sumber foto: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/d/d3/Ariane_Sherine_and_Richard_Dawkins_at_the_Atheist_Bus_Campaign_launch.jpg/1024px-Ariane_Sherine_and_Richard_Dawkins_at_the_Atheist_Bus_Campaign_launch.jpg
Duduk Perkara
Duduk perkara yang dibahas
Richard Dawkins dalam buku ini adalah “Apa yang dapat menjelaskan keberadaan
semesta termasuk mahluk hidup, terutama manusia dan segala fenomena yang
mengikutinya, di dunia ini?” Ada dua hipotesa yang berupaya menjawab pertanyaan
itu, yaitu (i) hipotesa Tuhan, yang ditemukan pada orang-orang beragama, atau
(ii) proses evolusi sebagaimana yang diyakini oleh Dawkins.
sumber foto: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/thumb/7/76/The_God_Delusion_UK.jpg/220px-The_God_Delusion_UK.jpg
Kritik Dawkins terhadap Hipotesa Tuhan
Dawkins berpendapat bahwa
hipotesa Tuhan tidak dapat menjelaskan asal-usul dan perkembangan alam semesta,
termasuk kehidupan manusia. Untuk menguatkan klaim itu, Dawkins pun mengkritik
argumentasi akan eksistensi Tuhan. Misalnya saja, tiga argumen eksistensi Tuhan—gerak,
sebab dan kosmologis—dicurigai oleh Dawkins bekerja atas dasar “pemosisian
Tuhan sebagai hal yang imun terhadap regresi” (p.77); argumen St. Anselmus juga
dikritik oleh Dawkins—yang sesungguhnya bukanlah hal baru, Gaunilo dari
Marmoutier, rekan semasa St. Anselmus juga mengkritik pandangan St. Anselmus.
Singkat cerita, kritik terhadap argumen eksistensi Tuhan membuktikan bahwa
hipotesa Tuhan dalam menjelaskan alam semesta itu lemah.
Konklusi itu punya implikasi luas.
Orang beragama adalah orang yang yakin akan adanya hal supranatural, dalam hal
ini Tuhan. Pengujian Dawkins terhadap argumen eksistensi Tuhan menyatakan hal
sebaliknya, Tuhan itu tidak eksis. Karena itu, Dawkins berpendapat bahwa agama
itu tidak dapat dijustifikasi secara rasional—atau dalam kata lain: agama itu
irasional. Selain (i)kegagalan argumen eksistensi Tuhan, justifikasi atas
irasionalitas agama adalah (ii) adanya kekerasan yang mengatas namakan agama—dan
dalam Kitab Suci, khususnya Perjanjian Lama akan tampak bahwa narasi agama itu
dipenuhi dengan darah, dan (iii) agama itu efisien serta efektif memproduksi
kebencian terhadap orang lain.
sumber foto: http://i.huffpost.com/gen/1342802/images/o-RICHARD-DAWKINS-facebook.jpg
Hipotesa Evolusi
Karena hipotesa Tuhan sudah
lenyap, maka satu-satunya hal yang dapat menjelaskan keberadaan alam semesta
adalah evolusi. Secara mendasar, evolusi menjelaskan (i) eksistensi manusia dan
(ii) munculnya kesadaran. Eksistensi manusia muncul karena proses evolusi yang
bekerja sedemikian rupa pada tingkatan anorganik sehingga menghasilkan
organisme bersel satu yang kemudian berkembang secara akumulatif menjadi
multisel melalui proses replikasi genetika. Selanjutnya, kesadaran adalah
perkembangan lanjutan dari eksistensi manusia. Dawkins memformulasikan
kesadaran atau pikiran manusia sebagai interkoneksi yang kompleks antar entitas
fisikal dalam otak manusia.
Bertolak dari argumen eksistensi dan
kesadaran manusia, Dawkins mengkonstruksikan argument “Fenotip Terluaskan” (Extended Phenotype) demi menjelaskan
hal-hal non-biologis yang ditemukan dalam kehidupan manusia, semisal moralitas.
Fenotip Terluaskan adalah perluasan konsep fenotip di wilayah biologi ke dalam
wilayah sosial sehingga dapat menjelaskan perilaku yang ditemukan dalam
kehidupan manusia. Fenotip Terluaskan inilah yang mejelaskan kemunculan moralitas.
Fenomena moralitas—peduli (caring) dan
altruistik—sesungguhnya ditemukan juga di dunia hewan. Dengan demikian,
moralitas dapat dikembalikan kepada insting.
Demikianlah argumen (i) eksistensi
manusia, (ii) munculnya kesadaran, dan (iii) fenotip terluaskan memungkinkan Dawkins
menyatakan bahwa hipotesa proses evolusi sebagai penjelas keberadaan dan
perkembangan alam semesta lebih dapat diterima atau lebih rasional dari
hipotesa Tuhan. Bagi Dawkins, orang-orang yang masih percaya pada hipotesa
Tuhan sebagai penjelasan bagi keberadaan dan perkembangan alam semesta itu sesungguhnya
mengidap delusi, meyakini keyakinan yang keliru—dan kekeliruan itu tersebabkan
oleh konsep Tuhan yang semata-mata konsep, tanpa terverifikasi secara ilmiah.
Ya, Dawkins mengasumsikan eksistensi Tuhan sebagai fakta saintifik—yang sialnya
Dawkins tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksudkan oleh Tuhan dan
fakta saintifik itu.
Tanggapan Kritis
Pada bagian ini saya akan berikan
tanggapan kritis terhadap pemikiran Dawkins dalam “The God Delusion”. Pertama,
pandangan Dawkins bahwa agama semata-mata menghasilkan darah—sebagaimana yang
tersua dalam Alkitab bagian Kitab Perjanjian Lama—tentulah tidak dapat
dibantah. Tetapi, Dawkins lupa bahwa Alkitab juga memuat Perjanjian Baru. Dalam
Perjanjian Baru dapat ditemukan ajaran moral “sekiranya pipi kananmu ditampar,
maka berikan juga pipi kirimu,“ juga semangat berkurban demi keselamatan orang
lain, atau malah sikap tak mementingkan diri sendiri sebagaimana yang muncul
dalam perumpamaan orang Samaria. Tentu argumen ini dapat ditanggapi secara
kritis oleh Dawkins dengan menyatakan bahwa dunia hewan juga punya sikap peduli
(caring) dan altruistik. Karena itu,
tanggapan pertama akan diikuti tanggapan berikutnya.
Kedua, Dawkins menyatakan bahwa
agama semata-mata menghasilkan kebencian dan kesengsaraan. Secara historis, hal
itu tidak dapat diingkari. Namun cukup pasti bahwa agama bukanlah semata-mata
menyangkut hal itu. Agama berperan besar dalam pengembangan peradaban manusia.
Agama menghasilkan hospitalitas—yang menjadi akar dari keberadaan rumah sakit—juga
pendidikan dan sains. Bentley Hart mengupas tuntas hal itu dalam bukunya yang
berjudul: The Atheist Delusion: The
Christian Revolution and Its Fashionable Enemies.
Ketiga, Dawkins tidak menjelaskan
secara tuntas konsep Tuhan. Keempat, Dawkins tidak menjelaskan apa alasannya
menyatakan bahwa eksistensi Tuhan semestinya dapat dibuktikan secara saintifik.
Tampaknya Dawkins agak keliru atau lalai menetapkan pembedaan antara filsafat,
teologi dan sains. Padahal objek material dan formal antara filsafat, teologi
dan sains berbeda—meski terkadang, pada suatu titik tertentu, beririsan.
Contohnya, pertanyaan tentang asal-usul semesta menjadikan ketiga bidang itu
beririsan sehingga terkadang menjadi kabur. Sejauh pembacaan saya atas buku Dawkins
ini, saya berkonjektur bahwa Dawkins mengutamakan sains dari filsafat dan
teologi—dan pandangan demikian jamak dikenal dengan nama: saintisisme,
keyakinan akan ilmu (science) sebagai
satu-satunya pengetahuan (knowledge) yang
sah.
Kelima, pandangan bahwa kesadaran
adalah hasil evolusi. Pandangan demikian akan menempatkan kesadaran sebagai hal
proses material. JBS Haldane (1892-1964)—tokoh yang juga dikutip CS Lewis dalam
bukunya “Miracle”—tidak meyakini
kesadaran adalah hasil dari proses material. Haldane berpendapat, “Sekiranya
proses mental dalam diriku sepenuhnya ditentukan oleh gerak atom dalam otakku,
maka aku tidak punya alasan untuk percaya bahwa apa yang kuyakini itu benar…
dan aku tak punya alasan untuk percaya bahwa otakku tersusun dari atom-atom.”
Dalam kata lain, apakah kita yakin: A=B dan B=C, maka A=C adalah proses
penalaran yang ditentukan oleh proses material dalam otak kita? Atau malah, argumentasi itu adalah proses
penalaran yang terpisah dari proses material dalam otak kita—meskipun antara
keduanya tidak terseparasi secara mutlak.
Keenam, menyangkut fenotip
terluaskan. Dawkins tidak menjelaskan apakah fenotip terluaskan ini adalah hal
yang terobservasi atau semata-mata hal konseptual? Di sisi lain, apakah sains
merupakan bagian dari fenotip terluaskan? Lalu apa alasannya sehingga sains
lebih mendapat tempat dari pada agama?
Ketujuh, reduksi moral kepada
insting adalah persoalan serius. Dalam The
Mere Christianity, CS Lewis menyatakan reduksi moral pada insting akan
kesulitan untuk memecahkan dilema moral yang dipicu oleh pertentangan dua
insting. Misalnya pertentangan antara insting kawanan (herd) untuk menyelamatkan teman dan insting merawat-diri (self-preservation) untuk membiarkan
teman. Dilema itu terselesaikan jika ada insting ketiga yang memutuskan apa
yang harus dilakukan—namun, sialnya,
insting ketiga yang bekerja memecahkan dilema itu tentulah bukan insting,
melainkan hal yang lain dari insting; itulah moralitas. Secara empiris, insting
dan moralitas akan menjadi kabur; namun secara logis, hal itu menjadi
terjernihkan. Moralitas tidak dapat dikembalikan kepada insting.
Kedelapan, kegilaan (insanity) tidak hanya terjadi pada orang
beragama, pada saintis juga terjadi. Dawkins mengutip fakta adanya orang
beragama yang berkhotbah agar penderita diabetes membuang segala obatnya dan
semata-mata mengandalkan mujizat Tuhan untuk menyembuhkan. Tentu hal ini adalah
kegilaan. Namun, bukankah saintis juga melakukan kegilaan, sebagaimana yang
disampaikan Dawkins, dengan meneliti hubungan antara doa dan kesehatan pasien
yang menjalani operasi jantung. Dawkins menempatkan penelitian itu untuk
membantah adanya korelasi antara doa dan kesembuhan. Namun, dari sisi yang lain,
dana sebesar 2,4 juta dollar yang diberikan untuk mengetahui korelasi antara
doa dan kesembuhan adalah kesia-siaan. Alasannya sederhana: doa termasuk ke
dalam wilayah yang tak terobservasi, wilayah supranatural. Dengan demikian,
sekiranya saintis memberi ruang bagi filsafat dan teologi untuk menetapkan limitasi
masing-masing, maka dana 2,4 juta dollar itu tidak terbuang sia-sia.
Kesembilan, tentang kekejaman.
Dawkins lupa bahwa dalam sejarah manusia, khususnya di Uni Sovyet, pernah
berdiri organisasi Liga Ateis Militan yang juga melakukan kekerasan terhadap
rumah ibadah dan orang-orang beragama. Dengan demikian, kekerasan dan kebencian
bukanlah khas orang beragama, namun juga orang yang tidak beragama alias ateis.
Kesepuluh, Dawkins mengabaikan
adanya kebebasan dalam diri manusia. Manusia, dari sudut pandang Dawkins,
adalah materi yang ditentukan oleh sebab-akibat. Padahal, tidak selamanya
manusia terdeterminasikan oleh sebab-akibat. Misalnya, ajaran moral adalah antitesis
terhadap hukum alam (laws of nature).
Penutup
Hipotesa evolusi dari Dawkins
menarik untuk dipertimbangkan. Meski belum ada jawaban final akan evolusi,
tampaknya pertanyaan yang menghasilkan hipotesa itu mesti dipertimbangkan.
Misalnya saja, “mengapa hewan yang dulu ada ternyata tidak ditemukan pada masa
sekarang?”, “mengapa tidak ditemukan fosil Homo
sapiens yang berusia sama tuanya dengan mahluk purba?”. Metode verifikasi
dan falsifikasi dalam sains berguna untuk mencegah terjadinya pemutlakan atas
jawaban saintifik atau pandangan saintifik.
Dawkins benar dalam menyatakan
bahwa agama berpotensi mengarahkan kita pada kegilaan. Hal itu mesti diterima
orang beragama sebagai kenyataan dan sudah seharusnya orang beragama membuka
diri terhadap hal-hal ilmiah secara kritis. Di sisi lain, para ilmuwan juga
mesti diingatkan bahwa sains dapat berpotensi mengarahkan kita pada kegilaan—keterbukaan
pada realitas supranatural, paling tidak, perlu dipertimbangkan. Atau paling
tidak, pemutlakan salah satunya, entah agama atau sains, adalah sikap yang
perlu dihindarkan.