Monumen Puisi Agam Wispi:
Telaah Singkat Atas Puisi
“Matinya Seorang Petani (Buat L. Darman Tambunan)”
Puisi
dan realitas adalah dua ranah yang antagonis. Di satu sisi, puisi punya
kecenderungan menegasi realitas—di sisi lainnya, puisi berniat menjadi
realitas. Secara sederhana, puisi yang berniat[1]
menegasi realitas menjelma dalam prinsip kesenian “seni demi seni”; ada pun puisi yang berniat menjadi realitas
menjelma dalam prinsip kesenian “seni
demi masyarakat”. Di antara dua kutub ekstrem itu, puisi-puisi Agam Wispi
berada pada kutub “puisi yang berniat menjadi realitas” atau “seni demi masyarakat”—kesimpulan
demikian tentu sangat mudah untuk dibuktikan. Dalam karir berkeseniannya, Agam
Wispi dekat—jika tidak ingin dikatakan identik—dengan institusi kebudayaan pada
masa Orde Lama, yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Keberadaan Lekra,
dalam konteks sejarah Indonesia, kerap diasosiasikan dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan juga gagasan kesenian “seni untuk masyarakat”—dalam
pengertian: seni berfungsi menyadarkan masyarat akan adanya gerak sejarah yang
bersifat progresif dan ditentukan oleh pertarungan antara kelas proletar dan
kaum kapitalis.
Persoalannya,
bagi karya kesenian yang bertolak dari prinsip kesenian “seni demi masyarakat”
adalah apakah karya kesenian itu dapat, paling tidak, setara atau bahkan
melampaui realitas itu sendiri? Istilah “realitas”, dalam hal ini, dapat
dipahami sebagai peristiwa/peristiwa-peristiwa (event/events) yang terjadi secara faktual atau fakta—yang kemudian
tercatat dalam sejarah. Tentu hal ini bukanlah hal yang baru. Dalam sejarah
kesenian dunia, peristiwa faktual, dengan olahan daya kreatif seniman, dapat
bermetamorfosis menjadi karya seni yang memukau. Misalnya saja: lukisan
“Penangkapan Pangeran Diponegoro” (1857) karya Raden Saleh Sjarif Boestaman
(1811-1880) yang menghadirkan-kembali atau merepresentasikan peristiwa
(f)aktual dalam sejarah menyangkut penangkapan Pangeran Diponegoro oleh
Belanda; atau monumen batu Brest Fortress di Brest, Belarusia, yang
merepresentasikan peristiwa (f)aktual dalam sejarah terkait keteguhan hati para
tentara Merah Sovyet untuk tetap bertahan menahan gempuran tentara Nazi Jerman
di masa Perang Dunia II[2];
atau komposisi musik “String Quartet No.8 in C Minor” dari Dmitri Shostakovich
(1906-1975) yang dapat dimaknai sebagai hasil permenungan Shostakovich tentang
dampak-dampak negatif dari fasisme dan perang—Shostakovich mendedikasikan karya
musikal ini kepada korban-korban fasisme dan perang; atau komposisi mars “17
Agustus Tahun 45” ciptaan H. Mutahar, dan lainnya. Contoh-contoh di atas
menjadi penting untuk melihat, sekaligus menyadari, bahwa “puisi yang berniat
menjadi realitas” bukanlah hal yang mustahil. Lantas, bagaimana dengan
puisi-puisi Agam Wispi?
Meski
sama-sama karya seni, puisi berbeda dari seni lukis—atau seni rupa, juga seni
musik. Secara sederhana—tentunya, dengan mengabaikan kecanggihan pendekatan
kontemporer dalam upayanya meninjau ulang apa yang disebut sebagai medium seni
rupa—medium seni rupa bertolak pada perangkat-perangkat visual konkret,
misalnya cat atau kayu atau batu atau fiberglass
yang merupakan hal-hal konkret dan membantu menghadirkan visualisasi imajinasi
secara konkret dalam bidang dwimatra atau trimatra; tentunya dengan bantuan
komposisi garis, tekstur, goresan, dst. Medium dan teknik seni dalam seni rupa
memungkinkan seniman menghadirkan objek-objek seni yang dapat disensasi secara
indrawi [tentunya, yang menjadi batasan dalam hal ini adalah aliran
abstrak]—dan tentunya melahirkan rasa indah dalam diri mereka yang melihat
objek-objek itu. Begitu juga dengan seni musik—yang secara konkret menghasilkan
bunyi yang menstimulasi lahirnya perasaan-perasaan tertentu dalam diri mereka
yang mendengarkan karya musik. Puisi, agak berbeda. Medium yang utama sekaligus
arus utama (mainstream) adalah kata—dengan
demikian, dalam puisi, perubahan peristiwa menjadi karya adalah perubahan fakta
menjadi kata.
Perubahan
fakta menjadi kata bukanlah perkara gampang dalam puisi. Secara sederhana,
proses abstraksi[3] adalah proses perubahan
fakta menjadi kata. Proses perubahan fakta menjadi kata tentu tidak semata-mata
bertopang pada kemampuan konseptual kata—dalam hal ini, kemampuan konseptual
kata berarti kemampuan kata menampung sekaligus menyampaikan makna yang hendak
diutarakan oleh penyair—namun juga mempertimbangkan keindahan bunyi, juga
irama. Puisi Agam Wispi yang berjudul “Matinya Seorang Petani (Buat L. Darman
Tambunan)”, khususnya bagian 1, yang berlatarkan peristiwa penggusuran petani
di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, menurut saya, merupakan hasil yang sempurna
dari perubahan fakta menjadi kata. Demikian saya kutipan bagian pertama puisi
tersebut:
depan kantor tuan bupati
tersungkur seorang petani
karena tanah adalah tanah
dalam kantor barisan tani
silapar marah
karena darah karena darah
tanah dan darah memutar
sejarah
dari sini njala api
dari sini damai abadi
Petikan
bagian pertama sajak di atas, tampak kepiawaian Agam Wispi memainkan rima akhir
dan rima tengah; mengutamakan bunyi kakofoni pada tiga bait itu, yang sedikit
dipadukan dengan efoni pada baris kedua dan ketiga dari bait ketiga. Isyarat-isyarat
bunyi kakofoni menyatu dengan kekuatan konseptual dari pilihan kata di mana
pertentangan kata (sekaligus bunyi) antara “tuan bupati” dan “seorang petani”
melahirkan asosisasi pertarungan antara kelompok penguasa dan kelas
pekerja—yang kemudian mencapai puncak ketika Agam Wispi menggunakan
pertentangan bunyi antara “karena tanah” dan “adalah tanah”; pada bait kedua,
pertentangan bunyi beralih menjadi perulangan bunyi: “karena darah” lalu
“karena darah”.
Dengan
menggunakan teknik rima akhir, rima tengah, lalu paduan bunyi kakofoni serta
sedikit efoni, pertentangan dan pengulangan bunyi (secara relatif, pola
pengulangan bunyi juga tampak jika kita membandingkan bait pertama dan bait
kedua, juga jika kita membandingkan baris kedua dan ketiga pada bait ketiga)
kemudian kekuatan diksi yang dipadukan dengan kesederhanaan konstruksi larik
pada tiap bait berhasil menampung tema ketidakadilan, peristiwa ketidakadilan
yang menjadi mata air puisi tersebut. Puisi “Matinya Seorang Petani (Buat L.
Darman Tambunan)”, dalam pertimbangan saya, sudah berhasil menjadi
monumen—puisi itu berhasil merekam makna ketidakadilan yang terkandung dalam
peristiwa penggusuran petani di Tanjung Morawa sekaligus melampaui fakta itu
sendiri, dalam arti: memberikan pemahaman bagi pembaca bahwa sejarah, secara
implisit, mengandung ketidakadilan di mana ketidakadilan bertopang pada “tanah”
dan “darah”, yang keduanya memungkinkan “njala api” sekaligus “damai abadi.”
Jika
kita mengacu kepada tiga prinsip dari realisme sosialis, yaitu (1) ada objek
yang berada di luar kesadaran, (2) tidak ada yang disebut das Ding an sich pada objek, dan (3) kesadaran manusia mampu
menembus lapis fenomena untuk mencapai lapis esensial, saya pikir: puisi Agam
Wispi ini berhasil memenuhi kriteria tersebut. Pertama, “Matinya Seorang Petani
(Buat L. Darman Tambunan)” sejatinya mengacu kepada fakta tentang adanya
penggusuran petani di Tanjung Morawa—dan puisi itu berada dalam posisi yang
sama dengan fakta tersebut. Kedua, puisi Agam Wispi ini memungkinkan kita
melihat bahwa peristiwa “tersungkurnya seorang petani” adalah perwujudan dari
“tanah dan darah memutar sedjarah”. Ketiga, sebagaimana sudah tersirat dalam yang
kedua, lapis esensial dari fenomena “tersungkurnya seorang petani” adalah
terjadinya ketidakadilan, yang mewujud dalam larik “tanah dan darah memutar
sedjarah”.
Sebagai
monumen yang berkedudukan setara dengan fakta, dalam pertimbangan saya, puisi
Agam Wispi dapat dipergunakan untuk membaca sejarah Indonesia—tentu dengan
pendekatan metodologi dan epistemologi tertentu. Di sini, puisi sudah menempati
posisi yang sama dengan manusia, yaitu sebagai saksi (bisu) sejarah!—hanya
dengan membaca sajalah para pembaca menyadari apa yang terjadi di masa lalu; dan
barangkali hal demikian masih juga terjadi di masa sekarang, dan yang akan
datang. Ketika puisi sudah menjadi saksi (bisu) sejarah, maka batas antara
kebenaran dan puisi pun menjadi semakin tipis—dan jika batas kebenaran dan
puisi menjadi semakin tipis atau bahkan tidak ada lagi, maka tindakan menulis
atau membaca puisi pada saat bersamaan adalah tindakan menulis atau membacakan
kebenaran; dan ada yang menamakan tindakan demikian sebagai revolusi.
Desember 2013
[2] Peristiwa perang antara tentara
Merah dan Nazi di Brest itu juga difilmkan oleh sutradara Alexander Kott,
dengan judul ‘The Brest Fortress’. Dalam film itu, dikisahkan: pasukan tentara
Merah Sovyet menyadari mereka mustahil menang melawan serangan mendadak dari
tentara Nazi Jerman. Di sinilah tragedi lahir Brest Fortress lahir: meski yakin
mereka mustahil menang, pasukan tentara Merah Sovyet tetap memegang teguh
keyakinan bahwa mereka tidak akan menyerah.
[3] Istilah ‘abstraksi’, dalam hal ini,
dapat dipahami melalui ilustrasi demikian. Kata atau tanda ‘kucing’ tentu berbeda dari kucing
asli dalam realitas. Jika kata ‘kucing’ bertolak dari kucing asli dalam
realitas, maka kata ‘kucing’ tidak lagi mengandung kualitas ngeong, bulu yang
halus, atau tubuh yang dekil, atau tubuh yang kurus, atau luka di kaki kucing,
dan atau-atau lainnya. Kata ‘kucing’ adalah abstraksi dari kucing asli dalam
realitas di mana proses abstraksi itu meniadakan atau menghilangkan
kualitas-kualitas tertentu dari kucing yang kita lihat dalam realitas.
Hilangnya kualitas-kualitas tertentu dari kucing dalam realitas—semisal
ngiaunya, beratnya, warnanya, dst—dan beralih menjadi ‘kucing’, justru
memungkinkan daya kreatif yang luar biasa. Kata ‘kucing’ memiliki kemungkinan
penempatan baru—misalnya saja, jika kucing dalam realitas berada di halaman,
maka, melalui daya fantasi imajinatif, penyair dapat saja menempatkan ‘kucing’
di bulan, menjadi astronot, berada dalam perut ikan hiu, menjadi gubernur di
sebuah kota, hingga tampil sebagai dewa. Melalui abstraksi, kata memungkinkan
penempatan (dan tentu pemaknaan) fakta semakin diperluas (bahkan diperdalam).
Khusus dalam konteks relasi antara imajinasi dan fakta, di sinilah kita melihat
bahwa daya imajinatif konseptual yang bertopang pada abstraksi memungkinkan
para ilmuwan menemukan teori-teorinya yang memukau, sebagaimana yang dinyatakan
filsuf Richard Rorty (1931-2007): rasio hanya dapat mengikuti jalan yang telah
dibuka oleh imajinasi.