The study of mathematics is, if an unprofitable, a perfectly harmless
and innocent occupations.
G.H. Hardy (1877-1947)
A Mathematician’s Apology merupakan esai yang ditulis oleh
matematikawan Oxford, Inggris, G.H. Hardy demi mempertanggungjawabkan dua hal
mendasar. Pertama, posisinya sebagai matematikawan yang menulis apologia.
Kedua, posisi matematika sebagai ilmu yang menempati posisi lebih utama dari
filsafat, secara spesifik, metafisika, dan fisika.
Apologi pertama menyangkut posisi
Hardy sebagai matematikawan yang menulis apologia. Menurut Hardy, hal ini perlu
dipertanggungjawabkan karena, alih-alih menulis apologia, pekerjaan utama
matematikawan adalah “membuktikan teorema-teorema yang baru, menambahkan topik
baru dalam matematika, dan bukan berbicara tentang pencapaian matematikawan
pada masa sebelum.” Sekiranya hal-hal itu adalah pekerjaan utama matematikawan,
maka apa yang dilakukan Hardy dengan menulis apologia adalah merendahkan
dirinya sendiri, menempatkan dirinya sekelas dengan apa yang disebutnya sebagai
“nalar kelas-dua”, nalar yang bekerja dalam diri “orang-orang yang menghasilkan
eksposisi, kritik atau apresiasi atas suatu karya seni atau pemikiran manusia.”
Tentu saja, Hardy bukanlah orang dengan “nalar kelas-dua,” sebagaimana saya
yang menulis kilas-pandang atas kitab A
Mathematician’s Apology. Hardy adalah orang dengan “nalar kualitas-unggul”.
Sekiranya Hardy adalah orang
dengan “nalar kualitas-unggul”, lantas apa alasannya sehingga ia rela
menurunkan kelas menjadi “nalar kelas-dua”? Alasannya: usia. Saat menulis A Mathematician’s Apology pada 1940,
tujuh tahun sebelum ia meninggal dunia pada 1 Desember 1947, Hardy menapak usia
63 tahun. Apa yang berharga di balik usia itu tidak lain adalah “kesegaran
pikiran, enerji, kesabaran menanggung beban pekerjaan.” Hardy berani menegaskan
demikian, “Seharusnya, tak satu matematikawan pun yang membiarkan dirinya lupa
bahwa matematika, lebih dari ilmu apa pun, adalah mainan bagi orang muda.”
Matematikawan tidak dapat melawan
usia tua. Bahkan, matematikawan-cum-fisikawan Isaac Newton pun punya masa
keemasan. Gagasan-gagasan besarnya, yang terkenal: hukum gravitasi, lahir pada
saat Newton berusia 24 tahun—dan ceritanya menjadi lain ketika Newton berusia
50 tahun. Sekiranya tak sempat menginjak usia senja, pilihan lain bagi
matematikawan yang brilian adalah mati. Kolega karib Hardy, matematikawan
genius dari India, Srinivasan Ramanujan, wafat pada usia 33 tahun; lainnya,
Riemann wafat pada usia 40, Abel wafat pada usia 27 tahun dan Galois wafat pada
usia 21 tahun. Sejauh apa pun ambisi para matematikawan, usia adalah hal yang
tidak bisa dilawan.
G.H. Hardy (1877-1947)
Apologia kedua berkenaan dengan
posisi matematika sebagai ilmu yang menempati posisi lebih utama dari filsafat qua metafisika dan fisika. Sebelum
memberi pertanggungjawaban akan hal itu, Hardy terlebih dahulu menjelaskan apa
yang dicari matematikawan. Bagi Hardy, tugas utama matematika adalah menemukan
(i) teorema yang tidak hanya berkualitas (ii) “serius” namun juga (iii) “mendalam.”
Teorema adalah pernyataan yang sudah terbukti dengan berdasarkan pada
pernyataan sebelumnya. Misalnya, teorema Phytagoras sudah terbukti dengan
pertanyaan menyangkut luasan bujursangkar. Kriteria “serius” menyangkut
kualitas persoalan yang ditangani. Bagi Hardy, persoalan matematika “serius”
lebih bernilai dari pada sekadar pemecahan masalah sebagaimana yang ditemukan
dalam permainan catur. Persoalan catur memang menawarkan kepelikan tersendiri;
namun hal itu tidak seberapa bila dibandingkan dengan matematika—ke-“serius”-an
persoalan matematika terletak pada daya kreativitas matematikawan menggunakan
ide-ide dasar matematika demi menemukan realitas [matematika]. Kriteria
“mendalam” mengacu kepada ke-dalam-an gagasan yang dipergunakan. Hardy
memberikan ilustrasi demikian tentang hal ini: “gagasan bilangan irasional
lebih mendalam dari pada integer; teorema Phytagoras, karena itu, lebih
mendalam dari Euklid.”
Matematikawan menemukan teorema
yang “serius” dan “mendalam” dengan menggunakan gagasan (ideas), yang mewujud sebagai angka atau bangun-ruang. Penataan
gagasan-gagasan secara koheren demi membuktikan suatu teorema juga menuntut
adanya keindahan pada argumen yang disajikan. Di sinilah, Hardy melihat
kemiripan antara matematikawan, penyair dan musisi: ketiga mencari keindahan di
mana keindahan itu lahir kecintaan pada pola. “Matematikawan, sebagaimana
pelukis atau penyair, adalah pembuat pola. Sekiranya pola-pola mereka lebih permanen
daripada mereka sendiri, hal itu karena pola-pola itu terbuat dari
gagasan-gagasan.”
Dari pekerjaan yang dilakukan,
Hardy menunjukkan kualitas yang mesti ada dalam diri setiap matematikawan.
Matematikawan adalah orang yang bersedia mengembangkan nalarnya hingga mencapai
kualitas unggul atau genius. Untuk itu, seorang yang bertalenta dalam bidang
matematika mestilah memiliki (i) keingintahuan intelektual, hasrat menemukan
kebenaran, (ii) kebanggaan akan profesi yang dipilihnya, (iii) tidak lekas
berpuas diri atas apa yang telah dicapai, (iv) malu sekiranya apa yang
dihasilkan tidak setara dengan talenta yang dimiliki dan (v) memiliki ambisi,
entah demi reputasi, posisi, atau pundi finansial—bahkan, Hardy menyatakan: “ambisi
senantiasa menjadi tenaga penggerak di balik hampir semua maha karya yang ada
di dunia.” Hardy sama sekali tidak menekankan tentang motif kemanusiaan yang
bekerja di dalam diri seorang matematikawan—suatu motif yang tampak nyata dalam
ilmu-ilmu agama, filsafat, bahkan aktivisme sosial.
Kesadaran akan “bahan baku” dan
“hasil akhir” dari matematika adalah dasar argumentasi Hardy membuktikan
keunggulan matematika dari filsafat qua
metafisika dan ilmu fisika. Pertama, dari sudut permanensi. Dibandingkan dengan
fisika, pengetahuan matematika lebih permanen atau lebih tetap. Hal ini
dikarenakan fisika masih mengandalkan observasi inderawi; ada pun matematika
tidak mengandalkan observasi inderawi. Matematika memberi ruang bagi penggunaan
observasi inderawi—namun, hal itu sebatas metode pengajaran, bukan substansi
matematika itu sendiri. Kedua, dari sudut kegunaan. Berbeda dari filsafat,
secara khusus metafisika, Hardy menilai matematika lebih berguna. Kegunaan
matematika tampak dalam matematika terapan (applied
mathematics); wilayah yang berbeda dari matematika murni (pure mathematics). Metafisika, bagi
Hardy, tidak memiliki kegunaan praktis. Tentu saja, kita tidak perlu tahu apa
itu konsep “ada” (being) atau
“keberadaan” (existence) sewaktu
berbelanja—namun, kita mestilah tahu berapa 100 ribu dikurangi 30 ribu sewaktu
berbelanja, dan itu adalah matematika. Ketiga, ilmu lain membutuhkan
matematika. Tampaknya keberhasilan ilmu-ilmu lain, semisal fisika, kimia,
biologi, fisiologi, ekonomi, dst., mensyaratkan campur tangan matematika. Tanpa
matematika, ilmu bersangkutan akan kehilangan kualifikasi sebagai
ilmu—barangkali, dapat terkategori dalam filsafat atau agama.
Keempat, realitas matematika itu
lebih nyata daripada realitas fisika. Prima facie realitas fisika lebih nyata
dari realitas matematika. Namun sekiranya diperhatikan lebih cermat, kursi yang
ada di hadapan kita, dari sudut pandang fisika, tidak lain adalah elektron yang
mengorbit di dalam ruang hampa. Persis di saat kita menyadari hal ini, maka
pengetahuan kita akan realitas fisika sebagai realitas yang terobservasi secara
indrawi terguncang. Realitas fisika tidak lain adalah ketiadaan. Hal ini
berbeda dari realitas matematika. Realitas matematika, menurut keyakinan Hardy,
berada di luar diri—Hardy menegaskan bahwa alih-alih mengikuti pandangan
‘idealistik’, ia meyakini pandangan ‘realistik’ akan matematika.
Kelima, dari sudut ada/tidaknya
kekerasan (harmness). Tidak seperti
filsafat dan fisika yang berpotensi menghasilkan kekerasan—kita saksikan
bagaimana filsafat Nietzsche melatari pemikiran Adolf Hitler yang berdampak
pada holocaust; kita juga saksikan
bagaimana formulasi fisika nuklir berdampak pada kematian jutaan orang di
Hiroshima dan Nagasaki—matematika murni tidak mengandung kekerasan. Matematika
murni adalah matematika yang tidak memiliki kegunaan praktis, sepenuhnya daya
kreatif matematikawan untuk menemukan teorema yang “serius” dan “mendalam”.
Hardy menyatakan demikian, “Matematika sejati tak menghasilkan perang.”
Pada akhir apologianya, dari
sudut kegunaan praktis, Hardy sadar bahwa dedikasi hidup pada matematika adalah
kesia-siaan. Entah disadari atau tidak, Hardy telah menyelipkan pertanyaan
mendasar bagi orang-orang yang hidup di zaman kapitalisme-akhir (late capitalism): apakah pengetahuan (knowledge) atau ilmu (science) diukur semata-mata dari
kegunaan praktis? Hardy—entah sebagai perwujudan sikap egoistik atau malah
kerendah-hatian—menyatakan demikian: “The
case for my life…is this: that I have added something to knowledge, and helped
others to add more; and that these somethings have a value which differs in
degree only, and not in kind, from that of the creations of the great
mathematicians, or of any of the other artists, great or small, who have left
some kind of memorial behind them.”