Niccolo Machiavelli (1469-1527) mengkonstruksikan pemikiran politik modern pada dua konsepsi fundamental: virtue dan fortuna. Virtue adalah kecakapan subjek untuk membaca ancaman fatalistik yang mungkin menimpa dirinya sekaligus mentransformasinya menjadi suatu langkah kalkulatif untuk menghilangkan atau membelokkan ancaman. Fortuna adalah segala sesuatu yang berada di luar kendali subjek, entah bersifat merugikan atau menguntungkan. Dari sudut pandang demikian, politik adalah keselarasan antara virtue dan fortuna. Dalam pembacaan metafisika Aristotelian, politik adalah kemanunggalan antara materialitas dan forma, hylemorfisme. Dalam kerangka Kantian, politik adalah a priori-aposteriori, schema-content. Dalam pembacan Hegellian, politik adalah manifestasi Roh, Absolutisme. Dalam terang pikiran Platon, politik adalah yang-visible dan yang-invisible.
Secara bebas dan semena-mena, pemikiran politik Machiavelli dan politik an sich berada dalam tegangan antara yang-visible dan yang-invisible; dalam bahasa epistemologis: nafas politik adalah antara doxa dan episteme. Pada tingkatan paling praktis, misalnya yang ada di sebuah gedung miring yang berada di bilangan Senayan,
Dari kerangka pemikiran demikian, orientasi politik Machiavellian adalah kekuasaan dan keselamatan. Peraihan kekuasaan ditujukan untuk menyelamatkan, utamanya diri sendiri, kemudian, kalau beruntung,
Kepahlawanan atau ketumbalan pemimpin diuji dalam perang. Machiavelli memang mengharuskan adanya pelaksanaan perang dalam kehidupan bernegara. Jika tidak, maka tentara adalah sesuatu yang sia-sia. Bagi Machiavelli, tentara adalah sesuatu yang lebih nyata dari hukum. Artinya: keadilan hanya dapat tegak dengan senjata! Dari sini, Perang Dunia II terbaca sebagai ekspresi Hitlerian untuk menegakkan keadilan di muka dunia. Sebuah cita-cita, sekaligus tipu daya. Sebuah kehendak berkuasa, sekaligus, barangkali harapan agar ras Arya tidak punah.
Jahanamnya, Perang Dunia II menyebar ketakutan yang luar biasa. Kehidupan yang pada awalnya berjarak dengan kematian, mendadak menyatu. Ekspansi tentara Hitler tidak hanya menghancurkan hayat menjadi mayat pada tera antropologis, melainkan juga merebak ke ranah ekonomis. Perekonomian di negara-negara yang berlibat pada Perang Dunia II rontok karena kebijakan keuangan menempatkan pembiayaan perang di atas pembiayaan lainnya. Naasnya, perang yang dibiayai itu bukanlah perang yang produktif, melainkan perang yang konsumtif. Perang konsumtif yang bersifat destruktif, secara diam dan perlahan menggerogoti pasar sebagai fundamen perekonomian yang lahir dari transaksi perdagangan. Ekonomi Eropa dan Amerika krisis.
Naga-naganya, badai krisis ekonomi Eropa dan Amerika sudah mampu dibaca secara rasional sebelum Hitler bertekuklutut. Virtue yang lahir dari kejelian 44 anggota PBB dalam pertemuan United Nation Monetary and Financial Conference al. Bretton Woods Conference pada tahun 1944 menghasilkan institusi yang bernama International Bank for Reconstruction and Development yang juga dikenal sebagai World Bank. Dari namanya saja sudah ketahuanlah bahwa tujuan pendirian institusi itu adalah demi rekonstruksi dan pembangunan negara-negara yang hancur akibat Perang Dunia II. Sebuah cita-cita mulia, dan tentunya sekaligus motif jahanam perdagangan. Bagi mereka yang berada di luar konteks sejarah yang demikian, misalnya saja saya, pendirian organisasi begitu melukiskan betapa manusia secara hakiki harus hidup saling membantu. Tetapi, agak konspiratif, saya pun bisa berpikir bahwa bantuan rekonstruksi dan pembangunan adalah bagian untuk menghidupkan kembali pasar yang sudah hancur agar negara-negara yang produsen masih bisa memasarkan komoditinya. Ya, sebuah niat untuk menyelamatkan diri memang menggampangkan orang untuk berkelompok dan bersependapat.
Sekarang-sekarang ini, World Bank tengah repot mengisi jajaran eksekutifnya. Salah satu kandidat pengisi posisi eksekutif World Bank adalah Menteri Keuangan Republik
[1] David Tobing: “Barangkali saja Ibu tidak bersalah. Tetapi, adalah sulit menerima bagi saya untuk menerima kenyataan bahwa tidak ada masalah (baca: tidak ada yang salah) dalam pengucuran dana Rp6,7 triliun untuk membantu keuangan Bank Century.”
tumbal yang tak punya fortune sebesar SMI, hah?
ReplyDeletePertama, gua tak meniatkan implikasi yang begitu. Belum dapat dipastikan bahwa SMI adalah tumbal atau pahlawan; sebab yang jelas adalah sedang ada pertempuran dahsyat antara eksekutif (baca: koalisi) dan legislatif (baca: oposisi). Dalam kerangka pertempuran itu, jika SMI tidak berada di arena pertempuran, sedangkan 1) pertempuran yang terjadi sulit diredakan dan 2) pahlawan dan tumbal adalah keniscayaan, maka kepahlawanan sekaligus pengorbanan menjadi suatu ritual yang niscaya di mana pahlawan dan korban itu adalah mereka-mereka yang masih berada di medan pertempuran.
ReplyDeleteKedua, kalau memang terbaca implikasi sebagaimana yang kau maksud, tidak salah juga karena tulisan ini memang terlalu liar. Fortune bagi SMI adalah pinangan Bank Dunia terhadap dirinya, yang notabene dan tak dapat dipungkiri sedang terjerat problem politik dalam negeri; ada pun virtue SMI sepanjang itu menyangkut keputusannya menerima pinangan Bank Dunia dan melepaskan jabatan Menteri Keuangan.
Ketiga, SMI bisa saja tidak bersalah. Tetapi, bailout Bank Century Rp 6,7 triliun sulit untuk dinyatakan layak. Alasannya: i) dari awal proses pembentukan banyak Bank Century hingga laporan keuangan Bank Century selalu dimanipulasi [dalam masalah ini, persoalan pengawasan Bank Indonesia yang korup adalah sentralnya]; ii) informasi tentang posisi Marsilam Simanjuntak dalam Rapat KSSK yang tak pernah jelas, apakah diperintah Presiden (versi SMI kehadiran Marsilam adalah perintah Presiden, representasi UPK3R) atau tidak (versi Presiden yang disampaikan Juru Bicaranya: kehadiran Marsilam sama sekali tidak ada hubngannya dengan Presiden), artinya ada kekacauan informasi [setahu aku, kekacauan informasi adalah sesuatu yang khas perang urat syarat, dunia intelijen untuk menghilangkan jejak; problemnya, siapa yang sengaja mengacaukan informasi itu?]
Di sisi lain, kebijakan ekonomi bail out Rp6,7 triliun yang begitu gampang diberikan kepada korporasi yang korup adalah pukulan telak bagi kehidupan rakyat biasa di mana untuk mendapatkan pinjaman di bawah Rp5 juta saja, rakyat tidak bisa karena tak punya jaminan [aku lupa, tetapi ada tulisan Syafii Maarif di Opini-Kompas, tanggalnya aku lupa, berkisah tentang pertemuannya dengan seorang buruh yang tak bisa mendapatkan pinjaman dari bank karena tak punya jaminan. Sementara itu, si buruh sadar bahwa pemerintah dapat dengan gampangnya, dalam hitungan menit--bahkan detik (frase yang sering dipergunakan oleh orang-orang atau kelompok yang mendukung kebijakan bailout)--memberi bantuan Rp6,7 triliun bagi korporasi. Syafii Maarif dalam tulisannya menyatakan dia hanya bisa diam, tak bisa menjelaskan, dan memang ada problem keadilan sosial dalam kebijakan ekonomi]
Terimakasih
David, seketika saya jadi berpikir apa memang pilihannya hanya dua ya? Tumbal dan pahlawan? Tak adakah lainnya? Saya berharap kau katakan ‘Ada’. Dua kata beracun itu hampir punya makna rasa yang sama. Tak bersalah.
ReplyDeleteBaiklah tinggalkan permintaan saya di atas.
Penonton mendadak menjadi pecundang saat pelaku panggung pergi sebelum kisah berakhir. Atau jika ini memang akhir, ini adalah akhir yang paling dramatis! Bukan pada cerita, tapi pada pengunjung yang sudah membeli lunas tiketnya. Warga negara mendadak menjadi orang yang paling sia-sia telah hidup di bumi pertiwi ini. Bah.
Mit,
ReplyDeleteKalau merujuk pada Machiavelli, pilihannya cuma dua: 1) Pahlawan atau 2) Tumbal, yang dalam bahasa patriotik pra-kemerdekaan doeloe Merdeka atau Mati!
Ada multiperspektif dalam kasus ini, Mit. Ini yang membuat tulisanku rada-rada berkabut.
1) Dari perspektif Sri Mulyani
2) Dari perspektif eksekutif (baca: Koalisi)
3) Dari perspektif legislatif (baca: Oposisi + beragam variannya).
Mit,
gua cuma bisa mengutip apa yang diucapkan Karlina Supelli: "Politik tidak dapat sepenuhnya kita serahkan pada politikus. Warga negara harus turut serta berpartisipasi Politik."
Selama warga negara adalah penonton, "Bah" adalah respon yang tepat dan sungguh akurat. Tetapi, selama warga negara adalah pelaku, tampaknya masih banyak yang harus dipertimbangkan, atau paling tidak: "Bah" hanyalah salah satu solusi.
Mit,
gua juga sedang belajar bagaimana sesungguhnya menjadi warga negara yang baik dan benar di republik busyet dan menyebalkan.
Tabik.