Kecuali debat terbuka yang sudah
ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta, pasangan Agus-Sylvi
memutuskan menolak berpartisipasi dalam debat terbuka lainnya yang
diselenggarakan televisi swasta. Setidaknya, kubu Agus-Sylvi tercatat sudah dua
kali tak berpartisipasi dalam debat terbuka yang diselenggarakan Net TV pada 9
Desember dan Kompas TV pada 15 Desember. Rencananya, KPU DKI Jakarta akan
menyelenggarakan debat terbuka pada 13 dan 17 Januari 2017 serta 10 Februari
2017. Dari sudut pandang kepentingan publik (public interest), penolakan Agus-Sylvi berpartisipasi dalam debat
terbuka mencederai hak publik mendapatkan pendidikan dan pemberadaban kehidupan-bersama
melalui proses politik yang tengah berlangsung, yaitu Pemilukada DKI Jakarta.
Debat sebagai Medium Pendidikan dan Pemberadaban
Muara akhir dari kontestasi
politik Pemilukada DKI Jakarta adalah keputusan politik warga di bilik suara.
Kontestasi politik tidak lain adalah kontestasi gagasan antar kandidat yang
berkompetisi. Secara mendasar, gagasan itu adalah visi misi dan program kerja
kandidat dalam mengelola kehidupan-bersama dalam polis bernama Jakarta. Karena kompetisi gagasan adalah kompetisi
kandidat, maka gagasan terbaik adalah kandidat terbaik.
Dalam bilik suara, secara ideal,
warga memutuskan memilih kandidat berdasarkan gagasan yang diusung. Artinya,
warga mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan rasional dengan mempertimbangan
kebaikan-bersama (common good) bagi
warga Jakarta. Kemudian keputusan politik pemilih itulah yang menjadi basis
legitimasi bagi kekuasaan de jure dan
de facto dari kandidat peraih suara
terbanyak untuk menduduki kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta
2017-2022.
Karena akhir dari kontestasi
politik Pemilukada DKI Jakarta adalah keputusan politik warga di bilik suara,
maka masa kampanye adalah masa bagi para kontestan untuk mempengaruhi keputusan
politik warga. Secara ideal, interaksi antara kontestan dan pemilih berlangsung
dengan menggunakan akal sehat. Kontestan menggunakan akal sehat demi
mempengaruhi keputusan politik pemilih dan pemilih menggunakan akal sehat untuk
menilai dan mengevaluasi gagasan tiap kontestan. Dengan demikian, sadar atau
tidak, secara mendasar, masa kampanye berfungsi mendidik dan memberadabkan
warga (citizen) polis.
Kontestan dapat mempengaruhi
keputusan politik pemilih dengan beragam sarana, antara lain poster, iklan di
media massa, rapat umum, tatap muka hingga debat terbuka. Secara spesifik,
penulis menyorot dua bentuk kampanye terakhir, yaitu tatap muka dan debat
terbuka.
Dibanding tatap muka, debat
terbuka memiliki dua keunggulan. Pertama, partisipan yang terlibat dalam debat
terbuka yang disiarkan televisi secara langsung dapat menjangkau pemilih dengan
kecenderungan (preference) yang
beragam, mulai dari yang mendukung hingga menolak kontestan tertentu. Melalui
debat terbuka, tiap kontestan memiliki peluang mengubah sikap politik pemilih
dari menolak menjadi mendukung, meyakinkan pemilih yang masih ragu atau belum
menetapkan pilihan, serta meneguhkan pilihan yang sudah ditetapkan. Keuntungan
itu sulit tercapai melalui tatap muka. Dalam tatap muka, partisipan yang
terlibat sudah berkecenderungan memilih kontestan tertentu sehingga ia bersedia
menghadiri kampanye tatap muka yang diselenggarakan kontestan bersangkutan. Dalam
kata lain, pemilih yang terlibat dalam debat terbuka itu beragam, sedangkan
pemilih yang terlibat dalam tatap muka cenderung seragam.
Kedua, debat terbuka memungkinkan
hadirnya gagasan tandingan. Dalam debat terbuka, tiap kontestan dapat
menyampaikan gagasannya, mengevaluasi secara kritis gagasan dari kontestan lainnya,
juga mempertanggungjawabkan gagasannya di hadapan panelis yang dipilih oleh
pihak penyelenggara. Publik yang menyaksikan debat terbuka pun mendapatkan
informasi mengenai kualitas tiap kontestan. Informasi itu membantu pemilih
menetapkan keputusan politiknya. Dalam kampanye tatap muka, kehadiran gagasan
tandingan hampir mustahil terjadi.
Ketiga, secara substansial, debat
terbuka merupakan sarana pendidikan dan pemberadaban publik. Sebagai sarana
pendidikan, debat terbuka mengembangkan kemampuan pemilih untuk menetapkan
keputusan politiknya seturut informasi yang diperolehnya dari debat terbuka.
Dalam debat terbuka, pemilih, dengan menggunakan akal sehat, dapat mengevaluasi
secara kritis kelemahan dan kekuatan kontestan tertentu. Sebagai sarana
pemberadaban, debat terbuka berfungsi (i) mengembangkan kemampuan pemilih
melihat perbedaan secara kenyataan yang mesti diterima secara terbuka dan (ii)
memampukan pemilih melihat blunder
yang dilakukan kontestan dalam debat terbuka sebagai hal yang manusiawi.
Tiga Argumentasi Penolak Debat Terbuka
Selama masa kampanye Pemilukada
DKI Jakarta, debat publik yang dilaksanakan televisi swasta sudah berlangsung
dua kali. Dalam dua acara debat terbuka itu, pasangan Agus-Sylvi menolak
berpartisipasi. Untuk menjustifikasi posisinya, kubu Agus-Sylvi mengajukan tiga
argumen. Pertama, argumen legalitas. Argumen ini menyatakan legalitas
penyelenggara debat menentukan wajib/tidaknya kandidat berpartisipasi. Kubu
Agus-Sylvi meyakini bahwa mereka hanya wajib mengikuti debat terbuka yang
diselenggarakan pihak resmi, yaitu KPUD DKI Jakarta (Kompas.com, 9/12). Atas
dasar ini, kubu Agus-Sylvi memutuskan menolak berpartisipasi dalam debat
terbuka yang diselenggarakan oleh televisi swasta.
Kedua, argumen manfaat. Argumen
ini menyatakan sejauh debat terbuka bermanfaat, maka debat terbuka itu wajib
dilakukan (Kompas.com, 17/12). Persoalannya, apa yang menentukan bermanfaat
atau tidaknya debat itu? Seturut dengan riset ilmiah yang dilakukan kubu
Agus-Sylvi, bermanfaat atau tidaknya debat ditentukan oleh banyak-tidaknya
partisipan yang terlibat dalam debat. Berdasarkan riset internal yang
dilakukan, kubu Agus-Sylvi mengungkapkan bahwa jumlah penonton debat terbuka
tidak signifikan dan debat terbuka hanya memuaskan kepentingan kelas menengah
ke atas. Karena itu, kubu Agus-Sylvi memutuskan memilih melakukan kampanye
tatap muka, langsung menemui kelompok kelas menengah ke bawah.
Ketiga, argumen makna. Argumen
ini menyatakan bahwa sejauh debat terbuka bermakna, maka debat terbuka wajib
dilakukan (CNNIndonesia.com, 15/12). Secara tersirat, Agus Harimurti Yudhoyono menyatakan
bahwa debat terbuka tidak bermakna bagi masyarakat. Bagi masyarakat, menurut
Agus, hal bermakna adalah kehadiran kontestan di tengah-tengah masyarakat.
Karena itu, alih-alih berpartisipasi dalam debat, pasangan Agus-Sylvi
memutuskan berjumpa langsung dengan masyarakat.
Evaluasi Etis
Keputusan politik Agus-Sylvi
menolak berpartisipasi dalam debat terbuka mengandung dua dimensi. Pertama,
dimensi kepentingan kelompok atau pribadi. Dari sudut pandang kepentingan
kelompok, argumen legalitas, manfaat dan makna memberikan keuntungan bagi
Agus-Sylvi. Kubu Agus-Sylvi akan memiliki fokus kampanye yang lebih terarah.
Alasannya, mereka hanya perlu menghadapi satu debat saja—tidak seperti pasangan
Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga yang mesti mempersiapkan diri menghadapi setiap
debat terbuka yang diselenggarakan.
Kedua, dimensi kepentingan
publik. Dari sudut pandang kepentingan publik, keputusan Agus-Sylvi menolak
berpartisipasi dalam debat terbuka mencederai hak publik mendapat pendidikan
dan pemberadaban kehidupan-bersama. Argumen legalitas yang hanya membahas
kualifikasi legal-tidaknya penyelenggara debat telah meniadakan hakikat dari
debat terbuka, yaitu mendidik dan memberadabkan kehidupan publik atas dasar
akal sehat.
Argumen manfaat dengan sendirinya
menunjukkan cacat dalam keputusan politik Agus-Sylvi. Apakah jumlah penonton
yang tak signifikan itu dapat meniadakan hak warga kelas menengah mendapatkan
pendidikan dan pemberadaban? Sadar atau tidak, argumen manfaat membenarkan
sikap kubu Agus-Sylvi untuk mengabaikan kelompok masyarakat tertentu.
Terakhir, argumen makna. Karena
argumen makna menyatakan bahwa debat terbuka itu tidak bermakna, maka debat
terbuka yang diselenggarakan KPUD DKI Jakarta juga tidak bermakna.
Implikasinya, pasangan Agus-Sylvi tidak memiliki alasan yang kuat
berpartisipasi dalam debat terbuka yang diselenggarakan KPUD DKI Jakarta. Paling
tidak, argumen legalitas dan manfaat yang menjadi dasar partisipasi pasangan
Agus-Sylvi dalam debat terbuka yang diselenggarakan KPUD DKI Jakarta akan
berbenturan secara diametral dengan argumen makna yang meyakini bahwa debat
terbuka itu tidak bermakna bagi masyarakat.
Menempatkan debat terbuka lebih
rendah dari pada tatap muka atau bentuk kampanye lainnya adalah kekeliruan.
Keputusan Agus-Sylvi menolak berpartisipasi dalam debat terbuka, sadar atau
tidak, telah mencederai kepentingan publik yang senantiasa berupaya membangun
kehidupan-bersama berdasarkan akal sehat. Pada dasarnya inspirasi dari segala
bentuk kampanye dalam kontestasi politik kekuasaan adalah pendidikan dan
pemberadaban kehidupan publik. Segala bentuk kampanye yang diizinkan oleh
penyelenggara Pemilukada DKI Jakarta menjadi pemandu, bahkan penentu, pembentukan
kehidupan publik yang demokratis, dan tentu saja beradab (civilized), dengan berdasarkan pada akal sehat.
No comments:
Post a Comment