Natal


sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/7/7b/Kim_Ki_Chang.jpg

Demi memahami betapa pentingnya suatu hal, kita perlu memikirkan kondisi sebaliknya. Kurang lebih demikian, apa yang akan terjadi sekiranya hal itu tidak ada? Misal, makanan. Makanan menjadi penting karena kita paham bahwa tanpa makanan kita akan mati. Atau, teman. Teman menjadi penting karena kesendirian adalah bencana. Imajinasikan saja bagaimana kehidupan kita ketika tidak ada orang lain di dunia.

Natal. Lantas, mengapa Natal penting? atau mengapa Natal mesti terjadi? Emang, apa yang akan terjadi ketika Natal itu tidak ada? Apakah, dengan terjadinya Natal, dunia menjadi berbeda? atau malah sama saja? Nilai penting Natal justru muncul ketika kita dapat mengimajinasikan kondisi seperti apa yang bakal terjadi sekiranya Natal itu tidak ada.

Secara historis, dalam tradisi Kristiani, Natal mengacu kepada peristiwa lahirnya seorang anak yang bernama Yesus. Kelahiran Yesus melampaui akal manusia. Ia lahir dari ketiadaan hubungan suami-istri, Ia lahir sebelum pasangan Yusuf dan Maria menikah. Apologet Kristiani abad 20, C.S. Lewis menyatakan bahwa peristiwa kelahiran Yesus atau inkarnasi, Allah menjadi manusia, sebagai Mujizat Agung (the Grand Miracle). Mujizat Agung itu pun hadir sebagai paradoks. Bagaimana mungkin, Allah yang Mahakuasa—tidak ada satu hal pun yang mustahil bagi Dia—bersedia tampil dalam sosok yang tak berdaya, sebagai bayi? Bagaimana mungkin Allah yang Abadi—Ia mendahului sekaligus melampaui waktu—bersedia tunduk dalam waktu temporal, yang fana, yang sementara? Lebih jauh lagi, sebagaimana juga yang dinyatakan Lewis dalam bukunya “Miracle”, Allah yang menjadi manusia itu bersedia memasuki dunia manusia yang ditandai oleh adanya penderitaan dan kematian.

Secara filosofis, kehadiran Natal sebagai peristiwa historis sekaligus paradoksal, dalam tradisi pemikiran Kristiani, membuka kemungkinan baru dalam memahami Allah yang tidak sepenuhnya terpahami. Inkarnasi membuka kemungkinan untuk memahami Allah secara transenden sekaligus imanen, sebagaimana yang dinyatakan teolog Katolik Adrianus Sunarko, OFM. Secara transenden berarti Allah melampaui pikiran manusia, juga kategori-kategori dalam kesadaran manusia. Implikasinya adalah apa yang kita nyatakan tentang Allah secara niscaya mustahil mengandung kebenaran tentang Allah itu sendiri—dalam kata lain, kita hanya dapat mengenali Allah secara negatif. Allah bukan batu, bukan manusia, bukan tumbuhan, dst. Secara imanen berarti Allah terpahami manusia, kategori-kategori manusia dapat dipergunakan untuk memahami Allah. Implikasinya, kita dapat berbicara tentang Allah secara positif, meski hal itu tidak dapat sepenuhnya benar. Allah itu baik, berkuasa, pribadi, dst. Transendensi dan imanensi Allah inilah memungkinkan kita berbicara tentang Allah dalam bahasa analogi. Melalui bahasa analogi, Allah dipahami dalam kerangka kesamaanNya dengan manusia, karena imanensiNya, sekaligus dalam kerangka keberlainanNya dari manusia, karena transendensiNya.

Natal adalah Inkarnasi. Allah menjadi manusia. Pertanyaannya kemudian: mengapa Allah bersedia menjadi manusia? Melalui bukunya Cur Deus Homo, teolog cum filsuf Abad Pertengahan St. Anselmus dari Kanterburi berupaya memberi jawaban. Inkarnasi terjadi karena Allah memiliki misi, yaitu menyelamatkan umat manusia, menebus umat manusia dari dosa. Dalam kitab Kejadian, dikisahkan Adam dan Hawa melakukan kesalahan terhadap Allah dengan cara tidak mematuhi perintahNya. Adam dan Hawa diperintahkan untuk tidak memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, namun mereka malah memakan buah itu. Pelanggaran ini, yang kemudian dikenali sebagai dosa, menempatkan manusia sebagai orang bersalah yang mesti mendapatkan hukuman—dan hukuman itu adalah mati. Ada pertanyaan menarik di sini. Sekiranya hukuman mati itu dilakukan Allah, lantas mengapa manusia masih tetap ada? Para ahli menyimpulkan bahwa kematian yang dialami Adam dan Hawa adalah kematian spiritual, yang kemudian diikuti dengan kematian fisikal. Kematian spiritual adalah kematian yang merusak kodrat manusia sebagai citra Allah (imago Dei).

Konsep kodrat manusia sebagai citra Allah dapat dipahami sebagai berikut. Berbeda dari pemikiran libertarian yang menempatkan manusia sebagai individu atomistis, yang terpisah dari individu dan hal-hal lain; atau pemikiran komunitarian yang menempatkan manusia sebagai bagian dari komunitas; atau pemikiran biologi evolusioner yang menempatkan manusia sebagai hasil evolusi, konsepsi manusia sebagai citra Allah menempatkan manusia (i) sebagai ciptaan dan Allah itu Pencipta, dan (ii) manusia senantiasa berada dalam relasi dengan Allah, orang lain, dunia, dan dirinya. Sebelum berdosa, relasi dengan Allah ditandai oleh sembah, dengan orang lain ditandai oleh solidaritas, dengan dunia atau alam semesta ditandai oleh memelihara atau konservasi, dan dengan diri sendiri ditandai dengan sadar-diri. Setelah berdosa, relasi dengan Allah cerca, dengan orang lain kompetisi, dengan dunia eksploitasi, dan dengan diri lupa-diri. Dalam narasi yang demikian, Inkarnasi menjadi titik awal Misi Allah di dunia, yaitu menebus manusia, memulihkan kodrat manusia sebagai citra Allah yang telah rusak total (total depravity). Misi itu tergenapi ketika Yesus yang lahir pada hari Natal tersalibkan, bangkit pada hari ketiga dan naik ke surga 40 hari kemudian.

Mengapa penebusan itu diperlukan? Penebusan diperlukan karena Allah itu Adil sekaligus Kasih. Karena Allah itu Adil, maka tidak ada kesalahan yang terlalu kecil untuk lolos dari hukuman. Karena Allah itu Kasih, maka tidak ada kesalahan yang terlalu besar untuk tak diampuni. Pribadi Kedua dalam Tritunggal itulah yang menggantikan manusia mendapatkan hukuman Allah sekaligus menunjukkan bahw Allah itu Kasih. Dalam tradisi Kristiani, Penebusan itulah yang dihayati dalam peristiwa Paska, peristiwa kesediaan Sang Putra menjadi silih bagi hukuman yang semestinya ditanggung oleh manusia—dan melalui peristiwa itu juga kodrat manusia sebagai citra Allah pun terpulihkan. Pada saat itulah, secara paradoksal, terwujud keadilan karena kesalahan telah mendapatkan penghukuman dan terwujud juga damai (shalom) karena segala hal menjadi terbaharui sebagaimana kondisi awali.

Natal adalah Inkarnasi yang mengandung Misi. Inkarnasi memungkinkan manusia mengenali Allah secara lain, yaitu sebagai Allah yang transenden sekaligus imanen, Allah yang melampaui sejarah sekaligus berada dalam sejarah. Misi penebusan memungkinkan manusia memperbaharui relasinya dengan Allah, orang lain, dunia, dan diri sendiri. Persis pada dua hal inilah Natal menjadi penting. Demikianlah, dunia tanpa Natal sesungguhnya berbeda dari dunia dengan adanya Natal. Mengutip dari orang yang tidak dikenalnya, padri Katolik Timothy Radcliffe, OP menyatakan kurang lebih begini: Sabda menjadi manusia agar manusia dapat menjadi sabda. Demikianlah: Inkarnasi menjadi bermakna karena ada Misi yang [hendak] dituntaskan.


Selamat menghayati peristiwa Natal. 

Iris Murdoch

sumber: http://www.biography.com/people/iris-murdoch-9418425

Dame Jean Iris Murdoch. Novelis dan filsuf asal Inggris. Perempuan, lahir 15 Juli 1919, wafat 8 Februari 1999. Salah seorang murid dari filsuf analitik terkemuka: Ludwig Wittgenstein. Salah satu karya masyhur dia di bidang filsafat adalah The Sovereignty of Good. Sebuah buku yang menempatkan dirinya dalam jajaran filsuf terkemuka. Alasannya: melalui buku tersebut, Murdoch kemukakan kritiknya terhadap paradigma saintifik dalam filsafat, terhadap paradigma ‘inner life’ Cartesian yang egosentris dan meniadakan falibilitas, terhadap kebebasan sebagai konsep moral yang berdaulat—yang secara implisit menempatkan dia sebagai salah seorang pengkritik pemikiran Immanuel Kant, terhadap segala bentuk pemikiran yang mengabaikan aspek transendensi dalam kehidupan manusia (human condition). Kritik-kritik tersebut ia lancarkan bersamaan dengan niatan dia membangun konstruksi filsafat moralnya yang bertolak dari cinta (love) dan menempatkan the Good sebagai panduan ultima, konsep moral yang berdaulat atas konsep-konsep moral lainnya, semisal kebebasan, keadilan, keberanian, dst.  

The Sovereignty of Good
The Sovereignty of Good merupakan kumpulan tiga makalah Murdoch, yaitu ‘The Idea of Perfection’ (1964), ‘The Sovereignty of Good Over Other Concepts’ (1967) dan ‘On ‘God’ and ‘Good’’ (1969). Dalam tiga makalah itu, Murdoch konsisten menetapkan asumsi manusia Freduian sebagai titik tolak pemikirannya. Ciri-ciri manusia Freudian itu egosentris, dideterminasi oleh sejarah atau masa lalunya, bersifat instingtif, mengutamakan nafsu seksual, ambigu dan sulit dikendalikan (h.51). Bagi Murdoch, itulah pandangan realistik dari manusia—tentunya, tanpa mengecualikan adanya kemungkinan gambaran lain dari manusia. Namun, secara umum, citra manusia Freudian kerap ditemukan dalam keseharian—disebut juga oleh Murdoch sebagai “… fat relentless ego” (h.52). Pertanyaannya, sekiranya manusia adalah manusia Freudian, lantas bagaimana mempertanggungjawabkan moralitas? Pertanyaan ini akan membawa kita pada konstruksi pemikiran Murdoch yang sesungguhnya.

Titik tolak awal pemikiran Murdoch adalah filsafat moral. Filsafat Moral berbicara tentang tindakan (act) dan nilai (value). Lantas, dari mana keputusan untuk bertindak itu berasal? Apakah semata dari kehendak dan kebebasan, tanpa adanya konsepsi tentang moralitas? Murdoch meyakini latar pengetahuan moral mendahului tindakan moral. Filsafat Kesadaran, yang berada di wilayah epistemologi, menjadi aspek lain dari moral yang perlu dipertimbangkan. Persoalan berikutnya adalah apa atau siapa agen moral itu? Pertanyaan ini membuka aspek baru dalam perkara moral, yaitu teori tentang manusia atau antropologi filosofis. Demikianlah, filsafat moral-filsafat kesadaran-antropologi filosofis menjadi tiga aspek mendasar dalam pemikiran Murdoch. Filsafat Moral berkenaan dengan pertanyaan: apa yang mesti saya pilih untuk dilakukan; Filsafat Kesadaran berkenaan dengan pertanyaan: apa hal logis yang mesti saya lakukan; dan Antropologi Filosofis berkenaan dengan pertanyaan: apa yang mesti kita lakukan sebagai manusia, seturut dengan kodrat manusia.

Tesis fundamental Murdoch dalam kumpulan tersebut adalah konsepsi moral tidak statis, melainkan dinamis atau mengalami perkembangan. Kesimpulan demikian barangkali terasa cukup aneh, apalagi kalau kita menyadari bukankah korupsi di mana pun tergolong perbuatan tak bermoral? Lantas, di mana kebenaran pernyataan Murdoch itu?

sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/The_Sovereignty_of_Good

Persoalan yang hendak diselesaikan Murdoch bukanlah berada pada wilayah normatif atau menentukan perbuatan X bermoral atau tidak, melainkan pada wilayah meta-etika. Kurang lebih Murdoch menyederhanakan persoalannya sebagai berikut: sekiranya ada orang yang menyatakan “Saya bertobat” atau “Saya ampuni kamu” atau “Saya sungguh-sungguh memohon maaf”, lantas darimana kita tahu bahwa orang yang menyatakan itu benar-benar tulus menyatakannya, benar-benar menyatakan hal itu sepenuh hati? Dalam konteks yang “dibersihkan” dari muatan religius, Murdoh mengajukan permodelan relasi antara mertua (M) dan menantu perempuan (D). Meski mertua mengucapkan kata-kata yang manis terhadap menantu perempuan, namun dalam batinnya ia mengakui hal yang sebaliknya. Dalam batinnya, mertua memandang menantunya itu sebagai orang yang tidak sopan, ceroboh, kasar, dst (h. 16-7). Namun seiring dengan perjalanan waktu, relasi antara keduanya menjadi harmonis dan keduanya saling mengenal secara lebih jujur. Dalam kata lain, apa yang ada dalam batin (inner) bersesuaian dengan apa yang ternyatakan di publik (outer). Persoalannya, mengapa hal itu dapat terjadi? Bagaimana menjelaskannya? Inilah yang menjadi proyek pemikiran Murdoch.

Dalam esai ‘The Idea of Perfection’, Murdoch berupaya menjelaskan keterkaitan antara pengetahuan moral dan tindakan moral dengan bertolak dari model relasi antara mertua dan menantu perempuan yang mengalami perbaikan. Tindakan moral ditentukan oleh pengetahuan moral di mana pengetahuan moral yang berisikan konsep-konsep moral mengalami perkembangan melalui adanya perhatian (attention) dari agen moral terhadap objek moral. Hal penting di sini adalah asal-usul konsep moral. Menurut Murdoch, konsep moral itu bukanlah berada dalam diri atau dalam batin (inner), melainkan berada di luar diri (outer). Konsep moral menjadi berada di dalam diri karena adanya proses akuisisi apa yang berada di luar diri menjadi apa yang berada di dalam diri—paralel dengan belajar bahasa di mana yang-belajar mengakusisi struktur bahasa yang ada di luar diri menjadi ke dalam diri (h. 89). Murdoch mengkritik konsep moral yang bertolak dari batin (inner)—yang diidentifikasinya sebagai dampak dari filsafat Cartesian yang menempatkan batin manusia sebagai sumber kebenaran yang tak dapat disalah (infallible).

Dengan menetapkan asal-usul konsep adalah hal di luar diri, yang kemudian diakusisi menjadi diri, Murdoch mengkonstruksikan ‘struktur ganda’ konsep moral. Konsep moral mengacu kepada apa yang di luar diri, yang objektif, sekaligus apa yang ada di dalam diri, yang subjektif, yang personal. Aspek personalitas inilah yang menjadi khas di dalam pemikiran Murdoch—dan persis di sinilah kita dapat melihat kritik Murdoch terhadap impersonalitas moral dalam pemikiran Kant.

Lantas, bagaimana menjelaskan konsep moral berkembang?  Konsep moral mengalami perkembangan karena (i) adanya kebebasan dalam diri agen moral, (ii) objek moral yang menjadi fokus perhatian (attention), dan (iii) manusia sebagai mahluk yang mewaktu, menyejarah. Bagi Murdoch, kebebasan adalah “fungsi dari upaya progesif untuk melihat objek tertentu secara jernih” (h. 23). Dalam pemikiran Murdoch, kebebasan tidak hanya punya fungsi etis—menetapkan pilihan, namun juga memiliki fungsi epistemis, yaitu melihat objek apa adanya. Secara metode, perubahan konsep moral itu mensyaratkan adanya perhatian dari agen moral terhadap objek moral. Dan secara historis, pengalaman personal dalam berinteraksi dengan objek moral akan mengubah konsep moralitas dalam diri agen moral.

Apakah perubahan konsep moral itu terjadi semata-mata karena perjumpaan antara agen moral dan objek moral? Atau mengapa agen moral perlu memperbaharui konsep moralnya? Hal apa yang memungkinkan terjadinya idea of perfection, gagasan penyempurnaan konsep moral? Inilah yang menjadi kajian dalam esai Murdoch berikutnya, ‘On ‘God’ and ‘Good’’. Konstruksi problemnya kurang lebih demikian: sekiranya, secara psikologis, manusia itu adalah manusia Freudian dan, secara sosiologis, Marx menyatakan bahwa moralitas adalah ilusi, lantas dari mana apa yang memungkinkan penyempurnaan konsep moral itu? Secara sederhana Murdoch akan menjawab: psikologi Freudian dan sosiologi Marxian tidak dapat meniadakan pertanyaan: bagaimana sih hidup yang lebih baik itu? Freud dan Marx telah menutup peran Tuhan dalam menjawab pertanyaan itu, namun belum mampu menutup peran Yang-Baik (Good).

Bagi Murdoch, moralitas adalah upaya perlawanan terhadap egosentrisme manusia Freudian melalui adanya idea of the Good yang tidak dikenali secara langsung, namun melalui idea of perfection dan certainty (h.58-60). Namun, Yang-Baik itu sendiri—di sini Murdoch sejalan dengan pemikiran G.E. Moore—adalah hal yang tak-terdefinisi dan tak-terepresentasikan. Yang-Baik inilah yang mengorientasikan kebebasan sebagai progres dari konsepsi moral. Lantas, sekiranya Yang-Baik itu tak-terdefinisikan dan tak-terepresentasikan di mana kita dapat berjumpa Yang-Baik? Murdoch menyatakan bahwa Yang-Baik ditemukan lewat kontemplasi (h. 69).

Dalam esai terakhir ‘The Sovereignty of Good’ Murdoch mengkritik filsafat moral yang menempatkan konsep kebebasan sebagai konsep yang berdaulat. Dengan menempatkan kebebasan sebagai konsep moral yang berdaulat, maka penciptaan nilai ditentukan oleh kebebasan itu sendiri, dalam hal ini adalah kehendak. Kehendak manusia menentukan atau menciptakan nilai—dan kehendak manusia itu bukanlah hal yang transenden, melainkan imanen di dalam manusia. Bagi Murdoch, hal demikian tentu menempatkan asal-usul konsep moral berada dalam batin (inner) dan tak pernah keliru; padahal, dalam esai ‘The Idea of Perfection’ Murdoch sudah membantah hal itu.
Dalam ranah moralitas, konsep yang berdaulat adalah Yang-Baik. Yang-Baik itu “pusat magnetik yang terhadapnya cinta secara alami terarah” (h.102), yang memiliki daya menyatukan (unity) dan tak-terdefinisikan (h.94). Yang-Baik itu tidak berada dalam batin, melainkan di luar batin, transenden, yang menggerakkan daya cinta dalam diri manusia. Ada pun yang dimaksud cinta adalah “tension between the imperfect self and the magnetic perfection” (h.102-3). Kedaulatan konsepsi Yang-Baik atas segala konsep ini menggemakan kembali pernyataan Murdoch dalam ‘The Idea of Progress’, yaitu “We are men and we are moral agents before we are scientist…” (h. 34).

Tanggapan Kritis

Ada dua hal yang dapat ditanggapi dari pemikiran Murdoch. Pertama, konsepsi Murdoch akan manusia yang pesimistik sekaligus paradoksal dengan proyek pemikirannya sendiri. Murdoch menerima konsepsi manusia Freudian sekaligus melampaui manusia Freudian. Bukankah hal ini memperlihatkan bahwa manusia itu sesungguhnya bukanlah manusia naturalistik Freudian. Kurang lebih, bagaimana mungkin kita dapat mempertanggungjawabkan transendensi manusia sekiranya manusia itu tidak memiliki kapasitas untuk mentransendensi diri? Asumsi manusia naturalistik Freudian tidak memadai untuk menjawab hal itu. Dalam kata lain, manusia Murdochian adalah manusia supra-naturalistik di mana kebebasan dimaknai sebagai daya transendensi diri, sekaligus keterarahan diri kepada Yang Baik karena terpikat kepada Yang-Baik. Kedua, tanggapan kritis Franz Magnis Suseno juga patut dipertimbangkan. Murdoch enggan mengidentifikasi the Good dengan God, padahal ciri-ciri yang dia sampaikan tentang the Good itu tidak jauh berbeda dari God. 

Pustaka:
Murdoch, Iris, The Sovereignty of Good, ART Paperbacks: USA, 1985

Kepentingan Publik yang Tercederai


Kecuali debat terbuka yang sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta, pasangan Agus-Sylvi memutuskan menolak berpartisipasi dalam debat terbuka lainnya yang diselenggarakan televisi swasta. Setidaknya, kubu Agus-Sylvi tercatat sudah dua kali tak berpartisipasi dalam debat terbuka yang diselenggarakan Net TV pada 9 Desember dan Kompas TV pada 15 Desember. Rencananya, KPU DKI Jakarta akan menyelenggarakan debat terbuka pada 13 dan 17 Januari 2017 serta 10 Februari 2017. Dari sudut pandang kepentingan publik (public interest), penolakan Agus-Sylvi berpartisipasi dalam debat terbuka mencederai hak publik mendapatkan pendidikan dan pemberadaban kehidupan-bersama melalui proses politik yang tengah berlangsung, yaitu Pemilukada DKI Jakarta.

Debat sebagai Medium Pendidikan dan Pemberadaban
Muara akhir dari kontestasi politik Pemilukada DKI Jakarta adalah keputusan politik warga di bilik suara. Kontestasi politik tidak lain adalah kontestasi gagasan antar kandidat yang berkompetisi. Secara mendasar, gagasan itu adalah visi misi dan program kerja kandidat dalam mengelola kehidupan-bersama dalam polis bernama Jakarta. Karena kompetisi gagasan adalah kompetisi kandidat, maka gagasan terbaik adalah kandidat terbaik.

Dalam bilik suara, secara ideal, warga memutuskan memilih kandidat berdasarkan gagasan yang diusung. Artinya, warga mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan rasional dengan mempertimbangan kebaikan-bersama (common good) bagi warga Jakarta. Kemudian keputusan politik pemilih itulah yang menjadi basis legitimasi bagi kekuasaan de jure dan de facto dari kandidat peraih suara terbanyak untuk menduduki kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2017-2022.

Karena akhir dari kontestasi politik Pemilukada DKI Jakarta adalah keputusan politik warga di bilik suara, maka masa kampanye adalah masa bagi para kontestan untuk mempengaruhi keputusan politik warga. Secara ideal, interaksi antara kontestan dan pemilih berlangsung dengan menggunakan akal sehat. Kontestan menggunakan akal sehat demi mempengaruhi keputusan politik pemilih dan pemilih menggunakan akal sehat untuk menilai dan mengevaluasi gagasan tiap kontestan. Dengan demikian, sadar atau tidak, secara mendasar, masa kampanye berfungsi mendidik dan memberadabkan warga (citizen) polis.

Kontestan dapat mempengaruhi keputusan politik pemilih dengan beragam sarana, antara lain poster, iklan di media massa, rapat umum, tatap muka hingga debat terbuka. Secara spesifik, penulis menyorot dua bentuk kampanye terakhir, yaitu tatap muka dan debat terbuka.

Dibanding tatap muka, debat terbuka memiliki dua keunggulan. Pertama, partisipan yang terlibat dalam debat terbuka yang disiarkan televisi secara langsung dapat menjangkau pemilih dengan kecenderungan (preference) yang beragam, mulai dari yang mendukung hingga menolak kontestan tertentu. Melalui debat terbuka, tiap kontestan memiliki peluang mengubah sikap politik pemilih dari menolak menjadi mendukung, meyakinkan pemilih yang masih ragu atau belum menetapkan pilihan, serta meneguhkan pilihan yang sudah ditetapkan. Keuntungan itu sulit tercapai melalui tatap muka. Dalam tatap muka, partisipan yang terlibat sudah berkecenderungan memilih kontestan tertentu sehingga ia bersedia menghadiri kampanye tatap muka yang diselenggarakan kontestan bersangkutan. Dalam kata lain, pemilih yang terlibat dalam debat terbuka itu beragam, sedangkan pemilih yang terlibat dalam tatap muka cenderung seragam.

Kedua, debat terbuka memungkinkan hadirnya gagasan tandingan. Dalam debat terbuka, tiap kontestan dapat menyampaikan gagasannya, mengevaluasi secara kritis gagasan dari kontestan lainnya, juga mempertanggungjawabkan gagasannya di hadapan panelis yang dipilih oleh pihak penyelenggara. Publik yang menyaksikan debat terbuka pun mendapatkan informasi mengenai kualitas tiap kontestan. Informasi itu membantu pemilih menetapkan keputusan politiknya. Dalam kampanye tatap muka, kehadiran gagasan tandingan hampir mustahil terjadi.

Ketiga, secara substansial, debat terbuka merupakan sarana pendidikan dan pemberadaban publik. Sebagai sarana pendidikan, debat terbuka mengembangkan kemampuan pemilih untuk menetapkan keputusan politiknya seturut informasi yang diperolehnya dari debat terbuka. Dalam debat terbuka, pemilih, dengan menggunakan akal sehat, dapat mengevaluasi secara kritis kelemahan dan kekuatan kontestan tertentu. Sebagai sarana pemberadaban, debat terbuka berfungsi (i) mengembangkan kemampuan pemilih melihat perbedaan secara kenyataan yang mesti diterima secara terbuka dan (ii) memampukan pemilih melihat blunder yang dilakukan kontestan dalam debat terbuka sebagai hal yang manusiawi.

Tiga Argumentasi Penolak Debat Terbuka
Selama masa kampanye Pemilukada DKI Jakarta, debat publik yang dilaksanakan televisi swasta sudah berlangsung dua kali. Dalam dua acara debat terbuka itu, pasangan Agus-Sylvi menolak berpartisipasi. Untuk menjustifikasi posisinya, kubu Agus-Sylvi mengajukan tiga argumen. Pertama, argumen legalitas. Argumen ini menyatakan legalitas penyelenggara debat menentukan wajib/tidaknya kandidat berpartisipasi. Kubu Agus-Sylvi meyakini bahwa mereka hanya wajib mengikuti debat terbuka yang diselenggarakan pihak resmi, yaitu KPUD DKI Jakarta (Kompas.com, 9/12). Atas dasar ini, kubu Agus-Sylvi memutuskan menolak berpartisipasi dalam debat terbuka yang diselenggarakan oleh televisi swasta.

Kedua, argumen manfaat. Argumen ini menyatakan sejauh debat terbuka bermanfaat, maka debat terbuka itu wajib dilakukan (Kompas.com, 17/12). Persoalannya, apa yang menentukan bermanfaat atau tidaknya debat itu? Seturut dengan riset ilmiah yang dilakukan kubu Agus-Sylvi, bermanfaat atau tidaknya debat ditentukan oleh banyak-tidaknya partisipan yang terlibat dalam debat. Berdasarkan riset internal yang dilakukan, kubu Agus-Sylvi mengungkapkan bahwa jumlah penonton debat terbuka tidak signifikan dan debat terbuka hanya memuaskan kepentingan kelas menengah ke atas. Karena itu, kubu Agus-Sylvi memutuskan memilih melakukan kampanye tatap muka, langsung menemui kelompok kelas menengah ke bawah. 

Ketiga, argumen makna. Argumen ini menyatakan bahwa sejauh debat terbuka bermakna, maka debat terbuka wajib dilakukan (CNNIndonesia.com, 15/12). Secara tersirat, Agus Harimurti Yudhoyono menyatakan bahwa debat terbuka tidak bermakna bagi masyarakat. Bagi masyarakat, menurut Agus, hal bermakna adalah kehadiran kontestan di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, alih-alih berpartisipasi dalam debat, pasangan Agus-Sylvi memutuskan berjumpa langsung dengan masyarakat.

Evaluasi Etis
Keputusan politik Agus-Sylvi menolak berpartisipasi dalam debat terbuka mengandung dua dimensi. Pertama, dimensi kepentingan kelompok atau pribadi. Dari sudut pandang kepentingan kelompok, argumen legalitas, manfaat dan makna memberikan keuntungan bagi Agus-Sylvi. Kubu Agus-Sylvi akan memiliki fokus kampanye yang lebih terarah. Alasannya, mereka hanya perlu menghadapi satu debat saja—tidak seperti pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga yang mesti mempersiapkan diri menghadapi setiap debat terbuka yang diselenggarakan.

Kedua, dimensi kepentingan publik. Dari sudut pandang kepentingan publik, keputusan Agus-Sylvi menolak berpartisipasi dalam debat terbuka mencederai hak publik mendapat pendidikan dan pemberadaban kehidupan-bersama. Argumen legalitas yang hanya membahas kualifikasi legal-tidaknya penyelenggara debat telah meniadakan hakikat dari debat terbuka, yaitu mendidik dan memberadabkan kehidupan publik atas dasar akal sehat.

Argumen manfaat dengan sendirinya menunjukkan cacat dalam keputusan politik Agus-Sylvi. Apakah jumlah penonton yang tak signifikan itu dapat meniadakan hak warga kelas menengah mendapatkan pendidikan dan pemberadaban? Sadar atau tidak, argumen manfaat membenarkan sikap kubu Agus-Sylvi untuk mengabaikan kelompok masyarakat tertentu.  

Terakhir, argumen makna. Karena argumen makna menyatakan bahwa debat terbuka itu tidak bermakna, maka debat terbuka yang diselenggarakan KPUD DKI Jakarta juga tidak bermakna. Implikasinya, pasangan Agus-Sylvi tidak memiliki alasan yang kuat berpartisipasi dalam debat terbuka yang diselenggarakan KPUD DKI Jakarta. Paling tidak, argumen legalitas dan manfaat yang menjadi dasar partisipasi pasangan Agus-Sylvi dalam debat terbuka yang diselenggarakan KPUD DKI Jakarta akan berbenturan secara diametral dengan argumen makna yang meyakini bahwa debat terbuka itu tidak bermakna bagi masyarakat.


Menempatkan debat terbuka lebih rendah dari pada tatap muka atau bentuk kampanye lainnya adalah kekeliruan. Keputusan Agus-Sylvi menolak berpartisipasi dalam debat terbuka, sadar atau tidak, telah mencederai kepentingan publik yang senantiasa berupaya membangun kehidupan-bersama berdasarkan akal sehat. Pada dasarnya inspirasi dari segala bentuk kampanye dalam kontestasi politik kekuasaan adalah pendidikan dan pemberadaban kehidupan publik. Segala bentuk kampanye yang diizinkan oleh penyelenggara Pemilukada DKI Jakarta menjadi pemandu, bahkan penentu, pembentukan kehidupan publik yang demokratis, dan tentu saja beradab (civilized), dengan berdasarkan pada akal sehat. 

sumbu bumi


seperti klub sepakbola, media massa butuh suporter. seperti agama, media massa beri arah. seperti catatan harian, media massa simpa aib dan bahagia. seperti hujan, media massa bikin gregetan. seperti presiden, media massa itu kuasa. seperti pembungkus gado-gado ketoprak, media massa sampah daur ulang dan kehilangan makna. seperti api, media massa bakar setiap sumbu. seperti peluru, media massa menerjang kesadaran. seperti supermall karawaci, media massa itu hiburan. seperti matahari, media massa tak pernah bisa menyinari seisi bumi.

sejarah kamera saya

saya mau beli
kamera. saya mau potret jejak
1908 dan tahun tahun sebelumnya. saya mau
beli sepeda. saya mau tahu aspal
1908 tahun kemudian setelah reformasi saluran air
di depan istana. saya mau
beli celana. saya mau melihat presiden sembunyi di kamar
mandi sampul buku agama. saya mau
tidak mau beli. saya tidak mau pada mau
saya. bukan saya mau. Titik.

yang direndahkan enam tahun lalu, facebook

sumber: http://images.fineartamerica.com/


"Kalau memang tuh Kitab Suci tidak salah, mengapa kamu khawatir? Trus, kalau memang tuh Tuhan Mahamulia, mengapa pula kamu khawatir Ia bisa direndahkan?" Begitu tulis kawan saya (sejak enam tahun lalu ia putuskan tak lagi gunakan facebook dan twitter) saat mengomentari diskusi sengit pada grup whatsapp yang saya dilibatkan di dalamnya.  

Sajak Mantra

                                                 sumber gambar: wikipedia 


Mantra
--Mata Tenggala

engkau melihat aku sebagai kesia-siaan setelah matahari dan segala hal di atas bulan terpahami sebagai warna dan notasi matematika
engkau melihat aku sebagai ketiadaan setelah panca indera dan cerita cerita gila terpahami sebagai dua kutub saling menunda
engkau melihat aku sebagai tubuh setelah akal dan orang-orang tak kita kenali itu terpahami sebagai ngilu tanpa hari minggu
engkau menatap aku sebagai kamu setelah sejarah dan napasmu membiru terpahami sebagai hulu pada setiap ibu

A Mathematician’s Apology


The study of mathematics is, if an unprofitable, a perfectly harmless and innocent occupations.
G.H. Hardy (1877-1947)

A Mathematician’s Apology merupakan esai yang ditulis oleh matematikawan Oxford, Inggris, G.H. Hardy demi mempertanggungjawabkan dua hal mendasar. Pertama, posisinya sebagai matematikawan yang menulis apologia. Kedua, posisi matematika sebagai ilmu yang menempati posisi lebih utama dari filsafat, secara spesifik, metafisika, dan fisika.

Apologi pertama menyangkut posisi Hardy sebagai matematikawan yang menulis apologia. Menurut Hardy, hal ini perlu dipertanggungjawabkan karena, alih-alih menulis apologia, pekerjaan utama matematikawan adalah “membuktikan teorema-teorema yang baru, menambahkan topik baru dalam matematika, dan bukan berbicara tentang pencapaian matematikawan pada masa sebelum.” Sekiranya hal-hal itu adalah pekerjaan utama matematikawan, maka apa yang dilakukan Hardy dengan menulis apologia adalah merendahkan dirinya sendiri, menempatkan dirinya sekelas dengan apa yang disebutnya sebagai “nalar kelas-dua”, nalar yang bekerja dalam diri “orang-orang yang menghasilkan eksposisi, kritik atau apresiasi atas suatu karya seni atau pemikiran manusia.” Tentu saja, Hardy bukanlah orang dengan “nalar kelas-dua,” sebagaimana saya yang menulis kilas-pandang atas kitab A Mathematician’s Apology. Hardy adalah orang dengan “nalar kualitas-unggul”.

Sekiranya Hardy adalah orang dengan “nalar kualitas-unggul”, lantas apa alasannya sehingga ia rela menurunkan kelas menjadi “nalar kelas-dua”? Alasannya: usia. Saat menulis A Mathematician’s Apology pada 1940, tujuh tahun sebelum ia meninggal dunia pada 1 Desember 1947, Hardy menapak usia 63 tahun. Apa yang berharga di balik usia itu tidak lain adalah “kesegaran pikiran, enerji, kesabaran menanggung beban pekerjaan.” Hardy berani menegaskan demikian, “Seharusnya, tak satu matematikawan pun yang membiarkan dirinya lupa bahwa matematika, lebih dari ilmu apa pun, adalah mainan bagi orang muda.”

Matematikawan tidak dapat melawan usia tua. Bahkan, matematikawan-cum-fisikawan Isaac Newton pun punya masa keemasan. Gagasan-gagasan besarnya, yang terkenal: hukum gravitasi, lahir pada saat Newton berusia 24 tahun—dan ceritanya menjadi lain ketika Newton berusia 50 tahun. Sekiranya tak sempat menginjak usia senja, pilihan lain bagi matematikawan yang brilian adalah mati. Kolega karib Hardy, matematikawan genius dari India, Srinivasan Ramanujan, wafat pada usia 33 tahun; lainnya, Riemann wafat pada usia 40, Abel wafat pada usia 27 tahun dan Galois wafat pada usia 21 tahun. Sejauh apa pun ambisi para matematikawan, usia adalah hal yang tidak bisa dilawan.

G.H. Hardy (1877-1947)

Apologia kedua berkenaan dengan posisi matematika sebagai ilmu yang menempati posisi lebih utama dari filsafat qua metafisika dan fisika. Sebelum memberi pertanggungjawaban akan hal itu, Hardy terlebih dahulu menjelaskan apa yang dicari matematikawan. Bagi Hardy, tugas utama matematika adalah menemukan (i) teorema yang tidak hanya berkualitas (ii) “serius” namun juga (iii) “mendalam.” Teorema adalah pernyataan yang sudah terbukti dengan berdasarkan pada pernyataan sebelumnya. Misalnya, teorema Phytagoras sudah terbukti dengan pertanyaan menyangkut luasan bujursangkar. Kriteria “serius” menyangkut kualitas persoalan yang ditangani. Bagi Hardy, persoalan matematika “serius” lebih bernilai dari pada sekadar pemecahan masalah sebagaimana yang ditemukan dalam permainan catur. Persoalan catur memang menawarkan kepelikan tersendiri; namun hal itu tidak seberapa bila dibandingkan dengan matematika—ke-“serius”-an persoalan matematika terletak pada daya kreativitas matematikawan menggunakan ide-ide dasar matematika demi menemukan realitas [matematika]. Kriteria “mendalam” mengacu kepada ke-dalam-an gagasan yang dipergunakan. Hardy memberikan ilustrasi demikian tentang hal ini: “gagasan bilangan irasional lebih mendalam dari pada integer; teorema Phytagoras, karena itu, lebih mendalam dari Euklid.”

Matematikawan menemukan teorema yang “serius” dan “mendalam” dengan menggunakan gagasan (ideas), yang mewujud sebagai angka atau bangun-ruang. Penataan gagasan-gagasan secara koheren demi membuktikan suatu teorema juga menuntut adanya keindahan pada argumen yang disajikan. Di sinilah, Hardy melihat kemiripan antara matematikawan, penyair dan musisi: ketiga mencari keindahan di mana keindahan itu lahir kecintaan pada pola. “Matematikawan, sebagaimana pelukis atau penyair, adalah pembuat pola. Sekiranya pola-pola mereka lebih permanen daripada mereka sendiri, hal itu karena pola-pola itu terbuat dari gagasan-gagasan.”

Dari pekerjaan yang dilakukan, Hardy menunjukkan kualitas yang mesti ada dalam diri setiap matematikawan. Matematikawan adalah orang yang bersedia mengembangkan nalarnya hingga mencapai kualitas unggul atau genius. Untuk itu, seorang yang bertalenta dalam bidang matematika mestilah memiliki (i) keingintahuan intelektual, hasrat menemukan kebenaran, (ii) kebanggaan akan profesi yang dipilihnya, (iii) tidak lekas berpuas diri atas apa yang telah dicapai, (iv) malu sekiranya apa yang dihasilkan tidak setara dengan talenta yang dimiliki dan (v) memiliki ambisi, entah demi reputasi, posisi, atau pundi finansial—bahkan, Hardy menyatakan: “ambisi senantiasa menjadi tenaga penggerak di balik hampir semua maha karya yang ada di dunia.” Hardy sama sekali tidak menekankan tentang motif kemanusiaan yang bekerja di dalam diri seorang matematikawan—suatu motif yang tampak nyata dalam ilmu-ilmu agama, filsafat, bahkan aktivisme sosial.

Kesadaran akan “bahan baku” dan “hasil akhir” dari matematika adalah dasar argumentasi Hardy membuktikan keunggulan matematika dari filsafat qua metafisika dan ilmu fisika. Pertama, dari sudut permanensi. Dibandingkan dengan fisika, pengetahuan matematika lebih permanen atau lebih tetap. Hal ini dikarenakan fisika masih mengandalkan observasi inderawi; ada pun matematika tidak mengandalkan observasi inderawi. Matematika memberi ruang bagi penggunaan observasi inderawi—namun, hal itu sebatas metode pengajaran, bukan substansi matematika itu sendiri. Kedua, dari sudut kegunaan. Berbeda dari filsafat, secara khusus metafisika, Hardy menilai matematika lebih berguna. Kegunaan matematika tampak dalam matematika terapan (applied mathematics); wilayah yang berbeda dari matematika murni (pure mathematics). Metafisika, bagi Hardy, tidak memiliki kegunaan praktis. Tentu saja, kita tidak perlu tahu apa itu konsep “ada” (being) atau “keberadaan” (existence) sewaktu berbelanja—namun, kita mestilah tahu berapa 100 ribu dikurangi 30 ribu sewaktu berbelanja, dan itu adalah matematika. Ketiga, ilmu lain membutuhkan matematika. Tampaknya keberhasilan ilmu-ilmu lain, semisal fisika, kimia, biologi, fisiologi, ekonomi, dst., mensyaratkan campur tangan matematika. Tanpa matematika, ilmu bersangkutan akan kehilangan kualifikasi sebagai ilmu—barangkali, dapat terkategori dalam filsafat atau agama.

Keempat, realitas matematika itu lebih nyata daripada realitas fisika. Prima facie realitas fisika lebih nyata dari realitas matematika. Namun sekiranya diperhatikan lebih cermat, kursi yang ada di hadapan kita, dari sudut pandang fisika, tidak lain adalah elektron yang mengorbit di dalam ruang hampa. Persis di saat kita menyadari hal ini, maka pengetahuan kita akan realitas fisika sebagai realitas yang terobservasi secara indrawi terguncang. Realitas fisika tidak lain adalah ketiadaan. Hal ini berbeda dari realitas matematika. Realitas matematika, menurut keyakinan Hardy, berada di luar diri—Hardy menegaskan bahwa alih-alih mengikuti pandangan ‘idealistik’, ia meyakini pandangan ‘realistik’ akan matematika.

Kelima, dari sudut ada/tidaknya kekerasan (harmness). Tidak seperti filsafat dan fisika yang berpotensi menghasilkan kekerasan—kita saksikan bagaimana filsafat Nietzsche melatari pemikiran Adolf Hitler yang berdampak pada holocaust; kita juga saksikan bagaimana formulasi fisika nuklir berdampak pada kematian jutaan orang di Hiroshima dan Nagasaki—matematika murni tidak mengandung kekerasan. Matematika murni adalah matematika yang tidak memiliki kegunaan praktis, sepenuhnya daya kreatif matematikawan untuk menemukan teorema yang “serius” dan “mendalam”. Hardy menyatakan demikian, “Matematika sejati tak menghasilkan perang.” 

Pada akhir apologianya, dari sudut kegunaan praktis, Hardy sadar bahwa dedikasi hidup pada matematika adalah kesia-siaan. Entah disadari atau tidak, Hardy telah menyelipkan pertanyaan mendasar bagi orang-orang yang hidup di zaman kapitalisme-akhir (late capitalism): apakah pengetahuan (knowledge) atau ilmu (science) diukur semata-mata dari kegunaan praktis? Hardy—entah sebagai perwujudan sikap egoistik atau malah kerendah-hatian—menyatakan demikian: “The case for my life…is this: that I have added something to knowledge, and helped others to add more; and that these somethings have a value which differs in degree only, and not in kind, from that of the creations of the great mathematicians, or of any of the other artists, great or small, who have left some kind of memorial behind them.

Aniaya (Violence): Momen Lenyapnya Kepekaan (Sensibility)




Sejak tragedi WTC 11 September 2001 lalu, kekerasan atas nama agama menjadi tema penting dalam diskursus di ruang publik. Lagi-lagi, dengan terjadinya peristiwa bom bunuh diri di Mapolresta Solo, Jawa Tengah, pada 5 Juni lalu, tema kekerasan atas nama agama kembali menjadi bahan diskursus di ruang publik. Bahkan, terkadang, diskursus tentang kekerasan atas nama agama, entah diniatkan atau tidak, seakan-akan terarah pada kesimpulan bahwa agama, itulah yang menjadi akar kekerasan. Artikel ini ditujukan untuk membantah kemungkinan kesimpulan seperti. Tesis yang saya ajukan dalam artikel ini adalah (i) kekerasan bukanlah gejala khas di dalam agama, namun juga gejala yang dapat ditemukan di kalangan anti-agama, (ii) dengan demikian, akar kekerasan bukanlah agama, melainkan pada bentuk cara mengada manusia (mode of being of human being) itu sendiri.

Kekerasan Ateistik
Sekiranya kita melihat fakta historis, mustahil membantah bahwa kekerasan juga dilakukan oleh kelompok anti-agama. Dalam artikel ini, pengertian anti-agama mengacu kepada orang atau kelompok yang meyakini kebenaran pandangan ateistik. Ada pun pengertian agama mengacu kepada orang atau kelompok yang meyakini kebenaran pandangan teistik. Secara historis, kekerasan ateistik dilakukan oleh Liga Ateis Militan, suatu organisasi bentukan Partai Komunis Sovyet.

Pada 1925, Partai Komunis Uni Sovyet mendukung pembentukan Liga Ateis Militan. Organisasi yang dirancang untuk melakukan propaganda anti-agama itu dikomandani oleh Yemelyan Yaroslavky (1878-1943). Kebutuhan propaganda anti-agama diperlukan karena, setelah Revolusi Oktober 1917, ternyata Bolshevik bukanlah satu-satunya kekuatan di Rusia. Selain Bolshevik, Gereja Ortodoks Rusia sebagai representasi agama masih mendapat tempat yang popular di kalangan rakyat. Liga Militan Ateis meyakini bahwa perjuangan membentuk masyarakat sosial meniscayakan perlawanan terhadap kekuatan agama. Tujuan akhir dari Liga Militan Ateis adalah memberantas peran Gereja Ortodoks Rusia, baik dalam rangkaian keyakinan ataupun praktik, dalam kehidupan publik.

Sebelum munculnya Liga Ateis Militan, Gereja Ortodoks Rusia memiliki 100 juta pengikut, sekitar 100 ribu klerus, 40 ribu paroki, 130 uskup dan lebih dari 100 biara. Setelah Liga Militan Ateis berdiri dan beroperasi di Rusia—dengan menyebarkan propaganda anti-agama, meledakkan gereja, lalu memenjarakan, mengasingkan hingga mengeksekusi pada padri Ortodoks; pada 17 Februari 1938, sebanyak 55 padri Ortodoks dieksekusi—kondisi pun mengalami perubahan. Menjelang Perang Dunia II, jumlah klerus yang ada 6.376 dan 950 paroki yang berfungsi.

Kekerasan sebagai Salah Satu Bentuk Cara Mengada Manusia
Sekiranya kekerasan adalah gejala yang tidak hanya ditemukan pada hal-hal yang berkenaan dengan agama, namun juga dapat ditemukan pada hal-hal yang anti-agama, maka kekerasan sesungguhnya dapat dipahami sebagai gejala khas dari cara mengada manusia. Gejala kekerasan itu tidak dapat kita temukan dalam kehidupan anorganik seperti batu, juga kehidupan organik seperti tumbuhan, ikan, kadal, atau juga harimau.

Dari sudut pandang Emmanuel Levinas (1906-1995), ada dua bentuk cara mengada manusia, yaitu (i) relasi kekerasan dan (ii) relasi etis. Secara sederhana, relasi kekerasan adalah relasi intersubyektivitas yang ditandai oleh perlakuan sewenang-wenang terhadap liyan atau orang lain. Adapun relasi etis adalah relasi intersubyektivitas yang ditandai oleh sikap tanggungjawab tanpa batas kepada liyan atau orang lain. Relasi kekerasan berakar pada cara pandang subyek yang bersifat epistemis dan politis, memandang orang lain semata-mata melalui abstraksi dan dalam kerangka totalitas. Cara pandang yang demikian mengabaikan keunikan liyan—pada hakikatnya, liyan senantiasa tidak terpahami oleh subyek. Relasi kekerasan berakar pada kelupaan subyek pada keberadaan liyan sebagai hal yang-konkret yang hadir di hadapan subyek. Dalam relasi kekerasan, subyek mengenali liyan melalui konsep, melalui daya kognitif; ada pun dalam relasi etis, subyek mengenali liyan melalui wajah (le visage, face), melalui kepekaan (sensibility). 

Epilog

Syarat niscaya bagi adanya kekerasan adalah cara mengada manusia, secara khusus relasi intersubyektitas yang mengabaikan keberadaan liyan sebagai hal yang-konkret. Ada pun agama, ras, struktur ekonomi-politik, ambisi politik, hingga barangkali sains merupakan syarat cukup yang berfungsi menjustifikasi kekerasan, yang sialnya kadung dikenali sebagai sarana pembebasan individu ataupun kolektif demi membentuk tatanan masyarakat yang baru. Adanya kekerasan mengingatkan kita bahwa sesungguhnya manusia, diam-diam, ternyata telah kehilangan aspek mendasar dari kehidupannya di dunia, yaitu kepekaan (sensibility). 


[sumber gambar: https://thecharnelhouse.org/2013/03/01/soviet-antireligious-propaganda/]

Agama, Realisme Epistemologis dan Akal Sehat—Catatan Kecil tentang “Ahok: Politik Akal Sehat”



Barangkali sekitar tiga jam saya luangkan untuk membaca “Ahok: Politik Akal Sehat” karya Meicky Shoreamanis Panggabean. Tentunya, hal itu dimungkinkan karena gaya penulisan dan bahasa-bahasa yang dipergunakan penulis begitu sederhana, ringkas, serta mengalir. Ya.., ini memang pilihan penulis yang menetapkan target pembaca buku ini adalah siswa-siswa sekolah menengah atas. Kita boleh saja menebak-nebak apa yang ada di dalam isi kepala penulis sehingga menetapkan target demikian. Meski tergolong “ringan”—barangkali, setelah Anda membaca buku “Ahok”, Anda dapat memahami apa yang saya maksud dengan “ringan”—diam-diam, setidaknya dari sudut pandang saya, buku berbicara tentang dua tema besar, agama dan realisme di mana keduanya berujung pada akal sehat. Saya akan berbicara tentang kedua hal itu satu per-satu, kemudian hal terakhir akan menjadi kesimpulan.

Ragam kesaksian yang disampaikan penulis dalam buku “Ahok” mengarahkan pembacaan saya pada kesimpulan bahwa agama masih merupakan sumber inspirasi bagi aktivitas politik di Indonesia, tanpa terjatuh kepada gerak fundamentalisasi agama. Kejernihan agama dalam membedakan antara hitam dan putih—suatu kejernihan yang tampaknya sulit diimbangi oleh pertimbangan utilitarian yang kerap kali mewarnai proses tawar-menawar di dalam politik.

Dikisahkan, pada halaman 261-262, Ahok yang saat itu tengah mengikuti pemilihan Gubernur Bangka Belitung pada 2007 berpeluang menjadi gubernur terpilih sekiranya ia bersedia menyogok MA senilai Rp50 miliar demi memenangkan gugatan dalam pemilukada itu. Di tengah kegalauan memutuskan suap atau tidak, Ahok bertanya kepada istrinya, Veronica Tan, apakah mereka menyuap atau tidak. Terhadap pertanyaan itu, Veronika mengajukan jawaban, “Terserah lu. Lu mau jadi murid Yesus apa murid Barabas.” Dalam tradisi agama Kristen, Yesus adalah kebenaran mutlak, juga kebaikan mutlak; ada pun Barabas berada pada posisi yang berbeda. Hasilnya: Ahok mengikuti teguran Veronika.

Selain kisah di atas, yang dari sudut pandang saya menarik, pada bab kedua “Sebuah Puzzle Bernama Ahok” terdapat satu sub-bab yang ditulis sepanjang 21 halaman di bawah judul “Ahok dan Kekristenan”. Bagian itu merupakan sub-bab terpanjang kedua di dalam buku ini; sub-bab terpanjang pertama, 37 halaman, yaitu “Taat Konstitusi, Bukan Konstituen” yang ada pada bab pertama, “Mengenal Politik Akal Sehat Seorang Basuki Tjahaja Purnama (BTP)”. Entahlah, saya tidak tahu, apakah memang diam-diam, tanpa disadari, buku ini juga hendak mempromosikan bahwa agama masih dapat diselaraskan dengan politik—tentu saja penyelarasan itu terjadi melalui adanya akal sehat. Melalui akal sehat, Ahok mampu memadukan kejernihan inspirasi dari tradisi Kristen yang memberikan orientasi dalam berpolitik dengan ketajaman intuisi demi mengambil keputusan yang cepat dalam gerak politik kebijakan yang berlangsung dinamis. Akal sehat memungkinkan Ahok menempatkan secara proporsional argumen agama dan argumen nalar—dan bahkan Ahok sesungguhnya lebih mengedepankan argumen nalar di ruang publik, daripada argumen agama.

Hal berikutnya adalah realisme, tepatnya realisme epistemologis. Secara filosofis, realisme epistemologis berisi dua keyakinan pokok, yaitu (i) realitas eksis di luar pikiran dan (ii) realitas itu dapat diketahui oleh pikiran melalui model tertentu. Dalam buku “Ahok”, dua tokoh menyinggung perihal sikap realisme ini, yaitu Seno Gumira Ajidarma dan B. Herry Priyono. Titik tolak pembahasan adalah keputusan Ahok memilih jalur partai daripada jalur independen. Realitas politik tidak semata-mata ditopang oleh pengutamaan nilai-nilai etis, sebagaimana yang diyakini oleh para moralis politik—namun juga ditopang oleh pertimbangan situasional demi mencapai tujuan, sebagaimana yang diyakini oleh para realis politik. Sederhananya, politik senantiasa berada dalam tegangan—pada satu kutub terinspirasi pada keluhuran cita-cita masyarakat beradab dan adil, pada kutub lainnya ambisi meraih kekuasaan. Persis di tengah tegangan keluhuran cita-cita dan geliat situasi politik yang mendadak berubah total—partai-partai mendadak bersedia mendukung Ahok tanpa syarat, Ahok memutuskan memilih jalur partai sebagai jalan mendapatkan tiket dalam kontestasi pemilihan Gubernur DKI yang akan datang. Ajidarma menyimpulkan: Ahok adalah seorang realis. 

Dari sudut pandang saya, realisme epistemologis memungkinkan kita mengenali Ahok dan mendukung Ahok secara wajar. Realisme epistemologis, mengutip istilah Priyono, mampu membebaskan pendukung Ahok dari sikap karikatural. Sikap karikatural berarti melihat Ahok sepenuhnya tanpa kelemahan, tanpa sisi gelap—Ahok kerap dikenali sebagai jawaban mutlak tidak hanya bagi persoalan Jakarta, namun juga persoalan Indonesia. Hal inilah yang disebut Ajidarma sebagai sikap utopis, sikap yang menempatkan realitas tidak lagi di luar pikiran, melainkan menempatkan realitas itu di dalam pikiran. Hasilnya: dukungan terhadap Ahok tidak lain adalah ekspresi dari kecintaan pada diri sendiri—barangkali inilah yang kita namakan lovers. Konsekuensinya: setiap kritik yang diajukan terhadap Ahok, sejauh menyangkut kebijakan politik yang diambilnya, akan dipandang sebagai gugatan terhadap diri atau personalitas pendukung bersangkutan. Persis di sini terjadi tragedi, tawaran politik akal sehat dari Ahok justru menjadi pepesan kosong di kepala para pendukungnya.

Terakhir, semoga saya tidak keliru dalam mengambil kesimpulan, politik akal sehat ditopang oleh dua pilar, yaitu (1) kejernihan dalam memilah hitam dan putih yang terekspresi dalam prinsip “Ketaatan pada konstitusi, bukan konstituen”—dan hal ini memiliki akar pada nilai dan tradisi agama, sekaligus (2) sikap realisme epistemologis, yang terekspresi dalam kalimat “walau disalah-pahami, biar sejarah yang akan membuktikan”.



sejarah dan suara

teman saya, ia sering mendengarkan rekaman-rekaman presiden-presiden di republik ini beri komentar ke saya, "Vid, suara Jokowi itu keknya kurang ngebass." teman saya, dari komentar-komentar yang diucapkan, menumbuhkan keyakinan dalam diri saya: sejarah tidak sepenuhnya ilmiah dan alamiah.

yang kedua setelah mengapa

sewaktu mengajar topik manusia dari sudut pandang Biblika, seorang mahasiswa bertanya, "pak, mengapa Tuhan menempatkan pohon pengetahuan baik dan buruk di tengah taman Eden?" kepada dosen. dosen itu sempat terdiam--agak lama. lalu--entah apa yang terjadi dalam dirinya, barangkali hanya Sang Pencipta Taman Eden saja yang tahu--dosen itu bilang, "saya punya dua jawaban. jawaban yang pertama, itu pasti menyebalkan. dan jawaban yang kedua tidak. mau tahu jawaban yang pertama?" tentu saja semua mahasiswa--karena hal ini berkenaan dengan Tuhan, siapa sih yang tidak pernah punya masalah sama Tuhan(?)--setuju mendengar jawaban pertama.

"mengapa Tuhan menciptakan pohon pengetahuan baik dan buruk, jawaban pertamanya: mengapa tidak?" dosen itu sedikit tersenyum--dan kami pun tertawa. tentu saja itu jawaban yang menyebalkan; namun juga menyenangkan. dan kami pun tidak mau tahu lagi tentang jawaban yang kedua. entah apa jawabannya.

keraguan teman yang sakti

Dalam obrolan di grup whatsapp, seorang teman menulis demikian: "Bukankah ketakutan kita terhadap komunisme, pelarangan terhadap Marxisme-Leninisme, adalah bentuk keraguan kita terhadap kesaktian Pancasila?"

Grief Observed: do I have faith in You?


Kedukaan adalah sebentuk penderitaan. Kematian orang terkasih adalah hal yang mustahil terelakkan dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia tentunya ditandai oleh adanya relasi sosial yang bersifat intim, dekat, serta hangat—saya mengenalinya sebagai relasi kasih. Persoalannya, dalam situasi kedukaan, apakah kita masih dapat berbicara tentang adanya kasih yang nyata—atau malah beralih, kasih dan juga kebahagiaan tidak lain adalah ilusi (?). Dunia tidak lain adalah air mata—dan segala hal yang dikenali sebagai kebahagiaan sesungguh bersifat ideologis, atau semu. 

Dalam Grief Observed, Clive Staples Lewis (1898-1963) bersaksi tentang kedukaan atau derita. Ia mencoba mengulas pengalaman duka yang mewujud dalam perasaan hampa (emptiness) yang seakan tanpa batas. Kehampaan yang melahirkan ketakutan akan hari esok yang tidak akan pernah sama dengan hari-hari yang pernah dilewatinya di masa lalu; juga meruyaknya rasa malas akut sampai-sampai ia merasa bernafas sebagai kesesakan sekaligus sesal; hingga pada akhirnya, melahirkan gagasan dalam benak bahwa sesungguhnya diri sudah tak lagi punya alasan untuk tetap menjalani kehidupan. Kematian istrinya, Helen Joy Davidman (1915-1960), menciptakan duka mendalam dalam kehidupan Lewis—tentang kematian, Lewis menulis demikian: “Death only reveals the vacuity that was always there.” (Lewis: 1996, 28). 

13 Juli 1960, Helen Joy Davidman meninggal dunia. Tiga tahun sebelumnya, pada 1956, Lewis menikah dengan Davidman, yang kala itu sudah memiliki dua orang anak dari perkawinannya terdahulu. Pernikahan yang membawa kebahagiaan bagi kedua pribadi ini ternyata tidak bertahan lama. Penyakit lama yang diidap Davidman kembali kambuh. Kanker. Hingga akhirnya, kanker tulang merengut nyawa H—demikian Lewis menulis inisial Davidman, yang terambil dari alfabet pertama nama istrinya, dalam Grief Observed. Bagi Lewis, kanker memiliki sejarah tersendiri. Ayah dan ibu meninggal dunia karena kanker. Kini, setelah tiga tahun merasakan hangatnya kebahagiaan cinta bersama H, Lewis harus menerima kenyataan: Davidman meninggal dunia, meninggalkan Lewis dengan segala kenangan tentang H yang mustahil lenyap. Maka, apa artinya kebahagiaan sekiranya, diam-diam, kedukaan menyelinap dalam setiap senyum dan tawa yang pernah dilalui oleh sepasang pribadi ini? Apakah Kekristenan—hal yang mempertemukan Lewis dan Davidman; sebab, sebelum konversi menjadi Kristen, keduanya adalah orang-orang yang berpikiran ateis—dapat menjawab persoalan ini? Apa makna kedukaan dalam diri orang percaya? 

Talk to me about the truth of religion and I’ll listen gladly. Talk to me about the duty of religion and I’ll listen submissively. But don’t come talking to me about the consolations of religion or I shall suspect that you don’t understand.” (Lewis:1999, 25) Demikianlah Lewis menegaskan sikapnya kepada orang-orang yang berempati kepada dirinya setelah kepergian Davidman. Jawaban klise yang menyatakan bahwa ‘Davidman sudah bahagia bersama Tuhan’ bukanlah jawaban yang menenangkan batin Lewis. Ada hal yang lebih mendasar dari itu. Davidman telah meninggal dunia—dan Tuhan berada di balik semua itu. Maka Lewis pun mempertanyakan Tuhan. Masih mungkinkah kita menyatakan bahwa Tuhan itu baik dan di saat bersamaan, Ia yang adalah Mahabaik memanggil orang yang kita kasihi, mencampakkan kita dari kebahagiaan pada duka mendalam? Tidak hanya sampai di sini. Lewis melangkah lebih jauh lagi: “If it is consistent with hurting us, then He may hurt us after death as unendurably as before it.” (Lewis:1996, p.28) Benarkah Tuhan itu Mahabaik—dan sekiranya kita bertumpu pada pengalaman dan kesadaran, bukankah sesungguhnya Tuhan adalah Mahasadis?

Inilah hakikat kedukaan. Kedukaan adalah proses. Di dalam kedukaan, gagasan orang percaya tentang Tuhan digoncang. Goncangan yang muncul dalam wujud pertanyaan-pertanyaan atau gugatan-gugatan penuh amarah terhadap Tuhan sesungguhnya adalah jalan untuk menguji iman kita. Demikianlah Lewis menyimpulkan: “Only suffering can do.” (Lewis:1996, p.38). Kedukaan sebagai proses merupakan momen restorasi iman (restoration of faith)—momen bagi orang percaya mengetahui apakah imannya adalah rumah kertas atau batu karang. Persoalannya bukan lagi tentang Tuhan itu Mahabaik atau Mahasadis—sebab Lewis sudah yakin tentang hal itu sebagaimana yang dapat ditemukan dalam karyanya Miracle juga Mere Christianity—melainkan iman seperti apakah yang kita miliki. Lewis menulis: “God has not been trying an experiment on my faith or love in order to find their quality. He already knew it. It was I didn’t… He always knew that my temple was a house of cards. His only way of making me realize the fact was to knock it down.” (Lewis:1996, 52)

Dalam kehidupan orang percaya, kedukaan atau derita adalah jalan bagi iman untuk bertumbuh menjadi lebih tangguh. Iman yang bukan lagi terbentuk dari kertas, melainkan dari karang. Iman yang tidak hanya berdiam di kawasan tentram dan aman; melainkan iman yang setia dalam hantaman gelombang badai dan hujan. Salah seorang teman saya pernah berkata demikian: “Sekiranya engkau tak dapat menerima yang paling menyakitkan dari sahabatmu atau dari kekasihmu, tentunya engkau tidak siap untuk menerima hal yang paling membahagiakan dari mereka.” Kedukaan adalah kegelapan, kedukaan adalah lorong bawah tanah, kedukaan adalah labirin yang menakutkan—maka pertanyaannya bukan tentang mengapa ada kegelapan, melainkan: apakah kegelapan ini mampu melenyapkan terang dalam hati setiap orang percaya. Do I have faith in You? Inilah pertanyaan ultima dalam pengalaman duka yang dialami orang percaya.