Kesesatan Riyanto dan Kemenangan Politik Identitas


Pilkada DKI Jakarta sudah berakhir. KPU DKI Jakarta menetapkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno meraih suara terbanyak, 57,96%. Pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat meraih 42,04% (Kompas.com, 30/4/2017). Sebagai fakta, tidak ada yang membantah kebenaran hasil akhir ini. Persoalannya bagaimana menjelaskan fenomena kemenangan pasangan Anies-Sandi/kekalahan Ahok-Djarot. Lebih jauh lagi, apa arti kemenangan Anies-Sandi/kekalahan Ahok-Djarot?

Kesesatan Riyanto
Artikel Geger Riyanto yang berjudul “Kekalahan Ahok Bukan Kekalahan Kemajemukan” (Geotimes.com, 4/5/2017) berupaya memaknai hasil pilkada. Tesis yang diajukan adalah kekalahan Ahok bukan kekalahan kemajemukan. Tesis kontroversial dan menantang diperiksa secara kritis. Apa alasannya?

Setidaknya, saya mengidentifikasi dua premis pendukung. Premis pertama, riset Ian Wilson tentang perubahan preferensi warga-warga di wilayah perkampungan yang terpinggirkan, misalnya Kampung Akuarium, Jakarta Timur. Pilkada 2012, 95% warga Kampung Akuarium mendukung pasangan Jokowi-Ahok. Dukungan diberikan tanpa pertimbangkan latar belakang agama, melainkan berdasarkan keberpihakan Jokowi-Ahok pada warga. Jokowi-Ahok berjanji menerbitkan sertifikat bagi warga yang sudah menetap di sana selama 20 tahun. Sayangnya, ketika menjadi Gubernur pengganti Jokowi, alih-alih tepati janji, Ahok malah menggusur warga. Hal serupa dialami warga Bukit Duri, Jakarta Selatan.

Tentu saja premis pertama benar. Namun tidak kuat menjustifikasi tesis Riyanto. Karena itu, premis kedua muncul. Premis kedua adalah [kemungkinan imajinatif terjadinya] viralisasi citra negatif Ahok oleh warga-warga yang tergusur menjelang pemungutan suara. Inilah kelemahan mendasar argumentasi Riyanto. 

[Kemungkinan imajinatif terjadinya] viralisasi citra negatif Ahok tidak terjadi secara faktual. Alih-alih mencari riset pembenar premisnya, Riyanto malah menggunakan hasil exit poll yang perlihatkan peralihan suara kelas menengah bawah kepada pasangan Anies-Sandi. Disadari atau tidak, data inilah yang ditafsirkan Riyanto sebagai hal yang potensial membuktikan telah terjadi viralisasi citra negatif Ahok. Dan Riyanto melakukan dua kesesatan. Pertama, mereduksi penjelasan atas peralihan suara kelas menengah itu semata-mata kepada faktor viralisasi citra negatif Ahok yang tidak terkonfirmasi secara aktual.

Kedua, membangun argumentasi modus ponens secara sesat dengan mengafirmasi konsekuen, bukan anteseden. Dalam hal ini, konsekuen adalah peralihan suara; anteseden adalah viralisasi citra negatif. Dalam penalaran modus ponens, afirmasi anteseden pada premis minor secara konklusif akan menghasilkan afirmasi terhadap konsekuen pada konklusi. Penyimpulan Riyanto bekerja sebaliknya, yaitu afirmasi atas konsekuen pada premis minor secara konklusif menghasilkan afirmasi terhadap anteseden pada konklusi—dan yang begini sesat (fallacy) seturut ilmu logika.    

Kemenangan Politik Identitas
Argumentasi Riyanto tidak hanya sesat secara internal, namun juga terbatas. Riyanto tidak pertimbangkan hasil riset terkait tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Ahok-Djarot. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis angka 73% (Kompas.com, 13/4/2017) dan Charta Politika merilis angka 71,8% (Kompas.com, 15/4/2017). Tingkat kepuasan publik adalah dampak program Kartu Jakarta Pintar (KJP), Kartu Jakarta Sehat (KJS), pelayanan di kantor pemerintahan dan lainnya. Program-program itu adalah upaya pemerintahan Ahok-Djarot mewujudkan keadilan sosial—Riyanto abaikan fakta ini.

Meski tingkat kepuasan publik tinggi, sayangnya tingkat elektabilitas Ahok-Djarot rendah. LSI merilis angka 42,7% (Kompas.com, 13/4/2017) dan Charta Politika merilis angka 47,3% (Kompas.com, 15/4/2017). Ternyata, fenomena “kepala dan hati terbelah” yang sudah dinyatakan oleh Burhanuddin Muhtadi dalam artikelnya yang berjudul “Rasionalitas Pemilih Jakarta” (Kompas.com, 21/2/2017) masih mewarnai kompetisi putaran kedua. Fenomena “kepala dan hati terbelah” mengisyaratkan warga Jakarta terbelah antara pemilih rasional dan emosional.

Faktor emosional yang mempengaruhi elektabilitas Ahok-Djarot adalah dugaan penodaan agama, kasus Al Maidah. Artinya, identitas menjadi pertimbangan utama warga Jakarta memilih. Melalui artikel “Menangkap Angin Populisme di Jakarta” (Majalah Tempo, 12/3/2017), Eep Saefulloh Fatah membantah Muhtadi. Exit poll PolMark temui hanya 9,4% pemilih Jakarta yang pertimbangkan agama dalam memilih. Persoalannya, apakah bantahan Fatah dapat diterima? Menurut saya: Tidak!

Dalam argumennya, Fatah menyatakan bahwa preferensi pemilih Jakarta ditentukan dua faktor [rasional], yaitu (i) hasil kerja Gubernur dan (ii) di luar hasil kerja Gubernur. Faktor hasil kerja Gubernur adalah beragam program yang hasilkan tingkat kepuasan publik di atas 70%. Faktor di luar hasil kerja Gubernur adalah “kemampuan komunikasi politik” dan “perilaku kepemimpinan”—yang dapat berdampak pada terpecahnya warga Jakarta karena pola komunikasi dan kepemimpinan yang teridentifikasi sebagai hal yang tidak baik. Sekiranya faktor agama terkategorikan sebagai yang-emosional, Fatah mengkategorikan “kemampuan komunikasi politik” dan “perilaku kepemimpinan” sebagai yang-rasional. Inilah dasar Fatah menyimpulkan bahwa pemilih Jakarta rasional—dan persis di sini pulalah, menurut saya, kekeliruan Fatah.

“Kemampuan komunikasi politik” dan “perilaku kepemimpinan” yang seperti apakah yang tergolong rasional? Apakah “kemampuan komunikasi politik a la SBY” yang terkenal santun dan melodramatik adalah komunikasi politik yang rasional? Atas dasar apa “kemampuan komunikasi politik a la Ahok” yang terkenal ceplas-ceplos dan kasar adalah komunikasi politik yang irasional? Bukankah terbuka kemungkinan untuk membaca komunikasi politik dan kepemimpinan dari SBY atau Ahok dipengaruhi oleh faktor budaya dari mereka? Karena itu, kategorisasi rasional atas “kemampuan komunikasi politik” dan “pola kepemimpinan” adalah pereduksian yang-kultural menjadi yang-rasional. Aspek kultural ini tidak terungkap secara eksplisit dalam tesis Muhtadi.

Pada skala global, penjelasan atas penguatan populisme dapat dikembalikan pada faktor kultural. Dalam “Menguatnya Populisme: Trump, Brexit, hingga FPI” (Indoprogress.com, 23/1/2017), Ari A Perdana—mengutip pendapat Ronald F. Inglehart dan Pippa Norris—mengungkapkan dua hipotesis penjelas gelombang populisme global, yaitu (1) kesenjangan ekonomi dan (2) pertentangan kultural. Karena secara empiris tidak ada korelasi antara dukungan terhadap populisme dan kerentanan ekonomi, maka hipotesa kesenjangan ekonomi tidak dapat diterima. Ada pun hipotesa pertentangan kultural terkonfirmasi secara empiris. Perubahan kultural dalam wujud meluasnya dukungan kepada kelompok minoritas (LGBT), feminisme, multikulturalisme yang terjadi secara global menghasilkan reaksi balik berupa populisme dengan basis kultural. Inilah penjelas kemunculan Trump di Amerika Serikat, Brexit di Inggris, juga gerakan radikal di Indonesia. 

Pada kasus Indonesia, konjektur saya, pertentangan kultural ini dipicu sejak pasangan Jokowi-Ahok memenangkan kontestasi Pilkada 2012, yang dilanjutkan dengan kemenangan pasangan Jokowi-Kalla pada Pilpres 2014. Kemenangan Jokowi-Ahok membuka kemungkinan perluasan politik partisipatoris, kesetaraan kesempatan bagi siapa saja, egalitarian, pemberlakuan sistem meritokrasi, transparansi, melindungi kaum minoritas, dan lainnya merupakan kultur politik yang baru bagi Indonesia. Dan demi menghadang laju dan perluasan kultur progresif inilah gelombang populisme dalam bentuk politik identitas beroperasi dalam Pilkada lalu.

Mengingkari peran politik identitas dalam Pilkada DKI Jakarta lalu adalah kesesatan. Karena itu, makna kekalahan Ahok adalah kemenangan politik identitas! Meski begitu, saya tidak mengingkari adanya kebijakan pemerintahan Ahok-Djarot yang tidak adil. Misalnya, penggusuran Bukit Duri, Jakarta Selatan, yang tidak mengindahkan proses hukum di PTUN—yang pada akhirnya PTUN memutuskan penggusuran itu melanggar undang-undang (Kompas, 6/1/2017).