TUAN & NONA KOSONG: PULUHAN PINTU SATU KUNCI!

Seingat saya, satu novel yang ditulis oleh dua pengarang bukanlah barang baru dalam jagat sastra indonesia. Pada tahun 2004, ketika Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Sayembara Menulis Novel 2003, tercatat ada satu naskah novel yang ditulis oleh dua pengarang turut serta berkompetisi. Informasi dewan tidak dilengkapi dengan judul novel dan siapa-siapa saja pengarang novel yang unik itu. Setahun kemudian, pada September 2005, Penerbit Melibas mempublikasikan novel post-novel Tuan & Nona Kosong yang ditulis oleh dua orang pengarang, Hudan Hidayat dan Mariana Amiruddin. Meski begitu, saya tidak bisa memastikan apakah kedua novel tersebut merupakan novel-novel yang berbeda atau malah sama. Saya hanya bisa memastikan, di abad 21, jagat sastra indonesia menyajikan dua informasi terkait fakta sebuah novel ditulis oleh dua orang pengarang.

Sepanjang eksplorasi pembacaan saya atas novel [yang diklaim] post-novel, saya harus mengakui bahwasanya Tuan & Nona Kosong sangat sederhana. Meski memiliki banyak pintu, pada dasarnya semua pintu bisa dibuka cuma dengan menggunakan satu anak kunci saja. Apa yang menjadi landasan kesimpulan saya adalah metodologi analisa teks dengan menggunakan perangkat pantun [yang berdialektika], sampiran dan isi. Seturut pantun, maka pintu bisa disetarakan dengan sampiran. Selanjutnya, yang menjadi isi adalah anak kunci. Ketika saya bertemu dengan pintu, adalah wajar bila saya mengandaikan ada sesuatu yang berharga di balik pintu tersebut. Dan ketika saya mengandaikan ada sesuatu yang berharga di balik pintu tersebut, maka adalah lebih berharga lagi anak kunci pembuka pintu tersebut. Selanjutnya, dengan menemukan anak kunci pintu tersebut, saya pun bakal mengidentifikasi di mana posisi lubang kunci pintu dan mencari tahu bagaimana mempergunakan anak kunci pintu pada lubang kunci agar bisa mengetahui secara nyata misteri apa yang berada di balik pintu.

Lalu, apakah yang menjadi anak kunci pintu Tuan & Nona Kosong? Dalam pembacaan saya atas Tuan & Nona Kosong, yang menjadi anak kunci dari 21 pintu Tuan & Nona Kosong adalah ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tidak pernah diterbitkan’. Sedangkan para tokoh dalam novel post-novel, Hudan dan Mariana [penamaan yang ganjil karena bersesuaian secara alfabetikal dengan nama kedua pengarang], dapatlah disamakan dengan pintu. Dengan kata lain, tokoh Hudan dan tokoh Mariana menempati posisi sampiran. Dan apa yang menjadi isi bagi sampiran tokoh Hudan dan tokoh Mariana tak lain adalah anak kunci, ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tidak pernah diterbitkan’.

Menemukan anak kunci tanpa mengetahui bagaimana mempergunakan anak kunci sama saja dengan menyia-nyiakan anak kunci dan pintu. Maka, persoalan lanjutan adalah bagaimana cara mempergunakan anak kunci yang telah saya temukan. Persoalan bagaimana mempergunakan tak lepas dari cara membaca novel post-novel Tuan & Nona Kosong. Lazimnya, dalam jagat sastra mundial, novel [tanpa post-novel] Tuan & Nona Kosong tergolong novel eksperimental. Penggolongan novel eksperimental dengan sendirinya menganjurkan cara pembacaan yang eksperimental pula. Hal yang sama pun berlaku dengan novel non-eksperimental, yang dengan sendirinya menganjurkan cara pembacaan yang non-eksperimental pula. Tapi, mengapa kehadiran novel turut mengandaikan pula kehadiran cara pembacaan? Menurut saya, hal begitu harus ada untuk mencegah situasi pembacaan yang chaos, yang berujung pada kesimpulan bahkan penilaian yang dangkal.

Apa sebenarnya yang saya maksud dengan cara pembacaan? Apa sebenarnya yang saya maksud dengan cara pembacaan non-eksperimental dan cara pembacaan eksperimental? Keabstrakan dari apa yang saya sebut sebagai ‘cara pembacaan’ dapat dikenali apabila keabstrakan ‘cara pembacaan’ sudah dikonkretkan mengilustrasikan ‘cara pembacaan’ sebagai cara menikmati donat tanpa kismis dan coklat. ‘Cara pembacaan non-eksperimental’ ibarat makan donat tanpa kismis dan coklat, dan si pelahap menikmati donat tanpa kismis dan coklat. Sedangkan ‘cara pembacaan eksperimental’ ibarat makan donat tanpa kismis dan coklat, namun si pelahap malah menikmati donat yang tanpa kismis dan coklat sebagai donat yang berkismis dan bercoklat. Apa yang saya maksud dengan ‘donat tanpa kismis dan coklat’ tak lain tak bukan: sampiran. Maka, apa yang menjadi isi adalah ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tidak pernah diterbitkan’. Dan apa yang saya maksud dengan ‘si pelahap’ adalah sampiran bagi sampiran tokoh Hudan dan tokoh Mariana dalam novel post-novel Tuan & Nona Kosong serta pembaca novel post-novel Tuan & Nona Kosong. Dan ‘si pelahap’ mempunyai isi yang sama, yakni ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tidak pernah diterbitkan’.

Beranjak dari penjabaran demikian, maka yang menjadi konflik di dalam novel post-novel bukan lagi perdebatan antara tokoh Hudan dan tokoh Mariana tentang sebab-sebab mengapa ayah Hudan tidak mempublikasi novelnya atau segala perkiraan tokoh Hudan dan tokoh Mariana dalam novel post-novel tentang isi dari ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tidak pernah diterbitkan’; melainkan muncul lewat relasi antara isi ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tidak pernah diterbitkan’ dengan ‘si pelahap’ yang mengacu pada pembaca yang menggunakan cara pembacaan eksperimental, sejenis pembaca yang bisa pula disebut sebagai pembaca yang aktif dalam batasan-batasan tertentu. Mengapa bisa begitu?

Di hadapan pembaca yang menggunakan pembacaan non-eksperimental atas novel post-novel Tuan & Nona Kosong, konflik [seakan] timbul dari perdebatan dan penjelasan masing-masing tokoh utama di dalam novel post-novel, Hudan dan Mariana. Kesemuan konflik mennggiring pembaca yang menggunakan pembacaan non-eksperimental untuk bekerja keras melihat kesejatian konflik di dalam percakapan, penjelasan, imajinasi, dan mimpi dari tokoh Hudan dan tokoh Mariana di dalam novel post-novel Tuan & Nona Kosong. Padahal, bila diteliti kembali, semua percakapan, penjelasan, imajinasi , dan mimpi dari tokoh Hudan dan tokoh Mariana adalah upaya dari kedua tokoh untuk mengetahui ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tidak pernah diterbitkan’. Dalam terang rasionalitas ala Descartes, tokoh Hudan dan tokoh Mariana eksis di dalam novel post-novel Tuan & Nona Kosong; sedangkan ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tak pernah diterbitkan’ hanya ada di dalam kepala tokoh Hudan dan tokoh Mariana. Berangkat dari datum yang demikian, pembaca yang menggunakan pembacaan non-eksperimental sebenarnya tidak punya dasar yang kuat untuk bisa memasuki ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tidak pernah diterbitkan’. Dengan menggunakan bazooka analisa pantun, segala apa yang terkait dengan tokoh Hudan dan tokoh Mariana, entah itu menyangkut percakapan mereka berdua, perdebatan mereka berdua, imajinasi tiap tokoh, penjelasan tiap tokoh pun mimpi tiap tokoh adalah sampiran dari novel post-novel. Dan yang menjadi isi adalah ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tidak pernah diterbitkan’. Bergerak dari penalaran demikian, menurut saya, para pembaca yang menggunakan pembacaan non-eksperimental, entah dengan menggunakan terang rasionalitas ala Descartes atau menggunakan bazooka analisa pantun, konflik di dalam novel post-novel bisa dianggap tidak ada.

Di hadapan pembaca yang menggunakan pembacaan non-eksperimental para tokoh di dalam novel post-novel ibarat orang yang mengigau. Segala percakapan, penjelasan, imajinasi, dan mimpi para tokoh novel post-novel tak jauh beda dengan igauan. Hanya orang yang mengigau sajalah yang lebih mungkin memahami apa yang dia igaukan. Dan pengamat harus bisa puas hanya dengan satu kesimpulan orang itu mengigau. Dari tilikan yang begini, saya menilai ‘kebudayaan kosong’ (nalar: kebudayaan = Tuan & Nona; kosong = Kosong) lahir dari kondisi tidur [yang bisa diekstremkan menjadi tidak-sadar]. Sederhananya, hanya dalam kondisi tidur sajalah muncul kebudayaan kosong, kebudayaan kosong yang kehilangan tanda petik-satu buka dan tanda petik-satu tutup.

Bila pembaca yang menggunakan pembacaan non-eksperimental bisa menemukan kesimpulan meski tidak menemukan konflik, maka pembaca yang menggunakan pembacaan eksperimental malah menemukan konflik. Pembaca yang aktif menemukan locus konflik bukan di dalam novel post-novel itu sendiri, melainkan dalam locus relasional antara ‘si pelahap’ dengan ‘donat tanpa kismis dan coklat sebagai donat yang berkismis dan bercoklat’. Konflik dalam novel post-novel Tuan & Nona Kosong muncul ketika pembaca yang aktif menjalin relasi dengan ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tidak pernah diterbitkan’. Lewat pendekatan yang seperti ini, novel post-novel Tuan & Nona Kosong mengandung hasrat mendobrak satu dari lima elemen dasar novel yang banyak disebut dalam buku-buku teori sastra, yakni plot, karakter, konflik, latar dan tema. Biasanya, konflik di dalam novel terjadi antar tokoh-tokoh tunggal di dalam novel, antara tokoh tunggal/jamak dengan perasaan tokoh tunggal/jamak itu sendiri, atau antara tokoh tunggal dengan tokoh jamak/masyarakat yang hidup bersama-sama dengan tokoh tunggal dalam suatu region. Novel post-novel Tuan & Nona Kosong menyimpan potensialitas menghadirkan konflik melampaui dirinya sendiri. Konflik yang melampaui diri sendiri dari novel post-novel membutuhkan persyaratan kehadiran pembaca yang aktif. Keaktifan ‘si pelahap’ menghadirkan cita rasa kismis dan coklat dari donat tanpa kismis dan coklat. Proses penghadiran ‘cita rasa kismis dan coklat dari donta tanpa kismis dan coklat’ terjadi ketika anak kunci ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tidak pernah diterbitkan’ yang merupakan isi dari novel post-novel Tuan & Nona Kosong dimetamorfosiskan menjadi sampiran. Pembaca yang aktif menghadirkan gagasan-gagasan personal untuk mengkreasikan isi dari sampiran ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tidak pernah diterbitkan’. Kreatifitas pembaca yang aktif boleh saja mengkreasikan isi bagi sampiran ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tidak penah diterbitkan’ dengan konsep teologis, fisika kuantum, dekonstruksi, feminisme, pluralitas, psikoanalisa, kekuasaan, etika, biologi evolusioner, masyarakat madani, seks, gender, moralitas, feminisme, teori relativitas Eisntein, teori chaos, konsep Möbius strip, Theory Of Everything-nya Stephen Hawking, dialektika Hegel, dan seterusnya. Persoalannya, apakah metamorfosis isi menjadi sampiran mungkin terjadi?

Menurut saya, metamorfosis isi menjadi sampiran di dalam pantun bisa terjadi. Tentu dengan konsekuensi perubahan isi atau malah semakin memberi penguatan atas isi yang lama. Misalnya pantun berikut.

Kalaulah ada sumur di ladang

Bolehlah aku menumpang mandi

Kalaulah ada umurku panjang

Bolehlah kita berjumpa lagi

Lazimnya, dalam ilmu perpantunan di Kepulauan Melayu Asia Tenggara, baris pertama dan baris kedua disebut sebagai sampiran. Selanjutnya, baris ketiga dan baris keempat disebut sebagai isi. Kalaulah dua baris terakhir yang merupakan isi dimetamorfosiskan menjadi sampiran, maka bisa menghasilkan pantun yang baru dengan segala kelebihan pun kekurangan yang mungkin saja terjadi. Contohnya:

Kalaulah ada umurku panjang

Bolehlah kita berjumpa lagi

Waktu menyala di dalam tiang

Engkau dan aku musik abadi

Lewat pembacaan eksperimental, diaspora makna semakin mewarna dalam novel post-novel Tuan & Nona Kosong [sayangnya diaspora makna tidak selalu mengacu pada dimensi positivitas, melainkan juga mengacu pada dimensi negativitas]. Bila pembaca yang aktif sudah menetapkan suatu gagasan bagi isi dari sampiran ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tidak pernah diterbitkan’, maka segala percakapan, penjelasan, imajinasi, dan mimpi dari tokoh Hudan dan tokoh Mariana di dalam novel post-novel Tuan & Nona Kosong pun berperan sebagai representasi dari jejak-jejak suatu gagasan yang dikreasikan pembaca yang aktif. Lewat pembacaan eksperimental, apa yang dimaksud pengarang Hudan dan pengarang Mariana dengan ‘novel ayah Hudan yang sudah selesai tapi tidak pernah diterbitkan’ atau ‘kebudayaan kosong’ di dalam novel post-novel Tuan & Nona Kosong, menurut saya, adalah ruang diskursus yang bisa dihuni oleh topik apa saja [bahkan topik yang paling ekstrem sekalipun, misalkanlah topik membunuh diskursus, atau kematian diskursus].

2008