CUACA AFORISMA

Tua dan berjanggut. Dia duduk di sebuah taman kota negeri tropika. Masa cuaca yang selalu mendung dan guyub gelisah. Antara merah Romeo atau hitam Hamlet. Antara nyanyian api atau ranjau epidemi. Antara desah nafas dan mata yang menatap suram senja, dari sebuah taman kota negeri tropika.

Di batin bergejolak Miami serta sengkarut legam kisah PKI. Nostalgia maestro seni Mooi Indie hingga pelajaran dari Stanislavsky. Atau denyut jantung Gatholoco bersama senandung damai Sang Gandhi. Tua dan berjanggut. Rengut kening dengan kepala yang merunduk. Ia hanyut pada arus amarah Nazi hingga rintih pedih di metropol Mumbai. “Yunani.” Ia menggumam. Membisikkan sesuatu kepada senja dan mendung cuaca.

Senja dan mendung adalah waktu. Tiba-tiba, dia ingat secuil sajak dari penyair berkepala kayu. Sebuah kata selalu mengandaikan cita-cita. Sosok mahluk yang berasal dari masa depan dengan takdir kembali ke masa depan. Di saat lampu jalanan pelan menyala, seekor anjing menyulap lahir menjadi ular sebelum hadir sebagai naga. Tak ada yang bisa luput dari legenda. Si tua dan berjanggut masih membaca malam dalam senyap dan khidmat.

Tua dan berjanggut. Ia memandang masa lalu. Pada tiap angka di penggalan takwin, misteri adalah nyawa yang tak bisa dibantah. Dia menoleh pada masa depan. Bagi tiap cita-cita, Bumi adalah sejarah. Serangkaian peristiwa hidup di antara niscaya, rencana, dan tak sengaja. Hari ini adalah pidato Camus yang gemetar mendendangkan syair: Tidak ada hari esok; atau malah sapaan api dari Chairil: Sekali berarti sudah itu mati. Pada sebuah taman kota di negeri tropika, si tua dan berjanggut menggigil dalam dekap purnama Desember yang pertama. Hanya keraguan yang menggembalakan dirinya untuk sampai pada suara: ilusi dan kekal adalah senyawa.

*

Dari pinggir sebuah taman kota negeri tropika, hanya aku yang senyum melihat dia tak berdaya. Si tua dan berjanggut lelap dalam cuaca aforisma yang mentah.

11 Desember 2008