Perdebatan antara
Martin Suryajaya (MS) dan Muhammad Al-Fayyadl (MA) terkait peran Goenawan
Mohamad (GM) dalam politik kebudayaan pasca 1965 memaksa untuk memikirkan
kembali pendapat keduanya sekaligus mencoba memetakan sikap kritis saya pribadi
terhadap mata air perdebatan, yaitu tulisan MS yang berjudul “Goenawan Mohamad
dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965” yang dimuat dalam jurnal daring
indoprogress.com—dan tentunya, mempertimbangkan ulang kritik MA yang dimuat
oleh yang bersangkutan dalam status facebook-nya.
Antara Data dan Kesimpulan
Tulisan MS memuat
dua tesis, yaitu (1) Goenawan Mohamad (GM) adalah makelar kebudayaan yang
berperan membentuk selera intelektual Indonesia dan (2) GM berperan dalam
konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965. MS, dalam tulisannya, mencoba
mengkonstruksikan dua tesis itu bukan sebagai dua tesis yang terpisah,
melainkan tesis yang saling berkaitan di mana tesis (2) sudah terimplikasi
dalam tesis (1)—artinya, GM mengonsolidasikan kapitalisme di Indonesia melalui perannya
sebagai makelar kebudayaan. Merujuk pada tulisan MS, istilah ‘makelar
kebudayaan’ dapat dipahami sebagai sinonim ‘penafsir-makelar’, suatu translasi
dari istilah ‘interpreter-middleman’ yang dipergunakan oleh Ivan Kats (IK) dalam
surat-menyurat antara dirinya dan GM. Ada pun ‘makelar kebudayaan’ atau
‘penafsir-makelar’ mengacu kepada orang atau pihak tertentu yang mengambil dari
luar atau mengappropriasi hal-hal yang berada di luar dirinya, dalam hal ini
mengacu kepada pemikiran intelektual Prancis Albert Camus, untuk menjadi bagian
dari dirinya, dalam hal ini mengacu kepada alam pemikiran Indonesia
(barangkali, karena konstruksi berpikir yang demikian, maka MS berargumentasi
bahwa GM sungguh sangat berperan dalam membentuk selera intelektual Indonesia).
Bagi saya,
persoalan mendasar adalah apakah memang kesimpulan-kesimpulan atau tesis-tesis
yang diajukan MS dapat dipertanggungjawabkan? Atau, sejauh mana
kesimpulan-kesimpulan itu dapat diterima? Atau, jika kesimpulan-kesimpulan itu tidak
dapat diterima seutuhnya, apakah dimungkinkan kajian lebih lanjut demi
mengokohkan kesimpulan-kesimpulan itu? Dalam posisi demikian, pertanyaan utama
saya terhadap tulisan MS adalah “apakah data, yang menjadi fondasi kesahihan
kesimpulan-kesimpulan itu, memang dapat menopang seutuhnya
kesimpulan-kesimpulan itu?”—dalam kata lain, “apakah kesimpulan-kesimpulan itu
ditopang oleh data atau tidak?” Bertolak dari tulisan MS, menurut saya, ada dua
data utama yang dipergunakan MS demi menopang kesimpulan-kesimpulannya, yaitu
(1) data yang bersumber dari buku Wijaya Herlambang yang berjudul “Kekerasan
Budaya Pasca 1965: Bagaimana Order Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui
Sastra dan Film” dan (2) data yang bersumber dari PDS HB Jassin, yang memuat surat-menyurat
antara IK dan GM bertarikh 1965. Selain dua data utama ini, MS juga menggunakan
data-data yang tergolong sekunder lainnya, semisal data tentang Manifes
Kebudayaan dan jejaring tokoh PSI yang berada di balik peristiwa kebudayaan
itu.[1]
Bertolak dari data
surat-menyurat antara IK dan GM inilah, menurut saya, MS mengukuhkan tesisnya
yang pertama. Surat-menyurat itu membuktikan adanya interaksi antara IK dan GM
di mana interaksi itu memuat tujuan tertentu, yaitu (1) menjelek-jelekkan
hal-hal yang berkenaan dengan PKI, komunisme, dan (2) menjadikan pemikiran
Prancis sebagai paradigma kebudayaan di Indonesia yang sehubungan dengan
kesukaan GM terhadap Albert Camus (AC), maka penerjemahan karya AC ke dalam
bahasa Indonesia pun dapat dipahami sebagai appropriasi hal-hal Barat ke dalam
Indonesia demi membentuk paradigma kebudayaan tertentu di Indonesia.
Dalam pertimbangan
saya, surat-menyurat ini memang membuktikan posisi GM sebagai makelar
kebudayaan, sebagaimana yang diintensikan MS, dalam usaha membentuk selera intelektual di Indonesia. Namun,
persoalannya, apakah data itu dapat dijadikan patokan untuk menyimpulkan bahwa
GM memang benar-benar berhasil membentuk selera intelektual Indonesia, menurut
saya, tidak. Di sini, menurut saya, ada dua hal yang harus dipertimbangkan,
yaitu (1) berperan atau bertugas membentuk selera intelektual di Indonesia dan
(2) terbentuknya selera intelektual di Indonesia sesuai dengan tujuan IK dan
GM. Pertanyaannya, apakah dengan menjalankan tugas sudah dengan sendirinya
mencapai tujuan? Tampaknya MS menyadari hal ini. Karena itu, MS mengajukan data
lainnya, yang menurut saya tergolong sekunder dan dapat dipertanyakan, yaitu
diskusinya dengan “teman-teman yang kerap membaca dan menggemari tulisan
Goenawan”. Tentu, pertanyaannya saya adalah apakah yang disebut intelektual
adalah orang-orang yang membaca dan menggemari tulisan GM? Apakah orang-orang
yang tidak membaca dan menggemari tulisan GM bukan tergolong intelektual? Dalam
pertimbangan saya, mengidentifikasi intelektual hanya dengan bertolak pada
indikator telah membaca dan menggemari tulisan GM adalah hal yang prematur.
Dengan demikian, menurut saya, MS berhasil membuktikan bahwa GM, sebagai
makelar kebudayaan, memang berperan dalam membentuk selera intelektual di
Indonesia—namun, MS belum berhasil membuktikan bahwa selera intelektual di
Indonesia itu sudah terbentuk sesuai dengan yang diniatkan oleh IK.
Karena tesis (2)
terimplikasi pada tesis (1), maka kegiatan GM sehubungan dengan
‘kontrak-kontraknya’ (bahasa yang dipergunakan oleh MA dalam statusnya untuk
melukiskan korespondensi antara IK dan GM) dengan IK, [dapat] disimpulkan MS
sebagai “menyiapkan prakondisi epistemik
bagi terkonsolidasinya kapitalisme di Indonesia pasca 1965”. Kesimpulan itu
diperkuat dengan data sekunder yang bersumber dari hasil wawancara Rizal
Mallarangeng pada Juni 1996, yang memuat pandangan politik GM sebagai, dalam
bahasa saya, “seorang liberal yang masih dapat mengecam kapitalisme sekaligus
kritis terhadap birokrasi”. Tentu yang menjadi persoalan bagi saya adalah
“apakah dengan menerjemahkan buku-buku AC ke dalam bahasa Indonesia, dengan
demikian GM sudah dengan sendirinya menyiapkan prakondisi epistemik bagi
terkonsolidasinya kapitalisme di Indonesia?” Di sinilah, analisis MS menyangkut
‘Anatomi Politik Absurditas’ menjadi dasar MS menempatkan kegiatan GM menerjemahkan
AC sebagai upaya menyiapkan prakondisi epistemik bagi konsolidasi kapitalisme
di Indonesia pasca 1965. Benarkah demikian?
Dalam pertimbangan
saya, ‘Anatomi Politik Absurditas’ tidak dapat dijadikan data untuk menopang
kesimpulan kedua MS. Alasannya, ‘Anatomi Politik Absurditas’ bertolak dari
pembacaan (sekaligus penilaian kritis) MS atas “Mite Sisifus: Pergulatan dengan
Absurditas”-nya AC—dan pembacaan (sekaligus penilaian kritis) dari tiap orang
atas suatu hal, dalam hal ini literatur filsafat, mustahil menghasilkan satu
pembacaan (sekaligus penilaian kritis) tunggal. Alasannya, tentu saja, karena:
meski butuh fakta, filsafat tidak bicara tentang fakta. Dan, “Mite Sisifus” AC,
dalam pembacaan saya, bertolak dari pertanyaan filosofis “apakah hidup bermakna
atau tidak?”[2]—bukankah pertanyaan
demikian sesungguhnya tidak dapat diuji secara objektif-ilmiah sebagaimana
metode penelitian yang diterapkan pada ilmu alam? Menurut saya, pembacaan (sekaligus
penilaian kritis) MS—yang barangkali saja mengandung bias ideologi
tertentu—menjadikan pemikiran AC sebagai pemikiran yang hanya bertopang pada
tesis “semuanya baik adanya.”[3]
Bertolak dari
pertimbangan di atas, saya pikir menyatakan GM berperan dalam konsolidasi
kapitalisme di Indonesia pasca 1965 tentu tidak dapat diterima sepenuhnya.
Menurut saya, apa yang disampaikan MS sebagai tesis kedua bukanlah tesis atau
kesimpulan, melainkan masih sebatas indikasi. Namun, sejauh MS menyatakan bahwa
tindakan GM menerjemahkan karya-karya AC (dan lainnya) adalah bagian kecil dari proses konsolidasi
kapitalisme di Indonesia pasca 1965 tentu dapat diterima, meski tidak begitu
terlalu meyakinkan, setidaknya bagi saya.
Dengan demikian,
sejauh pembacaan saya atas tulisan MS, saya berkesimpulan bahwa GM punya peran
dalam upaya menjelekkan PKI dan mengonstruksikan pemikiran kebudayaan di
Indonesia pasca 1965 di mana hal-hal itu dibuktikan melalui adanya data atau
bukti korespondensi antara IK dan GM. Namun, apakah GM berhasil atau tidak
membentuk “selera intelektual di Indonesia” dan “menyiapkan prakondisi
epistemik terkonsolidasinya kapitalisme di Indonesia pasca 1965”, saya pikir
masih patut dipertanyakan, untuk tidaknya menyatakan bahwa hal-hal itu hanyalah
spekulasi kosong yang tidak didukung oleh data dan indikator-indikator yang
akurat.
MA dan MS
Tiga tanggapan MA
terhadap tulisan MS, menurut saya, patut dicermati. Dalam pertimbangan saya,
tanggapan pertama dan kedua, kurang lebih bernada sama—kecuali, satu poin dalam
tanggapan kedua yang memuat soal “seleksi” dalam pemikiran Prancis, yang akan
saya ulas kemudian. Tanggapan pertama dan kedua MA terhadap MS merupakan upaya
MA membongkar asumsi tertentu yang melatari tulisan MS, yaitu GM adalah sosok
yang luar biasa, sosok dengan daya yang begitu luar biasa hingga dapat
mempengaruhi pemikiran ratusan juta orang Indonesia. Dalam tanggapannya yang
pertama, MA mempersoalkan tafsir GM atas AC, yang menurutnya bias—dengan
demikian, MA menyarankan, GM seharusnya tidak dapat dipandang sebagai penafsir
otoritatif atas AC. Pada tanggapannya yang kedua, MA menyatakan bahwa GM bukan
satu-satunya pihak yang berperan dalam penyebaran pemikiran Prancis kontemporer—dan
jika diperluas, maka akan menghasilkan tesis demikian: konstruksi pemikiran
kebudayaan di Indonesia pasca 1965 tidak hanya ditentukan oleh GM semata. Terhadap
tanggapan ketiga, menurut saya tidak relevan. Perdebatan dengan “robot Forex”
mengandaikan klaim intelektual, dalam hal ini “intelektual” menempati kelas kata
benda, identik dengan orang-orang yang membaca dan menggemari tulisan GM di
mana, bagi saya, hal itu masih menjadi persoalan yang belum tuntas.
Salah satu poin
dari tanggapan kedua MA yang perlu dipertimbangkan adalah menyangkut ada atau
tidaknya “seleksi” pemikiran di Prancis. Saya pikir, berdasarkan data yang
dimilikinya, MA berhasil membuktikan bahwa pernyataan IK dalam suratnya kepada
GM dapat dinyatakan keliru (kecuali, jika IK punya pertanggungjawaban
tersendiri). Dalam amatan MA, pernyataan keliru dari IK justru diterima oleh MS
sebagai self-evident. Meski begitu,
menurut saya, sekalipun pernyataan IK menyangkut adanya “seleksi” di kancah
pemikiran Prancis keliru, hal itu tidak membantah tesis-tesis yang diajukan MS
sejauh menyangkut peran GM dalam politik anti-komunis dan konstruksi pemikiran
kebudayaan di Indonesia pasca 1965.
[1] Klasifikasi data utama
dan data sekunder menjadi penting bagi saya untuk mengetahui apa yang menjadi
jantung dari kesimpulan-kesimpulan MS dari sudut data. Artinya, jika data utama
dihilangkan dan data sekunder dipertahankan, maka kesimpulan-kesimpulan MS pun
menjadi spekulasi rendahan, rumor. Jika data sekunder dihilangkan dan data
utama dipertahankan, maka kesimpulan-kesimpulan MS punya kualitas objektif yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
[2] Bdk. Camus, Albert, Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas (diterjemahkan
Apsanti, D), Jakarta: PT . Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm. 3-4.
[3] Pada paragraf kedua dari ‘Anatomi Politik Absurd’, MS mengutip pernyataan
Oedipus: “Meskipun telah mengalami cobaan yang begitu banyak, usiaku yang
lanjut dan kebesaran hatiku membuat aku menilai bahwa semuanya baik adanya.”
kemudian menggunakan sekaligus menggandakan kalimat “semuanya baik adanya” pada paragraf 5 dari ‘Anatomi Politik
Absurd’, yang bagi saya menimbulkan satu pertanyaan: benarkah, AC berpikir
demikian, benarkah AC akan berpikir bahwa buruh kebun sawit seharusnya berkata
“Meskipun saya hanya diupah Rp. 500 per sepuluh kilo sawit yang berhasil saya
panen, saya menilai bahwa semuanya baik adanya,” atau AC akan berpikir bahwa
pembantu rumah tangga seharusnya berkata, “Meskipun saya hanya diupah sepertiga
dari UMP dan sesekali digebuki oleh majikan, saya menilai bahwa semuanya
baik adanya,” atau AC juga akan berpikir demikian: “Kita harus membayangkan, somehow,
Marsinah berbahagia.” Namun, jika kita melanjutkan pembacaan satu-dua paragraf
setelah kutipan MS, maka kita akan menemukan kalimat demikian:
“Kata-kata itu
mendengung dalam alam manusia yang buas dan terbatas. Kata-kata itu mengajarkan
bahwa semuanya belum tuntas dan belum pernah tuntas....Kata-kata itu membuat
takdir menjadi urusan manusia, yang harus ditangani manusia.
Seluruh kegembiraan bisu Sisifus terletak di sana. Nasibnya adalah
miliknya.”
Kutipan di atas memperlihatkan “semuanya baik adanya” berarti juga
“semuanya belum tuntas dan belum pernah tuntas,” “takdir manusia menjadi urusan
manusia, yang harus ditangani manusia,” di mana kutipan demikian memungkinkan
pembacaan absurditas sebagai optimisme—dan bukankah memahami ironi sebagai
kebahagiaan sendiri adalah absurditas?
Menurut saya, hal-hal
di atas harus dipertimbangkan kembali. Sejauh pembacaan saya atas ‘Mite
Sisifus’, titik tolak pemikiran AC adalah pertanyaan ontologis, yaitu “apakah
hidup bermakna atau tidak?” Jawaban AC: hidup tidak bermakna(!); sebagai
konsekuensi dari hidup yang tanpa makna (non-sense),
AC pun menolak segala konstruksi metafisika, harapan, bahkan utopia atau mimpi
apa pun akan Sejarah—MS secara jitu mengkategorikan pandangan AC sebagai
antiutopian. MS, melalui argumentasinya, memperlihatkan bahwa harapan masih
ada, akhir sejarah itu nyata—singkatnya: makna itu ada(!), yang justru bukan
menjadi pokok bahasan AC.
No comments:
Post a Comment