Natal


sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/7/7b/Kim_Ki_Chang.jpg

Demi memahami betapa pentingnya suatu hal, kita perlu memikirkan kondisi sebaliknya. Kurang lebih demikian, apa yang akan terjadi sekiranya hal itu tidak ada? Misal, makanan. Makanan menjadi penting karena kita paham bahwa tanpa makanan kita akan mati. Atau, teman. Teman menjadi penting karena kesendirian adalah bencana. Imajinasikan saja bagaimana kehidupan kita ketika tidak ada orang lain di dunia.

Natal. Lantas, mengapa Natal penting? atau mengapa Natal mesti terjadi? Emang, apa yang akan terjadi ketika Natal itu tidak ada? Apakah, dengan terjadinya Natal, dunia menjadi berbeda? atau malah sama saja? Nilai penting Natal justru muncul ketika kita dapat mengimajinasikan kondisi seperti apa yang bakal terjadi sekiranya Natal itu tidak ada.

Secara historis, dalam tradisi Kristiani, Natal mengacu kepada peristiwa lahirnya seorang anak yang bernama Yesus. Kelahiran Yesus melampaui akal manusia. Ia lahir dari ketiadaan hubungan suami-istri, Ia lahir sebelum pasangan Yusuf dan Maria menikah. Apologet Kristiani abad 20, C.S. Lewis menyatakan bahwa peristiwa kelahiran Yesus atau inkarnasi, Allah menjadi manusia, sebagai Mujizat Agung (the Grand Miracle). Mujizat Agung itu pun hadir sebagai paradoks. Bagaimana mungkin, Allah yang Mahakuasa—tidak ada satu hal pun yang mustahil bagi Dia—bersedia tampil dalam sosok yang tak berdaya, sebagai bayi? Bagaimana mungkin Allah yang Abadi—Ia mendahului sekaligus melampaui waktu—bersedia tunduk dalam waktu temporal, yang fana, yang sementara? Lebih jauh lagi, sebagaimana juga yang dinyatakan Lewis dalam bukunya “Miracle”, Allah yang menjadi manusia itu bersedia memasuki dunia manusia yang ditandai oleh adanya penderitaan dan kematian.

Secara filosofis, kehadiran Natal sebagai peristiwa historis sekaligus paradoksal, dalam tradisi pemikiran Kristiani, membuka kemungkinan baru dalam memahami Allah yang tidak sepenuhnya terpahami. Inkarnasi membuka kemungkinan untuk memahami Allah secara transenden sekaligus imanen, sebagaimana yang dinyatakan teolog Katolik Adrianus Sunarko, OFM. Secara transenden berarti Allah melampaui pikiran manusia, juga kategori-kategori dalam kesadaran manusia. Implikasinya adalah apa yang kita nyatakan tentang Allah secara niscaya mustahil mengandung kebenaran tentang Allah itu sendiri—dalam kata lain, kita hanya dapat mengenali Allah secara negatif. Allah bukan batu, bukan manusia, bukan tumbuhan, dst. Secara imanen berarti Allah terpahami manusia, kategori-kategori manusia dapat dipergunakan untuk memahami Allah. Implikasinya, kita dapat berbicara tentang Allah secara positif, meski hal itu tidak dapat sepenuhnya benar. Allah itu baik, berkuasa, pribadi, dst. Transendensi dan imanensi Allah inilah memungkinkan kita berbicara tentang Allah dalam bahasa analogi. Melalui bahasa analogi, Allah dipahami dalam kerangka kesamaanNya dengan manusia, karena imanensiNya, sekaligus dalam kerangka keberlainanNya dari manusia, karena transendensiNya.

Natal adalah Inkarnasi. Allah menjadi manusia. Pertanyaannya kemudian: mengapa Allah bersedia menjadi manusia? Melalui bukunya Cur Deus Homo, teolog cum filsuf Abad Pertengahan St. Anselmus dari Kanterburi berupaya memberi jawaban. Inkarnasi terjadi karena Allah memiliki misi, yaitu menyelamatkan umat manusia, menebus umat manusia dari dosa. Dalam kitab Kejadian, dikisahkan Adam dan Hawa melakukan kesalahan terhadap Allah dengan cara tidak mematuhi perintahNya. Adam dan Hawa diperintahkan untuk tidak memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, namun mereka malah memakan buah itu. Pelanggaran ini, yang kemudian dikenali sebagai dosa, menempatkan manusia sebagai orang bersalah yang mesti mendapatkan hukuman—dan hukuman itu adalah mati. Ada pertanyaan menarik di sini. Sekiranya hukuman mati itu dilakukan Allah, lantas mengapa manusia masih tetap ada? Para ahli menyimpulkan bahwa kematian yang dialami Adam dan Hawa adalah kematian spiritual, yang kemudian diikuti dengan kematian fisikal. Kematian spiritual adalah kematian yang merusak kodrat manusia sebagai citra Allah (imago Dei).

Konsep kodrat manusia sebagai citra Allah dapat dipahami sebagai berikut. Berbeda dari pemikiran libertarian yang menempatkan manusia sebagai individu atomistis, yang terpisah dari individu dan hal-hal lain; atau pemikiran komunitarian yang menempatkan manusia sebagai bagian dari komunitas; atau pemikiran biologi evolusioner yang menempatkan manusia sebagai hasil evolusi, konsepsi manusia sebagai citra Allah menempatkan manusia (i) sebagai ciptaan dan Allah itu Pencipta, dan (ii) manusia senantiasa berada dalam relasi dengan Allah, orang lain, dunia, dan dirinya. Sebelum berdosa, relasi dengan Allah ditandai oleh sembah, dengan orang lain ditandai oleh solidaritas, dengan dunia atau alam semesta ditandai oleh memelihara atau konservasi, dan dengan diri sendiri ditandai dengan sadar-diri. Setelah berdosa, relasi dengan Allah cerca, dengan orang lain kompetisi, dengan dunia eksploitasi, dan dengan diri lupa-diri. Dalam narasi yang demikian, Inkarnasi menjadi titik awal Misi Allah di dunia, yaitu menebus manusia, memulihkan kodrat manusia sebagai citra Allah yang telah rusak total (total depravity). Misi itu tergenapi ketika Yesus yang lahir pada hari Natal tersalibkan, bangkit pada hari ketiga dan naik ke surga 40 hari kemudian.

Mengapa penebusan itu diperlukan? Penebusan diperlukan karena Allah itu Adil sekaligus Kasih. Karena Allah itu Adil, maka tidak ada kesalahan yang terlalu kecil untuk lolos dari hukuman. Karena Allah itu Kasih, maka tidak ada kesalahan yang terlalu besar untuk tak diampuni. Pribadi Kedua dalam Tritunggal itulah yang menggantikan manusia mendapatkan hukuman Allah sekaligus menunjukkan bahw Allah itu Kasih. Dalam tradisi Kristiani, Penebusan itulah yang dihayati dalam peristiwa Paska, peristiwa kesediaan Sang Putra menjadi silih bagi hukuman yang semestinya ditanggung oleh manusia—dan melalui peristiwa itu juga kodrat manusia sebagai citra Allah pun terpulihkan. Pada saat itulah, secara paradoksal, terwujud keadilan karena kesalahan telah mendapatkan penghukuman dan terwujud juga damai (shalom) karena segala hal menjadi terbaharui sebagaimana kondisi awali.

Natal adalah Inkarnasi yang mengandung Misi. Inkarnasi memungkinkan manusia mengenali Allah secara lain, yaitu sebagai Allah yang transenden sekaligus imanen, Allah yang melampaui sejarah sekaligus berada dalam sejarah. Misi penebusan memungkinkan manusia memperbaharui relasinya dengan Allah, orang lain, dunia, dan diri sendiri. Persis pada dua hal inilah Natal menjadi penting. Demikianlah, dunia tanpa Natal sesungguhnya berbeda dari dunia dengan adanya Natal. Mengutip dari orang yang tidak dikenalnya, padri Katolik Timothy Radcliffe, OP menyatakan kurang lebih begini: Sabda menjadi manusia agar manusia dapat menjadi sabda. Demikianlah: Inkarnasi menjadi bermakna karena ada Misi yang [hendak] dituntaskan.


Selamat menghayati peristiwa Natal. 

Iris Murdoch

sumber: http://www.biography.com/people/iris-murdoch-9418425

Dame Jean Iris Murdoch. Novelis dan filsuf asal Inggris. Perempuan, lahir 15 Juli 1919, wafat 8 Februari 1999. Salah seorang murid dari filsuf analitik terkemuka: Ludwig Wittgenstein. Salah satu karya masyhur dia di bidang filsafat adalah The Sovereignty of Good. Sebuah buku yang menempatkan dirinya dalam jajaran filsuf terkemuka. Alasannya: melalui buku tersebut, Murdoch kemukakan kritiknya terhadap paradigma saintifik dalam filsafat, terhadap paradigma ‘inner life’ Cartesian yang egosentris dan meniadakan falibilitas, terhadap kebebasan sebagai konsep moral yang berdaulat—yang secara implisit menempatkan dia sebagai salah seorang pengkritik pemikiran Immanuel Kant, terhadap segala bentuk pemikiran yang mengabaikan aspek transendensi dalam kehidupan manusia (human condition). Kritik-kritik tersebut ia lancarkan bersamaan dengan niatan dia membangun konstruksi filsafat moralnya yang bertolak dari cinta (love) dan menempatkan the Good sebagai panduan ultima, konsep moral yang berdaulat atas konsep-konsep moral lainnya, semisal kebebasan, keadilan, keberanian, dst.  

The Sovereignty of Good
The Sovereignty of Good merupakan kumpulan tiga makalah Murdoch, yaitu ‘The Idea of Perfection’ (1964), ‘The Sovereignty of Good Over Other Concepts’ (1967) dan ‘On ‘God’ and ‘Good’’ (1969). Dalam tiga makalah itu, Murdoch konsisten menetapkan asumsi manusia Freduian sebagai titik tolak pemikirannya. Ciri-ciri manusia Freudian itu egosentris, dideterminasi oleh sejarah atau masa lalunya, bersifat instingtif, mengutamakan nafsu seksual, ambigu dan sulit dikendalikan (h.51). Bagi Murdoch, itulah pandangan realistik dari manusia—tentunya, tanpa mengecualikan adanya kemungkinan gambaran lain dari manusia. Namun, secara umum, citra manusia Freudian kerap ditemukan dalam keseharian—disebut juga oleh Murdoch sebagai “… fat relentless ego” (h.52). Pertanyaannya, sekiranya manusia adalah manusia Freudian, lantas bagaimana mempertanggungjawabkan moralitas? Pertanyaan ini akan membawa kita pada konstruksi pemikiran Murdoch yang sesungguhnya.

Titik tolak awal pemikiran Murdoch adalah filsafat moral. Filsafat Moral berbicara tentang tindakan (act) dan nilai (value). Lantas, dari mana keputusan untuk bertindak itu berasal? Apakah semata dari kehendak dan kebebasan, tanpa adanya konsepsi tentang moralitas? Murdoch meyakini latar pengetahuan moral mendahului tindakan moral. Filsafat Kesadaran, yang berada di wilayah epistemologi, menjadi aspek lain dari moral yang perlu dipertimbangkan. Persoalan berikutnya adalah apa atau siapa agen moral itu? Pertanyaan ini membuka aspek baru dalam perkara moral, yaitu teori tentang manusia atau antropologi filosofis. Demikianlah, filsafat moral-filsafat kesadaran-antropologi filosofis menjadi tiga aspek mendasar dalam pemikiran Murdoch. Filsafat Moral berkenaan dengan pertanyaan: apa yang mesti saya pilih untuk dilakukan; Filsafat Kesadaran berkenaan dengan pertanyaan: apa hal logis yang mesti saya lakukan; dan Antropologi Filosofis berkenaan dengan pertanyaan: apa yang mesti kita lakukan sebagai manusia, seturut dengan kodrat manusia.

Tesis fundamental Murdoch dalam kumpulan tersebut adalah konsepsi moral tidak statis, melainkan dinamis atau mengalami perkembangan. Kesimpulan demikian barangkali terasa cukup aneh, apalagi kalau kita menyadari bukankah korupsi di mana pun tergolong perbuatan tak bermoral? Lantas, di mana kebenaran pernyataan Murdoch itu?

sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/The_Sovereignty_of_Good

Persoalan yang hendak diselesaikan Murdoch bukanlah berada pada wilayah normatif atau menentukan perbuatan X bermoral atau tidak, melainkan pada wilayah meta-etika. Kurang lebih Murdoch menyederhanakan persoalannya sebagai berikut: sekiranya ada orang yang menyatakan “Saya bertobat” atau “Saya ampuni kamu” atau “Saya sungguh-sungguh memohon maaf”, lantas darimana kita tahu bahwa orang yang menyatakan itu benar-benar tulus menyatakannya, benar-benar menyatakan hal itu sepenuh hati? Dalam konteks yang “dibersihkan” dari muatan religius, Murdoh mengajukan permodelan relasi antara mertua (M) dan menantu perempuan (D). Meski mertua mengucapkan kata-kata yang manis terhadap menantu perempuan, namun dalam batinnya ia mengakui hal yang sebaliknya. Dalam batinnya, mertua memandang menantunya itu sebagai orang yang tidak sopan, ceroboh, kasar, dst (h. 16-7). Namun seiring dengan perjalanan waktu, relasi antara keduanya menjadi harmonis dan keduanya saling mengenal secara lebih jujur. Dalam kata lain, apa yang ada dalam batin (inner) bersesuaian dengan apa yang ternyatakan di publik (outer). Persoalannya, mengapa hal itu dapat terjadi? Bagaimana menjelaskannya? Inilah yang menjadi proyek pemikiran Murdoch.

Dalam esai ‘The Idea of Perfection’, Murdoch berupaya menjelaskan keterkaitan antara pengetahuan moral dan tindakan moral dengan bertolak dari model relasi antara mertua dan menantu perempuan yang mengalami perbaikan. Tindakan moral ditentukan oleh pengetahuan moral di mana pengetahuan moral yang berisikan konsep-konsep moral mengalami perkembangan melalui adanya perhatian (attention) dari agen moral terhadap objek moral. Hal penting di sini adalah asal-usul konsep moral. Menurut Murdoch, konsep moral itu bukanlah berada dalam diri atau dalam batin (inner), melainkan berada di luar diri (outer). Konsep moral menjadi berada di dalam diri karena adanya proses akuisisi apa yang berada di luar diri menjadi apa yang berada di dalam diri—paralel dengan belajar bahasa di mana yang-belajar mengakusisi struktur bahasa yang ada di luar diri menjadi ke dalam diri (h. 89). Murdoch mengkritik konsep moral yang bertolak dari batin (inner)—yang diidentifikasinya sebagai dampak dari filsafat Cartesian yang menempatkan batin manusia sebagai sumber kebenaran yang tak dapat disalah (infallible).

Dengan menetapkan asal-usul konsep adalah hal di luar diri, yang kemudian diakusisi menjadi diri, Murdoch mengkonstruksikan ‘struktur ganda’ konsep moral. Konsep moral mengacu kepada apa yang di luar diri, yang objektif, sekaligus apa yang ada di dalam diri, yang subjektif, yang personal. Aspek personalitas inilah yang menjadi khas di dalam pemikiran Murdoch—dan persis di sinilah kita dapat melihat kritik Murdoch terhadap impersonalitas moral dalam pemikiran Kant.

Lantas, bagaimana menjelaskan konsep moral berkembang?  Konsep moral mengalami perkembangan karena (i) adanya kebebasan dalam diri agen moral, (ii) objek moral yang menjadi fokus perhatian (attention), dan (iii) manusia sebagai mahluk yang mewaktu, menyejarah. Bagi Murdoch, kebebasan adalah “fungsi dari upaya progesif untuk melihat objek tertentu secara jernih” (h. 23). Dalam pemikiran Murdoch, kebebasan tidak hanya punya fungsi etis—menetapkan pilihan, namun juga memiliki fungsi epistemis, yaitu melihat objek apa adanya. Secara metode, perubahan konsep moral itu mensyaratkan adanya perhatian dari agen moral terhadap objek moral. Dan secara historis, pengalaman personal dalam berinteraksi dengan objek moral akan mengubah konsep moralitas dalam diri agen moral.

Apakah perubahan konsep moral itu terjadi semata-mata karena perjumpaan antara agen moral dan objek moral? Atau mengapa agen moral perlu memperbaharui konsep moralnya? Hal apa yang memungkinkan terjadinya idea of perfection, gagasan penyempurnaan konsep moral? Inilah yang menjadi kajian dalam esai Murdoch berikutnya, ‘On ‘God’ and ‘Good’’. Konstruksi problemnya kurang lebih demikian: sekiranya, secara psikologis, manusia itu adalah manusia Freudian dan, secara sosiologis, Marx menyatakan bahwa moralitas adalah ilusi, lantas dari mana apa yang memungkinkan penyempurnaan konsep moral itu? Secara sederhana Murdoch akan menjawab: psikologi Freudian dan sosiologi Marxian tidak dapat meniadakan pertanyaan: bagaimana sih hidup yang lebih baik itu? Freud dan Marx telah menutup peran Tuhan dalam menjawab pertanyaan itu, namun belum mampu menutup peran Yang-Baik (Good).

Bagi Murdoch, moralitas adalah upaya perlawanan terhadap egosentrisme manusia Freudian melalui adanya idea of the Good yang tidak dikenali secara langsung, namun melalui idea of perfection dan certainty (h.58-60). Namun, Yang-Baik itu sendiri—di sini Murdoch sejalan dengan pemikiran G.E. Moore—adalah hal yang tak-terdefinisi dan tak-terepresentasikan. Yang-Baik inilah yang mengorientasikan kebebasan sebagai progres dari konsepsi moral. Lantas, sekiranya Yang-Baik itu tak-terdefinisikan dan tak-terepresentasikan di mana kita dapat berjumpa Yang-Baik? Murdoch menyatakan bahwa Yang-Baik ditemukan lewat kontemplasi (h. 69).

Dalam esai terakhir ‘The Sovereignty of Good’ Murdoch mengkritik filsafat moral yang menempatkan konsep kebebasan sebagai konsep yang berdaulat. Dengan menempatkan kebebasan sebagai konsep moral yang berdaulat, maka penciptaan nilai ditentukan oleh kebebasan itu sendiri, dalam hal ini adalah kehendak. Kehendak manusia menentukan atau menciptakan nilai—dan kehendak manusia itu bukanlah hal yang transenden, melainkan imanen di dalam manusia. Bagi Murdoch, hal demikian tentu menempatkan asal-usul konsep moral berada dalam batin (inner) dan tak pernah keliru; padahal, dalam esai ‘The Idea of Perfection’ Murdoch sudah membantah hal itu.
Dalam ranah moralitas, konsep yang berdaulat adalah Yang-Baik. Yang-Baik itu “pusat magnetik yang terhadapnya cinta secara alami terarah” (h.102), yang memiliki daya menyatukan (unity) dan tak-terdefinisikan (h.94). Yang-Baik itu tidak berada dalam batin, melainkan di luar batin, transenden, yang menggerakkan daya cinta dalam diri manusia. Ada pun yang dimaksud cinta adalah “tension between the imperfect self and the magnetic perfection” (h.102-3). Kedaulatan konsepsi Yang-Baik atas segala konsep ini menggemakan kembali pernyataan Murdoch dalam ‘The Idea of Progress’, yaitu “We are men and we are moral agents before we are scientist…” (h. 34).

Tanggapan Kritis

Ada dua hal yang dapat ditanggapi dari pemikiran Murdoch. Pertama, konsepsi Murdoch akan manusia yang pesimistik sekaligus paradoksal dengan proyek pemikirannya sendiri. Murdoch menerima konsepsi manusia Freudian sekaligus melampaui manusia Freudian. Bukankah hal ini memperlihatkan bahwa manusia itu sesungguhnya bukanlah manusia naturalistik Freudian. Kurang lebih, bagaimana mungkin kita dapat mempertanggungjawabkan transendensi manusia sekiranya manusia itu tidak memiliki kapasitas untuk mentransendensi diri? Asumsi manusia naturalistik Freudian tidak memadai untuk menjawab hal itu. Dalam kata lain, manusia Murdochian adalah manusia supra-naturalistik di mana kebebasan dimaknai sebagai daya transendensi diri, sekaligus keterarahan diri kepada Yang Baik karena terpikat kepada Yang-Baik. Kedua, tanggapan kritis Franz Magnis Suseno juga patut dipertimbangkan. Murdoch enggan mengidentifikasi the Good dengan God, padahal ciri-ciri yang dia sampaikan tentang the Good itu tidak jauh berbeda dari God. 

Pustaka:
Murdoch, Iris, The Sovereignty of Good, ART Paperbacks: USA, 1985

Kepentingan Publik yang Tercederai


Kecuali debat terbuka yang sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta, pasangan Agus-Sylvi memutuskan menolak berpartisipasi dalam debat terbuka lainnya yang diselenggarakan televisi swasta. Setidaknya, kubu Agus-Sylvi tercatat sudah dua kali tak berpartisipasi dalam debat terbuka yang diselenggarakan Net TV pada 9 Desember dan Kompas TV pada 15 Desember. Rencananya, KPU DKI Jakarta akan menyelenggarakan debat terbuka pada 13 dan 17 Januari 2017 serta 10 Februari 2017. Dari sudut pandang kepentingan publik (public interest), penolakan Agus-Sylvi berpartisipasi dalam debat terbuka mencederai hak publik mendapatkan pendidikan dan pemberadaban kehidupan-bersama melalui proses politik yang tengah berlangsung, yaitu Pemilukada DKI Jakarta.

Debat sebagai Medium Pendidikan dan Pemberadaban
Muara akhir dari kontestasi politik Pemilukada DKI Jakarta adalah keputusan politik warga di bilik suara. Kontestasi politik tidak lain adalah kontestasi gagasan antar kandidat yang berkompetisi. Secara mendasar, gagasan itu adalah visi misi dan program kerja kandidat dalam mengelola kehidupan-bersama dalam polis bernama Jakarta. Karena kompetisi gagasan adalah kompetisi kandidat, maka gagasan terbaik adalah kandidat terbaik.

Dalam bilik suara, secara ideal, warga memutuskan memilih kandidat berdasarkan gagasan yang diusung. Artinya, warga mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan rasional dengan mempertimbangan kebaikan-bersama (common good) bagi warga Jakarta. Kemudian keputusan politik pemilih itulah yang menjadi basis legitimasi bagi kekuasaan de jure dan de facto dari kandidat peraih suara terbanyak untuk menduduki kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2017-2022.

Karena akhir dari kontestasi politik Pemilukada DKI Jakarta adalah keputusan politik warga di bilik suara, maka masa kampanye adalah masa bagi para kontestan untuk mempengaruhi keputusan politik warga. Secara ideal, interaksi antara kontestan dan pemilih berlangsung dengan menggunakan akal sehat. Kontestan menggunakan akal sehat demi mempengaruhi keputusan politik pemilih dan pemilih menggunakan akal sehat untuk menilai dan mengevaluasi gagasan tiap kontestan. Dengan demikian, sadar atau tidak, secara mendasar, masa kampanye berfungsi mendidik dan memberadabkan warga (citizen) polis.

Kontestan dapat mempengaruhi keputusan politik pemilih dengan beragam sarana, antara lain poster, iklan di media massa, rapat umum, tatap muka hingga debat terbuka. Secara spesifik, penulis menyorot dua bentuk kampanye terakhir, yaitu tatap muka dan debat terbuka.

Dibanding tatap muka, debat terbuka memiliki dua keunggulan. Pertama, partisipan yang terlibat dalam debat terbuka yang disiarkan televisi secara langsung dapat menjangkau pemilih dengan kecenderungan (preference) yang beragam, mulai dari yang mendukung hingga menolak kontestan tertentu. Melalui debat terbuka, tiap kontestan memiliki peluang mengubah sikap politik pemilih dari menolak menjadi mendukung, meyakinkan pemilih yang masih ragu atau belum menetapkan pilihan, serta meneguhkan pilihan yang sudah ditetapkan. Keuntungan itu sulit tercapai melalui tatap muka. Dalam tatap muka, partisipan yang terlibat sudah berkecenderungan memilih kontestan tertentu sehingga ia bersedia menghadiri kampanye tatap muka yang diselenggarakan kontestan bersangkutan. Dalam kata lain, pemilih yang terlibat dalam debat terbuka itu beragam, sedangkan pemilih yang terlibat dalam tatap muka cenderung seragam.

Kedua, debat terbuka memungkinkan hadirnya gagasan tandingan. Dalam debat terbuka, tiap kontestan dapat menyampaikan gagasannya, mengevaluasi secara kritis gagasan dari kontestan lainnya, juga mempertanggungjawabkan gagasannya di hadapan panelis yang dipilih oleh pihak penyelenggara. Publik yang menyaksikan debat terbuka pun mendapatkan informasi mengenai kualitas tiap kontestan. Informasi itu membantu pemilih menetapkan keputusan politiknya. Dalam kampanye tatap muka, kehadiran gagasan tandingan hampir mustahil terjadi.

Ketiga, secara substansial, debat terbuka merupakan sarana pendidikan dan pemberadaban publik. Sebagai sarana pendidikan, debat terbuka mengembangkan kemampuan pemilih untuk menetapkan keputusan politiknya seturut informasi yang diperolehnya dari debat terbuka. Dalam debat terbuka, pemilih, dengan menggunakan akal sehat, dapat mengevaluasi secara kritis kelemahan dan kekuatan kontestan tertentu. Sebagai sarana pemberadaban, debat terbuka berfungsi (i) mengembangkan kemampuan pemilih melihat perbedaan secara kenyataan yang mesti diterima secara terbuka dan (ii) memampukan pemilih melihat blunder yang dilakukan kontestan dalam debat terbuka sebagai hal yang manusiawi.

Tiga Argumentasi Penolak Debat Terbuka
Selama masa kampanye Pemilukada DKI Jakarta, debat publik yang dilaksanakan televisi swasta sudah berlangsung dua kali. Dalam dua acara debat terbuka itu, pasangan Agus-Sylvi menolak berpartisipasi. Untuk menjustifikasi posisinya, kubu Agus-Sylvi mengajukan tiga argumen. Pertama, argumen legalitas. Argumen ini menyatakan legalitas penyelenggara debat menentukan wajib/tidaknya kandidat berpartisipasi. Kubu Agus-Sylvi meyakini bahwa mereka hanya wajib mengikuti debat terbuka yang diselenggarakan pihak resmi, yaitu KPUD DKI Jakarta (Kompas.com, 9/12). Atas dasar ini, kubu Agus-Sylvi memutuskan menolak berpartisipasi dalam debat terbuka yang diselenggarakan oleh televisi swasta.

Kedua, argumen manfaat. Argumen ini menyatakan sejauh debat terbuka bermanfaat, maka debat terbuka itu wajib dilakukan (Kompas.com, 17/12). Persoalannya, apa yang menentukan bermanfaat atau tidaknya debat itu? Seturut dengan riset ilmiah yang dilakukan kubu Agus-Sylvi, bermanfaat atau tidaknya debat ditentukan oleh banyak-tidaknya partisipan yang terlibat dalam debat. Berdasarkan riset internal yang dilakukan, kubu Agus-Sylvi mengungkapkan bahwa jumlah penonton debat terbuka tidak signifikan dan debat terbuka hanya memuaskan kepentingan kelas menengah ke atas. Karena itu, kubu Agus-Sylvi memutuskan memilih melakukan kampanye tatap muka, langsung menemui kelompok kelas menengah ke bawah. 

Ketiga, argumen makna. Argumen ini menyatakan bahwa sejauh debat terbuka bermakna, maka debat terbuka wajib dilakukan (CNNIndonesia.com, 15/12). Secara tersirat, Agus Harimurti Yudhoyono menyatakan bahwa debat terbuka tidak bermakna bagi masyarakat. Bagi masyarakat, menurut Agus, hal bermakna adalah kehadiran kontestan di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, alih-alih berpartisipasi dalam debat, pasangan Agus-Sylvi memutuskan berjumpa langsung dengan masyarakat.

Evaluasi Etis
Keputusan politik Agus-Sylvi menolak berpartisipasi dalam debat terbuka mengandung dua dimensi. Pertama, dimensi kepentingan kelompok atau pribadi. Dari sudut pandang kepentingan kelompok, argumen legalitas, manfaat dan makna memberikan keuntungan bagi Agus-Sylvi. Kubu Agus-Sylvi akan memiliki fokus kampanye yang lebih terarah. Alasannya, mereka hanya perlu menghadapi satu debat saja—tidak seperti pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga yang mesti mempersiapkan diri menghadapi setiap debat terbuka yang diselenggarakan.

Kedua, dimensi kepentingan publik. Dari sudut pandang kepentingan publik, keputusan Agus-Sylvi menolak berpartisipasi dalam debat terbuka mencederai hak publik mendapat pendidikan dan pemberadaban kehidupan-bersama. Argumen legalitas yang hanya membahas kualifikasi legal-tidaknya penyelenggara debat telah meniadakan hakikat dari debat terbuka, yaitu mendidik dan memberadabkan kehidupan publik atas dasar akal sehat.

Argumen manfaat dengan sendirinya menunjukkan cacat dalam keputusan politik Agus-Sylvi. Apakah jumlah penonton yang tak signifikan itu dapat meniadakan hak warga kelas menengah mendapatkan pendidikan dan pemberadaban? Sadar atau tidak, argumen manfaat membenarkan sikap kubu Agus-Sylvi untuk mengabaikan kelompok masyarakat tertentu.  

Terakhir, argumen makna. Karena argumen makna menyatakan bahwa debat terbuka itu tidak bermakna, maka debat terbuka yang diselenggarakan KPUD DKI Jakarta juga tidak bermakna. Implikasinya, pasangan Agus-Sylvi tidak memiliki alasan yang kuat berpartisipasi dalam debat terbuka yang diselenggarakan KPUD DKI Jakarta. Paling tidak, argumen legalitas dan manfaat yang menjadi dasar partisipasi pasangan Agus-Sylvi dalam debat terbuka yang diselenggarakan KPUD DKI Jakarta akan berbenturan secara diametral dengan argumen makna yang meyakini bahwa debat terbuka itu tidak bermakna bagi masyarakat.


Menempatkan debat terbuka lebih rendah dari pada tatap muka atau bentuk kampanye lainnya adalah kekeliruan. Keputusan Agus-Sylvi menolak berpartisipasi dalam debat terbuka, sadar atau tidak, telah mencederai kepentingan publik yang senantiasa berupaya membangun kehidupan-bersama berdasarkan akal sehat. Pada dasarnya inspirasi dari segala bentuk kampanye dalam kontestasi politik kekuasaan adalah pendidikan dan pemberadaban kehidupan publik. Segala bentuk kampanye yang diizinkan oleh penyelenggara Pemilukada DKI Jakarta menjadi pemandu, bahkan penentu, pembentukan kehidupan publik yang demokratis, dan tentu saja beradab (civilized), dengan berdasarkan pada akal sehat. 

sumbu bumi


seperti klub sepakbola, media massa butuh suporter. seperti agama, media massa beri arah. seperti catatan harian, media massa simpa aib dan bahagia. seperti hujan, media massa bikin gregetan. seperti presiden, media massa itu kuasa. seperti pembungkus gado-gado ketoprak, media massa sampah daur ulang dan kehilangan makna. seperti api, media massa bakar setiap sumbu. seperti peluru, media massa menerjang kesadaran. seperti supermall karawaci, media massa itu hiburan. seperti matahari, media massa tak pernah bisa menyinari seisi bumi.