sumber: http://www.biography.com/people/iris-murdoch-9418425
Dame Jean Iris Murdoch. Novelis
dan filsuf asal Inggris. Perempuan, lahir 15 Juli 1919, wafat 8 Februari 1999. Salah
seorang murid dari filsuf analitik terkemuka: Ludwig Wittgenstein. Salah satu
karya masyhur dia di bidang filsafat adalah The
Sovereignty of Good. Sebuah buku yang menempatkan dirinya dalam jajaran
filsuf terkemuka. Alasannya: melalui buku tersebut, Murdoch kemukakan kritiknya
terhadap paradigma saintifik dalam filsafat, terhadap paradigma ‘inner life’
Cartesian yang egosentris dan meniadakan falibilitas, terhadap kebebasan
sebagai konsep moral yang berdaulat—yang secara implisit menempatkan dia
sebagai salah seorang pengkritik pemikiran Immanuel Kant, terhadap segala
bentuk pemikiran yang mengabaikan aspek transendensi dalam kehidupan manusia (human condition). Kritik-kritik tersebut
ia lancarkan bersamaan dengan niatan dia membangun konstruksi filsafat moralnya
yang bertolak dari cinta (love) dan
menempatkan the Good sebagai panduan
ultima, konsep moral yang berdaulat atas konsep-konsep moral lainnya, semisal
kebebasan, keadilan, keberanian, dst.
The Sovereignty of Good
The Sovereignty of Good merupakan kumpulan tiga makalah Murdoch,
yaitu ‘The Idea of Perfection’ (1964), ‘The Sovereignty of Good Over Other
Concepts’ (1967) dan ‘On ‘God’ and ‘Good’’ (1969). Dalam tiga makalah itu,
Murdoch konsisten menetapkan asumsi manusia Freduian sebagai titik tolak
pemikirannya. Ciri-ciri manusia Freudian itu egosentris, dideterminasi oleh
sejarah atau masa lalunya, bersifat instingtif, mengutamakan nafsu seksual, ambigu
dan sulit dikendalikan (h.51). Bagi Murdoch, itulah pandangan realistik dari
manusia—tentunya, tanpa mengecualikan adanya kemungkinan gambaran lain dari
manusia. Namun, secara umum, citra manusia Freudian kerap ditemukan dalam
keseharian—disebut juga oleh Murdoch sebagai “… fat relentless ego” (h.52).
Pertanyaannya, sekiranya manusia adalah manusia Freudian, lantas bagaimana
mempertanggungjawabkan moralitas? Pertanyaan ini akan membawa kita pada
konstruksi pemikiran Murdoch yang sesungguhnya.
Titik tolak awal pemikiran
Murdoch adalah filsafat moral. Filsafat Moral berbicara tentang tindakan (act) dan nilai (value). Lantas, dari mana keputusan untuk bertindak itu berasal?
Apakah semata dari kehendak dan kebebasan, tanpa adanya konsepsi tentang
moralitas? Murdoch meyakini latar pengetahuan moral mendahului tindakan moral.
Filsafat Kesadaran, yang berada di wilayah epistemologi, menjadi aspek lain
dari moral yang perlu dipertimbangkan. Persoalan berikutnya adalah apa atau
siapa agen moral itu? Pertanyaan ini membuka aspek baru dalam perkara moral,
yaitu teori tentang manusia atau antropologi filosofis. Demikianlah, filsafat moral-filsafat
kesadaran-antropologi filosofis menjadi tiga aspek mendasar dalam pemikiran
Murdoch. Filsafat Moral berkenaan dengan pertanyaan: apa yang mesti saya pilih
untuk dilakukan; Filsafat Kesadaran berkenaan dengan pertanyaan: apa hal logis
yang mesti saya lakukan; dan Antropologi Filosofis berkenaan dengan pertanyaan:
apa yang mesti kita lakukan sebagai manusia, seturut dengan kodrat manusia.
Tesis fundamental Murdoch dalam
kumpulan tersebut adalah konsepsi moral tidak statis, melainkan dinamis atau
mengalami perkembangan. Kesimpulan demikian barangkali terasa cukup aneh,
apalagi kalau kita menyadari bukankah korupsi di mana pun tergolong perbuatan
tak bermoral? Lantas, di mana kebenaran pernyataan Murdoch itu?
sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/The_Sovereignty_of_Good
Persoalan yang hendak
diselesaikan Murdoch bukanlah berada pada wilayah normatif atau menentukan
perbuatan X bermoral atau tidak, melainkan pada wilayah meta-etika. Kurang
lebih Murdoch menyederhanakan persoalannya sebagai berikut: sekiranya ada orang
yang menyatakan “Saya bertobat” atau “Saya ampuni kamu” atau “Saya
sungguh-sungguh memohon maaf”, lantas darimana kita tahu bahwa orang yang
menyatakan itu benar-benar tulus menyatakannya, benar-benar menyatakan hal itu
sepenuh hati? Dalam konteks yang “dibersihkan” dari muatan religius, Murdoh
mengajukan permodelan relasi antara mertua (M) dan menantu perempuan (D). Meski
mertua mengucapkan kata-kata yang manis terhadap menantu perempuan, namun dalam
batinnya ia mengakui hal yang sebaliknya. Dalam batinnya, mertua memandang
menantunya itu sebagai orang yang tidak sopan, ceroboh, kasar, dst (h. 16-7).
Namun seiring dengan perjalanan waktu, relasi antara keduanya menjadi harmonis
dan keduanya saling mengenal secara lebih jujur. Dalam kata lain, apa yang ada
dalam batin (inner) bersesuaian
dengan apa yang ternyatakan di publik (outer).
Persoalannya, mengapa hal itu dapat terjadi? Bagaimana menjelaskannya? Inilah
yang menjadi proyek pemikiran Murdoch.
Dalam esai ‘The Idea of
Perfection’, Murdoch berupaya menjelaskan keterkaitan antara pengetahuan moral
dan tindakan moral dengan bertolak dari model relasi antara mertua dan menantu
perempuan yang mengalami perbaikan. Tindakan moral ditentukan oleh pengetahuan
moral di mana pengetahuan moral yang berisikan konsep-konsep moral mengalami
perkembangan melalui adanya perhatian (attention)
dari agen moral terhadap objek moral. Hal penting di sini adalah asal-usul
konsep moral. Menurut Murdoch, konsep moral itu bukanlah berada dalam diri atau
dalam batin (inner), melainkan berada
di luar diri (outer). Konsep moral
menjadi berada di dalam diri karena adanya proses akuisisi apa yang berada di
luar diri menjadi apa yang berada di dalam diri—paralel dengan belajar bahasa
di mana yang-belajar mengakusisi struktur bahasa yang ada di luar diri menjadi
ke dalam diri (h. 89). Murdoch mengkritik konsep moral yang bertolak dari batin
(inner)—yang diidentifikasinya sebagai
dampak dari filsafat Cartesian yang menempatkan batin manusia sebagai sumber
kebenaran yang tak dapat disalah (infallible).
Dengan menetapkan asal-usul
konsep adalah hal di luar diri, yang kemudian diakusisi menjadi diri, Murdoch mengkonstruksikan
‘struktur ganda’ konsep moral. Konsep moral mengacu kepada apa yang di luar
diri, yang objektif, sekaligus apa yang ada di dalam diri, yang subjektif, yang
personal. Aspek personalitas inilah yang menjadi khas di dalam pemikiran
Murdoch—dan persis di sinilah kita dapat melihat kritik Murdoch terhadap
impersonalitas moral dalam pemikiran Kant.
Lantas, bagaimana menjelaskan
konsep moral berkembang? Konsep moral
mengalami perkembangan karena (i) adanya kebebasan dalam diri agen moral, (ii)
objek moral yang menjadi fokus perhatian (attention),
dan (iii) manusia sebagai mahluk yang mewaktu, menyejarah. Bagi Murdoch,
kebebasan adalah “fungsi dari upaya progesif untuk melihat objek tertentu
secara jernih” (h. 23). Dalam pemikiran Murdoch, kebebasan tidak hanya punya
fungsi etis—menetapkan pilihan, namun juga memiliki fungsi epistemis, yaitu
melihat objek apa adanya. Secara metode, perubahan konsep moral itu
mensyaratkan adanya perhatian dari agen moral terhadap objek moral. Dan secara
historis, pengalaman personal dalam berinteraksi dengan objek moral akan
mengubah konsep moralitas dalam diri agen moral.
Apakah perubahan konsep moral itu
terjadi semata-mata karena perjumpaan antara agen moral dan objek moral? Atau
mengapa agen moral perlu memperbaharui konsep moralnya? Hal apa yang
memungkinkan terjadinya idea of
perfection, gagasan penyempurnaan konsep moral? Inilah yang menjadi kajian
dalam esai Murdoch berikutnya, ‘On ‘God’ and ‘Good’’. Konstruksi problemnya
kurang lebih demikian: sekiranya, secara psikologis, manusia itu adalah manusia
Freudian dan, secara sosiologis, Marx menyatakan bahwa moralitas adalah ilusi,
lantas dari mana apa yang memungkinkan penyempurnaan konsep moral itu? Secara
sederhana Murdoch akan menjawab: psikologi Freudian dan sosiologi Marxian tidak
dapat meniadakan pertanyaan: bagaimana sih hidup yang lebih baik itu? Freud dan
Marx telah menutup peran Tuhan dalam menjawab pertanyaan itu, namun belum mampu
menutup peran Yang-Baik (Good).
Bagi Murdoch, moralitas adalah
upaya perlawanan terhadap egosentrisme manusia Freudian melalui adanya idea of the Good yang tidak dikenali
secara langsung, namun melalui idea of
perfection dan certainty (h.58-60).
Namun, Yang-Baik itu sendiri—di sini Murdoch sejalan dengan pemikiran G.E.
Moore—adalah hal yang tak-terdefinisi dan tak-terepresentasikan. Yang-Baik
inilah yang mengorientasikan kebebasan sebagai progres dari konsepsi moral. Lantas,
sekiranya Yang-Baik itu tak-terdefinisikan dan tak-terepresentasikan di mana
kita dapat berjumpa Yang-Baik? Murdoch menyatakan bahwa Yang-Baik ditemukan lewat
kontemplasi (h. 69).
Dalam esai terakhir ‘The
Sovereignty of Good’ Murdoch mengkritik filsafat moral yang menempatkan konsep
kebebasan sebagai konsep yang berdaulat. Dengan menempatkan kebebasan sebagai
konsep moral yang berdaulat, maka penciptaan nilai ditentukan oleh kebebasan
itu sendiri, dalam hal ini adalah kehendak. Kehendak manusia menentukan atau
menciptakan nilai—dan kehendak manusia itu bukanlah hal yang transenden,
melainkan imanen di dalam manusia. Bagi Murdoch, hal demikian tentu menempatkan
asal-usul konsep moral berada dalam batin (inner)
dan tak pernah keliru; padahal, dalam esai ‘The Idea of Perfection’ Murdoch
sudah membantah hal itu.
Dalam ranah moralitas, konsep
yang berdaulat adalah Yang-Baik. Yang-Baik itu “pusat magnetik yang terhadapnya
cinta secara alami terarah” (h.102), yang memiliki daya menyatukan (unity) dan tak-terdefinisikan (h.94).
Yang-Baik itu tidak berada dalam batin, melainkan di luar batin, transenden,
yang menggerakkan daya cinta dalam diri manusia. Ada pun yang dimaksud cinta
adalah “tension between the imperfect self and the magnetic perfection”
(h.102-3). Kedaulatan konsepsi Yang-Baik atas segala konsep ini menggemakan
kembali pernyataan Murdoch dalam ‘The Idea of Progress’, yaitu “We are men and
we are moral agents before we are scientist…” (h. 34).
Tanggapan Kritis
Ada dua hal yang dapat ditanggapi
dari pemikiran Murdoch. Pertama, konsepsi Murdoch akan manusia yang pesimistik
sekaligus paradoksal dengan proyek pemikirannya sendiri. Murdoch menerima
konsepsi manusia Freudian sekaligus melampaui manusia Freudian. Bukankah hal
ini memperlihatkan bahwa manusia itu sesungguhnya bukanlah manusia naturalistik
Freudian. Kurang lebih, bagaimana mungkin kita dapat mempertanggungjawabkan
transendensi manusia sekiranya manusia itu tidak memiliki kapasitas untuk
mentransendensi diri? Asumsi manusia naturalistik Freudian tidak memadai untuk
menjawab hal itu. Dalam kata lain, manusia Murdochian adalah manusia
supra-naturalistik di mana kebebasan dimaknai sebagai daya transendensi diri,
sekaligus keterarahan diri kepada Yang Baik karena terpikat kepada Yang-Baik. Kedua,
tanggapan kritis Franz Magnis Suseno juga patut dipertimbangkan. Murdoch enggan
mengidentifikasi the Good dengan God, padahal ciri-ciri yang dia sampaikan
tentang the Good itu tidak jauh berbeda dari God.
Pustaka:
Murdoch, Iris, The Sovereignty of Good, ART Paperbacks: USA, 1985
No comments:
Post a Comment