Barangkali sekitar tiga jam saya luangkan
untuk membaca “Ahok: Politik Akal Sehat” karya Meicky Shoreamanis Panggabean.
Tentunya, hal itu dimungkinkan karena gaya penulisan dan bahasa-bahasa yang
dipergunakan penulis begitu sederhana, ringkas, serta mengalir. Ya.., ini
memang pilihan penulis yang menetapkan target pembaca buku ini adalah
siswa-siswa sekolah menengah atas. Kita boleh saja menebak-nebak apa yang ada
di dalam isi kepala penulis sehingga menetapkan target demikian. Meski
tergolong “ringan”—barangkali, setelah Anda membaca buku “Ahok”, Anda dapat
memahami apa yang saya maksud dengan “ringan”—diam-diam, setidaknya dari sudut
pandang saya, buku berbicara tentang dua tema besar, agama dan realisme di mana
keduanya berujung pada akal sehat. Saya akan berbicara tentang kedua hal itu
satu per-satu, kemudian hal terakhir akan menjadi kesimpulan.
Ragam kesaksian yang disampaikan
penulis dalam buku “Ahok” mengarahkan pembacaan saya pada kesimpulan bahwa
agama masih merupakan sumber inspirasi bagi aktivitas politik di Indonesia,
tanpa terjatuh kepada gerak fundamentalisasi agama. Kejernihan agama dalam
membedakan antara hitam dan putih—suatu kejernihan yang tampaknya sulit
diimbangi oleh pertimbangan utilitarian yang kerap kali mewarnai proses
tawar-menawar di dalam politik.
Dikisahkan, pada halaman 261-262,
Ahok yang saat itu tengah mengikuti pemilihan Gubernur Bangka Belitung pada
2007 berpeluang menjadi gubernur terpilih sekiranya ia bersedia menyogok MA
senilai Rp50 miliar demi memenangkan gugatan dalam pemilukada itu. Di tengah
kegalauan memutuskan suap atau tidak, Ahok bertanya kepada istrinya, Veronica
Tan, apakah mereka menyuap atau tidak. Terhadap pertanyaan itu, Veronika
mengajukan jawaban, “Terserah lu. Lu mau jadi murid Yesus apa murid Barabas.”
Dalam tradisi agama Kristen, Yesus adalah kebenaran mutlak, juga kebaikan
mutlak; ada pun Barabas berada pada posisi yang berbeda. Hasilnya: Ahok
mengikuti teguran Veronika.
Selain kisah di atas, yang dari
sudut pandang saya menarik, pada bab kedua “Sebuah Puzzle Bernama Ahok”
terdapat satu sub-bab yang ditulis sepanjang 21 halaman di bawah judul “Ahok
dan Kekristenan”. Bagian itu merupakan sub-bab terpanjang kedua di dalam buku
ini; sub-bab terpanjang pertama, 37 halaman, yaitu “Taat Konstitusi, Bukan
Konstituen” yang ada pada bab pertama, “Mengenal Politik Akal Sehat Seorang
Basuki Tjahaja Purnama (BTP)”. Entahlah, saya tidak tahu, apakah memang
diam-diam, tanpa disadari, buku ini juga hendak mempromosikan bahwa agama masih
dapat diselaraskan dengan politik—tentu saja penyelarasan itu terjadi melalui
adanya akal sehat. Melalui akal sehat, Ahok mampu memadukan kejernihan
inspirasi dari tradisi Kristen yang memberikan orientasi dalam berpolitik
dengan ketajaman intuisi demi mengambil keputusan yang cepat dalam gerak
politik kebijakan yang berlangsung dinamis. Akal sehat memungkinkan Ahok
menempatkan secara proporsional argumen agama dan argumen nalar—dan bahkan Ahok
sesungguhnya lebih mengedepankan argumen nalar di ruang publik, daripada
argumen agama.
Hal berikutnya adalah realisme,
tepatnya realisme epistemologis. Secara filosofis, realisme epistemologis berisi
dua keyakinan pokok, yaitu (i) realitas eksis di luar pikiran dan (ii) realitas
itu dapat diketahui oleh pikiran melalui model tertentu. Dalam buku “Ahok”, dua
tokoh menyinggung perihal sikap realisme ini, yaitu Seno Gumira Ajidarma dan B.
Herry Priyono. Titik tolak pembahasan adalah keputusan Ahok memilih jalur
partai daripada jalur independen. Realitas politik tidak semata-mata ditopang
oleh pengutamaan nilai-nilai etis, sebagaimana yang diyakini oleh para moralis
politik—namun juga ditopang oleh pertimbangan situasional demi mencapai tujuan,
sebagaimana yang diyakini oleh para realis politik. Sederhananya, politik
senantiasa berada dalam tegangan—pada satu kutub terinspirasi pada keluhuran
cita-cita masyarakat beradab dan adil, pada kutub lainnya ambisi meraih
kekuasaan. Persis di tengah tegangan keluhuran cita-cita dan geliat situasi
politik yang mendadak berubah total—partai-partai mendadak bersedia mendukung
Ahok tanpa syarat, Ahok memutuskan memilih jalur partai sebagai jalan
mendapatkan tiket dalam kontestasi pemilihan Gubernur DKI yang akan datang. Ajidarma
menyimpulkan: Ahok adalah seorang realis.
Dari sudut pandang saya, realisme
epistemologis memungkinkan kita mengenali Ahok dan mendukung Ahok secara wajar.
Realisme epistemologis, mengutip istilah Priyono, mampu membebaskan pendukung
Ahok dari sikap karikatural. Sikap karikatural berarti melihat Ahok sepenuhnya
tanpa kelemahan, tanpa sisi gelap—Ahok kerap dikenali sebagai jawaban mutlak
tidak hanya bagi persoalan Jakarta, namun juga persoalan Indonesia. Hal inilah
yang disebut Ajidarma sebagai sikap utopis, sikap yang menempatkan realitas
tidak lagi di luar pikiran, melainkan menempatkan realitas itu di dalam
pikiran. Hasilnya: dukungan terhadap Ahok tidak lain adalah ekspresi dari
kecintaan pada diri sendiri—barangkali inilah yang kita namakan lovers. Konsekuensinya: setiap kritik
yang diajukan terhadap Ahok, sejauh menyangkut kebijakan politik yang
diambilnya, akan dipandang sebagai gugatan terhadap diri atau personalitas
pendukung bersangkutan. Persis di sini terjadi tragedi, tawaran politik akal
sehat dari Ahok justru menjadi pepesan kosong di kepala para pendukungnya.
Terakhir, semoga saya tidak
keliru dalam mengambil kesimpulan, politik akal sehat ditopang oleh dua pilar,
yaitu (1) kejernihan dalam memilah hitam dan putih yang terekspresi dalam
prinsip “Ketaatan pada konstitusi, bukan konstituen”—dan hal ini memiliki akar
pada nilai dan tradisi agama, sekaligus (2) sikap realisme epistemologis, yang
terekspresi dalam kalimat “walau disalah-pahami, biar sejarah yang akan
membuktikan”.
No comments:
Post a Comment