sumber foto: https://pbs.twimg.com/media/C1zWsssUAAAOkgt.jpg
PADA 6 Januari lalu, Rocky Gerung
menuliskan opini di Koran Tempo. Judulnya, “Hoax dan Demokrasi”. Dalam tulisan
itu, dengan menggunakan pendekatan dekonstruksi, Rocky mengajukan tesis yang
kontroversial, yaitu hoax adalah
bagian dari demokrasi. Terhadap tulisan itu, esai ini berupaya memetakan
argumentasi, duduk perkara yang hendak dibahas Rocky, dan tentunya tanggapan
kritis terhadap tesis Rocky.
Rocky dan Hoax
Dalam kerangka logika formal
Aristotelian, secara sederhana, argumentasi Rocky dapat disusun sebagai
berikut:
Premis Mayor : Demokrasi memberi ruang bagi kritik terhadap pemerintah.
Premis
Minor : Kritik terhadap pemerintah dapat disampaikan melalui hoax.
Konklusi : Hoax adalah [bagian dari] demokrasi.
Persoalan dalam argumentasi itu
bukan pada validitasnya, melainkan pada (i) konsep hoax dan (ii) benar atau tidaknya premis yang diajukan.
Meriam-Webster menempatkan “hoax”
dalam kelas kata kerja dengan pengertian “mengelabui atau menipu (seseorang)”.
Dalam keseharian, kita memahami “hoax” dalam kelas kata benda dengan pengertian
“kabar bohong”. Sekiranya kita bertolak dari pengertian yang demikian, maka
tesis Rocky akan terdengar cukup aneh, gila, dan tentu saja provokatif.
Bagaimana mungkin demokrasi dapat menerima keberadaan “kabar bohong” atau
tindakan-tindakan yang ditujukan untuk “mengelabui atau menipu” publik?
Tentu saja, Rocky menyadari
pengertian “hoax” di atas—dan mustahil mengkonstruksikan argumentasi dengan
bertolak dari pengertian di atas. Karena itu, Rocky menggunakan strategi
dekonstruksi untuk membangun argumentasinya. Hasilnya, tiga pengertian “hoax”,
(i) “sinyal bahwa alternatif kekuasaan sedang tumbuh”, (ii) “fabrikasi politik”
demi “menunda konglomerasi kebenaran” dan (iii) “konfrontasi terhadap monopoli
kebenaran.” Dalam konteks demokrasi, ketiga pengertian itu mewujud sebagai
kritik terhadap pemerintah yang disampaikan melalui media.
Suka tidak suka, strategi
dekonstruksi yang dilakukan Rocky memungkinkan argumentasi itu masuk akal—dalam
arti dapat dimengerti. Persoalannya, apakah argumentasi itu memuat premis yang
benar?
Premis mayor argumentasi Rocky
sulit untuk disanggah kebenarannya. Demokrasi tentu saja membuka ruang bagi
kritik terhadap pemerintah. Tanpa memberi ruang bagi kritik, diam-diam suatu
pemerintahan akan melangkah pada bentuk otoritarian. Kritik terhadap demokrasi
dapat disampaikan dalam beragam medium—dan utamanya disampaikan melalui media
massa.
Dari argumentasi Rocky, menurut
saya, yang bermasalah persis pada premis minor. Dalam artikelnya, Rocky sama
sekali tidak menunjukkan bukti dari premis minor. Rocky seakan-akan bermain
dalam ruang tafsir pembaca dan berupaya mengikuti kemungkinan pemaknaan yang
dikehendaki oleh Rocky. Padahal pembuktian akan premis mayor itu sendiri
bersifat kondisional, yaitu ketika pemerintah telah berhasil menyeludupkan
kepentingannya melalui media mainstream
sehingga kritik lenyap.
Sekali lagi, Rocky sama sekali
tidak dapat membuktikan adanya “kritik terhadap pemerintah yang disampaikan melalui
hoax.” Dengan demikian, sekalipun valid, argumentasi Rocky itu unsound.
Rocky dan Demokrasi
Duduk perkara yang memicu tesis
“hoax adalah bagian dari demokrasi” adalah “sikap reaktif pemerintah terhadap
“maraknya” adu bohong di media massa. Padahal pemerintah sendiri tidak memiliki
sistem evaluasi opini publik.” Persis di sinilah sejatinya tulisan Rocky hendak
bersuara, yaitu kritik terhadap standar evaluasi pemerintah terhadap media
massa demi meredam hoax.
Rocky mempersoalkan kriteria
pemblokiran demi menghadang laju hoax
yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu sumber informasi itu sendiri. Jika
sumber informasi adalah “bukan [media] mainstream”,
maka itu adalah hoax. Rocky tidak
menerimanya, karena kriteria itu hanya akan menyisakan “media mainstream”, yang melalui strategi
kekuasaan tertentu dapat disusupi oleh kepentingan pemerintah sehingga, pada
akhirnya, kritik yang seyogyanya tersuarakan melalui media massa menjadi lenyap.
Itulah kondisi otoritarian dan Rocky tak mau hal itu terjadi—tentu saja saya
pun tidak mau.
Sekiranya duduk perkara yang
hendak dibahas Rocky adalah kritik terhadap sistem evaluasi opini publik versi
pemerintah yang menetapkan kriteria informasi hoax adalah informasi yang bersumber dari “bukan [media] mainstream”, lantas mengapa Rocky malah
mengajukan pembelaan terhadap hoax
dengan cara mendekonstruksinya—yang sialnya, pada kenyataannya,
pertanggungjawaban atas pembelaan itu sesungguhnya tak memiliki dasar yang
kuat? Alih-alih mengajukan kriteria alternatif, meski hal ini juga tidak wajib
dilakukan, Rocky malah beri argumentasi demi membela hoax lewat pendekatan dekonstruksi. Sungguh, pilihan Rocky membela hoax menyebalkan.
Rocky dan Kontradiksi
Sekali pun Rocky mengajukan
argumentasi pembelaan terhadap hoax
dalam kerangka kondisional, sikap Rocky terhadap hoax pun tampak kontradiksi. Di satu sisi, hoax adalah bentuk heroisme di dalam demokrasi; di sisi lain hoax adalah bentuk kedangkalan dalam
berdemokrasi. Rocky menyatakan “saya tidak suka hoax. Itu buruk bagi kompetisi
politik akal sehat.” Pertanyaannya: lantas, apa hoax menurut Rocky? Apakah dekonstruksi hoax yang dilakukan Rocky akan menjernihkan masalah atau malah
membuatnya semakin kabur. Menurut saya, dengan menyadari duduk perkara dan
argumentasi hoax, Rocky malah
mengaburkan persoalan dengan jalan yang cukup sophisticated. Tentu saja menarik—meski pada akhirnya menyebalkan!
No comments:
Post a Comment