Saya membaca,
tepatnya melihat, ya melihat,empat artikel pada rubrik OPINI
harian Kompas pada hari ini, maksud saya Senin,9 September 2012—barangkali,
saya melihat(ya, bukan membaca): empat artikel ini adalah hadiah
ulang tahun bagi Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Untuk
sejenak, saya harap sidang pembaca melupakan sejenak cara lihat saya yang
menyimpulkan bahwa empat opini yang di harian Kompas hari ini adalah hadiah
ulang tahun—sesungguhnya, saya berniat menjadikan perihal ulang tahun sebagai
inti dari tulisan ini, namun setelah saya berpikir lebih matang,saya putuskan
menjadikan perihal ulang tahun sebagai bumbu atau sampiran dalam tulisan
ini—sekadar catatan, menurut Sutardji, sampiran di dalam pantun hanyaberisi
omong kosong atau non-sense!!!
Opini
pertama yangsaya baca, tepatnya saya lihat, adalah opini yang
ditulis W Riawan Tjandra, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta.Opini dia berjudul: Republik Kartel. Inti dari opini yang bercorak
realis itu adalah hanya merumuskan kembali tesis bahwa Indonesia adalah
republik kartel dimana kartel politik dan ekonomi bersimbosis melestarikan
habitus korupsi. Saya kutipkan kalimatnya: “Siklus kekuasaan telah menjerat
para elite dalamsindikasi korupsi, menjadikan dirinya bagian dari kartel
politik yangbersimbiosis dengan kartel ekonomi yang melembagakan habitus
koruptif.” Dalam hati, sungguh, dengan segala kedunguan yang saya miliki, saya
bertanya: “Apakah masih penting hal demikian ditulis dan diungkapkan? Bukankah
mengungkapkan hal yang sudah jelas, setidaknya jika setiap orang yang memiliki
kecerdasan lebih di atas saya (mohon maaf, saya pribadi menilai kecerdasan saya
sungguh sangat rendah, dan bahkan saya sering mengutuki diri saya sendiri
sebagai orang yang tolol luar biasa), lalu orang yang lebih cerdas dari saya
itu meluangkan waktunya kira-kira seminggu untuk melihat kembali apa yang
terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun terakhir, maka dugaan
saya: adalah sulit untuk tidak menemukan apa yang ditulis oleh Tjandra dalam
opini di harian Kompas.”
Opini
kedua yang saya baca, tepatnya saya lihat, adalah opini yang
ditulis Donny Gahral Adian, dosen filsafat politik UI (saya sedikit heran saat
membaca hal ini: sesungguhnya apa beda atribut “dosen” pada Adian dan
“pengajar” padaTjandra), yang berjudul: Lupakan Jokowi. Sejujurnya saya heran
dengan opini yang bercorak idealis ini—sebelum saya jelaskan keheranan saya,
saya jelaskan dulu apa yang saya maksud dengan “opini bercorak idealis.” Sesuai
yang saya lihat, opini Adian hanya mengungkapkan obsesi pribadinya yang
mengidamkan situasi politik yang kompleks, bukan yangsederhana. Situasi politik
kompleks adalah situasi di mana partai politik punya kader berlimpah untuk
selanjutnya kader-kader yang ada berkompetisi,sebagaimana konvensi Partai
Demokrat di Amerika Serikat sana yang dulu menduelkan Hillary Clinton dan
Barack Obama. Lantas apa yang saya herankan? Dibandingkan opini pertama yang
bercorak realis, opini Adian yang bercorak idealis ini malah membingungkan
saya: bukankah PDI-P, yang menjadi batu sendi bukti empiris dalam tulisannya,
adalah partai feodal—tentu dengan segala kelebihan dankekurangannya (ketika
menuliskan “tentu dengan segala kelebihan dan kekurangannya,” saya merasa hadir
sebagai seorang yang santun dalam tulisan ini), partai yang secara radikal
menempatkan keturunan Soekarno sebagai patron yang tak tergantikan selain oleh
keturunan Soekarno itu sendiri? Ok-lah,Adian dapat saja berkelit dengan bilang:
“Opini saya tidak mempersoalkan kader-kader yang akan menjadi Ketua Umum di
PDI-P, melainkan kemampuan partai menghasilkan kader-kader yang dapat menjadi
presiden?” Atas sanggahan demikian,saya hanya akan menjawab: “Saya terlalu
dungu untuk memahami sanggahan demikian.” (sejujurnya, saya mau menulis:
“Bukankah sanggahan Anda adalah omongkosong belaka? Bagaimana mungkin Anda
dapat mengajukan gagasan demokrasi yang mewujud dalam kompetisi melalui format
konvensi calon presiden demi menyaring kader-kader terbaik partai untuk
dimajukan sebagai calon presiden dan di saat bersamaan tidak berbicara apa-apa
tentang gagasan demokrasi dalam pemilihan Ketua Umum, yang tentunya tidak
hanyamendasarkan justifikasi kepada jumlah suara, melainkan prasyarat kultural
dari demokrasi itu sendiri, yaitu egalitarian?”
Opini
ketiga datang dari Salahuddin Wahid, pengasuh pesantren Tebuireng, yang
berjudul: Mengalahkan Meksiko dan Spanyol. Saya sulit memahami hal-hal
menyangkut produk domestikbruto (PDB) yang dituliskan Wahid. Bagi saya, segala hal yang menyangkut
Dahlan Iskan, konvensi Partai Demokrat, empat program Dahlan Iskan jika
terpilih menjadi Presiden 2014 adalah omong kosong. Yang saya lihat,
bukan saya baca,hal yang penting dalam opini Wahid adalah tulisan
demikian (saya kutipkan):“Pada 2011 penerimaan Pemerintah RI 134 M dollar AS,
sedangkan penerimaan Pemerintah Belanda 381 M dollar AS. Pengeluaran RI pada
2011 adalah 144 M dollar AS (defisit 10 M dollar AS), dan pengeluaran Belanda
420 M dollar AS(defisit 39 M dollar AS). [Bagian berikutnya, menurut saya,
paling menarik:] Bayangkan, betapa timpangnya.Pendapatan Belanda yang
luasnya sekitar 42.000 kilometer persegi dan penduduk hampir 17 juta orang bisa
285 persen lebih besar dari pendapatan RI. Padahal, RI punya luas daratan
hampir 50 kali luas daratan Belanda, ditambah laut yang luasnya sekitar 4 juta
kilometer dan punya penduduk 14 kali lebih banyak.” Sebagai orang dungu, saya
lihat opini Wahid yang bercorak realis ini mau bicara tentang berapa banyak
pendapatan negara yang hilang—dan barangkali Tjandra dapat lebih paham secara
utuh mengapa terjadi Republik Kartel. Saya yang dungu ini saja dapat
berimajinasi bahwa seharusnya dan niscaya penerimaan RI,
denganluasan wilayah (belum lagi kalau bicara tentang potensi tambang dan
lainnya), banyaknyajumlah penduduk, lebih dari atau paling tidak sama dengan
penerimaan pemerintah Belanda. Jika asumsi demikian, secara realis benar, maka
kehilangan penerimaan negara sebesar 241 M dollar AS (selisih antara penerimaan
RI dan Belanda pada2011) itulah yang menjadi dasar tesis Republik Kartel dari
Tjandra.
Opini
terakhir,dari Fachry Ali, disebutkan sebagai “salah satu pendiri Lembaga Studi
danPengembangan Etika Usaha Indonesia” (jujur, saya tidak tahu ini lembaga
apa), berjudul: Negara dan Politik Mata Uang. Bagi saya, yang penting pada
opini Alijustu ilustrasi dari Jitet (Anda harus melihat secara langsung
ilustrasi yang saya maksudkan, saya berharap deskripsi saya dapat membantu
pembaca "melihat" ilustrasi Jitet secara tidak langsung). Ilustrasi
Jitet menggambarkan seorang bertopi, berbaju,berkaos kaki, dan bersepatu biru,
dengan tangan kanan yang memegang telepon pada telinga kanan dan tangan kiri
menyandang tas belanja bergambarkan huruf “I” (=saya) dan ikon cinta yang di
dalamnya bertuliskan “Rp”, lalu pada topi, baju, celana, kaos kaki, sepatu dan
barang-barang yang berada di tas belanjaannya menjulur label harga yang
bersimbolkan dollar AS. Ilustrasi ini mengingatkan saya pada ekonom A
Prasetyantoko, yang jauh-jauh hari, kalau tidak salah di tahun 2003 atau 2004,
mengajukan tesis: Indonesia bukan lagi negara produksi, melainkan negara
distribusi di mana jantung dari negara distribusi adalah konsumsi. Ya,
konsumsi—mengkonsumsi segala hal dari mana saja, mengimpor demi memenuhi
kebutuhan konsumen.
Terakhir, dan ini di luar dari empat opini yang
ada. Opini terakhir, opini yang hanya hadir dalamKompas Siang, opini dari
Fatchul Anam Nurlaili, “advisor” Puspanegara Research Community, yang berjudul:
Menggagas Swasembada Kedelai. Saya semakin heran,“Bukankah Prasetyantoko, dalam
konteks yang lebih umum, pada 2003/2004, bicaratentang ekonomi Indonesia yang
tidak lagi bersendi pada produksi, melainkandistribusi dan konsumsi, masih
memungkinkan kita berbicara tentang swasembadakedelai? Sungguh, saya heran
total setotal-totalnya.” [Frase "total setotal-totalnya" adalah frase
yang saya peroleh dari duet-penyiar Motion FM, Hilbram Dunar dan Miung, yang
selalu mengudara seudara-udaranya dari pukul 06-00 hingga 10.00 saban Senin
hingga Jumat.]
Setidaknya ada dua hal yang menyenangkan hati
saya hari ini. Pertama, membaca (kali ini saya benar-benar membaca, tepatnya:
membaca secara cepat) terjemahan buku karangan Rudolf Mrázek yang berjudul Sjahrir:
Politik dan Pengasingan di Indonesia. Kedua, artikel Paul Budi Kleden yang
berjudul “Pandangan Johann Baptist Metz tentang Politik Perdamaian Berbasis Compassio”
dalam Jurnal Filsafat danTeologi Diskursus Vol. 12 No.1, April2013.