Politik
memang tidak memberikan jawaban keseluruhan. Jika dikembalikan kepada manusia
sebagai mahluk pribadi dan sosial, maka politik mensyaratkan keberadan manusia
sebagai mahluk sosial; ia adalah komunitas sekaligus masyarakat sekaligus warga
negara. Hanya sebagai yang terakhir sajalah politik menjadi bagian penting.
Aspek kesosialan manusia menjadi penting karena, melalui tindakan politisnya,
individu mempertimbangkan kepentingan orang lain demi mencapai kebaikan-bersama
(bonnum commune). Persoalannya,
apakah politik terjadi demikian?
Untuk
menjawab pertanyaan ini: evolusi masyarakat, perubahan masyarakat dari Community/Gemeinschaft ke Society/Gesellschaft menjadi jalan
keluar untuk melihat realitas kemudian, yaitu bertumbuhnya institusi baru dalam
kehidupan bersama, yaitu ekonomi (dengan prinsip tertentu) yang harus melakukan
negosiasi juga dominasi terhadap tatanan kekuasaan yang sudah ada, yaitu
politik (dalam varian kerajaan atau feodal atau kebangsaan), juga agama—dan
tentunya, tanpa disadari kebudayaan.
Adanya
kekuataan ekonomi, yang dalam pemikiran Habermas, mengkolonisasi Lebenswelt harus mendapat pengawasan
dari negara. Penyelesaian ini dipertaruhkan pada ruang publik di mana gagasan
rasio komunikatif memungkinkan lahirnya algoritma tertentu demi mencapai
kebaikan-bersama.
Persoalannya,
ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Pendasaran ontologi triadik
Angan-Cipta/Yang Simbolik/Sang Antah menjadikan persoalan politik sebagai
produk pemikiran dan tindakan yang berujung pada suatu akhir yang dapat
diwujudkan secara utuh ternyata dibayangi oleh adanya yang turah, yang lolos
dari daya cengkram rasio manusia karena melampaui rasio—itulah interupsi Sang
Antah (the Real) Lacanian pada
realitas. Di sini, sederhananya, politik yang bekerja melalui demokrasi tidak
lagi mempersoalkan demokrasi substansial atau prosedural. Lantas, bagaimana
kita dapat keluar dari persoalan: konstruksi ontologis realitas triadik,
kolonisasi ekonomi atas Lebenswelt,
pemerintahan yang korup (yang berlegitimasikan pemilu) masih memungkinkan kita
hidup secara manusiawi? Bukankah kondisi yang dilahirkan adalah kondisi
ketidakadilan dan dalam kondisi demikianlah terjadi dehumanisasi—ketika
dehumananisasi terjadi: kolonisasi mahluk sosial yang sudah mengalami distorsi
oleh keadaan juga akan mengkolonisasi mahluk pribadi dalam diri individu.
Dengan demikian, satu-satunya cara yang paling realitis menghadapi situasi
negativitas demikian adalah dengan kembali kepada eksistensi pribadi, yang
kembali mempertanyakan keberadaan dirinya dalam dunia bersama dengan orang
lain. Di sinilah menggema pemikiran Marcel dan Levinas tentang kemungkinan
menata kehidupan-bersama melalui perjumpaan dengan individu yang lain demi
meninggalkan negativitas diri (versi Marcel) atau melepaskan egosentrisme
(versi Levinas). Dalam konteks pemikiran Levinas, pelepasan egosentrisme atau
peralihan dari egosentrisme ke altruisme melalui pengorbanan (sacrifice), momen lahirnya tubuh etis
yang kemudian melahirkan tubuh politis sebagai gerak transendensi, gerak dari
esensi menuju pelampauan-esensi, kemudian diikuti lagi dengan gerak imanensi,
dari beyond essence menuju essence. Barangkali, interupsi tubuh
etis atas tubuh politis dan epistemis melalui perjumpaan dengan wajah inilah
yang, secara relatif, jika mengikuti konstruksi ontologi realitas triadik
Lacanian adalah intervensi Sang Antah yang berada di luar antisipasi subjek
dalam realitas sehingga mengubah konfigurasi politik—meski konfigurasi baru
yang dihasilkan tidak menjawab secara utuh apa yang dikehendaki, karena (1)
dapat saja kehendak itu sendiri keliru atau tidak utuh dan (2) kegagalan
aparatus di dalam diri manusia yang hidup dalam realitas triadik yang
memustahilkannya merengkuh secara utuh realitas [dengan demikian, secara
epistemologis: jalan keluar yang mungkin sekaligus mustahil adalah
merekonstruksi aparatus epistemologi yang baru demi mengatasi ontologi realitas
triadik].
Politik
memang tidak memberikan jawaban secara keseluruhan. Namun, apa yang dipertaruhkan
dalam politik adalah kemungkinan manusia untuk memanusiawikan dirinya melalui
pikiran dan tindakannya sebagai mahluk pribadi sekaligus mahluk sosial. Politik
adalah kesediaan untuk senantiasa melampaui keputusasaan (versi Marcel) melalui
penemuan realitas ultima, realitas yang barangkali melampaui realitas triadik,
yaitu keabadian (eternity)—yang
barangkali saja membayangi Sang Antah, secara ontologi; atau, mengikuti
pendapat Kant, itulah yang menjadi conditio
sine qua non jiwa manusia.