Lama sudah saya
tidak berkunjung ke rumah teman saya. Tiga hari lalu, saya berkunjung—kami minum
teh, hari itu sudah malam memang. Ia berkata, “Vid, bukankah dalam diri manusia
itu terkandung pengetahuan sekaligus ketidaktahuan? Tanpa manusia, tidak ada
pengetahuan dan ketidaktahuan.” Barangkali, karena melihat alis saya yang berkerut,
ia berkata [dugaan saya dengan niat menyederhanakan apa yang disampaikannya]: “Bukankah
di dalam kegelapan, sesungguhnya engkau tidak pernah menjadi orang buta?”
seperti alif beta dan eureka. mawar melati dan segala yang mabuk cuaca. seperti kulkas, semua indah dan selamat membahasa.
Menteri Susi dan "Saya juga pernah begitu."
“Barangkali bukan karena merokok dan bertato, maka mereka tidak menyukai
dia--melainkan karena mereka memang tidak suka, maka mereka lihat
merokok dan bertato itu sebagai tanda adanya kekurangberesan.” Teman
saya omong begini demi komentari pemberitaan seputar pro-kontra Menteri
Susi—lalu menambahkan, “Saya juga pernah begitu.” Setelah mendengar
teman saya, ingat kata-kata guru saya, “Dari apa yang faktual, kita
tidak dapat menyimpulkan apa yang normatif. Kesialannya di sini: justru
karena kita selalu berjumpa dengan yang faktual, tak pernah berjumpa
yang normatif.”
Yang Gawat dan Ciyus
Teman saya (ia
orang yang sangat lucu) bilang kepada saya, "Hanya hal-hal yang gawat
sajalah yang dapat membuat Anda dapat serius." Awalnya, saya merasa
seperti mendengar sebuah lelucon [bahkan saya sempat berniat meledek dengan
istilah anak-anak muda "ciyus"; namun membatalkan niatan itu], dan
melontarkan pertanyaan yang bersifat retoris: "Namun, bukankah hal-hal
serius kadang tampak seperti lelucon?" [sambil mengingat topik politik
yang hangat: pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD akan lebih Pancasila
daripada pemilihan kepala daerah secara langsung].
Mata Rahasia
Mata Rahasia
hingga
ini mata
tak
lagi membaca
tetap
kutatap
tenaga
bahasa
alif
rahasia
di
dalam dada.
suara matahari
suara matahari
suara
senantiasa menjelma sebagai surat
wasiat
yang diperuntukkan kepada pembaca
oleh
mereka yang menulis kekuasaan
penuh
gementar dan nyaris tanpa harapan
sebab
teringat kesunyian masing-masing
sebagai
seribu tahun kesendirian
tengah
menanti di setiap cahaya
matahari.
Terpanah Bahasa
Terpanah Bahasa
ketika
gema keseharian
membalur
tubuh dan ingatan
masuklah
kepada sajak
sapanya
serupa kecipak
pada
bening telaga
ketika
gumam kesendirian
hanyutkan
tangan dan keinginan
masuklah
kepada sajak
bunyinya
serupa gelak
pada
wajah asmara
masuklah
kepada sajak
masuklah
kepada sajak
sebagai
kota tumpah pada dunia
sebagai
bunga tumbuh di atas tanah
sebagai
batu gelinding di tebing lembah,
sebagai
aku terpanah mata bahasa
Ironi dan Sejahtera
Ironi lahir dari keyakinan bahwa satu-satunya jalan menjadi sejahtera adalah mendirikan negara.
Ibu
Ibu
: Museum Penghancur Dokumen
Ibu.
Dalam
museum Malna dan Malna berjalan
menggunakan
tiga tanda baca sebagai pakaian
dari
arsip-arsip yang sudah dikubur tanpa upacara
kematian,
ketika surat kabar tiba di halaman
depan
dan halaman belakang sejarah
tiang
listrik. Dalam museum Malna dan Malna
dan
Malna berjalan menggunakan dua tiga atau
lebih
dari tiga tanda baca sebagai selembar daun
dan
potret selembar daun di atas 21.000
abad
dan kaki di hadapan topi yang terbuat dari bunga
dan
duri bahasa. Dalam museum Malna satu
atau
dua Malna berjalan menggunakan tiga dan
tanpa
tiga tanda baca sebagai matahari
dan
malam hari dari kerinduan video-
grafi
menuju menit 5 lalu kembali pada menit 0
dengan
mendung di punggung kerbau dan senja
sebelum
kopi yang tak pernah sama. Ibu.
Matahari
Matahari
kepada T. Alias Taib
ia
menulis matahari
sebagai
tubuh yang ia cuci
sebelum
ia langkahkan kaki
keluar
dari tempat mandi
ia
membaca matahari
sebagai
tubuh yang ia cuci
sebelum
ia langkahkan hati
pada
bening Kisah Suci
Republik
Republik
: Seminar Puisi di Selat Sunda
sebuah republik di
atas lantai dapur tanpa jembatan
melintasi bola
basket bersama tetesan bawang
putih di bawah
penggaris. gigi-gigi
mengeluarkan kamus
bahasa indonesia, serigala
satu dua tiga empat
lima hingga 12
bulan dalam topi
dan kacamata. di dapur
siapa-aku mengupas
kamus bahasa indonesia dan
tidak ada piano.
sebuah republik di lantai lebih
dari lantai dapur
tanpa piano dan
serigala kamus
bahasa indonesia satu dua
tiga empat lima
hingga 12 bulan tanpa jembatan
menggaris topi
siapa-aku dan kacamata bola basket. hari ini
tidak menangkap
matahari—dalam kamus bahasa
indonesia 2008 republik (dan republikan)
didahului reptilia dan diakhiri hutan
muda. sebuah
republik siapa-aku tidak
menangkap matahari melalui
kamus
bahasa indonesia
dan gigi-gigi di bawah
penggaris
mengeluarkan serigala satu dua
tiga empat lima
hingga 12 bulan tetesan bawang
putih. di atas
lantai dapur,
sebuah republik
tanpa daging. bola basket. Di sini.
Bahasa dan Yang Mustahil Terpahami
Bahasa—sekiranya
tidak membuktikan, paling tidak memperlihatkan—bahwa mustahil manusia hidup
sendiri. Bagaimana dengan Tuhan? Saya
tidak tahu apa-apa tentang Yang Abadi—kecuali sebagai hal yang mustahil
terpahami.
Metafora
“Sungguh, adalah
suatu kehebatan bila mampu menggunakan secara tepat bentuk-bentuk puitis
sebagaimana juga meramu dan menemukan kata-kata yang asing. Namun hal paling
maut sejauh ini adalah menjadi empu metafora. Itulah satu-satunya hal yang
tidak dapat dipelajari dari orang lain; dan itu jugalah tanda kejeniusan, sebab
metafora yang baik mengimplikasikan adanya kemampuan mempersepsi kesamaan dalam
ketidaksamaan secara intuitif.”
Ricoeur, Paul, The Rule of Metaphor: the creation of
meaning in language (diterjemahkan Robert Czerny, Kathleen McLaughlin, dan
John Costello, SJ), London: Routledge, 2003, p.25
Mekanisme Ilmiah Malna: Tubuh Kata Benda dan Kata Kerja
Mekanisme Ilmiah Malna: Tubuh Kata Benda dan Kata Kerja
—catatan atas pembacaan Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing dan beberapa
sajak lainnya—
: A. Malna
Dari
dunia bahasa aku meminjam tubuh sekaligus mekanisme ilmiah di dalamnya. Tidak
ada kebebasan dalam kata meminjam.
Tetapi, apakah benar aku meminjam—bukankah
lebih masuk akal bila tubuhku dipinjamkan
dunia bahasa? Mengapa dunia bahasa perlu melakukan hal itu? Apakah dunia
bahasa tidak bebas seperti tubuh aku—atau: aku dan dunia bahasa saling bertarung
merebut tubuh (entah tubuh apa dan siapa).
Dunia
bahasa dan aku atau aku dan dunia bahasa melihat tubuh itu. Di dalamnya kata
benda dan kata kerja berinteraksi menghasilkan hal-hal yang tidak pernah aku
bayangkan sebelumnya. Kata benda dan kata kerja dapat menghasilkan bayi sejarah
dan leukimia—tentang kematian, kami saling berpandangan: apakah kata benda dan
kata kerja dalam tubuh-tubuh itu mampu mengenalkan mereka pada kematian?
Kami
melihat mereka atau mereka melihat kami—kami tidak bisa memastikan apakah mereka melihat kami, ya kami yang lagi
memperebutkan tubuh-tubuh mereka. Kami saling menatap dan bertanya, aku dan
dunia bahasa atau dunia bahasa dan aku. “Mengapa kita memperebutkan tubuh-tubuh
itu? Bukankah itu tubuh-tubuh yang cacat dan akan menyesatkan kita”—dunia
bahasa menambahkan, “juga menyesatkan mereka sendiri.”
Tubuh
dapat menelan daging memahat batu dan menggali tanah. Tubuh juga dapat tafakur menemukan
kata benda dan kata kerja—saat tafakur menemukan kata benda dan kata kerja tubuh
bertanya: “Apakah benar ada aku dan dunia bahasa? Bukankah aku berada di taman
terkutuk yang paling indah? Apakah aku dan dunia bahasa dapat menelan daging
memahat batu dan menggali tanah?”
Tubuh
dapat merasai panasnya matahari keringnya sungai dan sakitnya sendiri. Tubuh melahirkan
kata benda dan kata kerja yang bertanya: “Apakah aku dan dunia bahasa dapat
merasakan apa yang tubuh rasakan? Apakah mereka punya tubuh seperti Malna, tubuh yang mampu merasai panasnya
matahari, merasai keringnya sungai, merasai sakitnya sendiri?” Tubuh tidak
pernah mendengar aku dan dunia bahasa memberikan jawaban secara langsung,
secara langsung—sekiranya aku dan dunia bahasa tidak ada, buat apa tubuh kata
benda dan kata kerja bertanya: “Mereka sedang melakukan apa sekarang?”
Sejarah Yang Ini atau Yang Itu
Selalu ada sejarah
di balik suatu perayaan hari ini atau hari itu. Namun, persoalannya: jika
sejarah adalah kontinjensi, bukankah masih dimungkinkan ada cara lain dalam
membaca lahirnya peringatan hari ini atau hari itu? Lainnya: jika sejarah
adalah keniscayaan, bukankah tak ada lagi pembeda gerak-gerik kupu-kupu, pada
saat kapan gerhana terjadi, dan apa yang sebaiknya saya lakukan, yang ini atau
yang itu.
Sajak tentang Yang Tak Terelakkan
Meski ada yang tak
terelakkan, sajak seperti bunga (matahari). Ia senantiasa mencari matahari dan
tak pernah pulah ia khawatir pada entah di suatu masa dirinya akan layu. Meski
ada yang tak terelakkan, sajak seperti bunga—hidup untuk hari ini bukanlah hal
yang paling hina. Ia adalah matahari—suatu ketika, barangkali kita pernah
mengganggapnya sebagai kesialan.
Pagi dan Sudut Pandang Yang Lain
Saat paling mujarab
menulis puisi adalah pagi hari—pagi hari adalah saat kita melihat kenyataan
dengan sudut pandang yang lain.
Pelajaran Pertama
Karena ambisi
berkuasa ada pada siapa saja, maka tidak ada beda antara yang bodoh dan cerdas—sesungguhnya
pelajaran politik pertama bukan menjadi penguasa, melainkan memanfaatkan
keadaan dan bersyukurlah apa bila kejelian memanfaatkan keadaan menjadikan
dirimu penguasa.
Yang Dapat Kita Ketahui dari Mereka
Dari pengamat politik kita dapat mengetahui apa yang dipikirkannya,
tetapi tidak yang dilakukannya. Dari politikus kita dapat mengetahui apa yang
dilakukannya, tetapi tidak yang dipikirkannya.
Yang Turah dan Yang Abadi pada Politik
Politik
memang tidak memberikan jawaban keseluruhan. Jika dikembalikan kepada manusia
sebagai mahluk pribadi dan sosial, maka politik mensyaratkan keberadan manusia
sebagai mahluk sosial; ia adalah komunitas sekaligus masyarakat sekaligus warga
negara. Hanya sebagai yang terakhir sajalah politik menjadi bagian penting.
Aspek kesosialan manusia menjadi penting karena, melalui tindakan politisnya,
individu mempertimbangkan kepentingan orang lain demi mencapai kebaikan-bersama
(bonnum commune). Persoalannya,
apakah politik terjadi demikian?
Untuk
menjawab pertanyaan ini: evolusi masyarakat, perubahan masyarakat dari Community/Gemeinschaft ke Society/Gesellschaft menjadi jalan
keluar untuk melihat realitas kemudian, yaitu bertumbuhnya institusi baru dalam
kehidupan bersama, yaitu ekonomi (dengan prinsip tertentu) yang harus melakukan
negosiasi juga dominasi terhadap tatanan kekuasaan yang sudah ada, yaitu
politik (dalam varian kerajaan atau feodal atau kebangsaan), juga agama—dan
tentunya, tanpa disadari kebudayaan.
Adanya
kekuataan ekonomi, yang dalam pemikiran Habermas, mengkolonisasi Lebenswelt harus mendapat pengawasan
dari negara. Penyelesaian ini dipertaruhkan pada ruang publik di mana gagasan
rasio komunikatif memungkinkan lahirnya algoritma tertentu demi mencapai
kebaikan-bersama.
Persoalannya,
ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Pendasaran ontologi triadik
Angan-Cipta/Yang Simbolik/Sang Antah menjadikan persoalan politik sebagai
produk pemikiran dan tindakan yang berujung pada suatu akhir yang dapat
diwujudkan secara utuh ternyata dibayangi oleh adanya yang turah, yang lolos
dari daya cengkram rasio manusia karena melampaui rasio—itulah interupsi Sang
Antah (the Real) Lacanian pada
realitas. Di sini, sederhananya, politik yang bekerja melalui demokrasi tidak
lagi mempersoalkan demokrasi substansial atau prosedural. Lantas, bagaimana
kita dapat keluar dari persoalan: konstruksi ontologis realitas triadik,
kolonisasi ekonomi atas Lebenswelt,
pemerintahan yang korup (yang berlegitimasikan pemilu) masih memungkinkan kita
hidup secara manusiawi? Bukankah kondisi yang dilahirkan adalah kondisi
ketidakadilan dan dalam kondisi demikianlah terjadi dehumanisasi—ketika
dehumananisasi terjadi: kolonisasi mahluk sosial yang sudah mengalami distorsi
oleh keadaan juga akan mengkolonisasi mahluk pribadi dalam diri individu.
Dengan demikian, satu-satunya cara yang paling realitis menghadapi situasi
negativitas demikian adalah dengan kembali kepada eksistensi pribadi, yang
kembali mempertanyakan keberadaan dirinya dalam dunia bersama dengan orang
lain. Di sinilah menggema pemikiran Marcel dan Levinas tentang kemungkinan
menata kehidupan-bersama melalui perjumpaan dengan individu yang lain demi
meninggalkan negativitas diri (versi Marcel) atau melepaskan egosentrisme
(versi Levinas). Dalam konteks pemikiran Levinas, pelepasan egosentrisme atau
peralihan dari egosentrisme ke altruisme melalui pengorbanan (sacrifice), momen lahirnya tubuh etis
yang kemudian melahirkan tubuh politis sebagai gerak transendensi, gerak dari
esensi menuju pelampauan-esensi, kemudian diikuti lagi dengan gerak imanensi,
dari beyond essence menuju essence. Barangkali, interupsi tubuh
etis atas tubuh politis dan epistemis melalui perjumpaan dengan wajah inilah
yang, secara relatif, jika mengikuti konstruksi ontologi realitas triadik
Lacanian adalah intervensi Sang Antah yang berada di luar antisipasi subjek
dalam realitas sehingga mengubah konfigurasi politik—meski konfigurasi baru
yang dihasilkan tidak menjawab secara utuh apa yang dikehendaki, karena (1)
dapat saja kehendak itu sendiri keliru atau tidak utuh dan (2) kegagalan
aparatus di dalam diri manusia yang hidup dalam realitas triadik yang
memustahilkannya merengkuh secara utuh realitas [dengan demikian, secara
epistemologis: jalan keluar yang mungkin sekaligus mustahil adalah
merekonstruksi aparatus epistemologi yang baru demi mengatasi ontologi realitas
triadik].
Politik
memang tidak memberikan jawaban secara keseluruhan. Namun, apa yang dipertaruhkan
dalam politik adalah kemungkinan manusia untuk memanusiawikan dirinya melalui
pikiran dan tindakannya sebagai mahluk pribadi sekaligus mahluk sosial. Politik
adalah kesediaan untuk senantiasa melampaui keputusasaan (versi Marcel) melalui
penemuan realitas ultima, realitas yang barangkali melampaui realitas triadik,
yaitu keabadian (eternity)—yang
barangkali saja membayangi Sang Antah, secara ontologi; atau, mengikuti
pendapat Kant, itulah yang menjadi conditio
sine qua non jiwa manusia.
Saramago, Halaman 113
The newspapers must be read, of course, but that is not
enough, you must see with your own eyes the roads, the ports, the schools. the
public works everywhere, and the atmosphere of discipline, my dear fellow, the
calm on the streets and in people's hearts, an entire nation dedicated to
honest labor labor under the leadership of a great statesman, truly an iron
hand in a velvet glove, precisely what we needed.
Saramago, José, The Year of the Death of Ricardo Reis (diterjemahkan Giovanni Pontiero), New York: Harcourt Brace & Company, 1991, p.113
127 Tahun Lalu dan Koalisi
127 tahun lalu,
sosiolog Ferdinand Tönnies, melalui bukunya Community
and Society (Gemeinschatf und
Gesellschaft) sudah bilang: “Kompetisi itu senantiasa terbatas dan berakhir
pada koalisi.” Oleh karena itu (saya memindahkan kajian pada ranah sosiologi
itu ke ranah politik), peserta-peserta Pemilu 2014 yang tengah berkompetisi
kini terbatas jumlahnya—dan tentunya akan berakhir pada koalisi. Dengan
demikian, akhir dari kompetisi dari para peserta-peserta Pemilu 2014 bukanlah
jumlah suara, melainkan koalisi—dan sialnya, para pemilih tidak punya hak untuk
menentukan yang akhir dari kompetisi itu. Dan apa yang disebut “koalisi” adalah
aliansi sementara demi membentuk pemerintahan. Karena inilah saya berpendapat: Di
dalam politik (peserta-peserta Pemilu kapanpun), tidak ada yang abadi; yang ada
hanya yang sementara saja; di dalam diri para pemilihlah bersemayam yang
abadi—partai-partai politik boleh hancur bahkan tidak ada sama sekali, tetapi
para pemilih akan senantiasa hidup, melanjutkan hidup, dengan caranya yang khas:
membentuk komunitas!
Satir: Balon di Alam Dada
Satir: Balon di Alam Dada
: Ebes & Bunda & Satir
mata
yang ajaib
adalah
Satir,
ia
lahirkan pertanyaan
kepada
ebes bunda dan siapa saja
yang
hanya kenal tanda tanya
sebagai
isyarat (akan) kebimbangan atau kepastian
ketika
fantasi, mantra, dan yang abadi
senantiasa
hadir sebagai sembunyi pada peta ilusi, Ia
adalah
Satir, si mata ajaib
si
pesulap mata ebes bunda dan siapa saja
melalui
gelap takjub dan ketidaktahuan
(untuk)
mengenali cahaya sebagai balon,
di
alam dada.
Yesaya pada Fromm
Setelah membaca
“Revolusi Harapan”, akhirnya saya menyimpulkan bahwa apa yang dipaparkan Erich
Fromm dalam buku itu adalah tafsiran Yesaya 58:6-7: Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki ialah supaya engkau membuka
belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau
memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk; supaya engkau
memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin
yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau
memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!
Maret: Dari Gilson hingga Fromm
“God and Philosophy”-nya
Ettienne Gilson memulai Maret saya kali ini dan “Revolusi Pengharapan”-nya
Erich From mengakhiri hari ke-31. Di antara keduanya, saya melewati Maret
dengan kejutan dari “Kajian Tentang Manusia”-nya Karl Polanyi, “Fateless”-nya
Imre Kertész, lalu “Pembawa Matahari”-nya Abdul Hadi W.M, disusul “Jantung
Lebah Ratu”-nya Nirwan Dewanto, juga “Hari dan Hara”-nya Subagio Sastrowardoyo,
kemudian “Thoughts in Solitude”-nya Thomas Merton (buku yang paling menarik
bagi saya dalam bulan ini), lalu kajian “A Philosophy of Human Hope” dari Joseph
Godfrey, dan “Problematic Man”-nya Gabriel Marcel.
|
Sinbad dan Cara Membaca Realitas
Dalam petualangannya yang pertama, Sinbad, si pelaut yang bosan dengan kehidupannya di kota Baghdad lalu memutuskan menjadi pedagang sekaligus pelaut, bersama dengan teman-temannya berhenti di sebuah punggung paus yang mereka kita sebuah pulau yang dapat disinggahi, kemudian menyalakan api sehingga paus itu merasa kepanasan lalu bergerak menyelam ke dasar lautan meninggalkan Sinbad dan kawan-kawannya dalam kepanikan. Dan (kita tahu) kepanikan melahirkan dua hal, kematian (dan banyak teman-teman Sinbad berjumpa dengan kematian) dan sebatang kayu yang mengapung (kita dapat menyebut ini sebagai keberuntungan dan Sinbad berhasil berpegangan pada kayu yang mengapung itu hingga ia terdampar di sebuah pulau).
Seorang pembaca kisah-kisah fantasi, setelah membaca petualangan pertama Sinbad itu, menuliskan dalam catatan hariannya: kebosanan dapat mengantarkan siapa saja kepada petualangan yang menakjubkan, yang dapat berujung pada kematian (sesungguhnya, kematian tidak peduli apakah orang itu tengah bosan atau tengah bertualang; kematian pasti datang) atau berjumpa sebatang kayu yang mengapung di lautan luas (meski pada akhirnya harus terdampar di tempat yang tidak diketahui--namun, hidup tetap saja lebih baik dari mati; meski mati belum tentu lebih buruk dari hidup).
Zawawi dan Yang Ditolehnya
Barangkali, pekan
lalu, saya berjumpa Pak Zawawi Imron. Sebetulnya, saya hanya mau menyapa--namun
entah mengapa pula malah pertanyaan demikian yang meluncur: "Pak Zawawi,
boleh tanya?" (Pak Zawawi yang duduk di kursi depan saya, menoleh ke belakang,
ke arah saya, lalu bilang, "Mau tanya apa?") Saya melanjutkan kata,
"Bisa cerita tentang Ibu?" (saya mengacu kepada salah satu sajaknya).
Pak Zawawi membalas (masih dengan wajah yang menoleh ke belakang), "Saya
akan jawab pertanyaan Anda, namun jawab dulu pertanyaan saya. Apakah di dekat
sini ada yang jual makanan kecil? Saya lapar." Lantas, saya pun menunjuk
ke sebuah toko makanan kecil yang tersembunyi, meski hanya berjarak sekitar 15
langkah kaki. Tentang Ibu, Pak Zawawi bilang, "Itu sajak saya tulis waktu
saya berusia 16 tahun, 1962, di Banyuwangi. Sajak itu selesai tahun 1966, empat
tahun kemudian." Lalu (karena masih terus menoleh ke belakang) Pak Zawawi
berkata, "Ah, bagaimana kalau kita pindah duduk, di belakang sana ada dua
kursi kosong, kalau begini terus, tidak enak ngomongnya." Kami pun
berpindah duduk ke belakang, namun tidak sempat bercerita lebih banyak dan
panjang--entah mengapa, saya juga tidak tahu.
Sajak
Sajak (sebagai) Pengetahuan
tentang Lautan Botol dari Masa Lalu
seperti
joko
pinurbo, ia becermin
lalu
mendatangi kuburan ibu
mencari
celana dari masa lalu
atau
sutardji
yang bertafakur
tentang
telur dan hakekat lautan
dalam
ngiau kemabukan
juga
afrizal,
ia kenali tubuhnya
sebagai
botol penyimpan (gonggong)
anjing,
air kencing, dan identitas jam 12 siang
sajak,
ia mempertemukan aku
dengan langit keheningan
rasi pertimbangan, dan
ombak pengetahuan
Tiga Sajak
Sajak yang Menyala
Antara Keseharian dan
Kesendirian
(Di Saat Engkau Memejamkan
Mata)
engkau
yang senantiasa berayun
antara
keseharian dan kesendirian
akankah
menebak kehadiran-Ku
seperti
sajak-sajak Sapardi (atau Sutardji)
yang
menggema dalam ingatanmu
sebagai
kecemasan dan harapan
atau
takjub dan yang menakutkan
pada
benci dan kerinduan
akan
dirimu yang lenyap
dalam
cahaya keseharian dan gelap kesendirian
engkau
yang senantiasa berayun
antara
keseharian dan kesendirian
senantiasa
menebak kehadiran-Ku
sebagai
sapa yang menyala
di
saat engkau memejamkan mata
Akal Sehat
akal
sehat adalah lumbung
tempat
hidupnya tikus pengerat
butiran-butiran
padi yang kita perlukan
untuk
mencipta matahari
agar
burung-burung bertelur
melahirkan
ombak dan cerita
tentang
masa lalu yang senantiasa berseru
tentang
demokrasi yang sendiri pada malam hari
tentang
bumi yang adalah lambung matahari, dan
tentang
akal sehat yang adalah lumbung
tempat
hidupnya tikus pengerat
yang
tidak boleh kita matikan
jika
ular yang adalah obat
masih
menyelinap dan berharap
pada
liang-liang perasaan
agar
kita tetap mengingat
kematian
bukanlah lumbung kehidupan
Kelelawar Yang Menyulap Hari
dengan Bangun Pagi
saat
menulis (puisi)—
kau tahu,
biasanya di malam hari
ketika kelelawar terbang ke alam mimpi
mereka ditulis pada ingatan dan
pertimbangan—
ada
sosok gaib yang menyelinap
ke
dalam mataku dan membaca
percayalah,
masih ada yang lebih indah dari puisi:
tidur
malam yang nyenyak (agar kau dapat bangun pagi)
dan
tekanan darahmu pun tak lagi tinggi
aku ingat
sajak “Keluarga Larut Malam”[1]
yang berkisah
tentang cara paling cantik
untuk menyulap hati dan hari ini
selain
(dari) gosok gigi dan cuci kaki.
Filsafat Ilmu dan Yang Keliru
Setelah bergulat
dengan topik-topik filsafat ilmu, teman saya menulis surel kepada saya. Isinya: Kepastian kemampuan kita mengenali alam
semesta beserta segala isinya, menurut saya, tidak sepasti kemampuan kita
mengenali diri kita sendiri sebagai yang dapat keliru.
Bagaimana Matahari Terbakar, Lalu Panasnya Sampai di Bumi, dan Menghasilkan Pertanyaan di Kepala Seorang Anak Kecil—Satu Catatan tentang Nonsense atau “Sebaiknya Kau Tidak Perlu Repot Mencari Makna Tulisan Ini!”
Aku
menyesal menjelaskan hal demikian kepada seorang anak kecil: “Bagi kita, yang
disebut orang asing—hal ini mengingatkan aku pada kebijaksanaan orang-orang
Timur Tengah, khususnya Arab, sebagaimana yang disampaikan perempuan penyair
keturunan Amerika-Palestina Naomi Shihab Nye dalam sajaknya yang berjudul “Red
Brocate”—adalah orang-orang misterius, orang-orang yang tidak kita ketahui
asal-usulnya juga tujuan kehadiran mereka di hadapan kita; mereka dapat saja
berbuat jahat atau malah tidak sama sekali, tetapi adanya baiknya juga bila
kita melupakan sejenak apa yang hendak mereka lakukan terhadap kita. Andaikan
alam semesta adalah orang asing yang hadir di hadapan kita, maka pertanyaan
yang biasa kita ajukan (sambil mengingat tentang percakapan-percakapan yang
biasanya tercantum dalam pelajaran-pelajaran awal berbahasa asing): “dari mana
kau berasal?” Tetapi kita juga sadar bahwa alam semesta sama seperti batu atau
kuda, barangkali mereka—aku sesungguhnya tidak lagi mengerti apa yang hendak
aku sampaikan kepada anak kecil ini dengan kata “mereka”—mendengar
pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan; barangkali juga mereka menjawab
pertanyaan-pertanyaan kita, pastinya dengan bahasa yang tidak kita ketahui, dan
tentu saja: menjawab pertanyaan dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh
penanya sama saja berarti tidak memberi jawaban sama sekali (sialnya, malah-malah
meletup salah paham—aku ingat wawancara yang berisi istilah-istilah dan
penjelasan-penjelasan yang rumit dari narasumber demi menjawab sekaligus
menjelaskan “apakah memperkosa adalah perbuatan kriminal atau tidak?”).”
Sore
pada hari ketujuh hujan turun di kepalaku, aku memutuskan keluar dari kamar,
berjalan-jalan di taman yang berada sekitar 45 menit dari kamarku. Aku pikir,
musim kemarau akan tiba jika aku meninggalkan kamar dan menikmati sore di taman
yang dipenuhi remaja-remaja bermain sepakbola, para ibu yang berkeliling sambil
mendorong kereta bayi anaknya, juga pedagang-pedagang makanan kecil mulai dari
gorengan, siomay, hingga pedagang mie bakso (hujan memungkinkan keceriaan yang
berada di taman untuk sementara waktu berpindah ke dalam selimut atau dapur
umum—sebaliknya, kemarau membuat taman menjadi tempat yang paling menyenangkan
untuk berbagi keceriaan dengan orang-orang asing, meski mereka tidak pernah
saling sapa). Dalam perjalanan menuju taman, seorang anak kecil—aku tidak tahu
pasti, apakah hujan sudah berganti kemarau di dalam kepalaku—tiba-tiba muncul
dan bertanya: “Bagaimana matahari terbakar lalu panasnya sampai di bumi dan
menghasilkan pertanyaan di kepalaku?” Aku hanya sempat berpikir bahwa buku-buku
tentang ilmu alam pasti dapat menjawab pertanyaan bagaimana matahari terbakar
(aku bimbang apakah terbakarnya matahari karena reaksi fisi atau fusi), juga
bagaimana panasnya sampai di bumi (aku berfantasi: tampaknya gelombang-gelombang
panas yang melewati ruang hampa antara bumi dan matahari mirip seperti ombak
laut yang susul-menyusul, berkejar-kejaran menuju tepian pantai dan di tepian
itu seorang anak kecil tengah takjub mendengarkan debur ombak dan merasakan
hempasan air laut di kakinya—aku tidak akan berimajinasi, di ruang hampa, ada orang-orang
yang berselancar memanfaatkan ombak gelombang-gelombang panas). Sejak kehadiran
anak kecil itu di dalam kepalaku, aku tidak lagi peduli apakah kemarau sudah
terjadi atau malah hujan masih saja turun; selama dalam perjalanan, meski dia
sudah menghilang, aku hanya peduli pada pertanyaan anak kecil itu dan berusaha
memberikan jawaban, yang nantinya akan kusesali karena dua hal, yaitu (1)
jawaban yang kuberikan hanya menunjukkan kebodohanku dan (2) setelah lebih dari
90 menit aku berpikir demi menemukan dan memberikan jawaban yang hanya
menunjukkan kebodohanku, akhirnya aku sadar bahwa aku tidak sempat menanyakan
satu hal mendasar kepada anak kecil itu: “Kau berasal dari mana?”
Tentang Gajah dan Saya yang Lupa
Tiga hari lalu,
saya berkunjung ke rumah teman saya. Seperti biasa, kami bercerita tentang
macam hal, mendiskusikan ragam soal. Sewaktu asyik berdiskusi, putri teman
saya mendekati kami dan bertanya, “Om, kalau gajah kecil jadi gajah besar itu
berubah atau berbeda ya Om?” Mendengar pertanyaan itu, spontan saya menjawab,
“Oh, itu gampang...[mendadak saya terdiam selama tiga detik, lalu berkata]..., Om lupa.”
Di saat melihat wajah putri teman saya yang cemberut, dengan rasa bersalah saya berucap dalam hati:
Semoga nanti engkau menemukan kegembiraan-kegembiraan
lain, sehingga dapat melupakan
pertanyaan itu.
Subscribe to:
Posts (Atom)