pandang “Lot” atau
memutuskan lebih memilih sudut pandang “warga Sodom” daripada “Lot” pada
dasarnya tidak begitu terang dalam tulisan Ayu. Dengan demikian, satu
pertanyaan yang penting, apakah Ayu menyadari adanya sudut pandang “Lot”—dan apa
jadinya sekiranya Ayu mengulas kisah Sodom dari sudut pandang itu? Di sisi
lain, kesadaran akan adanya dua sudut pandang berbeda, sudut pandang “Lot” dan
sudut pandang “warga Gomora”, tentu berdampak pada pemaparan tentang mengapa memilih
sudut pandang “warga Gomora” daripada “Lot” menjadi lebih terang. Tentunya, hal
ini mengandaikan saya tidak keliru memahami tulisan Ayu.
Sekiranya kita menggunakan sudut
pandang “Lot” yang mengakui ada yang suci, yang mulia, maka konklusi yang
dihasilkan tentu berbeda. Evidensi (i) orang-orang Sodom mau memperkosa dua
orang yang menginap di rumah Lot dan (ii) dua orang yang menginap itu adalah malaikat
yang tampak sebagai manusia akan menghasilkan kesimpulan (iii) kisah Sodom
adalah kisah orang-orang Sodom yang mau menodai hal yang suci—entah dalam
bentuk kekerasan seksual atau apa pun. Bukankah karena ada yang suci dalam diri
setiap manusia, maka penghargaan terhadap manusia menjadi penting? Atau,
semata-mata karena manusia, melalui proses evolusi-biologis tertentu sehingga
hadir di dunia—tentunya dengan dilengkapi oleh perangkat kesadaran yang disebut
rasio [meski tidak terlalu jelas apakah rasio ini adalah hasil evolusi materi
atau malah hal lain di luar materi]—maka manusia mestilah dihargai?
Argumentasi pertama Ayu merupakan
jalan bagi argumentasi kedua. Di bagian kedua, Ayu mencoba menjawab pertanyaan
tentang hubungan seks yang benar di hadapan Tuhan. Dari argumentasi pertama,
dengan sudut pandang “warga Sodom”, Ayu mendapatkan kualifikasi tanpa kekerasan
merupakan variabel bagi hubungan seks yang dibenarkan Tuhan. Lalu dengan
menghadirkan evidensi kisah Lot dan dua anak perempuannya, Yehuda dan Tamar, Boas
dan Rut, serta Onan dan Tamar—Ayu menambahkan variabel dari hubungan seks yang
benar adalah (i) demi meneruskan keturunan atau prokreasi, (ii) tidak egois. Dengan
demikian, Ayu menemukan bahwa hubungan seks yang benar di hadapan Tuhan adalah
hubungan seks (i) demi berketurunan, (ii) tanpa kekerasan, dan (iii) egois. Konklusi
ini selanjutnya menjadi dasar demi menyimpulkan: hubungan seks sejenis bukanlah
hal yang dibenarkan dalam Alkitab.
Bagi saya, ada yang menarik dari
argumentasi kedua Ayu. Pencarian akan hubungan seks yang benar di hadapan Tuhan
ditempatkan dalam kerangka menginferensikan status benar-tidaknya
homoseksualitas. Ayu mencari jalan memutar melalui kisah Lot dan dua anaknya,
Yehuda dan Tamar, Boas dan Rut, serta Onan dan Tamar—padahal, masih dalam
Alkitab, kitab Imamat 18 & 20 memberikan sikap yang lugas bagi kasus
homoseksualitas. Tentu Ayu punya pertimbangan sendiri tentang hal ini—dan saya pikir
upaya Ayu untuk membaca hubungan seks melalui kisah-kisah tersebut juga
menantang pikiran.
Di sisi lain, sekali lagi, argumentasi
kedua Ayu itu masih dalam bayang-bayang sudut pandang “warga Sodom”. Sekiranya
sudut pandang “Lot” dipertimbangkan, maka hubungan seks yang dibenarkan pada
dasarnya adalah yang tidak menodai kesucian, yang juga mencakup alasan
prokreasi, tanpa kekerasan, dan tidak egois. Lantas, apakah orang yang menodai
kesucian itu akan dihukum Tuhan, seperti yang dialami oleh Onan? Sejujurnya,
saya tidak tahu; sekiranya hukuman itu ada, maka itu adalah bagian Tuhan, hak
Tuhan—dalam pandangan saya, bukan manusia.
Tesis argumentasi ketiga Ayu
adalah tidak ada yang suci dalam hubungan seks. Kali ini, Ayu tidak
mendasarkannya pada kisah-kisah dari Alkitab. Ayu menggunakan evidensi dari apa
yang terjadi saat hubungan seks berlangsung. Karena yang terjadi dalam hubungan
seks adalah “memandangi pasangan dengan bernafsu, gairah untuk menguasai atau
dikuasasi, tindakan menjilat-jilat, menggigit-menghisap, meremas, mengucapkan
kata-kata tak pantas”, maka hubungan seks itu tidak mengenal ada hal yang suci
atau mulia. Saya cukup dapat meragukan konstruksi argumentasi ketiga ini.
Dari sudut pandang saya,
konstruksi argumentasi ketiga Ayu adalah demikian: “Karena (i) sudut pandang “warga
Sodom” yang tidak mengakui adanya yang suci dan (ii) yang terjadi dalam
hubungan seks adalah memandangi pasangan dengan bernafsu, gairah untuk
menguasai atau dikuasasi, tindakan menjilat-jilat, menggigit-menghisap,
meremas, mengucapkan kata-kata tak pantas, maka tidak ada yang mulia dalam
hubungan seks.” Karena itu, pola argumentasi ketiga dari Ayu mengandung
kesesatan atau bengkok (fallacy),
yaitu begging the question. Dalam
argumentasi ketiga, apa yang hendak dibuktikan dalam konklusi sudah terkandung
dalam premis. Dalam permodelan sederhana, argumentasi Ayu dapat dituliskan
dalam bentuk demikian: Karena ngebut-ngebutan penuh resiko, maka ngebut-ngebutan
itu berbahaya—tentu saja, kesimpulan ngebut-ngebutan itu berbahaya sudah terkandung
dalam premis ngebut-ngebutan itu penuh resiko; bagaimana mungkin hal berbahaya
tak mengandung resiko? Tentunya, sekiranya tidak ada yang suci dalam hubungan
seks, kita tak perlu membawa-bawa Tuhan. Dus, beranikah kita menarik implikasi
radikal dari konstruksi argumentasi Ayu—sebagaimana pernyataan Ayu: “Memang
butuh keberanian bagi orang beriman untuk mengakui bahwa hubungan seks yang ia
lakukan bukan sesuatu yang suci-mulia”—memang dibutuhkan keberanian untuk
menyatakan tidak ada yang suci di dunia, entah itu cinta atau malaikat atau Tuhan
atau tulisan atau manusia.
Beranikah? Saya pribadi,
sebagaimana ternyatakan dalam tulisan ini, mengakui ada hal yang suci. Levinas
melalui pemikirannya tentang yang-etis menyatakan bahwa hal yang suci itu,
sejatinya, berdiam (dwelling) dalam
manusia. Sebagai manusia, saya tak punya kuasa untuk menghilangkannya—dan semoga
saya juga tak kuasa untuk mengabaikannya.