KOSMOS DEMOKRASI

Di dalam kosmos, semua partikel hendaknya menyadari keterikatan. Semisal televisi dengan listrik, selanjutnya dengan stasiun televisi, yang kesemuanya bermuara pada mata dan telinga pemirsa, pemilik televisi. Ada pajak yang tak terlihat di dalamnya. Hanya waktu saja yang mengetahui besaran biaya yang digelontorkan masing-masing pihak. Waktu, dalam pengertian kontemporer mengacu pada uang, uang, dan sesekali kalau bisa menyentuh amal. Dan sebenarnya tak perlu heran mengapa bisa begitu. Sebab, makna adalah dunia yang bertumbuh. Makna tidak hanya satu, tunggal dan mutlak. Makna tidak lagi kaku, beku, dan baku. Zaman sekarang, makna bisa saja hadir karena kebetulan, koinsiden. Di dalam ‘kebetulan’, sebab-akibat adalah haram. Maka, ada filsuf dari Perancis yang menyebut kronos sebagai hukum sebab-akibat di dalam ruang-waktu, sedangkan ainos sebagai hukum kebetulan di dalam ruang-waktu. Dan, saya menambahkan dengan sengaja serta semena-mena, ruang-waktu mengacu pada Dei.

Vox populi vox Dei. Suara rakyat, suara Tuhan. Sebab zaman punya kebetulan, maka makna selalu berkembang. Kekakuan, kebekuan, dan kebakuan adalah musuh bersama. Mungkin, inilah yang melahirkan gejolak sosial politik massal yang meninggalkan trauma psikologi personal dan komunal (yang sayangnya di kemudian hari hanya dipandang sebagai ‘ongkos sosial-politik’ yang memang sudah menjadi ketentuan sebab-akibat atau kronos) pada tahun 1998 di indonesia. Ternyata Tuhan belum mati. Seharusnya penganut atheis layak bersedih. ‘Kebetulan’ mengantar makna baru bagi Tuhan, Tuhan yang fleksibel, kooperatif, antisipatif, cerdas, licik, peka terhadap perkembangan zaman, lebih bersahabat, supel, interaktif, dan sesekali pun bisa jadi sosok yang tak peduli karena persoalan perasaan, mood.

Karena ‘kebetulan’, makna selalu mengalami modifikasi. Bila populi dahulu hanya dikenal sebagai rakyat, istilah abstrak yang hanya diketahui para politikus saja, di zaman sekarang populi bisa berarti pembeli. Istilah kontemporer begini tentunya lebih konkrit dan menyatu dalam kehidupan publik yang memang dari semenjak lahir sudah akrab dengan kata kerja ‘lapar’. Apakah rakyat mengenal lapar? Atau apakah pembeli mengenal lapar?

Sebagai pembeli, Dei pun berganti dari Tuhan menjadi Raja. Suara pembeli, suara Raja. Tak ada beda dengan adagium ‘pembeli adalah raja’. Dunia perdagangan mengenal transaksi, yang mengandung benih paradoksal rasa percaya sekaligus kelihaian tipudaya. Sebab, tidak ada produk nomor dua. Maka pembeli berfungsi ganda. Selain sebagai raja yang dipercaya, pembeli pun berfungsi sebagai raja yang diperdaya.

Bagi para pedagang, produk adalah keharusan. Kewajiban. Bahkan, kodrat! Menjual pun menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Antara memproduksi dan menawarkan merupakan matarantai tunggal yang harus terlaksana agar kehidupan perindustrian langgeng dan sentosa, terutama bagi para pengusaha dan selanjutnya bagi para pekerja. Tidak ada orang yang mau rugi, entah dia pengusaha atau kelas pekerja.

Ketika produk sudah disiapkan, hak membeli ada di tangan pembeli. Anehnya, mengapa produsen berjualan dengan gaya mesianistik. Makna yang sudah mengalami modifikasi dikembalikan kepada makna pra-modifikasi. Politik adalah kewajiban, keharusan, dan kodrat. Kali ini, para pedagang menjadi Tuhan, dan pembeli menjadi hamba. Ibarat televisi yang menyala selama 24 jam di depan penonton setia yang menyimak segala tayangan selama 24 jam pula. Tidak memilih bukan lagi berarti tidak membeli. Tidak memilih sekarang sudah berarti mengingkari kodrat! Bid’ah! Sesat!

Ketika Dei masih Tuhan, rakyat bisa saja memilih untuk mematikan televisi atau malah membanting televisi. Kalau sudah memutuskan demikian, Tuhan memang sudah siap merugi (tentunya kalau Tuhan punya pikiran untung-rugi). Tapi, Tuhan lebih senang memilih memadamkan televisi daripada membantingnya. Selanjutnya, Tuhan melakukan pekerjaan lain, misalnya membaca surat atau mendengarkan musik atau membaca buku. Apakah Tuhan rugi? Tentunya, rakyat yang merupakan pembeli punya kesibukan lain. Harapan, bukan hanya klaim dari pedagang. Para pembeli pun punya cerita unik tentang apa yang disebut cita-cita.

Telinga menjadi barang antik dalam kehidupan kontemporer. Tak jauh beda dengan mata. Keduanya, telinga dan mata, ornamen dari tubuh mahluk berdaging yang mengandung unsur-unsur supra-jasmani. Dengan melihat dan mendengar, makna bukan lagi tercipta dalam kategori ‘kebetulan’, melainkan sebab-akibat.

Selalu ada sejarah di dalam segala sesuatu. Tuhan menjadi pembeli karena ada sebab-akibat. Tuhan menjadi raja, juga karena ada sebab-akibat. Dei dibalik populi, tentunya pula punya latar sebab-akibat. Bisa jadi, makna sejarah harus kembali dipertanyakan. Apakah sejarah bermakna beku, kaku, dan baku, bahkan yang paling berbahaya: bisu. Mungkin demokrasi bisa berjalan lebih elegan dalam kebisuan. Mungkin, demokrasi bisa berjalan lebih mengagumkan di dalam keheningan. Di dalam hening, lebih banyak suara dan mata yang berbicara. Mungkinkah bisu sama dengan putih?


2008

SUTRA CERITA


Jikalau engkau membaca tulisanku, barangkali engkau merasakan persamaan antara kisah yang aku ceritakan dengan pengalamanmu di alam kenyataan. Alammu yang di sana, yang jauh dari alam aku yang di sini, mungkin alam aku di dalam tulisan yang sedang sedang engkau baca ini. Aku jujur mengatakan, apa yang aku tulis murni hasil pikiran dan perkiraan aku sendiri. Apa yang aku maksud dengan ‘perkiraan’, mungkin itulah yang dikenal dengan orang-orang di alammu sana dengan sebutan imajinasi. Imajinasi, di alammu sana, sangat erat berkaitan dengan kata: kebebasan. Imajinasi adalah kebebasan. Aku pernah mendengar ungkapan begitu, ungkapan yang berasal dari alammu yang di sana. Aku tidak tahu pasti, ‘imajinasi adalah kebebasan’ apakah mengandung kedalaman atau malah kedangkalan. Aku kira, jawabannya ada di alammu sana.

* * *

Aku membayangkan sebuah negara, kehidupan orang banyak serta tipu daya yang bersahaja. Ah, ada pula cita-cita, barangkali upaya mencapai gemah ripah loh jinawi. Kertaraharja. Kaya raya lagi sejahtera. Ibarat gula dalam genangan darah. Orang banyak yang cenderung manut atau menuntut, pasrah dan bersedia untuk tak bicara. Para raja dan jawara menyibak tirai harta yang tak pernah nyata hanya dengan segerombolan kata-kata. Gula.

Dalam dongengan, suatu ketika adalah kewajaran. Kadangkala, bisa pula menjadi kekurangajaran. Begitulah yang terjadi di negara yang ada dalam bayanganku. Seorang bangsawan muncul menghamburkan gula-gula yang tak pernah diberikan para raja dan jawara. Menggunakan kendaraan angkasa, sang bangsawan menabur gula-gula ke dalam liur orang banyak yang menanti dan berlari-lari di padang rumput penuh debu. Orang banyak adalah dewata yang pasrah menjadi binatang. Makanan adalah gula. Para raja dan jawara hanya sibuk bersuara, menggoda hati para dewata. Ibarat doa yang diselipkan dalam lipatan rupiah.

* * *

Cukup. Aku tidak bisa melanjutkan tulisanku ini. Kalau memang makna lebih berharga dari kata, tentu selebihnya adalah kerja para pembaca. Aku tidak bisa menyelesaikan tulisanku karena aku melihat di dalam matamu ada banyak pertanyaan, bahkan jawaban. Apa yang aku maksud dengan ‘melihat’, itulah yang aku sebut dengan ‘perkiraan’.


2008

KARENA BILANGAN FU, DIA, DAN AYU

SEBAGAI PEMBUKA AKU HANYA BISA BICARA: Semua balik kepadamu. Aku tak campuri urusan perkiraan yang hadir dan mengganggu di balik keningmu. Bisa saja kau kira aku menulis fakta, bisa pula kau duga apa yang kutulis fiksi, malah bisa saja kau tak pikirkan sama sekali tentang apa yang aku tulis. Maka, semesta probabilitas aku pulangkan kepadamu. Mungkin hanya Ayu Utami dan aku saja yang bakal tertawa melihat segala macam tingkah polah yang kau terbitkan usai baca tulisan aku yang dangkal, tak bermanfaat, sesat, bertele-tele pula, dan nyaris tak masuk akal. Sebagai diktator tulisan, aku beri batasan tegas, keras, kasar, dan tegang: Bagian aku menulis, giliran kau yang membaca atau yang membuang atau yang membakar atau yang melupakan.

2008, Ayu Utami menerbitkan buku terbaru. Judulnya: Bilangan Fu. Di kepalaku ada montase ingatan yang berasal dari reproduksi pembacaan atas Ayu Utami menjelang kemunculan Bilangan Fu ke dalam jagat sastra. Pertama, “Buku baru saya tentang seorang pemanjat tebing. Dan sekarang saya sedang berlatih panjat tebing.” Kedua, “Kalau novel terdahulu berkutat pada dekonstruksi, novel yang baru pada rekonstruksi.” Memang tak persis begitu Ayu berkata kepadaku. Tetapi, aku yakin substansi omongan Ayu Utami tak meleset dari apa yang aku tuliskan.

Kemarin, aku jumpa Ayu Utami. Sebelum sampai kemarin, aku sudah beli Bilangan Fu terbitan Kepustakaan Populer Gramedia seharga Rp51.000. Dan sebelum sampai kemarin, aku sudah selesai baca Bilangan Fu. Dan pada saat kemarin, aku ketemu Ayu Utami dan bicara tentang Bilangan Fu. Mungkin saja kau tidak percaya, Ayu Utami sangat terbuka bicara dengan aku. Dalam dialog, kata ‘terbuka’ menurutku ada dua siratan makna. Pertama, agresifitas atau serangan. Kedua, regresifitas atau pertahanan. Aku dan Ayu Utami saling serang dan saling tahan bergantian, kadang malah sempat bersamaan. Kalau Ayu Utami menyerang, akulah yang bertahan. Kalau aku menyerang, Ayu Utami yang bertahan. Kadang-kala, aku dan Ayu Utami saling serang pada saat bersamaan selama tujuh detik. Di detik kedelapan, aku dan Ayu Utami saling bertahan alias diam dan heran. “Menyerang memang bisa dimaknai membunuh, bisa pula menerangkan,” Ayu Utami berkata kepada dirinya. “Bertahan itu artinnya mendengar atau menunggu peluang yang tepat buat menghancurkan,” sekarang aku yang berkata pada diri. Membunuh dan menunggu peluang yang tepat untuk buat menghancurkan membutuhkan keberadaan aktual musuh atau lawan. Menerangkan dan mendengarkan perlu orang lain yang bersahabat, atau setidaknya mencoba menjalin persahabatan. “Berbagi.” Kata ‘berbagi’ serempak mereka ucapkan dalam batin.

۞ ۞ ۞

EMPAT JAM YANG MENEGANGKAN. Aku pikir, perbincangan sebuah buku setebal 531 halaman tidaklah mungkin diselesaikan dalam tempo empat jam. David Tobing, barangkali perlu waktu seminggu membaca Bilangan Fu. Ayu Utami malah lebih parah. Butuh empat tahun untuk menyelesaikan Bilangan Fu. Aku pikir, empat jam bagi mereka pasti tidak sempurna untuk memperbincangkan persoalan pembacaan dan penulisan dan penerbitan. Pasti David Tobing dan Ayu Utami memampatkan segala perkara di sekitar Bilangan Fu dalam tempo empat yang menegangkan.

Seingat aku, perbincangan antara David Tobing dan Ayu Utami dimulai dari kalimat yang ada pada lembaran kedua Bilangan Fu. David Tobing melihat ada dua hal yang menarik pada lembaran pembuka dan seringnya terlupa di mata pembaca. Pertama berkenaan dengan Gambar Sampul dan Isi yang dirancang Ayu Utami. Kedua, persoalan bahan baku sampul buku. “Yang paling menarik sama aku, bahan kertas Bilangan Fu, bukumu itu. Forest Stewardship Council.” Begitulah David Tobing memulai perbincangan.

Memang kalau kamu lihat lembaran kedua pada buku Bilangan Fu, kamu menemukan logo FSC (Forest Stewardship Council) yang dibentuk dari ikon correct dan ikon pohon. Di bawah logo ada tulisan: Sampul buku ini menggunakan kertas GardaPat 13 Klassica buatan Cartiere del Garda, perusahaan yang telah menerima sertifikat dari organisasi pelestari hutan internasional Forest Stewardship Council. Sertifikat ini merupakan pengakuan bahwa pembuatan kertas tersebut menggunakan bahan-bahan dari hutan yang dikelola secara bertanggungjawab dan berkelanjutan. Terus terang, aku suka melihat logo FSC. Sederhana dan memang mampu menampung makna.

David Tobing bilang kepada Ayu Utami bahwa dia tak jago menggambar. Ayu malah mengajak David Tobing untuk bertaruh seakan-akan menduga bahwa pernyataan David Tobing adalah gerbang menuju arena pertarungan. Lantas, santai dan tenang David Tobing menambahi pernyataan yang memang belum dia selesaikan. Kau jago ngebuat montase. David Tobing ngomong begitu. Ayu Utami senyum-senyum saja, mungkin dalam jantungnya dia sedang merajut pertanyaan: Mungkin kau benar, mungkin kau salah. Semua bergantung penjelasanmu. David Tobing menarik nafas. Bagi aku berada tidak terlampau jauh dari mereka, tarikan nafas David Tobing seakan-akan menghadirkan sebentuk dialog dengan rajutan pertanyaan dalam jantung Ayu Utami. Entah tepat atau meleset dugaanku, David Tobing lanjut bicara.

۞ ۞ ۞

“MASIH JELAS DI KEPALAKU GAMBAR YANG PERNAH KAU BUAT. Yah, tepatnya sketsa. Sketsa di buku Mas Goen. Goenawan Mohamad. Kumpulan puisi Goenawan Mohamad. Di buku itu, kalau aku tak keliru, kau gambar sketsa wajah Mas Goen dengan garis-garis yang ekspresif, berkali-kali, saling timpa, saling menindih. Ekspresi yang kau tuangkan sangat dahsyat, menurutku. Tapi, kalau sampul Bilangan Fu, aku duga semacam liontin yang kau tempatkan sebagai fokus gambar tak sesuai dengan keekspresifitasan tanganmu. Kalau sapuan-sapuan warna yang melatari semacam liontin itu aku kira memang sesuai dengan keekspresifitasan tanganmu. Itulah yang buat aku curiga. Gambar liontin, aku pikir itu semacam mata kalung atau mata anting yang menggantung, semacam jimat, bisa batu bisa pula kayu…, ah-ha ka-yu, menyimpan kesan impresi, kehati-hatian, ketelitian. Kalau kubaca lagi, yang mirip-mirip dengan ekspresifitas yang kau punya hadir dalam gambar-gambar Semar, Bilung, Buta Cakil, Kumbakarna, Karna, silsilah Sultan Agung Mataram, dan asu. Ah…, ini yang mau kubilang. Ekspresifitas yang kau tampilkan dalam buku Goenawan Mohamad, sketsa buatan kau, paling mirip, punya kedekatan… (David Tobing agak terdiam sejenak mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ada dalam kecerdasannya barangkali, sedangkan Ayu Utami menghembuskan nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala) teknik dengan gambar asu di Bilangan Fu. Teknik yang kumaksud mengacu pada deformasi. Jelasnya, mungkin garis tanganmu memang punya semangat deformasi yang kuat. Kalau kuperhatikan gambar asu di buku kau, asu yang kau gambar tidak proporsional bahkan bisa saja menyimpang dari asu yang…, katakanlah realis. Asu di Bilangan Fu aneh. Sudah tak proporsional, tak jelas pula hendak menggambar apa. Apakah anjing atau serigala. Terus, kalau kuperhatikan matanya, malah mirip-mirip mata manusia. Rada-rada beda dengan deformasi gambar anjing yang pernah aku lihat waktu pameran Green Dog-nya Zhou Chunya di Galeri Nasional bulan Januari lalu. Zhou Chunya memang buat lukisan dan patung anjing. Tapi lukisan dan patung anjingnya malah menghadirkan suasana yang bukan anjing. Kalau aku tak keliru, Jim Supangkat menyimpulkan keanehan karya-karya Zhou Chunya dalam kata unreal. Unreal menjadi real dikarenakan ada jembatan representasi. Anjing dalam lukisan dan patung Zhou Chunya sebetulnya berasal anjing yang unreal, anjing konseptual. Tetapi karena ada jembatan representasi, anjing yang unreal menjadi anjing real, dalam pengertian bisa disensasi indera. Meski begitu, anjing real itu menyimpan, bisa dikatakan semacam aroma atau hawa unreal. Kalau mengacu pendekatan tadi, asu yang kau gambar di Bilangan Fu berasal dari asu unreal. Coba kalau tak ada tulisan ‘ASU’ di bawah gambar asu di bukumu, sebagai pembaca aku bisa mengira-ngira itu gambar serigala yang dicampur dengan gambar anjing (Ayu Utami agak memperhatikan, meski tak terlampau serius, dan entah mengapa tubuhnya bergerak pelan-pelan ke kiri dan ke kanan seperti bandul).”

Usai berkata-kata, David Tobing diam sambil menatap Ayu Utami berharap ada tanggapan. Setahu aku, dalam kerangka ilmu unsur-bahasa Roman Jakobson, ada penerima dan ada pengirim. Ketika David Tobing berbicara, David Tobing pengirim; Ayu Utami yang mendengar sebagai penerima. Bila Ayu Utami menanggapi, maka Ayu Utami tidak lagi menempati posisi sebagai penerima, melainkan pengirim. Dan David Tobing pun berganti posisi menjadi penerima.

“Kalau memang Anda punya alasan, saya tidak keberatan. Silahkan saja. Aku senang ada orang yang bisa melihat dari perspektif lain, tak larut-larut dalam persoalan inilah yang mulia, inilah yang patut menjadi teladan, inilah yang, ah… tak perlu diteruskan. Ide Anda menarik, tapi tak menggelitik. Bagaimana dengan yang kedua? Forest Stewardship Council?” Kalimat terakhir diucapkan Ayu Utami dengan bahasa tubuh yang unik. Mata kanan Ayu Utami menyipit menatap David Tobing.

۞ ۞ ۞

AKU TAK MAU BICARA BANYAK-BANYAK SAMAMU. Persoalan Forest Stewardship Council kenapa bisa masuk, lebih baik kau jawab dengan memperhatikan halaman 534 Bilangan Fu. Aku tak menganjurkan kau untuk beli Bilangan Fu. Aku hanya menganjurkan kau untuk memperhatikan, sekali lagi memperhatikan bukan menganjurkan atau membeli atau menganjurkan membeli, halaman 534 Bilangan Fu. Caranya, ada banyak dan semua balik kepadamu.

۞ ۞ ۞

PETIKAN HALAMAN 534 BILANGAN FU: … Dengan demikian, mereka—yang padanya saya berhutang budi—terbebaskan dari segala tanggung jawab atas hasil olah pikir dan rasa saya.

Kalimat tadi adalah kalimat terakhir paragraf pertama topik Terima Kasih dalam buku Bilangan Fu. Terlampau rumit bagi aku untuk memahami apa yang dipikirkan David Tobing. Apakah memang ada hubungan antara halaman 534 dengan Forest Stewardship Council, kertas GardaPat 13 Klassica buatan Cartiere del Garda yang diimpor PT Paperina Dwijaya?

۞ ۞ ۞

KALAU KAU MENCARI DI BAGIAN MANA AKU DAN AYU UTAMI SALING SERANG, tak bakal kau temukan. Masih ingat: Bagian aku menulis, giliran kau yang membaca atau yang membuang atau yang membakar atau yang melupakan. Kalau kau punya niat ingin menemukan, aku hanya bisa berikan satu kunci pemecah buntu: Metafor(m)a!

Juli 2008