Mula Harahap, Selamat Jalan

Dia memang seorang pria tua yang aneh. Setidaknya, menurutku. Sebagai lelaki tua dengan rambut uban gondrong nyaris seleher, ia seperti seorang seniman. Tapi, kalau melihat cara berpakaian yang rapih dan bertata, cukup sulit juga saya meyakini dia sebagai seorang seniman. Pada dirinya, kesenimanan dan kecendikiawanan menyatu. Dia: Mula Harahap.
Perkenalan aku terhadap Mula Harahap bermula dari tampilan fisiknya yang sangat mengganggu pikiran saya. Ia bisa hadir sebagai seorang seniman, bisa pula hadir sebagai seorang intelektual; meski aku tidak tahu siapa ia sebenarnya. Dalam pikiranku muncul pertanyaan, “Siapa orang ini?” Sesungguhnya pula, aku tak menaruh niat besar untuk mengenali sosok ganjil Mula Harahap.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Mula Harahap terhadap aku. Tetapi, yang jelas perkenalan kami berawal dari pertanyaan sederhananya kepadaku di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kwitang, Jakarta Pusat. Saat itu, ketika menunggu kebaktian dimulai, aku asyik membaca Anak Bajang Menggiring Angin. Kurasa sekitar 10 menit aku membaca buku karangan Sindhunata, aku menutup buku dan memasukkan ke dalam tas. Mendadak, ada tangan yang memegang bahuku dari belakang. “Baca buku apa?” tanyanya ketika aku menoleh untuk mengetahui siapa yang menyentuh bahuku serta bertanya apa maksudnya menyentuh bahuku. “Oh, ini...,” ujarku sambil mengeluarkan buku yang kubaca tadi. “Anak Bajang Menggiring Angin,” tambahku pula. Dia menggangguk. Tak lama kemudian, kebaktian pun berlangsung.
Usai kebaktian, kami berjabat tangan dan berjalan beriringan keluar dari gereja. Pada saat itulah kami berdialog lebih banyak. Aku mengenalkan diri dan ia pun mengenalkan diri. Sebuah perkenalan yang egalitarian, setidaknya menurutku. Dalam perbincangan kami menuju halaman gereja, Mula bercerita bahwa ia pernah aktif di Yayasan Komunikasi Massa (Yakoma) PGI, kalau aku tak salah ingat akan informasi ini. “Dulu, Teguh Karya pun aktif di bagian teater di situ. Sudah lama sekali,” ucap Mula Harahap.
Perkenalan kami memang singkat, saling memperkenalkan diri, memberitahukan sekilas tentang masa lalu dan kegiatan yang tengah ditekuni sekarang. Selebihnya, aku lebih suka berdiam, memandang dari kejauhan sosok ganjil Mula Harahap. Satu hal yang cukup mengesankan, seusai kebaktian, Mula Harahap sering berdiri di dekat pos keamanan GKI Kwitang, sambil menghisap rokok Gudang Garam Filter (kalau aku tak silap). Ia berdiri, senyum dan selalu menyapa orang yang ia kenal, lalu bersalaman.
Lama berselang, aku mencari tahu siapa sebenarnya sosok ganjil Mula Harahap. Dan, aku pun tahu bahwa ia tergolong tokoh dalam dunia buku di Indonesia. 'Tokoh'—setidaknya, bagiku—adalah pemberi tanda bagi orang-orang tertentu yang memiliki keteguhan komitmen akan apa yang akan ia lakukan untuk mengisi kehidupannya yang sementara di Bumi.
Kamis (15/09), aku sedang membuka laman facebook dan menemukan status Ompu Datu Rasta Sipelebegu a.k.a Saut Situmorang yang menyatakan duka atas kepergian Mula Harahap. Sejujurnya, aku tidak terlalu mengenal siapa sesungguhnya Mula Harahap. Tetapi, entah kenapa aku bisa merasa dekat, akrab dan sangat kehilangan saat mengetahui kabar kepergian dia. Di saat aku menulis tulisan ini, aku ingat akan matanya. Mata yang memancarkan keramahan sekaligus ketegasan!—dan selebihnya, adalah senyuman. Mula Harahap, selamat jalan.

FRAGMEN SASTRA

§1. Sastra. Sastra adalah cara untuk mengenali kehidupan melalui terjun langsung dalam kehidupan itu sendiri. Di dalam sastra, sebuah latihan dapat berujung pada kematian. Dan hanya mereka yang mampu bangkit kembali dari kematian itu sajalah yang layak disebut sastrawan. Pada puncak ini, siapa saja adalah sastrawan!