SEBAB ITU, SECANGKIR KOPI MENUNGGU. HAHAHAAAAA

Kedai kopi, tengah hari, di pusat belanja mewah ibu kota.

Diantara semerbak wewangian robusta serta beragam harum parfum pengunjung, entah pria atau wanita, pandangan mataku terpenjara kala mengarah pada sesosok manusia. Aku mengalami rasa yang tak jauh beda dengan beratus pengunjung pusat belanja mewah ibu kota. Sesosok manusia, entah wanita atau pria--yang pasti tidak berusia bocah--santai melenggang diantara tatap kornea terperangah serta ingsut badan menjauh, dan memberi ruang lempang bagi sesosok manusia itu untuk leluasa melangkah. Dan! sesosok manusia itu seakan tidak merasa dirinya menjadi fokus perhatian massa yang tercengang! Dari raut muka sesosok manusia itu tak kulihat rasa jengah, seperti emosi yang pernah kualami saat seorang teman berkata: Hai, apa kabar? (dengan senyum lepas menghampar) ketika aku sedang melamun: apakah jawab yang harus kukatakan bila seorang teman datang, tiba-tiba, menanyakan kabar yang ada padaku.

Sesosok manusia yang berlesung pipi, bermata dua, bertelinga dua, berbibir, berhidung, beralis, berpelipis, berambut, berdada/berpayudara, berperut, berpaha, berkelamin, bertungkai, berlengan, berketiak, berpinggang, berjemari, berkuku, berlutut, bersiku, berbetis, berleher, bertangan, yang mampu menggodaku untuk meninggalkan secangkir kopi panas yang belum sedikit pun kuteguk.

Bergegas aku berdiri, lalu berlari, mengejar sesosok manusia yang telah melintas tepat tiga meter di depanku, sekitar tiga detik lalu.

Kulihat sesosok manusia itu bertengkuk, berpundak, berbelikat, berpantat, bertelapak, bertumit, berjalan.

Saat jarak antara aku dan sesosok manusia itu sudah semakin merapat, aku mengalami kebimbangan. Entah kenapa, mendadak tanganku terangkat, lalu mencoba menjangkau pundak sesosok manusia itu, lalu menyentuhkan kulit telapak tangan kananku ke pundak kirinya. Sesosok itu berhenti. Memalingkan kepala mengarah ke mukaku. Aku rikuh. Pandangan bola mata yang hitam milik sesosok manusia itu begitu bersahabat, seakan kami adalah teman lama yang pernah bertukar rahasia; hingga aku gemetar, gemetar, gemetar, bertanya: Ke.ke...na..pa.... ka-ka-.kak..ka--kau te..lan.jang.

Sambil senyum, sesosok manusia itu membalas, "Mode."

Aku pun tersenyum usai mendapat jawab dari sesosok manusia itu. Kami sama tersenyum. Sama perlahan mengangguk. Setelahnya, sesosok manusia itu memutar ruas-ruas tulang leher bersendi peluru mengarah ke muasal hadap. Bersamaan saat sesosok manusia itu memutar ruas-ruas tulang leher bersendi peluru mengarah ke muasal hadap, aku pun balik kanan. Saling membelakangi, kami berjalan ke arah kembali. Dan, aku tertawa! Tertawa membahana, hingga pengunjung pusat belanja mewah ibukotaterpaksa mengkuadratkan rasa terperangah!

Tiba-tiba,

aku merasa seseorang menyentuh lenganku. Aku pun berhenti sejenak. Palingkan muka ke kanan, muasal sentuh kurasakan. Disaat kami saling memandang, telingaku hanya sempat mendengar mula kalimat tanya dari seseorang yang menyentuh lenganku. Telingaku hanya sempat mendengar mula tanya, sebab jawabanku yang diakhiri tawa (sambil melangkah pergi ke kedai kopi hendak menunaikan tugas mencicipi secangkir kafein berteman hisapan nikotin) menumpas waktu yang dimiliki seseorang yang menyentuh lenganku itu untuk menuntaskan kalimat tanya yang utuh.

"Kenapa" :Mode!
TEH PAHIT
(Kisah Seteguk Teh Pahit Yang Melebihi Seribu Karakter)

Pukul 19.15, aku melintas di Jalan Palmerah Barat. Slipi. Tak sengaja, saat aku menoleh kanan-kiri, kulihat bentangan kain di depan sebuah rumah yang berhalamankan trotoar jalanan. Kain berukuran semeter kali dua, pink warnanya, berisi tulisan 'SEDIA TEH PAHIT'.
Karena keingintahuan, aku pun berniat singgah. Sebentar. Sekadar menjajal rasa apakah. Itulah yang ada dalam pikiranku.
Aku pesan segelas teh pahit yang belum kuketahui bagaimana rupa juga sedapnya. "Tehnya... ya, Mbak...," kataku. Aku kira, si Mbak yang berumuran sekitar duapuluhlima-an itu segera menyajikan segelas teh pahit. Eh, tak tahunya ia malah balas bertanya. Gelas besar atau kecil? Hah, apa pula maksud dia menanyakan hal itu?
Mengapa harus ada gelas besar dan gelas kecil untuk menikmati suguhan teh? Karena aku tidak memahami keinginan si Mbak yang berbaju coklat model terusan itu, dengan sedikit pongah aku menjawab, "Gelas besar saja." Ia agak terheran. Ia mengerutkan alis mata, meliukkan kepala ke bawah serupa kura-kura yang hendak menyimpang kepala dalam tempurung kalsium, lalu bicara, "Yang besar," dengan terbata-patah, pelan bersuara. Aku menimpali dengan gerak kepala saja, naik-turun sekali putaran.
Lantas, lekas ia mengambil gelas berukuran besar--itu bila dibandingkan dengan seluruh gelas yang ia miliki yang tertata di rak plastik warna pink yang tertutup kain lap yang sudah tidak bersih bermotif kotak papan catur. Gelas besar itu seukuran dengan gelas yang biasa dipergunakan untuk menikmati es teh manis di warung kopi milik Abdul yang berada di dekat tenda pemeriksaan mobil yang hendak masuk ke wilayah gedung perkantoran Media Indonesia atau MetroTV. Kalau yang kecil itu seukuran dengan gelas yang biasa akau pakai meminum segelas kopi hitam kental di warung kopi pinggir jalanan dekat lokasi prostitusi; sambil menunggu angka digital di hape SonyEricsson T290i milikku berbentuk: 03:24.
Si Mbak pun menuangkan teh pahit dari gelas logam kuning raksasa bertelinga yang mampu menampung air dari botol air mineral yang berharga lima ribu-an. Usai menuang, si Mbak menyerahkan gelas besar yang berisi teh pahit itu dengan rasa ikhlas. Segelas teh pahit hitam pekat plus kental sudah terhidang. Tapi, aku tidak merasakan kenikmatan dari rupa fisikal raut muka teh pahit hitam pekat plus kental yang terpampang di kedua bolamataku yang juga hitam--rupa teh pahit hitam pekat plus kental ini serupa dengan kopi kental yang hitam dengan sedikit rona transparan. Mungkinkah itu dikarenakan otakku terbuat dari kumpulan lemak-lemak warna putih? hingga aku tak mampu mencerna apa yang tercerap indera mata? Meski begitu, aku pasrah menerima--sepertinya aku merasa bakal ada bencana menyata sehabis aku bertaruh ada apa dibalik tulisan 'SEDIA TEH PAHIT'.

aKU MULAI MENCOBA. kUDEKATKAN SEGELAS BESAR TEH PAHIT KE MUKAKU. kUCOBA MEMBAUI. tAPI, TAK ADA BAU. pIKIRANKU PUN TAK MAMPU BEKERJA, MENGASOSIASIKAN APA YANG TERHIRUP HIDUNGKU DENGAN BERAGAM BEBAUAN YANG TEREKAM DALAM MEMORIKU. aNEHNYA, DI SAAT AKU TIDAK MAMPU MENGASOSIASIKAN JENIS BEBAUAN YANG TIDAK BERBAU DARI TEH PAHIT HITAM PEKAT PLUS KENTAL ITU, TIBA-TIBA, MUNCUL PERASAAN IMAJINATIF BAHWASANYA AKU SAAT ITU AKU SEDANG MEMEGANG CANGKUL. yA, AKU MEMEGANG CANGKUL. aKU MERASAKAN BERAT DITANGAN MENJALAR HINGGA LENGAN LALU MERAMBAT KE TENGKUKKU SAMPAI-SAMPAI MEMBUAT LEHERKU MENEKUK KE KANAN; RASANYA SEPERTI SAAT AKU HENDAK MENGOLAH PETAK PERSAWAHAN BERUKURAN EMPAT KALI ENAM METER YANG SUDAH DIAIRI TIGA HARI, DI dESA kALISARI, kECAMATAN tELAGASARI, kABUPATEN kARAWANG, pROPINSI jAWA bARAT. tANGANKU SEPERTI MENAHAN BEBAN BERAT. yA, RANGSANG IMAJINATIF ITU BERASAL DARI KELELAHAN TANGANKU MEMEGANG SEGELAS TEH PAHIT HITAM PEKAT PLUS KENTAL BERADA SEKITAR DUA ATAU TIGA SENTIMETER DARI INDERA PEMBAUKU. aH, ADA APA PULA INI?
aKU MULAI MENCECAP. sEBENARNYA, BUKAN MENCECAP, SEBAB TEH PAHIT HITAM PEKAT PLUS KENTAL YANG MASUK KEDALAM MULUTKU--TENTUNYA SETELAH BIBIRKU BERSENTUHAN DENGAN BIBIR GELAS KACA BENING BERISI TEH PAHIT HITAM PEKAT PLUS KENTAL--TIDAKLAH BANYAK; DALAM PIKIRANKU PERBUATAN MENCECAP ITU HANYA MEMASUKKAN SETETES, PALING BANYAK DUA BELAS TETES CAIRAN KEDALAM MULUT. yANG AKU LAKUKAN, MENEGUK, SEPERTI YANG BIASA KUPERBUAT KETIKA MENIKMATI SEKALENG MINUMAN BERKADAR ALKOHOL LIMA PERSEN YANG BIASA AKU BELI DI WARUNG SERBA ADA YANG BERADA DI SEBERANG POS POLISI SAAT AKU PULANG MALAM HARI MENUJU RUMAH, LALU MASUK KAMAR, LANTAS MENULIS SEBUAH PUISI YANG TAK PERNAH JADI; MEMANG SESEKALI ADA YANG JADI, TAPI ITU TIDAK TERLALU BANYAK, KALAU BOLEH DIKATA: TIDAK PRODUKTIF.

bEGITU AKU MENEGUK, begitu lidahku merasakan pahit menyengat, dan sebanding dengan kecepatan lidahku dan otakku bekerja merasakan pahit menyengat, lidahku pun merasakan sedapnya es teh liang atau es liang teh yang pernah kuminum dua kali selama aku berada di Jakarta, kota metropolitan utama Republik Indonesia yang memiliki bendera berwarna merah-putih, merah di atas putih. Pertama, aku menikmati es teh liang atau es liang teh di kawasan Gadjah Mada dekat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di bawah siraman terik matahari siang, dan sebagai gantinya aku memberikan dua lembar uang seribuan kepada penjual minuman es the liang atau es liang teh yang saat itu memakai topi rimba bundar warna coklat. Kedua, sepulangku membeli satu kilo kakap merah, satu kilo ikan kwe', tiga kilo cumi-cumi dan tiga kilo udang--semuanya menghabiskan uang Rp275.000--siang-siang di Pasar Ikan Muara Angke kubeli segelas es teh liang atau es liang teh seharga duaribu dari pedagang es tehliang atau es liang teh yang sedang nangkring berteduh di bawah sebuah pohon rindang yang aku tidak tahu spesiesnya yang berada sekitar lima belas meteran dari pintu masuk pasar.
Saat aku sedang menikmati sedapnya es teh liang atau es liang teh, rasa pahit menyengat itu kembali merusakkan tatatan ImajINatIf YanG Sudah KubangUN TAnPa SAdar. MendAdAK, Aku TEringaT. PAHIt ini Pernah kuRASa. YA, Aku tidak SALAh. AKu yakiN. kuGAli SedaLAM-DalamnYA Rasa paHIT YAng kuRASAkan, lAlu kUbandingKan SEmirip-MIripnYA denGAN Rasa yANg pernAH Aku rasaKan di MASa-masA sebelUMnya, LALu muNCUllaH saTU kaTA dalAM KepalaKU. PEpaya! AKU terinGAt ramUan MinumaN YAng dibUAT Oleh ibuku DI Waktu aku MAsih Sekolah DASaR DUlu. RAmuan DAun PepaYA reBUs! DaUN Pepaya YANg direbUS berSAma air DIdalam Dandang yang DIletakkan di Atas perApian KOmpor gAs. liMA Atau deLApan helAi daun PepAYA yang MenJAri daN BerUKuran BeSAR di REBus BersaMA air DIDALam danDang yang diLetakkaN di aTAS PeraPIAn kOmpor Gas. Bila SUDah maTang, aPI Pun dimAtIKAn, daN aIR RebusaN DAUn pepaYa yanG berWarnA KehiJAU-HijaUAN itu DItuaNGKAN KedalAM gelaS YAng BesarnYA seukuraN deNgan Gelas BEsar teH Pahit hiTAm Pekat pLus KentAL Yang Sedang BeRAda DalAm GenggamAnKU ini. YA, Ramuan ituLAH yang Sering diMinUM IbuKu. KatAnYa, BuAt ObaT. KatAnya Lagi, BuaT AweT muDa. KataNya laGi, maU coBA? MungKIn Yang TerakHir Yang DIkaTakan IBuku kaRena TampangkU YAng TerheRAN-HeraN Melihat RutinITAs DIa di paGI HARI SEBElum aku BerangKAT SekoLAH; MulaI DAri MemeTik Daun PepaYA YaNG BErada DI beLAkang Rumah deKAT Kolam IKAN lelE yANg SudaH bERisi gurAME, MencuCI dAun PePAya, memAsukkAN Daun PepAYA kedDalam dANDang, mEgIsiNya DengAn AIR, MerebusNYa, lALu mendiDIH dan MenUANgkanNYA keDALam gelas SebeLUM dIA Minum HAngaT-HAngat.

Aku mencoba. Aku mendekatkan mulutku ke bibir gelas yang berada di atas meja makan dan mencecap seperti seekor anak ayam yang berciap-ciap hendak minum dari tatakan cangkir plastik. Selesai mencecap, aku menjauhkan kepala dari bibir gelas yang berisi air rebusan daun pepaya sambil memicingkan mata, menyinyirkan bibir, hingga urat-urat leherku pun kelihatan tegas, kaku dan jelas membengkak, sembari tanganku mengejang merapat ke sisi badan. "Enak?" itulah kata ibuku.
Saat tegukan pertama teh pahit hitam pekat plus kental meluncur masuk melintasi kerongkonganku, langsung tancap gas menuju usus dan lambungku, aku pun bertanya pada seorang ibu pemilik usaha itu yang duduk diseberangku; dan dia baru saja meminum segelas kecil teh pahit hitam pekat plus kental sekali glek! "Ini teh bahannya apa Cik?" Padat ia menjawab. "Saya juga tidak tahu. Ini ramuan teh pahit aja."
Kok bisa? "Saya sih tinggal beli. Di Kota juga banyak. Di toko obatnya, tinggal bilang teh pahit, langsung dikasih itu ramuan. Sisanya ya tinggal seduh saja."
Terus kegunaanya apa? "Macem-macem. Bisa ngilangin capek-capek, kencing manis, panas dalam. Nah, entar kalau dah abis tu teh pahitnya, coba deh tidur entar malam. Besoknya tuh kalo bangun tuh badan pasti entengan kaga' berat. Ga' kerasa apa-apa."
Disaat panjang lebar ibu turunan etnis Tionghoa ini menjelaskan tiap pertanyaan yang kulemparkan, di saat itu pulalah aku memperhatikan dirinya. Melihat ombak rambutnya yang pendek setengkuk, langsat kulitnya, baju dasternay yang berwarna ungu dengan motif bunga-bunga, lalu mukanya yang tergolong belia tanpa keriput jelas yang tergambar nyata pada kanvas wajah--padahal bila kau menyimak pandangan mata atau senyumannya, terasalah bahwa si ibu yang berada di seberangku ini sudah memiliki, paling tidak satu cucu; meski aku tidak tahu pasti berapa sesungguhnya jumlah cucu dia.
"Buat darah tinggi juga bisa ya?" Ia menangguk sambil tersenyum hingga tampak empat kerutan menghias sisi kanan ekor sudut matanya. Dan, tiba-tiba, aku merasa bahwa wajah perempuan yang berada di seberangku terasa begitu dekat, akrab, familiar. Rasanya, aku pernah berjumpa orang seperti dia. Perempuan yang selalu terlihat muda meski usia sudah berbilang senja! Aku pun tersenyum. Kutanyakan berapa harga yang harus kubayar untuk melunasi pesanan segelas besar teh pahit hitam pekat plus kental dan dua bungkus kacang. "Empat ribu," kata si Mbak. Kukeluarkan empat lembar uang bergambar Kapitan Pattimura, kuberikan pada si Mbak, lalu berpaling ke si ibu yang berada di seberangku, "Bu, aku pergi ya." Ia mengangguk, senyum.