ANALISA 'DONGENG IDENTITAS-OTENTIK-SEJATI MULAI DARI KANDUNGAN IBU HINGGA KE PELUKAN BUMI' ATAS FENOMENA SURVEY POLITIK DI TANAH INDONESIA

Saya harus menjelaskan bahwa 'Dongeng Identitas-Otentik-Sejati Mulai Dari Kandungan Ibu Hingga Ke Pelukan Bumi' adalah golok analisa untuk melihat lebih detail apa sesungguhnya yang tengah dikerjakan oleh dua lembaga survey besar di Indonesia. Saya tak perlulah menyebut nama lembaga itu, cukuplah penanda 'dua lembaga survey besar di Indonesia' membantu pembaca mengidentifikasi apa nama institusi-institusi tersebut. Pilihan untuk tak menyebut nama lembaga itu dikarenakan ada rasa takut di dalam diri saya. Rasa takut itu muncul dari kekhawatiran bahwasanya tulisan saya ini dimaknai sebagai pembunuhan karakter bagi institusi-institusi dimaksud. Karena itulah, saya pun meminta bantuan ahli linguistik Ferdinand De Saussure yang menjelaskan konsep trimatra Tanda--Tanda, Penanda dan Petanda--dimana hubungan antara Penanda dan Petanda bisa terjadi secara arbitrer, konvensi dan sistemik. Dan karena saya dengan pembaca tidak saling mengenal, tak saling jumpa, maka korelasi antara penanda-petanda dalam konteks konvensi tidak bisa dibuktikan. Sedang pilihan sistemik dalam pandangan Ferdinand De Saussure, menurut saya, lebih mengacu pada parole/ujaran dari pada langue/tata-bahasa. Maka pilihannya yang paling mungkin: korelasi antara penanda-petanda ada dalam konteks arbitrer alias semena-mena. Dikarenakan konteks pemaknaan ada dalam ruang arbitrer, maka ketakutan saya akan dicap sebagai 'pencemar nama baik' pun hilang, paling tidak berkurang.

Saya perhatikan, 'dua lembaga survey besar di Indonesia' sering sekali melakukan jajak-pendapat popularitas presiden, popularitas calon gubernur, keinginan masyarakat atas pemimpin, masalah-masalah bangsa yang tak tersentuh penguasa, masalah-masalah bangsa yang tersentuh penguasa dan segudang indikator lainnya. Hasil jajak-pendapat itu pun kemudian dijajakan ke hadapan publik, entah melalui media elektronik semisal televisi, radio, internet, surat elektrik, blog, radio amatir, pun media cetak, umpamanya surat kabar harian, majalah mingguan, tabloid, selebaran, pamflet dan segala macam lainnya. Apa yang dihasilkan 'dua lembaga survey besar di Indonesia' ini dapat dipandang sebagai teks. Menggunakan pendekatan model Sastra Abrams, teks yang dihasilkan 'dua lembaga survey besar di Indonesia' dapat dipandang lewat empat perspektif, yakni ekspresi, objektif, mimesis dan pragmatik. Perspektif ekspresi atas teks jajak-pendapat memberikan makna bahwa si pemberi informasi hanya memberikan pesan informasi belaka ke hadapan publik. Bila dipandang lewat perspektif objektif, teks jajak-pendapat adalah teks yang dibangun atas struktur kajian ilmiah, yakni statistik. Bila ditengok lewat perspektif mimesis alias tiruan, maka teks jajak-pendapat adalah citra dari realitas yang sesungguhnya menjadi rujukan dari teks jajak-pendapat tersebut. Terakhir, bila dipandang melalui jalur perspektif pragmatik, teks jajak-pendapat itu memiliki daya guna.
Artikel, opini, partitur, prosa, cerpen, novel, niveau-roman, syair, madah, kidung, berita, features, sajak, naskah drama, atau apapun sebutan dari tulisan yang saya perbuat ini, pada dasarnya diniatkan untuk mendedah sehabis-habisnya perspektif pragmatik atas teks jajak-pendapat. Kira-kira, apakah teks jajak-pendapat itu memang berguna? dan apa bila berguna buat siapakah? saya ataukah orang-orang tertentu? Sebagaimana khitah dari apa yang disebut pragmatik adalah punya daya guna, maka pendekatan pragmatik atas teks jajak-pendapat pastilah memiliki kegunaan. Masalahnya, buat siapakah? Yang jelas, bagi saya pribadi, seorang pekerja di Jakarta dengan gaji yang cukup-membayar kontrakan-membayar makan-menabung sedikit, teks jajak-pendapat itu sama sekali tak ada nilai guna. Maka, teks jajak-pendapat itu berguna hanya bagi orang-orang tertentu saja. Siapakah mereka? Sudah pastilah, mereka itu adalah orang yang dirujuk dalam survey tersebut. Permisalan yang paling sederhana, hasil survey itu mengungkapkan popularitas presiden. Bila hasil survey menunjukkan popularitas presiden berada di bawah 30 persen, maka presiden bersangkutan bisa menggunakan data hasil jajak-pendapat untuk menyusun strategi dalam rangka meningkatkan popularitas. Apa bila, hasil jajak-pendapat menunjukkan bahwa popularitas berada di angka 90 persen, maka tak perlu ada penambahan strategi penciptaan popularitas. Tapi, bagi saya pribadi, entah itu popularitas di bawah 30 persen atau di atas 90 persen, hasilnya sama saja. Tak ada guna! Saya tidak tahu bagaimana bila saya tidak hidup di Jakarta. Andai saya hidup di Sragen, hidup sebagai seorang buruh tani--bukan pekerja kantoran, hidup bersama istri dan dua anak di rumah kontrakan--bukan bujangan meski sama mengontrak yang dengan biaya yang berbeda, saya tidak tahu apakah data survey yang mungkin saja bisa saya lihat dan dengar melalui televisi di rumah tetangga berguna atau tidak. Yang jelas, dengan status pekerja-bujangan-hidup mengontrak di Jakarta-gaji cukup makan dan sedikit menabung, teks jajak-pendapat itu tak ada gunanya. Maka keberadaan 'dua lembaga survey besar di Indonesia' hanya berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan pada tataran elit. Dan karena itu, lebih baik saya menyelesaikan kerangka mantap bagi teori 'Dongeng Identitas-Otentik-Sejati Mulai Dari Kandungan Ibu Hingga Ke Pelukan Bumi.'

Selanjutnya, saya pun mempertanyakan status data hasil jajak-pendapat tersebut. Status yang saya maksud bukan dalam kerangka validitas statistikal. Status yang saya maksud hidup dalam konstruksi sadar atau bawah-sadar. Apakah data yang didapat Maka keberadaan 'dua lembaga survey besar di Indonesia' berasal dari personal-personal atawa individu-individu yang sadar? Asumsi mendasarnya adalah Psikoanalisa yang dibangun oleh Sigmund Freud. Mayoritas manusia dalam bertindak dipengaruhi alam bawah-sadar! Maka, jawaban dari responden yang ditemui Maka keberadaan 'dua lembaga survey besar di Indonesia' hanya menelurkan jawaban yang berasal dari alam bawah-sadar, yang sama sekali sulit dipertanggung-jawabkan oleh si individu-personal-responden itu sendiri. Bila ini terjadi, dan saya merasa kemungkinan seperti ini terjadi mencapai 99,9 persen, maka yang terjadi, tanpa disadari 'dua lembaga survey besar di Indonesia' adalah pelestarian alam bawah-sadar. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan konteks demokrasi yang digadang-gadang oleh 'dua lembaga survey besar di Indonesia.' Kondisi seperti ini semakin diperparah dengan dibukanya jasa konsultasi politik atas dasar data survey jajak-pendapat bawah-sadar. Konsekuensi strategi yang dihasilkan konsultan politik terhadap orang yang meminta jasanya pun pastilah berdasarkan memengaruhi bawah-sadar. Dan demokrasi yang muncul adalah demokrasi bawah-sadar, demokrasi yang memang tidak didesain untuk dimintai pertanggung-jawaban. Apa yang dilakukan lembaga survey yang menjadi konsultan politik pun sama tak baiknya dengan lembaga survey yang terus-terusan mengeksploitasi alam bawah-sadar responden, tanpa mengangkat alam sadar. Bila data tersebut berasal dari alam sadar, setidaknya teks jajak-pendapat itu punya daya guna bagi saya pribadi.

Konklusinya, dikarenakan demokrasi yang terjadi di Indonesia adalah demokrasi bawah-sadar, maka saya memilih untuk tidak ikut-ikut dalam demokrasi yang bawah-sadar itu. Sebab, menurut saya, demokrasi adalah cara saya membantu mengurangi pengangguran di Indonesia, menambah perumahan murah di Indonesia, mengurangi gelandangan (kecuali ada orang yang berpikiran bahwa gelandangan adalah takdir bagi dirinya sendiri), harga pangan murah, minyak stabil. Situasi seperti itu terwujud dalam demokrasi sadar, demokrasi yang bisa saya golongkan utopis dan tidak realistis di Indonesia.

Walahuallam!

NOTULENSI FRAGMEN 12 DARI GOETHE

Enin : Bode, seniman yang juga penggagas Dokumenta merumuskan Dokumenta sebagai exhibition without form.

FX Harsono : Ada tiga landasan kuratorial (leiftmotifs) Dokumenta 12, 1) Apakah modernitas adalah masa lalu kita?, 2) Apakah masih ada keutamaan hidup setelah hedonisme mendominasi tata nilai kehidupan? Dimanakah seni dalam soal ini?, 3) Apakah pendidikan seni dan estetika sudah mampu memecahkan segala permasalahan dalam kehidupan kita?

FX Harsono : Setelah mengunjungi pameran Dokumenta 12, pertanyaan itu malah tak terjawab, atau bisa dibilang malah terlupa.

Enin : 1) Modernitas memang ada disekitar kita. Permadani, karya seniman permadani, memasukkan modernitas dalam karyanya. Karya permadani yang biasanya berisi hiasan ornament geometrik berubah menjadi lukisan taman. Memang, di pameran Dokumenta tak ada bentuk. Instalasi Relax Only Ghost yang digabung dengan permadani menggambarkan keterpecahan konsep dalam satu ruang pameran. Bahkan, karya lukis abad renaisans pun digabungkan dengan kanvas lukis era modern. 2) Hedonisme lahir dari demokrasi yang membawa kebebasan dan kemanusiaan sebagai nilai paling dasar. 3) Formulasi sederhana pertanyaan itu adalah: apakah demokrasi sebagai sistem nilai masih relevan? Bukankah hedonisme yang merupakan anak kandung demokrasi menampilkan sisi buruknya? Kira-kira begitulah.

FX Harsono : Memang tak mudah.

David Tobing : Bode sebagai penggagas memang cerdas. Exhibition without border! Aku pikir Bode sadar, bentuk dan isi tak bisa dilepas hidup sendiri-sendiri. Setiap seniman pastilah tahu pergulatannya tak lepas dari bentuk dan isi. Dominasi sejarah seni didominasi sejarah perubahan bentuk. Aku pikir inilah yang dasar pikiran Bode, seorang seniman yang kehidupan kreatifitasnya tak bisa pisah dari upaya pengolahan abstraksi-kesadaran (baca: isi) menjadi produk (baca: bentuk). 1) Modernitas memang masih mendefenisikan dirinya. Tak seperti tradisional yang sudah mapan sebagai nilai dan sedang asik-asiknya digugat sistem nilai peradaban kini semisal post-moderisme, feminisme dan lainnya. Bicara ‘Jawa’ sudah masuk konteks tradisional. Sedang ngomong ‘Indonesia’ belum tentu dianggap modern pun ketinggalan zaman. Tradisional dan modern, ternyata nilai yang dilekatkan manusia pada suatu hal. Dan perlu diingat, pelekatan nilai tradisional atau modern pada suatu hal tidaklah berarti menyatakan suatu hal tersebut baik atau buruk. Tradisional dan modern sebagai nilai memang tidak berhubungan langsung dengan baik atau buruk yang juga merupakan sistem nilai. Karena itu, setelah suatu hal diberi nilai (dalam bahasa kecaman bisa juga dikatakan: pelabelan/stereotip) tradisional atau modern, suatu hal tersebut masih harus menjalani serangkaian perenungan lagi yang mengakibat subjek perenung dengan penuh kesadaran dan keikhlasan memberi nilai baik atau buruk. 2) Enin bilang : pertanyaan aslinya dari landasan kuratorial kedua adalah apakah yang dimaksud dengan kehidupan sederhana? Ini sesungguhnya pertanyaan yang tradisional. Cara berpikir tradisional, contohnya Jawa, sangat lekat dengan masalah itu. Irup mampir ngombe misalnya merupakan representasi dari konsep kesederhanaan yang luas luar biasa. Konsep semacam itu tentunya tak mengenal istilah ‘menguasai alam’. Sejak zaman pencerahan hadir di Bumi dengan keagungan rasionalitasnya, manusia memandang alam sudah tak lagi sebagai kekuatan besar yang tak terkendalikan. Laku sub-ordinasi alam terhadap manusia hilang. Manusia adalah super-ordinat alam. Manusia bisa berbuat sesuka apa saja pada alam. [Aku merasa bule-bule di luar sana malah tak mengerti apa itu tradisional. Bentuk konkrit tradisional di tanah bule-bule sana tak ada, tak seperti di Indonesia, bila kita masuk ke Yogyakarta masih bisa melihat orang pakai blangkon dan berkebaya jalan-jalan di Malioboro. Bahkan saya pernah jumpa nenek tua berbusana kebaya menjadi sales promotion girl di salah satu pusat perbelanjaan di Malioboro. Nenek itu berdiri di pintu masuk toko! Konkritisasi tradisional tidak ditemukan di tanah bule-bule. Karena itu, bule-bule pun merumuskan pertanyaan: apakah hidup sederhana, yang lahir sebagai antitesis dari norma hedonisme yang marak menyala di tanah bule-bule.] 3) Enin ngomong apakah demokrasi bisa menawarkan sistem nilai ideal? Tentunya, belum tentu! Tapi sebelum aku jabarkan penjelasan terkait problem begitu, aku terpikat pada proposisi implisit penyetaraan demokrasi dengan sistem nilai. Penyetaraan itu berarti memandang demokrasi sebagai kebudayaan, tepatnya produk kebudayaan. Ini luar biasa! Demokrasi sebagai kebudayaan menawarkan dua hal utama, kemanusiaan dan kebebasan. Padahal bila dilihat secara politis belaka, demokrasi tak lain dari pertarungan merebut kekuasaan yang dilengkapi dengan segala macam prosedur seperti pemilihan umum. Aku berpikir, memang demokrasi sebagai sistem nilai bagi peradaban kini masih menghadapi ujian. Misal saja di Myanmar. Junta yang mundur-mundur meski rakyat sudah unjuk rasa mati-mati [bahkan biksu sebagai pengusung nilai-nilai keagamaan pun turun tangan untuk membantu demokasi hidup membangun sistem nilai demokrasi sendiri]. Memang, ada juga yang menyangkut-pautkan India, Cina, dan satu negara lainnya yang aku lupa dalam persoalan pelik gejolak Myanmar. Pendekatan pemikiran dengan melihat tiga negara tersebut justru menimbulkan konflik sendiri di dalam pengembangan demokrasi. Lewat tiga negara, persoalan Myanmar jatuh pada ekonomi. Artinya, ada sistem nilai lain dalam kehidupan yang harus diperhatikan. Sebenarnya, lewat pengejawantahan ini, persoalannya bukanlah lagi demokrasi sebagai sistem nilai masih layak atau tidak, melainkan: bagaimana sesungguhnya menata keselarasan antar segala macam nilai yang ada, demokrasi, ekonomi, agama, Ketuhanan, bahkan militerisme. Produk sampingan lain dari penjabaran pemikiran yang bertolak dari gejolak Myanmar mengarahkan saya pada kesimpulan: demokrasi bukanlah pertanda beradabnya suatu bangsa. Kecuali Cina, penganut komunisme yang berarti otoriter, India dan negara satunya tak angkat suara memecahkan kebuntuan gejolak Myanmar. Padahal sistem pemerintahan di India memilih demokrasi sebagai sistemnya. Ada perwakilan rakyat, ada eksekutif dan ada pula yudikatif. Petanda ini membawa saya pada dugaan bahwa demokrasi masih sebatas pertarungan kekuasaan. Demokrasi belum menjadi kebudayaan. Kemanusiaan dan kebebasan yang menjadi inti terdalam demokrasi tidak mengalir di dalam pembuluh darah di dua negara itu.

Notulen : Ada juga yang mempermasalahkan kok tidak ada satu pun seniman Indonesia di ajang Dokumenta 12. Informasi saja, Dokumenta 12 menghadirkan 500 karya lebih dari 122 seniman di seantero muka Bumi. Seorang yang ada disamping saya berkata, pertanyaan seperti punya kecenderungan narsis. Tiba-tiba muka seorang yang berkata pada saya pucat pasi. “Narsis. Narsis. Ra-sis!” kata dia mendesis di telinga saya. Dia bilang, narsis punya kedekatan emosional dengan rasis lewat pertanyaan ‘kok tidak ada satu pun seniman Indonesia di ajang dunia Dokumenta?’ “Ra-sis-so-nal-lis-me.” Dia mendesis seperti ular di telinga saya. “Nas-sis-si-o-nal-lisme.” Itulah desisan terakhir yang dia di telinga saya. Dia diam sejenak sambil memijat-mijat keningnya, memukul-mukul tengkuk dan ubun-ubun kepala, menunduk bahkan sampai mengantuk-ngantukkan kepala ke tembok batu. “Apakah rasis juga seperti demokrasi? Sama-sama kebudayaan?” katanya di depan muka saya. Saya pun melihat pesawat supersonic, Sputnik, Challengger, Apollo, Pertamina, Petroleum, Menara Eiffel, Monas, The Thinker, Guernica, M-16, rudal Patriot, Jupiter, sarung tinju, televisi, telepon genggam, satelit Palapa, Telkomsel, CNN, Nike, blangkon, merah, pemilu 2009, laser, bom atom, Einstein, gravitasi, emas, kereta api, asap knalpot, jalan aspal, harimau, lampu merah, undang-undang, joglo, Menara BNI ’46, menhir, Pulau Paskah, huruf paku, Piramida, senat, Plato, situs internet, konferensi pers Presiden, bendera, baju mini, sepatu karet, kolam renang, pohon pinus, Gunung Kelud, gempa bumi, tsunami, sumbangan kemanusiaan, kecelakaan lalu lintas, kamar jenazah, Hotel Sultan, White House, Paus Johanes Paulus II, Chairil Anwar, Lelaki Tua dan Laut, Samudera Hindia, kuburan Jeruk Purut, Tongging, Bali, Piala Dunia, Fransesco Totti, gitar elektrik, gambus, B.B King, This Is England, Catfish Blues, boneka kayu, kapak batu, rumah panggung, perahu, kapal selam, kuda nil, mammoth, piano, garpu tala, piring makan, lampu hias, kemeja, serbet, kaos kaki, Phitecantropus, filantropi, api, es, bir Bintang, kecoak, ladam kuda, cermin, di muka dia.