ANALISA 'DONGENG IDENTITAS-OTENTIK-SEJATI MULAI DARI KANDUNGAN IBU HINGGA KE PELUKAN BUMI' ATAS FENOMENA SURVEY POLITIK DI TANAH INDONESIA

Saya harus menjelaskan bahwa 'Dongeng Identitas-Otentik-Sejati Mulai Dari Kandungan Ibu Hingga Ke Pelukan Bumi' adalah golok analisa untuk melihat lebih detail apa sesungguhnya yang tengah dikerjakan oleh dua lembaga survey besar di Indonesia. Saya tak perlulah menyebut nama lembaga itu, cukuplah penanda 'dua lembaga survey besar di Indonesia' membantu pembaca mengidentifikasi apa nama institusi-institusi tersebut. Pilihan untuk tak menyebut nama lembaga itu dikarenakan ada rasa takut di dalam diri saya. Rasa takut itu muncul dari kekhawatiran bahwasanya tulisan saya ini dimaknai sebagai pembunuhan karakter bagi institusi-institusi dimaksud. Karena itulah, saya pun meminta bantuan ahli linguistik Ferdinand De Saussure yang menjelaskan konsep trimatra Tanda--Tanda, Penanda dan Petanda--dimana hubungan antara Penanda dan Petanda bisa terjadi secara arbitrer, konvensi dan sistemik. Dan karena saya dengan pembaca tidak saling mengenal, tak saling jumpa, maka korelasi antara penanda-petanda dalam konteks konvensi tidak bisa dibuktikan. Sedang pilihan sistemik dalam pandangan Ferdinand De Saussure, menurut saya, lebih mengacu pada parole/ujaran dari pada langue/tata-bahasa. Maka pilihannya yang paling mungkin: korelasi antara penanda-petanda ada dalam konteks arbitrer alias semena-mena. Dikarenakan konteks pemaknaan ada dalam ruang arbitrer, maka ketakutan saya akan dicap sebagai 'pencemar nama baik' pun hilang, paling tidak berkurang.

Saya perhatikan, 'dua lembaga survey besar di Indonesia' sering sekali melakukan jajak-pendapat popularitas presiden, popularitas calon gubernur, keinginan masyarakat atas pemimpin, masalah-masalah bangsa yang tak tersentuh penguasa, masalah-masalah bangsa yang tersentuh penguasa dan segudang indikator lainnya. Hasil jajak-pendapat itu pun kemudian dijajakan ke hadapan publik, entah melalui media elektronik semisal televisi, radio, internet, surat elektrik, blog, radio amatir, pun media cetak, umpamanya surat kabar harian, majalah mingguan, tabloid, selebaran, pamflet dan segala macam lainnya. Apa yang dihasilkan 'dua lembaga survey besar di Indonesia' ini dapat dipandang sebagai teks. Menggunakan pendekatan model Sastra Abrams, teks yang dihasilkan 'dua lembaga survey besar di Indonesia' dapat dipandang lewat empat perspektif, yakni ekspresi, objektif, mimesis dan pragmatik. Perspektif ekspresi atas teks jajak-pendapat memberikan makna bahwa si pemberi informasi hanya memberikan pesan informasi belaka ke hadapan publik. Bila dipandang lewat perspektif objektif, teks jajak-pendapat adalah teks yang dibangun atas struktur kajian ilmiah, yakni statistik. Bila ditengok lewat perspektif mimesis alias tiruan, maka teks jajak-pendapat adalah citra dari realitas yang sesungguhnya menjadi rujukan dari teks jajak-pendapat tersebut. Terakhir, bila dipandang melalui jalur perspektif pragmatik, teks jajak-pendapat itu memiliki daya guna.
Artikel, opini, partitur, prosa, cerpen, novel, niveau-roman, syair, madah, kidung, berita, features, sajak, naskah drama, atau apapun sebutan dari tulisan yang saya perbuat ini, pada dasarnya diniatkan untuk mendedah sehabis-habisnya perspektif pragmatik atas teks jajak-pendapat. Kira-kira, apakah teks jajak-pendapat itu memang berguna? dan apa bila berguna buat siapakah? saya ataukah orang-orang tertentu? Sebagaimana khitah dari apa yang disebut pragmatik adalah punya daya guna, maka pendekatan pragmatik atas teks jajak-pendapat pastilah memiliki kegunaan. Masalahnya, buat siapakah? Yang jelas, bagi saya pribadi, seorang pekerja di Jakarta dengan gaji yang cukup-membayar kontrakan-membayar makan-menabung sedikit, teks jajak-pendapat itu sama sekali tak ada nilai guna. Maka, teks jajak-pendapat itu berguna hanya bagi orang-orang tertentu saja. Siapakah mereka? Sudah pastilah, mereka itu adalah orang yang dirujuk dalam survey tersebut. Permisalan yang paling sederhana, hasil survey itu mengungkapkan popularitas presiden. Bila hasil survey menunjukkan popularitas presiden berada di bawah 30 persen, maka presiden bersangkutan bisa menggunakan data hasil jajak-pendapat untuk menyusun strategi dalam rangka meningkatkan popularitas. Apa bila, hasil jajak-pendapat menunjukkan bahwa popularitas berada di angka 90 persen, maka tak perlu ada penambahan strategi penciptaan popularitas. Tapi, bagi saya pribadi, entah itu popularitas di bawah 30 persen atau di atas 90 persen, hasilnya sama saja. Tak ada guna! Saya tidak tahu bagaimana bila saya tidak hidup di Jakarta. Andai saya hidup di Sragen, hidup sebagai seorang buruh tani--bukan pekerja kantoran, hidup bersama istri dan dua anak di rumah kontrakan--bukan bujangan meski sama mengontrak yang dengan biaya yang berbeda, saya tidak tahu apakah data survey yang mungkin saja bisa saya lihat dan dengar melalui televisi di rumah tetangga berguna atau tidak. Yang jelas, dengan status pekerja-bujangan-hidup mengontrak di Jakarta-gaji cukup makan dan sedikit menabung, teks jajak-pendapat itu tak ada gunanya. Maka keberadaan 'dua lembaga survey besar di Indonesia' hanya berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan pada tataran elit. Dan karena itu, lebih baik saya menyelesaikan kerangka mantap bagi teori 'Dongeng Identitas-Otentik-Sejati Mulai Dari Kandungan Ibu Hingga Ke Pelukan Bumi.'

Selanjutnya, saya pun mempertanyakan status data hasil jajak-pendapat tersebut. Status yang saya maksud bukan dalam kerangka validitas statistikal. Status yang saya maksud hidup dalam konstruksi sadar atau bawah-sadar. Apakah data yang didapat Maka keberadaan 'dua lembaga survey besar di Indonesia' berasal dari personal-personal atawa individu-individu yang sadar? Asumsi mendasarnya adalah Psikoanalisa yang dibangun oleh Sigmund Freud. Mayoritas manusia dalam bertindak dipengaruhi alam bawah-sadar! Maka, jawaban dari responden yang ditemui Maka keberadaan 'dua lembaga survey besar di Indonesia' hanya menelurkan jawaban yang berasal dari alam bawah-sadar, yang sama sekali sulit dipertanggung-jawabkan oleh si individu-personal-responden itu sendiri. Bila ini terjadi, dan saya merasa kemungkinan seperti ini terjadi mencapai 99,9 persen, maka yang terjadi, tanpa disadari 'dua lembaga survey besar di Indonesia' adalah pelestarian alam bawah-sadar. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan konteks demokrasi yang digadang-gadang oleh 'dua lembaga survey besar di Indonesia.' Kondisi seperti ini semakin diperparah dengan dibukanya jasa konsultasi politik atas dasar data survey jajak-pendapat bawah-sadar. Konsekuensi strategi yang dihasilkan konsultan politik terhadap orang yang meminta jasanya pun pastilah berdasarkan memengaruhi bawah-sadar. Dan demokrasi yang muncul adalah demokrasi bawah-sadar, demokrasi yang memang tidak didesain untuk dimintai pertanggung-jawaban. Apa yang dilakukan lembaga survey yang menjadi konsultan politik pun sama tak baiknya dengan lembaga survey yang terus-terusan mengeksploitasi alam bawah-sadar responden, tanpa mengangkat alam sadar. Bila data tersebut berasal dari alam sadar, setidaknya teks jajak-pendapat itu punya daya guna bagi saya pribadi.

Konklusinya, dikarenakan demokrasi yang terjadi di Indonesia adalah demokrasi bawah-sadar, maka saya memilih untuk tidak ikut-ikut dalam demokrasi yang bawah-sadar itu. Sebab, menurut saya, demokrasi adalah cara saya membantu mengurangi pengangguran di Indonesia, menambah perumahan murah di Indonesia, mengurangi gelandangan (kecuali ada orang yang berpikiran bahwa gelandangan adalah takdir bagi dirinya sendiri), harga pangan murah, minyak stabil. Situasi seperti itu terwujud dalam demokrasi sadar, demokrasi yang bisa saya golongkan utopis dan tidak realistis di Indonesia.

Walahuallam!

NOTULENSI FRAGMEN 12 DARI GOETHE

Enin : Bode, seniman yang juga penggagas Dokumenta merumuskan Dokumenta sebagai exhibition without form.

FX Harsono : Ada tiga landasan kuratorial (leiftmotifs) Dokumenta 12, 1) Apakah modernitas adalah masa lalu kita?, 2) Apakah masih ada keutamaan hidup setelah hedonisme mendominasi tata nilai kehidupan? Dimanakah seni dalam soal ini?, 3) Apakah pendidikan seni dan estetika sudah mampu memecahkan segala permasalahan dalam kehidupan kita?

FX Harsono : Setelah mengunjungi pameran Dokumenta 12, pertanyaan itu malah tak terjawab, atau bisa dibilang malah terlupa.

Enin : 1) Modernitas memang ada disekitar kita. Permadani, karya seniman permadani, memasukkan modernitas dalam karyanya. Karya permadani yang biasanya berisi hiasan ornament geometrik berubah menjadi lukisan taman. Memang, di pameran Dokumenta tak ada bentuk. Instalasi Relax Only Ghost yang digabung dengan permadani menggambarkan keterpecahan konsep dalam satu ruang pameran. Bahkan, karya lukis abad renaisans pun digabungkan dengan kanvas lukis era modern. 2) Hedonisme lahir dari demokrasi yang membawa kebebasan dan kemanusiaan sebagai nilai paling dasar. 3) Formulasi sederhana pertanyaan itu adalah: apakah demokrasi sebagai sistem nilai masih relevan? Bukankah hedonisme yang merupakan anak kandung demokrasi menampilkan sisi buruknya? Kira-kira begitulah.

FX Harsono : Memang tak mudah.

David Tobing : Bode sebagai penggagas memang cerdas. Exhibition without border! Aku pikir Bode sadar, bentuk dan isi tak bisa dilepas hidup sendiri-sendiri. Setiap seniman pastilah tahu pergulatannya tak lepas dari bentuk dan isi. Dominasi sejarah seni didominasi sejarah perubahan bentuk. Aku pikir inilah yang dasar pikiran Bode, seorang seniman yang kehidupan kreatifitasnya tak bisa pisah dari upaya pengolahan abstraksi-kesadaran (baca: isi) menjadi produk (baca: bentuk). 1) Modernitas memang masih mendefenisikan dirinya. Tak seperti tradisional yang sudah mapan sebagai nilai dan sedang asik-asiknya digugat sistem nilai peradaban kini semisal post-moderisme, feminisme dan lainnya. Bicara ‘Jawa’ sudah masuk konteks tradisional. Sedang ngomong ‘Indonesia’ belum tentu dianggap modern pun ketinggalan zaman. Tradisional dan modern, ternyata nilai yang dilekatkan manusia pada suatu hal. Dan perlu diingat, pelekatan nilai tradisional atau modern pada suatu hal tidaklah berarti menyatakan suatu hal tersebut baik atau buruk. Tradisional dan modern sebagai nilai memang tidak berhubungan langsung dengan baik atau buruk yang juga merupakan sistem nilai. Karena itu, setelah suatu hal diberi nilai (dalam bahasa kecaman bisa juga dikatakan: pelabelan/stereotip) tradisional atau modern, suatu hal tersebut masih harus menjalani serangkaian perenungan lagi yang mengakibat subjek perenung dengan penuh kesadaran dan keikhlasan memberi nilai baik atau buruk. 2) Enin bilang : pertanyaan aslinya dari landasan kuratorial kedua adalah apakah yang dimaksud dengan kehidupan sederhana? Ini sesungguhnya pertanyaan yang tradisional. Cara berpikir tradisional, contohnya Jawa, sangat lekat dengan masalah itu. Irup mampir ngombe misalnya merupakan representasi dari konsep kesederhanaan yang luas luar biasa. Konsep semacam itu tentunya tak mengenal istilah ‘menguasai alam’. Sejak zaman pencerahan hadir di Bumi dengan keagungan rasionalitasnya, manusia memandang alam sudah tak lagi sebagai kekuatan besar yang tak terkendalikan. Laku sub-ordinasi alam terhadap manusia hilang. Manusia adalah super-ordinat alam. Manusia bisa berbuat sesuka apa saja pada alam. [Aku merasa bule-bule di luar sana malah tak mengerti apa itu tradisional. Bentuk konkrit tradisional di tanah bule-bule sana tak ada, tak seperti di Indonesia, bila kita masuk ke Yogyakarta masih bisa melihat orang pakai blangkon dan berkebaya jalan-jalan di Malioboro. Bahkan saya pernah jumpa nenek tua berbusana kebaya menjadi sales promotion girl di salah satu pusat perbelanjaan di Malioboro. Nenek itu berdiri di pintu masuk toko! Konkritisasi tradisional tidak ditemukan di tanah bule-bule. Karena itu, bule-bule pun merumuskan pertanyaan: apakah hidup sederhana, yang lahir sebagai antitesis dari norma hedonisme yang marak menyala di tanah bule-bule.] 3) Enin ngomong apakah demokrasi bisa menawarkan sistem nilai ideal? Tentunya, belum tentu! Tapi sebelum aku jabarkan penjelasan terkait problem begitu, aku terpikat pada proposisi implisit penyetaraan demokrasi dengan sistem nilai. Penyetaraan itu berarti memandang demokrasi sebagai kebudayaan, tepatnya produk kebudayaan. Ini luar biasa! Demokrasi sebagai kebudayaan menawarkan dua hal utama, kemanusiaan dan kebebasan. Padahal bila dilihat secara politis belaka, demokrasi tak lain dari pertarungan merebut kekuasaan yang dilengkapi dengan segala macam prosedur seperti pemilihan umum. Aku berpikir, memang demokrasi sebagai sistem nilai bagi peradaban kini masih menghadapi ujian. Misal saja di Myanmar. Junta yang mundur-mundur meski rakyat sudah unjuk rasa mati-mati [bahkan biksu sebagai pengusung nilai-nilai keagamaan pun turun tangan untuk membantu demokasi hidup membangun sistem nilai demokrasi sendiri]. Memang, ada juga yang menyangkut-pautkan India, Cina, dan satu negara lainnya yang aku lupa dalam persoalan pelik gejolak Myanmar. Pendekatan pemikiran dengan melihat tiga negara tersebut justru menimbulkan konflik sendiri di dalam pengembangan demokrasi. Lewat tiga negara, persoalan Myanmar jatuh pada ekonomi. Artinya, ada sistem nilai lain dalam kehidupan yang harus diperhatikan. Sebenarnya, lewat pengejawantahan ini, persoalannya bukanlah lagi demokrasi sebagai sistem nilai masih layak atau tidak, melainkan: bagaimana sesungguhnya menata keselarasan antar segala macam nilai yang ada, demokrasi, ekonomi, agama, Ketuhanan, bahkan militerisme. Produk sampingan lain dari penjabaran pemikiran yang bertolak dari gejolak Myanmar mengarahkan saya pada kesimpulan: demokrasi bukanlah pertanda beradabnya suatu bangsa. Kecuali Cina, penganut komunisme yang berarti otoriter, India dan negara satunya tak angkat suara memecahkan kebuntuan gejolak Myanmar. Padahal sistem pemerintahan di India memilih demokrasi sebagai sistemnya. Ada perwakilan rakyat, ada eksekutif dan ada pula yudikatif. Petanda ini membawa saya pada dugaan bahwa demokrasi masih sebatas pertarungan kekuasaan. Demokrasi belum menjadi kebudayaan. Kemanusiaan dan kebebasan yang menjadi inti terdalam demokrasi tidak mengalir di dalam pembuluh darah di dua negara itu.

Notulen : Ada juga yang mempermasalahkan kok tidak ada satu pun seniman Indonesia di ajang Dokumenta 12. Informasi saja, Dokumenta 12 menghadirkan 500 karya lebih dari 122 seniman di seantero muka Bumi. Seorang yang ada disamping saya berkata, pertanyaan seperti punya kecenderungan narsis. Tiba-tiba muka seorang yang berkata pada saya pucat pasi. “Narsis. Narsis. Ra-sis!” kata dia mendesis di telinga saya. Dia bilang, narsis punya kedekatan emosional dengan rasis lewat pertanyaan ‘kok tidak ada satu pun seniman Indonesia di ajang dunia Dokumenta?’ “Ra-sis-so-nal-lis-me.” Dia mendesis seperti ular di telinga saya. “Nas-sis-si-o-nal-lisme.” Itulah desisan terakhir yang dia di telinga saya. Dia diam sejenak sambil memijat-mijat keningnya, memukul-mukul tengkuk dan ubun-ubun kepala, menunduk bahkan sampai mengantuk-ngantukkan kepala ke tembok batu. “Apakah rasis juga seperti demokrasi? Sama-sama kebudayaan?” katanya di depan muka saya. Saya pun melihat pesawat supersonic, Sputnik, Challengger, Apollo, Pertamina, Petroleum, Menara Eiffel, Monas, The Thinker, Guernica, M-16, rudal Patriot, Jupiter, sarung tinju, televisi, telepon genggam, satelit Palapa, Telkomsel, CNN, Nike, blangkon, merah, pemilu 2009, laser, bom atom, Einstein, gravitasi, emas, kereta api, asap knalpot, jalan aspal, harimau, lampu merah, undang-undang, joglo, Menara BNI ’46, menhir, Pulau Paskah, huruf paku, Piramida, senat, Plato, situs internet, konferensi pers Presiden, bendera, baju mini, sepatu karet, kolam renang, pohon pinus, Gunung Kelud, gempa bumi, tsunami, sumbangan kemanusiaan, kecelakaan lalu lintas, kamar jenazah, Hotel Sultan, White House, Paus Johanes Paulus II, Chairil Anwar, Lelaki Tua dan Laut, Samudera Hindia, kuburan Jeruk Purut, Tongging, Bali, Piala Dunia, Fransesco Totti, gitar elektrik, gambus, B.B King, This Is England, Catfish Blues, boneka kayu, kapak batu, rumah panggung, perahu, kapal selam, kuda nil, mammoth, piano, garpu tala, piring makan, lampu hias, kemeja, serbet, kaos kaki, Phitecantropus, filantropi, api, es, bir Bintang, kecoak, ladam kuda, cermin, di muka dia.

Fragmen: Sepulang Menjenguk Titarubi Di Bentara Budaya

Sudah malam rupanya. Sambil melihat taman berpohon rindang yang begitu tenang aku dengar Alia bicara di atas lori kereta Lelaki asal Eropa asyik bercanda dengan teman perempuannya yang berbaju hitam. Rokokku sudah tinggal puntung tewas dalam pijakan sepatu. Silahkan menikmati pameran tunggal Titarubi berbaur dengan gemuruh riuh telapak tangan yang beradu.

HERSTORY. Ah, aku sedang tak ingin mengkritik. Tak ingin pula aku berbual di hadapan instalasi rel keretaapi berjudul Kisah Tanpa Narasi. Alia masih ada dalam telingaku. Dia pun masih ada dalam mataku. Serupa taman berpohon rindang yang begitu tenang serta dua potong bakpau goreng dan sesendok Chinese kung pao. Atau senyum Mas Ipung serta segelas bir kaleng di tangan Redana. Tak maksud aku mencela, sungguh. Tapi jiwa selalu menawarkan garam yang asing. Garam asing yang melahirkan kejut dan takut. Alia, kacamatamu sama indah dengan sepatu kets yang engkau pakai.

Titarubi mengingatkan aku pada kehidupan kota di Inggris yang pernah kudiami hanya beberapa bulan saja. Di sana, para bangsawan begitu senang berkereta kuda di sekitar istana ratu dan raja. Aku hanya bisa iri melihat busana mereka. Paduan kain yang penuh kerumitan. Entahlah, aku rasa mereka memang senang bercanda dengan senjata atau pena. Para lelaki memang senang menulis di atas pakaian yang bukan hanya miliknya sendiri. Sekarang, aku kembali ingat pada ucapan Romo Franz. “Kita bisa mempertanyakan mengapa hanya ada ‘history’. Bagaimana dengan ‘herstory’? Tapi bagaimana pula dengan ‘sejarah’?” Aih Alia, aku memang merasa ada yang kurang dengan ketimuranku. Tapi bukannya ketimuranku tak indah. Sebagaimana maha karya terindah yang engkau tulis dalam hatimu, demikianlah keindahan ketimuran yang ada dalam diriku. Keindahan dan kesempurnaan adalah dua hal yang berbeda. Maafkan aku.

Aku tidak tahu harus memanggil apa padamu. Tita atau Rubi? Mbak Tita atau Mbak Rubi? Ibu Tita atau Ibu Rubi? Aku sangat bodoh karena tak tahu harus memanggil apa padamu. Aku ingin bertanya padamu. Adakah diantara kata-kata yang tadi kusebutkan mampu menampung rasa hormat dan takzimku kepadamu? Titarubi, perempuan kelahiran Bandung pada 15 Desember 1968, terimalah hormat dan takzimku padamu.

Kisah adalah kejadian. Narasi adalah penceritaan suatu kisah. Aku kagum ketika engkau mampu memilih judul Kisah Tanpa Narasi. Kata-kata yang engkau pilih, secara harafiah mampu menerjemahkan diri sendiri. Di dalam batinku, bahkan, kata pilihanmu sudah menjadi metafora dari dirimu yang sangat-sangat personal. Melalui kata-katamu, aku melihat gelisah dan berontak menyala-nyala dalam dirimu. Dua jalan kereta yang saling melintasi satu sama lainnya. Tapi aku tak menemukan rel yang saling tikam di titik temu perlintasan. Aku malah melihat persimpangan. Entahlah. Persimpangan memang tempat yang menakutkan. Tapi, tak jarang pula persimpangan adalah tempat pengalaman. Persimpangan adalah tantangan.

Titarubi, Titarubi. Di dalam mataku masih tersimpan instalasimu. Ada lori keranjang gigan penuh manekin keramik. Tapi, ada pula lori yang kosong. Manekin keramik engkau tumpuk seakan penuh kekesalan. Tak ada manekin yang utuh aku perhatikan. Selalu saja ada cacat. Entah tangannya patah, pinggangnya patah, atau kakinya patah, kepalanya retak, atau malah telinganya sudah rompal. Tumpukan manekin keramik yang menjelma menjadi pemandangan penumpang kereta api kelas ekonomi Jabodetabek, dalam pembahasaan Efix Mulyadi. Tapi aku tak melihat seperti Efix. Aku mendengar. Aku mendengar jerit dari manekin-manekin keramikmu. Rasanya, seperti melihat para arwah menari-nari di taman berpohon rindang yang begitu tenang. Jerit manekin keramikmu membawa pikiranku menerabas waktu. Jerit-jerit dari masa lalu. Jerit-jerit dari masa kini. Jerit-jerit dari masa depan! Jerit, dari, keranjang. Hmm, keranjang.

Titarubi, Titarubi, Titarubi. Keranjang. Hmm, siapakah kini yang tak mengenal benda itu? Siapakah kini yang tak lepas dari benda itu? Siapakah pencipta benda itu. Aku menjadi teringat ketika mengambil mata kuliah kebudayaan kontemporer. Keranjang adalah simbol dari budaya belanja manusia metropolitan. Sedang belanja adalah simbol dari psikologis kekuatan materi. Ada engkau ingin mempersamakan kekuatan materi dengan tuhan? Aku lagi tak ingin bertaruh. Biarkan aku hanya mendekatkan siapa pada manusia. Aih Alia, semoga saja aku tak salah. Ada karpet merah yang mengalasi jalan kereta api. Adakah itu darahku, darahmu, atau malah darah semua manusia? Seperti fitrah kereta di atas rel: selalu berjalan. Sedang Kisah Tanpa Narasi mengingatkan: mungkin manusia tak butuh kereta, tak butuh keranjang; meski persimpangan tak bisa dipunahkan.

Titarubi, Titarubi, Titarubi, Titarubi. Aku duga, engkau tak bakal melupakan THE SILENT SOUND OF WAR, LINDUNGI AKU DARI KEINGINANMU, I WISH I HAD A RIVER, HERSTORY ABOUT FOOT: DI BAWAH KAKIMU BUNGA-BUNGA SUDAH MATI, SELAPUT, VAGINA BROCADE, HERSTORY ON WHITE: BAJU YANG KAU PINTAL TERLALU BERAT BAGIKU, BAYANG-BAYANG MAHA KECIL #2, HERSTORY ABOUT FINGER, BAYANG-BAYANG MAHA KECIL, yang sudah menyatu di dalam Kisah Tanpa Narasi.

Alia, inilah kiranya kekurangan dari ketimuranku. Mungkin ada baiknya—mudah-mudahan apa yang aku sebutkan bukanlah bualan terhebat yang pernah aku ucapkan—tajuk pameran tunggal Titarubi bertajuk HERSTORY digubah menjadi HERSTORY: Kisah Tanpa Narasi. Maafkan aku Alia. Maafkan aku Titarubi. Ini semua karena aku hanya ingin memaknai apa itu HERSTORY.

TIGA KISAH SATU CERITA, SUATU UPAYA MERINGKAS PIALA ASIA

(Nostalgia Nasionalisme, Cinta di Patah Hati dan Bayang-bayang Mahabarata)


“Masa sepakbola bawa-bawa nasionalisme,” kata seorang pemuda yang begitu membanggakan kedunguannya. Sepasang orang muda, yang satu berkaos merah satunya lagi berkaos putih, merengut mendengar. Aku merasa situasi berubah menjadi syair Bhagavad Gita dalam episode Kurusetra.


Nostalgia Nasionalisme
Nyaris enam puluh dua tahun umur Republik Indonesia. Sepanjang itulah Belanda resmi angkat kaki, meski mereka sempat berusaha mengagresi Indonesia dua kali dan berakhir gagal. Pekik ‘Merdeka atau Mati’ lagi memang lagi di masa-masa Proklamasi.

Jaman berputar serupa cakra yang menggelinding. Jerman dengan paham rasisnya runtuh sudah. Sovyet juga tenggelam bersama Marxisme-Leninisme tahun 1989 seiring dengan dirubuhkannya tembok Berlin, pembatas Jerman Barat dan Jerman Timur. Kini, di jaman post-modernisme, di jaman globalisasi, nasionalisme menjadi benda usang yang diperjual-belikan di toko loak. Meski begitu, sesekali nasionalisme tampil sebagai barang antik yang diburu kolektor dari seluruh penjuru mata angin. Tak kecuali di Indonesia.

Indonesia tersingkir dari ajang Asian Football Championship 2007. Indonesia, bukan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia alias PSSI. Lebih dari 50.000 penonton, termasuk di dalamnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono, di Stadion Gelora Bung Karno yakin akan hal tersebut setelah Republik Korea Selatan menjaringkan bola satu kali di gawang Marcus Horison. Melalui televisi, jumlah orang yang yakin Indonesia tersingkir bukan lagi 50.000 lebih, melainkan berlipat-ganda menjadi 200 juta-an jiwa.

Meski tidak begitu intens, saya tetap mengikuti setiap pertandingan tim Merah-Putih melalui layar televisi. Setiap pertandingan yang saya lihat memberikan suasana psikologis yang berbeda, yang asing daripada yang saya rasakan di dalam keseharian. Saya begitu meng-Indonesia. Saya bukan orang yang romantis juga nasionalis, tetapi saya heran entah mengapa setiap kali mendengar lagu kebangsaan dinyanyikan hati saya bergetar-getar. Situasi jiwa begitu mencekam serupa horor yang bersahabat. Dan imajinasi saya pun melangkah masuk ke masa-masa Indonesia berkeringat merebut kemerdekaan. Alam di mana darah tumpah begitu melimpah di lahan Nusantara. Alam yang begitu merindukan cita-cita tahun ’28.

Di tengah landaan perasaan sedemikian, saya sadar bahwa sesungguhnya nasionalisme bukanlah bahasa yang susah untuk dijelaskan. Nasionalisme pada dasarnya adalah pengalaman, situasi kejiwaan. Keinginan menjabarkan nasionalisme dalam seperangkat aturan berbusana, seperangkat kata-kata yang membentuk kalimat, seperangkat tata laku, menurut saya hanya berujung pada kesia-siaan belaka. Lewat cara demikian nasionalisme tidak menjadi terang dan jelas. Malahan sebaliknya yang terjadi. Nasionalisme hadir dalam bentuk abstrak, njilmet dan bisa memasung kebebasan. Dan karena itu pulalah, nasionalisme pun mudah untuk disangkal—seperti yang dilakukan seorang pemuda yang begitu membanggakan kedungguannya di hadapan aku dan sepasang orang muda. Sebagaimana seperangkat aturan berbusana, seperangkat kata-kata yang membentuk kalimat, seperangkat tata laku yang memuat penjabaran nasionalisme mudah dibangun, maka semudah itu pulalah nasionalisme diruntuhkan. Seenteng menyusun sendi argumentasi pendukung nasionalisme, maka kelompok penentangnya pun akan mudah pula menyusun sendi argumentasi penangkal nasionalisme. Apalagi setelah kredibilitas rasio semakin dipertanyakan di penghujung abad ke-20 oleh para filsuf-filsuf kenamaan dunia. Maka, pengalaman pun tampil ke permukaan menawarkan cara dan metode pengenalan dan pendekatan yang lebih ampuh untuk menjabarkan nasionalisme. Di era sekarang ini, masa-masa penjajahan sudah tidak ada lagi, kelihatannya olahraga merupakan media paling tepat bagi pengajaran nasionalisme, terutama sepakbola. Sebabnya, cabang olahraga ini memiliki daya lebur kelas sosial yang begitu mematikan. Melihat tiga pertandingan kesebelasan Merah-Putih di Gelora Bung Karno melalui televisi, saya tidak merasa ada perbedaaan kelas yang jelas di antara penonton hadir, sekalipun mereka duduk di barisan VIP atau sekadar tribun kelas dua dengan harga tiket Rp15.000. Dan, memang nasionalisme sesungguhnya bekerja atas dasar peleburan kelas menuju satu keinginan bersama, Indonesia berjaya di ajang sepakbola dunia, di ajang perekonomian dunia, di ajang budaya dunia, di ajang bahasa dunia, di ajang pendidikan dunia, di ajang teknologi dunia, di ajang diplomasi dunia.

Sayangnya, nasionalisme di Indonesia jatuh pada pengalaman temporer belaka. Nasionalisme bukanlah pengalaman keseharian yang kolektif di Indonesia. Nasionalisme hanya milik segelintir orang di negeri ini. Dan saya merasa tak layak untuk menjawab mengapa seperti itu keadaannya. Nasionalisme di Indonesia hadir serupa kaset yang dibeli hanya untuk didengar sesaat dan setelahnya dibuang atau dijual ke toko loak hingga tiba suatu masa para kolektor dadakan pun berjibun antri membelinya sekadar ingin bernostalgia belaka.


Cinta di Patah Hati
Sejak Piala Asia digelar, ratusan kostum Merah-Putih laris manis di pasaran. Ribuan pemain ke-dua belas ikhlas membeli kostum dan dengan bangga mengenakannya dalam perjalanan dari rumah menuju Stadion Gelora. Rasanya, seperti orang pacaran saja. Para penonton hadir sebelum janji pertandingan dimulai. Memang, di sana para pemain ke-dua belas dan kesebelasan Indonesia sedang dimabuk cinta pada kata ‘Menang.’ Apalagi, ‘Ini kandang kita!’

Namun, kini semuanya pupus sudah. Meski Indonesia tak perlu angkat koper, tapi hati tetaplah sedih. Asmara yang mereka harapkan punah ditelan Kerajaan Arab Saudi dan Republik Korea Selatan. Tapi, apa mau dikata. Segala upaya sudah tumpah, mulai dari keringat, tabuhan gendang hingga teriakan. Semuanya tak cukup untuk membuat Sang Kekasih bertekuk lutut. Ada ujar yang mengatakan, “Mungkin Dewi Fortuna masih di Italia atau Yunani atau Belanda atau Amerika malah. Dia tak sempat berjalan-jalan ke Asia, dan singgah di Indonesia.”

Sedikit berlagak bijak, saya merasa Indonesia belumlah menjadi Don Juan di lapangan sepakbola. Meski begitu, patutlah diingat pula bahwa Don Juan tidak lahir dari sukses belaka. Reputasi kisah cintanya yang melimpah ruah tentulah buah dari duri-duri kegagalan yang berhasil diaenyahkan. Demikianlah cinta adanya. Dibutuhkan kerja keras, ketulusan, keseriusan dan jam terbang yang lama. Pengalaman lagi-lagi menjadi yang utama; dan dalam hal ini patah hati Indonesia di lapangan bola masih terbilang terlampau sedikit. Itu tak cukup buat modal bersaing dengan Don Juan lapangan hijau lainnya, semisal saja Kerajaan Arab Saudi, Republik Korea Selatan atau Jepang. Apalagi Brasil, Argentina, Italia pun Belanda. Padahal, Sang Kekasih yang bernama Kemenangan alias Victory itu juga merupakan idaman hati dari ratusan tim yang ada di Bumi ini.

Kekalahan di ajang Piala Asia pasti membuat Indonesia bersedih. Tetapi, yang penting adalah bangkit dari kesedihan. Sebab harus diingat pula, Sang Kekasih di lapangan sepakbola yang bernama Kemenangan itu selalu setia menanti, meski senang berganti-ganti pasangan. Kerja keras dan ketulusan dan keseriusan adalah hal yang patut diprioritaskan setelah jam terbang masuk kategori tak terkalahkan. Setidaknya, itulah yang saya ketahui setelah melihat sepasang orang muda, yang satu berkaos merah satunya lagi berkaos putih, saling senyum. Saya sempat mengingat aura lesu dan layu yang terlukis di wajah keduanya ketika peluit panjang berbunyi dan babak kedua pun selesai dengan skor 1-0 untuk Republik Korea Selatan. Saya hanya bisa menyimpulkan, “Sepertinya mereka sudah kuat menahan patah hati,” sambil tertawa-tawa sendiri.


Bayang-bayang Mahabarata
Menjelang Piala Asia, di seputaran Stadion Gelora ramai terpasang poster raksasa potret pemain kesebelasan Indonesia beraksi dengan satu tag-line ‘INI KANDANG KITA’ di sudut kanan bawah. Di belakang potret ada gambar tokoh pewayangan dari kisah Mahabarata, serta sedikit Ramayana. Dan yang berada Bambang Pamungkas adalah sosok Arjuna, ahli memanah asal Hastinapura, sedang Ellie Aiboy kalau tak salah disandingkan dengan Anoman, kera putih yang membantu Rama menaklukkan Alengka.

Ide menyamakan para pemain kesebelasan Merah Putih dengan tokoh pewayangan menurut saya menarik. Tapi, yang saya sayangkan mengapa pengurus PSSI jatuh pada pilihan yang didominasi kisah Mahabarata. Maaf, bila saya dirasa terlampau berlebihan. Saya tidak bermaksud menyatakan Mahabarata sebagai kisah yang jelek; pun menyamakan Ponaryo dan rekan dengan para tokoh Mahabarata adalah ketololan. Saya pun tidak ingin mengkritik, tindakan itu sangat berkesan Jawasentrisme. Sama sekali tidak ada niatan demikian.

Penilaian yang saya tuliskan pada bagian ini terinspirasikan perkataan Ki Mantheb S. Suatu ketika ia pernah berkata, “Wayang adalah bayang. Ketika dalang memainkan tokoh wayang di sebelah kanan, penonton penikmat malah menyaksikan tokoh tersebut berada di sebelah kiri. Begitulah, kanan pun menjadi kiri, sedang kiri menjadi kanan. Antara Kurawa dan Pandawa, siapakah yang lebih baik? Tokoh-tokoh Kurawa yang dimainkan di sisi kiri, bagi penonton malah berada di sisi kanan. Tokoh-tokoh Pandawa yang dimainkan di sisi kanan, bagi penonton malah berada di sisi kiri. Apakah Pandawa memang berada di posisi seratus persen benar? Bagaimana dengan peristiwa perjudian Pandawa dengan Kurawa, ketika Yudhistira menjadikan istrinya sebagai taruhan? Apakah ada moralitas Pandawa dalam situasi demikian?” Kira-kira demikianlah Ki Mantheb berkata.

Sedikit lancang, saya menyimpulkan pengisahan Mahabarata tidak ditujukan pada pemilahan baik versus jahat yang kaku, melainkan samar dan penuh jebakan. Pengisahan itu, menurut saya tidak seperti kisah Ramayana. Di kisah Ramayana, baik versus jahat memang benar terpisah. Baik ada di kubu Rama, Laksmana dan Sinta. Sedang jahat, adanya di Alengka, tepatnya Rahwana. Memang ada latar yang perlu diperhitungkan, semisal Rahwana menjadi jahat disebabkan sebab tertentu dan Rama harus menjadi pembuangan dari Ayodya pun dikarenakan suatu ihwal yang bila dikisahkan disini menjadi terlampau meluas. Namun, sebab dan ihwal mengapa Rahwana haus darah dan Rama terbuang tidak menjadi alasan pemaklum. Sepanjang pengisahan, tetap saja Rahwana ditempatkan sebagai orang yang jahat dan harus dibasmi. Karena itu, menurut saya, alangkah tepatnya bila para pemain tim nasional digambarkan dengan tokoh-tokoh yang berasal dari kisah Ramayana. Bisa Sugriwa, Subali, Anoman, Rama, Laksmana, Batara Indra, Hyang Baruna dan semacamnya. Bila sudah demikian, tentulah lawan kesebelasan PSSI pastilah duta Alengka. Karena itu, seturut takdir dan kehendak dewata yang berlaku dalam kisah Ramayana: Alengka kalah, pun (saya berharap) berlaku juga di lapangan sepakbola.

Meski begitu, pada dasarnya saya tak hendak mencari-cari kambing hitam penyebab tak lolosnya tim nasional Indonesia dari babak penyisihan. Hal yang tersebut di atas adalah kenyelenehan yang saya sadari sendiri dan belumlah tentu benar penafsiran demikian. Dan karena kisah Mahabarata itulah saya suka membayangkan lapangan sepakbola di Stadion Gelora seperti medan pertempuan Kurusetra, lokasi Pandawa dan Kurawa beradu digdaya. Dan di setiap pertandingan tim nasional Indonesia, pertanyaan siapakah Pandawa dan Kurawa selalu sulit untuk dijawab sebelum peluit panjang berbunyi untuk terakhir kali dan memang saya menetapkan pilihan untuk tak menjawabnya. Kesebelasan mana saja bisa menjadi Pandawa atau Kurawa. Yang jelas, Ivan Kolev sungguh berhasil menghadirkan Kurusetra di Stadion Gelora. Indonesia tampil dengan kolektifitas yang tinggi, daya juang yang menggunung, meski terpaksa takluk pada kebugaran fisik yang cepat padam, terutama pada pemain yang berada di medan gelandang. Tetapi, keletihan fisik itu tidak menghapus pukauan strategi dan nyali yang luar biasa yang ditunjukkan pemain tim nasional yang berlaga di lapangan: Yendri Pitoy, Marcus Horison, Maman Abdurrahman, Yulianto, Ricardo Salampessy, Muhammad Ridwan, Ellie Aiboy, Budi Sudarsono, Syamsul Chairul Bahri, Ponaryo Astaman, Eka Ramadani, Firman Utina, Bambang Pamungkas, Mahyadi Panggabean, Supardi, Atep, Ismed Sofyan dan juga Erol Aiboy.

DEDY MIZWAR, NAGABONAR, MELONCAT DARI LAYAR LALU MASUK KE DALAM NALAR, BERDIAM SEJENAK SAMBIL MENGINGAT SUDAH BERAPA LAMA PENJAJAHAN BERKELANA DI DUA

DEDY MIZWAR, NAGABONAR, MELONCAT DARI LAYAR LALU MASUK KE DALAM NALAR, BERDIAM SEJENAK SAMBIL MENGINGAT SUDAH BERAPA LAMA PENJAJAHAN BERKELANA DI DUA WARNA dalam darah yang tak lagi MERAH


Siapakah Nagabonar? Dialah tokoh rekaan almarhum Asrul Sani, pencopet yang dikarenakan sejarah terpaksa menjadi Jenderal Medan-Lubuk Pakam! Sedang Deddy Mizwar, manusia utuh yang bekerja sebagai aktor, dan kini menjadi sutradara film Nagabonar (Jadi) 2! Dulu, bersama Nurul Arifin yang berperan sebagai Kirana, dia tampil dalam film Nagabonar garapan almarhum Asrul Sani, memerankan tokoh Nagabonar. Sekarang, cerita baru bermulai ditandai dengan kepulangan Bonaga ke kampung halaman untuk membawa ayahnya, Nagabonar, ke kota Jakarta!

Film yang baik, menurut saya, adalah film yang tak hanya berdiam dalam layar melainkan mampu meloncat ke luar lalu menari-nari di alam nyata, alam keseharian, alam para manusia yang hadir di Bumi dengan suratan tangan yang sudah ditetapkan pula oleh Yang Maha Kuasa. Nagabonar (Jadi) 2 pun demikian. Ia lahir dan sekarang menari-nari di alam nyata bersama jaringan bioskop 21, membawa ketetapan takdir dari penciptanya, almarhum Asrul Sani! Lalu, dimanakah Deddy? Dia ada di depan saya ketika Rendra menerima anugerah Federasi Teater Indonesia pada Januari lalu di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan.

Di Indonesia, rasanya tiada seorang pun yang tak pernah kupingnya mendengar kata ‘Nagabonar.’ Mulai dari Susilo hingga Bambang yang menarik becak di pinggiran Jakarta, juga Rara, jablay yang sering mangkal di dekat pusat belanja metropolitan. Apalagi Dennis, yang kini berhenti sekolah karena kekerasan yang kerap dia terima dari para jawara di kampusnya yang panas tiada terkira. Tohar, lelaki yang pernah berprofesi menjadi supir perusahaan kelontong berkaliber internasional, dapat dipastikan pernah mendengar kata itu, bahkan bukan tak mungkin pula dia pun pernah berjabat tangan dengan Asrul Sani, dengan cara yang sungguh luar biasa: disengaja!

Kini, Nagabonar sudah tua. Deddy Mizwar, apalagi. Beruntung masih ada Tora Sudiro yang sedia menjadi Bonaga, satu-satunya anak Nagabonar yang hidup (empat kakak Bonaga mati setelah lahir!); meski itu harus dibayar dengan kenangan pada Nurul Arifin disebabkan Kirana meninggal dunia usai melahirkan Bonaga. Sedang Belanda, sejak era 40-an sudah sayonara dari khatulistiwa. Selain pangkat Jenderal yang tidak penting, Nagabonar masih punya kebanggaan yang lain, yakni anaknya: Bonaga! Sesungguhnya pula harus diketahui, Bonaga adalah hasil evolusi diftong au. Sebagaimana harimau bisa dibaca jadi harimo, atau pantai dapat dibaca jadi pante, maka Bonaga pun berawal dari Baunaga, lalu lewat teori evolusi ‘yang kuat yang hidup,’ Baunaga pun jadi Bonaga.

Dalam kultur Tapanuli, Bonaga adalah Bo-naga, adalah Bau-naga. Bau-Naga adalah satu-satunya bau yang mampu memualkan lambung hanya dalam hitungan sekedipan mata, dan memiliki radius yang sangat sangat sangat jauh melebihi kemampuan alat pendeteksi reaktor nuklir milik Pentagon yang berada di atas langit kebiruan menemani satelit Bumi yang cuma satu-satunya itu: Bulan, yang bagi Nagabonar adalah Karina, istrinya yang punya cinta melimpah sampai-sampai dia tak sanggup menampungnya. Dan pasti tak ada seorang pun di Bumi ini yang tak tahu dimana bulan berada. Demikianlah Nagabonar dan Bonaga pun semakin mudah berbicara: “Apa kata dunia,” dengan logat khas Deli Serdang; meski Nagabonar hingga tahun 2007 tetap saja buta aksara dan masih tak bisa membaca peta (apalagi peta dunia), sama dengan kemampuan mencopetnya yang tak pernah tumpul dimakan zaman.

Kepada Wulan Guritno, terima kasih karena sudah memerankan Monita. Sama dengan Bonaga, Monita juga hasil evolusi, globalisasinya Thomas L. Friedman. Mau-Nita! Metropolis(!), yang tak lagi membuat para pria susah-susah belajar memainkan gitar dan menantikan malam, lalu duduk sambil bernyanyi di bawah pohon tak jauh dari jendela kamar sang pujaan hati tanda proposal rayuan sudah diajukan tinggal menanti jawaban. Memang, cara itu sudah tak laku lagi disebabkan jendela kamar Bonita saja sudah semakin dekat dengan bulan. Tentu diperlukan JAVA PRODUCTION pimpinan Adri Subono untuk meminjamkan seluruh perangkat konser Madonna yang rencananya, kalau tak ada halangan, bakal digelar tahun ini. Bagi Bonaga sesungguhnya itu tak masalah, apalagi Tora yang sudah pernah meraih Piala Citra lewat Arisan! Tapi, bagi Nagabonar itu tak perlu. Sebagai turunan raja, ia teguh berpegang pada petuah lama: Perempuan adalah Perempuan, ingin sebenang lebih dari lelaki! Monita dan Bonaga dengan benang diantaranya. Demikianlah percintaan di era globalisasi yang biasa berakhir di atas keranjang tidur tidak berlaku bagi duet Bo-Mo, yang sudah serupa dengan duet Romario-Bebeto pada Piala Dunia 1994 di negerinya George Washington. Kisah romantis Monita dan Bonaga hanya berhenti pada shiuman di pipi, kanan dan kiri, bersamaan dengan ditemukannya ketiak ular, suatu hal yang bisa memusingkan Nagabonar. Kitik nipe, demikianlah bahasa Batak Karo menyebut ketiak ular. Tak seorang pun mengetahui dimana ketiak ular berada. Namun apabila ketiak itu ditemukan, maka hewan reptil yang semematikan apa pun pasti takluk di tangan seorang awam. Karena itu, perempuan adalah ular dan lelaki adalah pawang. Bila tak berhati-hati, bisa di ludah dapat berpindah ke dalam darah. Dan darah siapapun juga, entah yang hidup dan yang mati, pasti berwarna merah! Apakah ini yang membuat Nagabonar mencari makam Jenderal Soedirman? Sepertinya: Tolol! Tapi,

apa boleh buat tai kambing bulat-bulat: anak Siti Maemunah dengan begitu bodohnya berteriak agar patung Jenderal Sudirman berhenti menghormat (ke utara), sampai-sampai Nagabonar rela memanjat patung tersebut sambil berharap Sang Jenderal menuruti keinginannya. Sebagaimana patung di mana pun di kolong jagat, Jenderal Soedirman pun takluk pada takdirnya yang ditetapkan hanya untuk menuruti rencana penciptanya. Dan Nagabonar yang tampak tolol tapi bukan bodoh yakin bahwasanya Jenderal Soedirman tidak akan sembarang menghormat! Apalagi bila diingat bahwa Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata adanya di selatan Jakarta! Sedang patung dua Proklamator tak jelas menghadap kemana. Padahal, seturut kesaksian Nagabonar, setiap hati (entah pembunuh, pencuri, pencopet, petani, pedagang, menteri, tukang becak, penipu, pegawai negeri, hakim, mulai dari yang paling sajadah hingga yang paling haram jadah) yang mendengar suara Bung Karno ketika bepidato pasti bergetar! Siang itu, di Tugu Proklamasi, ada empat anak lusuh; seorang diantaranya memandang Nagabonar yang menghormat ditemani Umar dengan tatapan yang penuh keheranan. Begitu juga Umar, supir bajaj yang santun dan selalu memakai handuk biru yang disampirkan di tengkuk, keheranan melihat tingkah Nagabonar. Adakah biru muda mengingatkanmu pada sesuatu atau malah kesantunan yang mengingatkanmu pada sesuatu? Berkendara bajaj Umar yang dilengkapi miniatur bendera Merah-Putih di sisi kanan dan kiri, Nagabonar menjelajah Jakarta dan bertemu seorang polisi berpangkat Bripda, polisi yang tak bisa menjelaskan mengapa bajaj dilarang melintasi Jalan Jenderal Soedirman. Yang jelas, Jenderal Medan-Lubuk Pakam Nagabonar harus rela berjalan kaki menuju patung Jenderal Soedirman bersama Umar di Indonesia yang sudah merdeka, jauh sebelum kelahiran teman-teman ciliknya yang menemani dia bermain bola di lapangan apa-adanya yang berada tak jauh dari rumah anaknya, si Bonaga. Nagabonar hanya paham bahwasanya Ibu, Istri, dan si Bujang selalu hidup dalam hatinya; sedang zamannya Bonaga masih dan masih coba dia pahami hingga Nagabonar ingat rencananya membeli karpet sebagai alas lantai Mushola Nurul Fikri yang pernah ditawarkan Indra Birowo ketika dia sedang berguru mengaji ke Umar, supir bajaj yang selalu menyampirkan handuk biru muda di tengkuknya. Dimanakah cerita ini usai? Yang jelas bukan di kuburan, sebab Nagabonar sudah bertahan untuk tetap berdiri menghormat sampai bendera Merah-Putih yang dikerek dua pelajar Sekolah Dasar berkibar di pucuk tiang. Saat itu, Nagabonar sempat tumbang, namun serempak puluhan anak sekolah dasar segera menopang tubuhnya hingga tak menyentuh tanah, dan bendera yang semula tersendat naik itu pun akhirnya berhasil digiring sepasang pelajar sekolah dasar menuju pucuk tiang. Nagabonar berhenti menghormat! dan dia kembali berdiri tegak! Dan sepertinya, Piala Citra 2007 sudah menentukan pilihan. Tapi, sepertinya pula Deddy Mizwar berharap pada sesuatu yang lebih dari sekadar piala, yakni buah cintanya dengan Karina, Bonaga. Bukan ‘Jenderal’! Dan Asrul Sani, memang belum pergi. Sedang feminisme tampaknya harus kerja lebih keras gara-gara segaris benang saja. Atau,

masih ada satu lagi. Ini hanya sebuah film belaka dengan peran yang tak terlalu memukau. Apalagi Wulan Guritno, Darius Sinathraya, juga Jaja Miharja pun Uli Herdiansyah! Seturut Nagabonar, umurlah yang mendekatkan kita dengan Tuhan. Maka Nagabonar pun belajar mengaji pada Umar, agar tak dimarahi Mamaknya nanti di alam baka.

Musfar Yasin: Amin!!!


Catatan: Tulisan ini masih banyak salah ketik. Karena itu, saya membebaskan sidang pembaca merangkai cetakan yang benar yang sesuai dengan Anda sendiri di dalam benak Anda. Demikian harap maklum sebab ‘Tulisan ini adalah rekayasa belaka. Bila ada kesamaan nama dan cerita dan ketololan, itu hanya soal kebetulan saja alias tak usahlah dilebih-lebihkan.’