Sejak tragedi WTC 11 September 2001 lalu, kekerasan atas
nama agama menjadi tema penting dalam diskursus di ruang publik. Lagi-lagi,
dengan terjadinya peristiwa bom bunuh diri di Mapolresta Solo, Jawa Tengah,
pada 5 Juni lalu, tema kekerasan atas nama agama kembali menjadi bahan
diskursus di ruang publik. Bahkan, terkadang, diskursus tentang kekerasan atas
nama agama, entah diniatkan atau tidak, seakan-akan terarah pada kesimpulan
bahwa agama, itulah yang menjadi akar kekerasan. Artikel ini ditujukan untuk
membantah kemungkinan kesimpulan seperti. Tesis yang saya ajukan dalam artikel
ini adalah (i) kekerasan bukanlah gejala khas di dalam agama, namun juga gejala
yang dapat ditemukan di kalangan anti-agama, (ii) dengan demikian, akar
kekerasan bukanlah agama, melainkan pada bentuk cara mengada manusia (mode of being of human being) itu
sendiri.
Kekerasan Ateistik
Sekiranya kita melihat fakta historis, mustahil membantah
bahwa kekerasan juga dilakukan oleh kelompok anti-agama. Dalam artikel ini,
pengertian anti-agama mengacu kepada orang atau kelompok yang meyakini
kebenaran pandangan ateistik. Ada pun pengertian agama mengacu kepada orang
atau kelompok yang meyakini kebenaran pandangan teistik. Secara historis,
kekerasan ateistik dilakukan oleh Liga Ateis Militan, suatu organisasi bentukan
Partai Komunis Sovyet.
Pada 1925, Partai Komunis Uni Sovyet mendukung
pembentukan Liga Ateis Militan. Organisasi yang dirancang untuk melakukan
propaganda anti-agama itu dikomandani oleh Yemelyan Yaroslavky (1878-1943).
Kebutuhan propaganda anti-agama diperlukan karena, setelah Revolusi Oktober
1917, ternyata Bolshevik bukanlah satu-satunya kekuatan di Rusia. Selain
Bolshevik, Gereja Ortodoks Rusia sebagai representasi agama masih mendapat tempat
yang popular di kalangan rakyat. Liga Militan Ateis meyakini bahwa perjuangan
membentuk masyarakat sosial meniscayakan perlawanan terhadap kekuatan agama.
Tujuan akhir dari Liga Militan Ateis adalah memberantas peran Gereja Ortodoks
Rusia, baik dalam rangkaian keyakinan ataupun praktik, dalam kehidupan publik.
Sebelum munculnya Liga Ateis Militan, Gereja Ortodoks
Rusia memiliki 100 juta pengikut, sekitar 100 ribu klerus, 40 ribu paroki, 130
uskup dan lebih dari 100 biara. Setelah Liga Militan Ateis berdiri dan
beroperasi di Rusia—dengan menyebarkan propaganda anti-agama, meledakkan
gereja, lalu memenjarakan, mengasingkan hingga mengeksekusi pada padri
Ortodoks; pada 17 Februari 1938, sebanyak 55 padri Ortodoks dieksekusi—kondisi
pun mengalami perubahan. Menjelang Perang Dunia II, jumlah klerus yang ada
6.376 dan 950 paroki yang berfungsi.
Kekerasan sebagai Salah
Satu Bentuk Cara Mengada Manusia
Sekiranya kekerasan adalah gejala yang tidak hanya
ditemukan pada hal-hal yang berkenaan dengan agama, namun juga dapat ditemukan
pada hal-hal yang anti-agama, maka kekerasan sesungguhnya dapat dipahami
sebagai gejala khas dari cara mengada manusia. Gejala kekerasan itu tidak dapat
kita temukan dalam kehidupan anorganik seperti batu, juga kehidupan organik seperti
tumbuhan, ikan, kadal, atau juga harimau.
Dari sudut pandang Emmanuel Levinas (1906-1995), ada dua
bentuk cara mengada manusia, yaitu (i) relasi kekerasan dan (ii) relasi etis.
Secara sederhana, relasi kekerasan adalah relasi intersubyektivitas yang ditandai
oleh perlakuan sewenang-wenang terhadap liyan atau orang lain. Adapun relasi
etis adalah relasi intersubyektivitas yang ditandai oleh sikap tanggungjawab
tanpa batas kepada liyan atau orang lain. Relasi kekerasan berakar pada cara
pandang subyek yang bersifat epistemis dan politis, memandang orang lain
semata-mata melalui abstraksi dan dalam kerangka totalitas. Cara pandang yang
demikian mengabaikan keunikan liyan—pada hakikatnya, liyan senantiasa tidak
terpahami oleh subyek. Relasi kekerasan berakar pada kelupaan subyek pada
keberadaan liyan sebagai hal yang-konkret yang hadir di hadapan subyek. Dalam
relasi kekerasan, subyek mengenali liyan melalui konsep, melalui daya kognitif;
ada pun dalam relasi etis, subyek mengenali liyan melalui wajah (le visage, face), melalui kepekaan (sensibility).
Epilog
Syarat niscaya bagi adanya kekerasan adalah cara mengada
manusia, secara khusus relasi intersubyektitas yang mengabaikan keberadaan
liyan sebagai hal yang-konkret. Ada pun agama, ras, struktur ekonomi-politik,
ambisi politik, hingga barangkali sains merupakan syarat cukup yang berfungsi
menjustifikasi kekerasan, yang sialnya kadung dikenali sebagai sarana
pembebasan individu ataupun kolektif demi membentuk tatanan masyarakat yang
baru. Adanya kekerasan mengingatkan kita bahwa sesungguhnya manusia, diam-diam,
ternyata telah kehilangan aspek mendasar dari kehidupannya di dunia, yaitu
kepekaan (sensibility).
[sumber gambar: https://thecharnelhouse.org/2013/03/01/soviet-antireligious-propaganda/]
No comments:
Post a Comment