Saya bertanya
kepada teman saya, “Bagaimana pendapatmu tentang krisis kedelai?” Dia menjawab [saya
bingung apakah jawaban teman saya sederhana atau rumit]: “Siapa yang dirugikan
dalam masalah ini? Petani kedelai? Tentu tidak. Alasannya sederhana, silakan kau
cari sendiri data produksi kedelai, luasan lahan kedelai dalam kurun waktu 5
hingga 10 tahun [dan entah mengapa “kurun waktu 5 hingga 10 tahun” ini malah
menyampaikan sesuatu yang lain dalam benak saya]—satu lagi, jangan lupa kau
sertakan visi pemerintah tentang swasembada kedelai. [Ketika saya berniat
mencari data itu melalui google.com, teman saya langsung melanjutkan
penjelasan:] Jika kau temukan, maka produksi dan luasan lahan kedelai cenderung
menurun dari tahun ke tahun—bahkan, kalau saya tidak keliru, juga terjadi
perubahan lahan pertanian menjadi lahan industri; di saat bersamaan, dengan
penurunan produksi dan luasan lahan penanaman kedelai, yang diikuti dengan
meningkatnya lahan industri, pemerintah merasa masih tetap berada dalam jalan
tepat demi mewujudkan visi swasembada kedelai. Karena itu, tidak ada satu
petani pun yang dirugikan ketika krisis kedelai terjadi! [Dalam pikiran saya,
“Ok, petani tidak dirugikan dalam krisis kedelai—karena, krisis kedelai adalah
krisis suplai kedelai. Tetapi, bagaimana dengan konsumen?” Entah dengan cara
bagaimana, seakan-akan teman saya mengetahui apa yang ada dalam pikiran saya,
sebab ia langsung melanjutkan penjelasannya:] Lantas, apakah krisis kedelai
merugikan konsumen? Pembuktiannya sederhana, jika kau lapar kemudian masuk ke
dalam warung makanan dan seketika kau tidak menemukan kedelai, dalam hal ini
tentu saja dalam bentuk menu tempe goreng, tempe orek, tahu dan lainnya,
pertanyaan aku sederhana saja: apakah hanya karena tidak ada menu berbahan
kedelai, maka kau tidak makan? Tentunya, kau pasti makan. Atau, jika kau
pedagang rumah makan dan tidak menemukan kedelai di pasaran, pertanyaannya:
apakah kau akan menutup usahamu? Karena itu, satu-satunya kelompok yang
dirugikan—dan tentunya mereka yang akan berdemo nanti—adalah kelompok pengusaha
makanan berbahan baku kedelai. Mereka inilah yang dirugikan. Tidak ada petani
atau konsumen—dalam hal ini, ‘konsumen’ mengacu kepada orang-orang yang makan
di warung atau pengusaha warung makan. Mereka yang dirugikan adalah pengusaha
yang menggunakan bahan baku kedelai. Selanjutnya, dan ini adalah bagian paling
penting, yaitu: siapa yang diuntungkan dari krisis kedelai. Jawabannya
sederhana: krisis kedelai adalah krisis suplai—yang, sama sekali tidak ada
hubungannya dengan persoalan petani, misalnya gagal panen. Karena itu, jika kau
punya kecerdasan di atas rata-rata, maka krisis kedelai sebagai krisis suplai
hanya menguntungkan importir kedelai. Itu saja. Aku tidak tahu persis berapa
margin keuntungan total dari impor kedelai—tetapi, rata-rata usaha impor ini
memberikan keuntungan kotor 40 persen. Ini belum lagi kita bicara tentang pajak
impor—kalau aku tidak keliru, tahun lalu, karena krisis kedelai, impor kedelai
menjadi bebas pajak. Jika sudah demikian, kau hanya perlu cari tahu berapa duit
yang berputar dalam bisnis impor kedelai. Itu saja. Dan kalau kau mau kreatif,
silahkan cari impor bahan pangan lainnya, misalnya daging dan lainnya.
Sederhananya, dalam tempo 5 hingga 10 tahun ini [entah mengapa, kali ini teman
saya memberi penekanan khusus pada kata-kata ‘dalam tempo 5 hingga 10 tahun
ini’] barangkali sudah ada tiga mobil mercedez benz yang sudah dapat dibeli
hanya dengan mengandalkan krisis kedelai. Yang jelas, mercedez benz itu bukan
punya petani.”
No comments:
Post a Comment