CITY OF SEN
Menyingkap Bentala Visi Amartya Kumar Sen Lewat Identitas dan Kekerasan*

Sejak peristiwa tragis 11 September 2001, peledakan menara kembar World Trade Center di New York, Amerika Serikat, yang diperkirakan merenggut 2.800 nyawa manusia, sepertinya horor peradaban kontemporer bisa diringkus dalam satu kata: Identitas. Dengan identitas, personal/komunal/global mampu memformulasikan suatu laku kekerasan untuk menghancurkan orang-orang lain yang berada di luar identitas-nya. Penalaran demikian melahirkan konklusi: Kebiadaban berakar pada Identitas! dan Identitas ada pada personal/komunal/global!
Bila konklusi ‘kebiadaban berakar pada identitas’, tampaknya salah satu solusi menjawab horor peradaban kontemporer adalah menghilangkan identitas. Lantas, muncul pertanyaan apakah itu mungkin? Apakah mungkin bagi manusia, personal/komunal/global, hidup tanpa adanya identitas? Kalau mungkin, bagaimana pula cara personal/komunal/global mengenali dirinya sendiri? Atau malah, personal/komunal/global memang tak perlu mengenali dirinya sendiri? Fenomena pertanyaan demikian bisa memunculkan pertanyaan lain pada level ‘metafisika’. Kalau memang ‘Saya adalah Saya’ tidak diperbolehkan atau tidak boleh ada atau tidak ada, lalu dengan cara apa saya harus mendefenisikan diri? Mungkinkah saya menghilangkan saya?
Bila diteliti lebih lanjut, formulasi pertanyaan ‘metafisika’ “mungkinkah saya menghilangkan saya” selaras dengan metode skeptisisme yang dilakoni filsuf Perancis RenĂ© Descartes pada abad 17 Al Masih. Bila segala hal saya ragukan, maka saya yang meragukan adalah satu-satunya keniscayaan! Bila saya yang meragukan adalah satu-satunya keniscayaan, maka saya tidak mungkin tidak ada. Cogito ergo sum. Saya berpikir, maka saya ada. Maka, ‘saya menghilangkan saya’ cuma bisa terjadi bila saya tidak berpikir. Bersandar pada penalaran Descartes, pertanyaan “mungkinkah saya menghilangkan saya” pun terjawab. Ketika saya bertanya (berpikir) “mungkinkah saya menghilangkan saya”, maka seketika jawabannya pun muncul: saya tidak mungkin menghilangkan saya!
Berpijak pada tesis prinsip rasionalitas Descartes, muncul jawaban saya tidak bisa menghilangkan saya. Saya adalah kepastian-pertama. Kalau begitu, saya dan identitas adalah keniscayaan. Lantas, bagaimana dengan konklusi ‘kebiadaban berakar pada identitas’? Kalau memang saya dan identitas adalah keniscayaan, maka ‘kebiadaban’ yang berakar pada identitas pun bisa berhakikat niscaya. Benarkah demikian? Jika memang benar demikian, sangat tepat sekali bila dikatakan “horor peradaban kontemporer bisa diringkus dalam satu kata: Identitas”. Dan semenjak identitas adalah keniscayaan bagi personal/komunal/global, maka segala laku kekerasan adalah kewajaran dalam sejarah peradaban manusia, mulai dari masa lalu hingga masa menjelang. Atau dengan kata lain, hanya ketololanlah yang memampukan manusia untuk berharap pada suatu masa perdamaian mewujud di planet Bumi. Karena itu, manusia pun menjadi mahluk paling tragis. Di satu sisi manusia memiliki harapan akan adanya perdamaian (dengan konsekuensi melakukan kerja perwujudan perdamaian yang dipandu cahaya pengharapan), sedang di sisi lain manusia wajib berhadapan dengan keniscayaan untuk menghancurkan, membantai, dan memusnahkan manusia yang lain. Maka, yang disebut manusia adalah campuran dari rasionalitas tolol dengan rasionalitas horor.
Namun, benarkah hakikat kebiadaban pun adalah keniscayaan? Ada baiknya kita kembali meneliti konklusi ‘kebiadaban berakar pada identitas’. Jika identitas adalah keniscayaan, apakah memang kebiadaban juga keniscayaan? Jika kebiadaban pun ternyata adalah keniscayaan, tak bisa dipungkiri lagi, manusia memang mahluk yang paling menderita di semesta jagat raya. Manusia harus ikhlas menerima kodrat sebagai mahluk tolol sekaligus horor. Tetapi, bagaimana bila kebiadaban bukan keniscayaan? Kebiadaban bukan keniscayaan mengandung pemaknaan bahwasanya kebiadaban adalah probabilitas, kemungkinan. Seturut dengan metode skeptisisme yang dilakoni Descartes, bisa dilakukan pengujian hipotetik lewat pengajuan pertanyaan: mungkinkah kebiadaban dihilangkan? Jawaban yang muncul adalah bisa ya, bisa pula tidak. Maka, menjadi teranglah bahwasanya hakikat dari kebiadaban bukanlah keniscayaan, melainkan probabilitas, potensialitas. Kebiadaban bisa ada, bisa pula tidak; dan ada atau tidak adanya kebiadaban sangat bergantung pada identitas yang beresensikan keniscayaan. Di sini, Amartya Kumar Sen, lewat bukunya yang bertajuk ‘Identity and Violence: The Illusion of Destiny’ menyibak tabir kemungkinan yang terkandung di dalam keniscayaan-identitas untuk menihilkan kekerasan, kebiadaban manusia yang satu terhadap manusia yang lain; sekaligus memampuskan klaim ‘horor peradaban kontemporer bisa diringkus dalam satu kata: Identitas’. Dan itulah cita-cita CITY OF SEN—barangkali bisa menggelincir jadi CITIZEN—sebuah tatanan dunia baru bagi peradaban manusia. Tatanan dunia yang membebaskan manusia untuk memilih dan menetapkan identitas, tanpa harus menghadirkan teror kekerasan bagi manusia lain di semesta jagat raya.

September 2008

* Identitas dan Kekerasan, fragmen dari judul buku Amartya Kumar Sen ‘Identity and Violence: The Illusion of Destiny’, yang dialihbahasakan ke dalam bahasa indonesia menjadi ‘Kekerasan dan Ilusi Identitas’.