CERITA SEBELUM KOPI

Sekarang, mari kita ngobrol sedikit lebih politis.
Begitu kata kau kepadaku, sambil melempar sebuah harian nasional, tertanggal Jumat, 30 Desember 2005.

Cobalah kau baca koran ini.
Sambung kau pula saat aku masih memperhatikan hempasan koran yang belum melepas dari awang-awang.

Lihat! Kau lihat! Harga Pertamax mau diturunkan! Lima ribu empat ratus jadi lima ribu. Ah, taik-lah! Dia mengumpat, bukan kepada aku tapi halaman koran. Tepatnya, berita di harian nasional.

Tapi, masih sih dia mengumpat berita di koran? Pasti ada yang salah. Kalau dia mengumpat, harusnya kepada seseorang. Bukan kepada sesuatu. Berarti itu berita telah menjadi seseorang. Atau itu berita menyimpan seseorang.

Tau ga' lu, alasannya apa? Persaingan usaha. November lalu, perusahaan pertambangan minyak entah dari mana, masuk ke pasar tradisional di negeri kita. Terus, masih bakalan ditambah masuknya perusahaan entah dari mana lagi di bulan ini. Babi ga'!
Begitulah dia mengumpat.

Ya, tampaknya semakin jelas. Dia mengumpat bukan kepada berita yang telah mewujud menjadi seseorang. Tapi, berita yang menyimpan sesuatu. Persaingan usaha.

Kemarin, sebelum menaikkan harga, kita dikasih alasan. Aku bilang dikasih alasan. Itu artinya, terserah kita mau terima atau tidak alasan yang dia kasih. Alasannya, harga di dunia sudah meningkat. Kita harus memindahkan pengelolaan anggaran. Sektor pendidikan dan kesehatan harus diberdayakan. Segala macam taik kucing dilempar. Harga naiklah. Eh, nyatanya..., sebulan berselang stasiun-stasiun baru berdiri. Kuda laut tak lagi sendiri. Anjing ga'!
Begitulah dia mengumpat, menjelaskan persoalan.

Memangnya,ada apa dibalik itu semua. Sepertinya, dia memang mengumpat sesuatu. Bukan seseorang. Aih, mengumpat sesuatu yang tersembunyi dalam berita. Pastilah ada orang-orang yang bersembunyi dalam berita itu. Sebab, mana mungkin manusia mengumpat sesuatu. Pastilah seseorang. Atau, aku yang salah.

Kau harus lebih jeli melihat kawan. Ini jaman sudah politis. Tak ada orang baik di dunia. Artinya, tak ada orang baik di Jakarta. Pasti ada maksud terselubung dibaliknya. Aku bilang terselubung. Kalau sudah terselubung, pasti itu berkaitan dengan 'buruk', 'mencelakakan'. Kau ingat itu.
Begitulah, kali ini tidak begitu jelas bahasanya. Apakah mengumpat atau mengingatkan, atau mengajarkan atau...

Ada apa sih lu? Berita gitu doang dimasalahin. Pake maki-maki lagi. Emang yang lu maki itu ngedengerin. Kalo ngedengerin untung. Kalo ga'. Sama aja bo'ong. Trus, kalo lu ga' setuju, merasa kejanggalan, ngapain ngomong ke gua. Kalo lu mo curhat baru ngomong ke gua.

Ah, kau memang tak mengerti. Bayangkan. Kalau dulu dikasih alasan untuk menyejahterakan, bagaimana hasilnya. Berapa orang kakek-kakek pun nenek-nenek mengantri sampai pingsan! Berapa banyak dana sekolah yang tersalur dengan lancar. Memang aku tak punya data jelas. Tapi, aku merasa dengan masuknya perusahaan pertambangan asing, itu menandakan sesuatu motif yang sangatlah jelas. Kenapa tidak dibilang saja begini misalnya. Kenaikan itu karena beberapa perusahaan asing mau berinvestasi di Indonesia. Nah, masalahnya mereka tidak mau bila harga masih berada dibawah. Haruslah kita naikkan, setara dengan harga dunia. Sebab dengan begitu, saya juga mendapatkan keuntungan. Modal saya kan ada juga di perusahaan itu. Saya bisa bisnis lagi.
Atau alasann lain, kenaikan ini karena tekanan dunia. You, tahulah yang saya maksud. Kalau kita tidak memberikan fasilitas itu, beragam embargo bakalan kita terima. Produk pertanian kita tidak diterima. Tentara kita tidak bisa beli senjata. Pelajar kita tak bisa bersekolah ke sana. Pinjaman uang tidak bisa kita dapatkan. Nah, untuk mencegah dampak seperti itulah maka kita harus mengikuti keinginan mereka. Tentunya, agar keinginan kita pun tercapai pula. Produk pertanian kita diterima. Tentara kita maki kokoh. Ekonomi kita bisa segera pulih. Aku rasa begitu lebih baik. Tak ada yang terselubung.
Begitulah dia berkata-kata.

Begitu saja jadi masalah? Benarkah sebegitu besar? Pfuh, rasanya tak mungkin. Kau terlalu melebih-lebihkan. Masa sih?


Oh..., gua ngerti. Mereka itu bukan curhat lagi. Buat gua, mereka mau naikin apa pun terserah. Yang penting curhat dulu. Curhat harus kita jadikan azas dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara. Ya kaya' kita ini lah....

Kami tertawa, lalu menyeruput kopi hitam, manis dan tentu saja: pahit!
CERITA FIKSI TENTANG HARI DA VINCI


15.03. Aku lupa tepat waktunya. Entah siang, malam, petang; bahkan mungkin saja di kala hari dini. Itulah peluang saat aku menuntaskan lukisan seorang perempuan berlatar pemandangan. Perempuan. Berlatar pemandangan. Perempuan yang, mungkin, tersenyum. Perempuan yang, mungkin, seakan tersenyum. Berambut panjang, tak terlalu panjang. Lukisan perempuan.

Kini--yang entah sejak kapan--aku mendengar kabar. Lukisan perempuan berlatar pemandangan alam itu tenar berjudul Mona Lisa. Memang, beberapa judul lain pun sempat kudengar. Misal, dalam bahasa Spanyol, La Gioconda; dalam bahasa Perancis, La Joconde; dalam bahasa Inggris, A Certain Florentine Lady dan A Courtesan in a Gauze Veil. Sebenarnya, itu tidaklah terlalu bermasalah besar bagi aku. Sebab, itu hanyalah lukisan seorang perempuan berlatar pemadangan. biar kuulangi: Lukisan seorang perempuan berlatar pemandangan. Perempuan. Berlatar pemandangan. Perempuan yang, mungkin, tersenyum. Perempuan yang, mungkin, seakan tersenyum. Berambut panjang, tak terlalu panjang.

Kemarin--yang aku maksud, suatu waktu yang telah lalu--aku sempat berpikir apa artinya senyum. Pertanyaan atas makna kata itu selalu mengiang di telinga aku. Senyum. Namun, sebelum aku sempat menjawab--entah mengapa, aku tak tahu jelas--pertanyaan baru muncul. Apa pula artinya seakan senyum. Pertanyaan itu terus mengiang. Terus mengiang di telinga aku. Pertanyaan apa itu senyum. Pertanyaan apa itu akan senyum. Hmm, mungkin tepatnya aku menyebut: Tersenyum. Ya. Tersenyum dan Seakan Tersenyum. Tampaknya, itulah sebenarnya pertanyaan aku. Apa itu tersenyum. Apa itu seakan tersenyum.

Selang beberapa waktu--entah kapan, aku tak ingat--aku kembali bertanya. Mengapa. Mengapa tersenyum. Mengapa seakan tersenyum. Pertanyaan itu muncul mendadak, saat aku hendak mencari arti apa itu tersenyum; dan, apa itu seakan tersenyum. Pertanyaan itu, semua pertanyaan itu, membuat aku merenung. Aku merenung.
Hingga, di suatu malam--malam yang entah kapan, aku tak jelas merekam--meloncat pertanyaan baru. Pertanyaan yang muncul sebelum aku sempat menemukan jawab atas pertanyaan yang telah hadir sebelumnya. Pertanyaan tentang senyum. Pertanyaan tentang apa itu tersenyum. Pertanyaan tentang seakan senyum. Pertanyaan tentang apa itu seakan tersenyum. Pertanyaan tentang mengapa tersenyum. Pertanyaan tentang mengapa seakan tersenyum. Muncul pertanyaan baru, siapa tersenyum; siapa seakan tersenyum; mengapa siapa tersenyum; mengapa siapa seakan tersenyum. Ya, pertanyaan yang merujuk siapa. Merujuk pelaku senyum. Adakah ia seorang perempuan? Adakah? Aku pun termenung.

Musim dingin, entah bulan apa, aku lupa. Aku tersenyum. Aku lupa, benarkah aku tersenyum; atau seakan tersenyum? Aku hanya mengingat jelas, saat itu musim dingin. Saat itu aku bercermin. Sendiri aku bercermin. Ya, aku sendiri bercermin! Aku tak lupa. Saat itu aku sendiri bercermin, dan melihat diri aku dalam cermin. Aku melihat diri aku dalam cermin. Aku melihat diri aku yang sedang melihat aku dalam cermin. Aku yang sedang bercermin melihat diri aku yang sedang bercermin. Aku yang sedang bercermin melihat diri aku yang sedang melihat aku yang sedang melihat aku bercermin. Aku yang sedang bercermin melihat diri aku yang sedang bercermin melihat aku yang sedang bercermin. Tapi, aku lupa. Apakah saat itu aku tersenyum atau seakan tersenyum. Aku lupa.

Musim semi--yang aku tak ingat, kapan--aku mengingat kelupaan aku. Kelupaan aku di musim dingin yang telah lalu. Kelupaan tentang aku yang sedang bercermin. Kelupaan tentang aku yang sedang bercermin dengan, tersenyum atau seakan tersenyum. Kelupaan yang membawa aku ke pertanyaan baru. Mengapa aku bercermin. Mengapa saat itu aku bercermin. Dan,

15.03. Aku lupa tepat waktunya. Entah siang, malam, petang; bahkan mungkin saja di kala hari dini. Itulah peluang saat aku menuntaskan lukisan seorang perempuan berlatar pemandangan. Perempuan. Berlatar pemandangan. Perempuan yang, mungkin, tersenyum. Perempuan yang, mungkin, seakan tersenyum. Berambut panjang, tak terlalu panjang. Lukisan perempuan. Lukisan tentang senyum perempuan...
CATATAN HARIAN CLARK KENT
--diterjemahkan oleh David Tobing--

Hari ini, Minggu, pukul sepuluh malam. Seharian sudah aku berkelana, memburu penjahat di kota Metropolis. Sesungguhnya, tidak banyak yang aku lakukan. Cuma menangkap penjahat! Bayangkan! Padahal kerja begitu sebenarnya pun bisa dilakukan Parman, Parmin atau Pirman. Tak perlulah Superman.
Tapi, karena aku sering menangkap penjahat, orang sekota pun menganggap aku pahlawan. Menganggap aku burung, pesawat hingga akhirnya Superman, aku yang terbang. Hasilnya, banyak orang mengenalku. Singkatnya, aku jadi orang terkenal. (Aku pikir, mereka tidak tahu siapa aku sebenarnya. Dan, aku pun belum tentu mengenal mereka juga 'kan.)
Padahal, aku melakukan semua itu karena hobi. Itu saja. Tidak lebih, bahkan tidak berlebihan aku rasa. Soalnya, aku punya kekuatan. Bisa terbang; bisa bergerak cepat hingga tak terekam kamera; bisa melihat tembus penghalang pandang, juga mengeluarkan sinar laser; bisa membekukan danau cuma dengan menghembuskan udara melalui mulut; bisa mendengar dari kejauhan; bisa mengangkat mobil sampai pesawat; bisa merontokkan tiang baja; bisa menghentikan laju kereta; pokoknya biasa melakukan yang tidak biasa. Padahal, sekali lagi, itu cuma hobi; karena aku tidak tahu kemana hendak kusalurkan kesenanganku itu.

Pertama aku tahu punya kekuatan berlebih, sewaktu umur lima tahun. Saat itu, aku membantu ibu di dapur. Mencuci piring. Biasanya, ibu membutuhkan waktu lima belas menit mencuci piring. Nah, aku cuma butuh dua menit lebih sedikit. Dan, ibuku tercengang. Padahal, menurutku itu biasa; dan ada alasannya. Kalau ibu mencuci piring hingga lima belas menit, itu karena umurnya sudah terbilang tua. Beda dengan aku. Aku masih muda, bahkan bocah. Masih lima tahun. Masih bertenaga. Jadi wajar saja waktu yang kuperlukan pun tak lama. Dua menit lebih sedikit.
Yang kedua, saat aku membantu ayah kerja di ladang. Memagari kandang ayam. (Seingatku, waktu itu aku berusia delapan tahun-an.) Bila ayah membutuhkasn waktu tiga hari untuk memagari kandang ayam, aku cuma butuh sehari. Setelah selesai, ayahku pun terkaget-kaget. Luar biasa, katanya. Padahal, bagiku itu biasa saja. Wajar dong aku bisa menyelesaikannya dalam tempo sehari. Sebab, saat itu masa liburan sekolah. Aku kerja dari pagi hingga senja. Lagian, seluruh bahan sudah tersedia. Terus, aku juga pernah melihat ayah melakukan hal serupa. Jadi, aku tahu harus mulai dari mana, hingga bagaiman. Entah itu memotong bambu atau memaku.
Sejak dua peristiwa itu, aku pun menyadari kelebihan dalam diriku. Ada sesuatu yang luar biasa dalam diriku. Dan, aku pun menjadikannya hobi yang tentunya harus kusalurkan. Hingga, aku menanjak remaja, lalu dewasa.
Bila dulu aku cuma membantu ayah dan ibu, sekarang sudah berbeda cara. Aku tidak mungkin lagi membantu ibu cuci piring di dapur; atau membantu ayah memagari kandang ayam di ladang. Kekuatan luar biasaku pun kupergunakan untuk membantu masyarakat sekitar. Mulai dari teman sekelas sewaktu sekolah, hingga sekarang, rekan sekerja di media. Eh, tak tahunya malah menjadi besar, membantu masyarakat sekota. Malah, bisa jadi membantu negara.
Itulah cikal bakal mengapa aku dijahitkan ibu baju ketat ngepas di badan, warnanya biru bergambar segi lima di bagian dada yang berisi huruf 'S' didalamnya (Huruf yang merujuk pada nama aliasku, bukan ukuran baju.) plus jubah (Aku pikir jubah bukan kata yang tepat untuk menyatakan kain panjang yang menjutai adri pundak hingga betis kakiku; yang entah mengapa orang lalu menyebutnya sayap hingga berakhir dengan kesimpulan yang menyamakan aku dengan burung atau pesawat.) merah. Itu masih ditambah dengan sepatu bot panjang warna merah, juga celana dalam yang kukenakan di luar, pun warna merah. Ibu bilang, dengan mengenakan seperangkat ..., aku menyebutnya 'seragam dinas', aku terlihat gagah. Ya, tak apalah. Lagian, aku suka warna biru, merah dan kuning. Biru mengingatkan aku pada langit, sedang yang merah dan kuning serupa nyala api itu mengingatkan aku pada ayam jago. Dan, setelah bertanya pada ayah, aku akhirnya mengerti mengapa aku menyukai ketiga warna itu.

Kata ayah, aku ditemukan dalam pesawat luar angkasa yang terdampar di ladang dekat kandang ayam. Lalu, pagi hari, aku ditemukan ayah karena aku menangis. Karena tahu tangisan itu berasal dari dalam pesawat luar angkasa yang terdampar, maka dengan segala cara ayah membukanya. Akhirnya, aku pun dikeluarkan, lalu digendongnya. Saat itu, tangisku berhenti. Kata ayah, tangisku berhenti karena melihat langit dan seekor ayam jago. Itulah, karena langit aku suka biru; karena ayam jago aku suka merah dan kuning. Begitulah cerita ayah. (Tapi, kupikir cerita ayah itu berbau fiksi. Aku sebenarnya tak yakin, tapi apa boleh buat. Lagian, aku tak punya rekaman memori akan hal itu.
Coba kau pikir; bisakah kau mempercayai cerita ayahku tentang pesawat luar angkasa yang terdampar di ladang dekat kandang ayam? lalu soal tangisanku yang berhenti karena melihat langit dan ayam jago? Ah, tak masuk akal. Sulit. Meski begitu, aku pasrah menerima. Lagian, aku memang suka warna biru, merah dan kuning. Dan, sebenarnya tak perlu penjelasan mengapa aku suka warna tersebut.)

Jadi, 'seragam dinas' selalu kukenakan saat aku bertugas, tepatnya, saat aku melakukan kesenanganku: Membantu orang lain. Dan, dengan ber-'seragam dinas', aku bisa lebih bebas tanpa ketahuan identitas. Itulah sebabnya mengapa aku tidak mau terkenal. Mengapa? Sebab dengan terkenal, kebebasanku hilang. Aku tidak bisa lagi menyalurkan hobi sesukanya. Aku terikat. Lalu, kalau kupikir lebih lanjut, keterkenalan itu menyebabkan aku selalu merasa dibuntuti. Diikuti. Rumahku pasti diintai. Lalu, wartawan-wartawan pasti datang ke rumahku untuk mewawancarai ayah atau ibuku; bila tidak bisa, mereka bakal mendatangi tetanggaku untuk melakukan hal serupa bahkan lebih luas, mewawancarai para tetanggaku untuk menggali informasi tentang kehidupanku atau keluargaku. (Ini kuketahui karena aku pun seorang reporter media cetak Daily Planet.) Lebih parahnya lagi, bakalan ada orang-orang yang mengantri di depan rumahku, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua, untuk meminta tanda tanganku. Ala.mak..k.k! mengerikan. Kalau seudah begitu, identitasku pasti telanjang; hasilnya, tentu saja kemaluan. Jadi, intinya, sebab aku tidak ingin terkenal adalah soal psikologis saja. Aku malu. Tegasnya, keterkenalan itu pastilah membuatku malu. Ibarat judul plesetan sebuah buku Malu (Aku) Jadi Orang Terkenal*.
Lagian, yang aku kerjakan itu cuma hobi. Dan, karena itu pulalah aku pengen-nya biasa-biasa saja. Tidak terkenal. Cukuplah keterkenalanku itu diketahui sama ayah dan ibuku saja. Tidak usah menenangga, menyekolah, mengota, hingga mendunia. Dan dengan demikian, aku hanya bisa berlaku malu di depan kedua orangtuaku. (Satu lagi, hampir tertinggal, aku masih bisa bermalu-maluan di buku catatan harian ini pula.)


* sebuah plesetan judul buku puisi yang beredar di kota Metropolis, dan penerjemah menemukan kesulitan untuk mengalih-bahasakan judul plesetan tersebut. Sebagai solusi, penerjemah mengalih-bahasakan plesetan judul buku puisi itu--tentu dengan memikirkan persesuaian makna antar kalimat dalam paragraph, antar paragraph dengan paragraph, serta paragraph keseluruhan--dengan memlesetakan judul buku puisi Taufiq Ismail, Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.
IBU, IDOLAKU
........................buat: ibu

aku ingin punya tahi lalat seperti ibu
di tempat yang tersembunyi
munculnya tiap hari.

dengan tahi lalat yang tersembunyi itu
ibu pergi
........... ke pasar, ke sekolah, ke rumah ibadah, ke arisan teman, ke pertemuan keluarga,
kemana saja.

seingatku,
di malam hari sebelum tidur ibu biasa diri di depan cermin.
mungkin, untuk melihat tahi lalat, aku pikir.
pernah suatu saat kutanya, "Ngapain Bu?"
dia jawab, "Ngaca. Emang kenapa? Ga' boleh?"
aku pun langsung pergi. tersinggung.
(aku nanya serius dijawab ngaca doang.)

diam-diam,
dalam kamar aku tulis surat kepada bapak,
isinya:
pak, ibu bo'ong! aku nanya lagi ngapain, eh malah dijawab ngaca.
(besok aku kasih surat ini ke bapak, pulang sekolah. sekarang aku tidur dulu.)

pagi hari, aku bangun
kulihat ibu di dapur. dia melihatku, lalu ngomong, "Eh..., kemaren marah ya?"
aku jawab, "Engga..." (padahal sebenarnya marah sih.)

sehabis makan, aku pun diantar ke sekolah, naik mobil merah, sama ibu jadi supirnya. aku duduk di depan, diam saja.

pulang sekolah, aku memang tidak dijemput ibu.
jalan kaki.
aku pun langsung ke kuburan bapak. ngasih surat yang kutulis diam-diam dalam kamar semalam.

malamnya,
bapak ngomong dalam mimpiku.
katanya, "Ibu ga' bo'ong."
aku pun bangun
lalu melihat ibu sedang memperhatikan tahi lalatnya di depan kaca.

..........................................................................1986-1988
SEBAB ITU, SECANGKIR KOPI MENUNGGU. HAHAHAAAAA

Kedai kopi, tengah hari, di pusat belanja mewah ibu kota.

Diantara semerbak wewangian robusta serta beragam harum parfum pengunjung, entah pria atau wanita, pandangan mataku terpenjara kala mengarah pada sesosok manusia. Aku mengalami rasa yang tak jauh beda dengan beratus pengunjung pusat belanja mewah ibu kota. Sesosok manusia, entah wanita atau pria--yang pasti tidak berusia bocah--santai melenggang diantara tatap kornea terperangah serta ingsut badan menjauh, dan memberi ruang lempang bagi sesosok manusia itu untuk leluasa melangkah. Dan! sesosok manusia itu seakan tidak merasa dirinya menjadi fokus perhatian massa yang tercengang! Dari raut muka sesosok manusia itu tak kulihat rasa jengah, seperti emosi yang pernah kualami saat seorang teman berkata: Hai, apa kabar? (dengan senyum lepas menghampar) ketika aku sedang melamun: apakah jawab yang harus kukatakan bila seorang teman datang, tiba-tiba, menanyakan kabar yang ada padaku.

Sesosok manusia yang berlesung pipi, bermata dua, bertelinga dua, berbibir, berhidung, beralis, berpelipis, berambut, berdada/berpayudara, berperut, berpaha, berkelamin, bertungkai, berlengan, berketiak, berpinggang, berjemari, berkuku, berlutut, bersiku, berbetis, berleher, bertangan, yang mampu menggodaku untuk meninggalkan secangkir kopi panas yang belum sedikit pun kuteguk.

Bergegas aku berdiri, lalu berlari, mengejar sesosok manusia yang telah melintas tepat tiga meter di depanku, sekitar tiga detik lalu.

Kulihat sesosok manusia itu bertengkuk, berpundak, berbelikat, berpantat, bertelapak, bertumit, berjalan.

Saat jarak antara aku dan sesosok manusia itu sudah semakin merapat, aku mengalami kebimbangan. Entah kenapa, mendadak tanganku terangkat, lalu mencoba menjangkau pundak sesosok manusia itu, lalu menyentuhkan kulit telapak tangan kananku ke pundak kirinya. Sesosok itu berhenti. Memalingkan kepala mengarah ke mukaku. Aku rikuh. Pandangan bola mata yang hitam milik sesosok manusia itu begitu bersahabat, seakan kami adalah teman lama yang pernah bertukar rahasia; hingga aku gemetar, gemetar, gemetar, bertanya: Ke.ke...na..pa.... ka-ka-.kak..ka--kau te..lan.jang.

Sambil senyum, sesosok manusia itu membalas, "Mode."

Aku pun tersenyum usai mendapat jawab dari sesosok manusia itu. Kami sama tersenyum. Sama perlahan mengangguk. Setelahnya, sesosok manusia itu memutar ruas-ruas tulang leher bersendi peluru mengarah ke muasal hadap. Bersamaan saat sesosok manusia itu memutar ruas-ruas tulang leher bersendi peluru mengarah ke muasal hadap, aku pun balik kanan. Saling membelakangi, kami berjalan ke arah kembali. Dan, aku tertawa! Tertawa membahana, hingga pengunjung pusat belanja mewah ibukotaterpaksa mengkuadratkan rasa terperangah!

Tiba-tiba,

aku merasa seseorang menyentuh lenganku. Aku pun berhenti sejenak. Palingkan muka ke kanan, muasal sentuh kurasakan. Disaat kami saling memandang, telingaku hanya sempat mendengar mula kalimat tanya dari seseorang yang menyentuh lenganku. Telingaku hanya sempat mendengar mula tanya, sebab jawabanku yang diakhiri tawa (sambil melangkah pergi ke kedai kopi hendak menunaikan tugas mencicipi secangkir kafein berteman hisapan nikotin) menumpas waktu yang dimiliki seseorang yang menyentuh lenganku itu untuk menuntaskan kalimat tanya yang utuh.

"Kenapa" :Mode!
TEH PAHIT
(Kisah Seteguk Teh Pahit Yang Melebihi Seribu Karakter)

Pukul 19.15, aku melintas di Jalan Palmerah Barat. Slipi. Tak sengaja, saat aku menoleh kanan-kiri, kulihat bentangan kain di depan sebuah rumah yang berhalamankan trotoar jalanan. Kain berukuran semeter kali dua, pink warnanya, berisi tulisan 'SEDIA TEH PAHIT'.
Karena keingintahuan, aku pun berniat singgah. Sebentar. Sekadar menjajal rasa apakah. Itulah yang ada dalam pikiranku.
Aku pesan segelas teh pahit yang belum kuketahui bagaimana rupa juga sedapnya. "Tehnya... ya, Mbak...," kataku. Aku kira, si Mbak yang berumuran sekitar duapuluhlima-an itu segera menyajikan segelas teh pahit. Eh, tak tahunya ia malah balas bertanya. Gelas besar atau kecil? Hah, apa pula maksud dia menanyakan hal itu?
Mengapa harus ada gelas besar dan gelas kecil untuk menikmati suguhan teh? Karena aku tidak memahami keinginan si Mbak yang berbaju coklat model terusan itu, dengan sedikit pongah aku menjawab, "Gelas besar saja." Ia agak terheran. Ia mengerutkan alis mata, meliukkan kepala ke bawah serupa kura-kura yang hendak menyimpang kepala dalam tempurung kalsium, lalu bicara, "Yang besar," dengan terbata-patah, pelan bersuara. Aku menimpali dengan gerak kepala saja, naik-turun sekali putaran.
Lantas, lekas ia mengambil gelas berukuran besar--itu bila dibandingkan dengan seluruh gelas yang ia miliki yang tertata di rak plastik warna pink yang tertutup kain lap yang sudah tidak bersih bermotif kotak papan catur. Gelas besar itu seukuran dengan gelas yang biasa dipergunakan untuk menikmati es teh manis di warung kopi milik Abdul yang berada di dekat tenda pemeriksaan mobil yang hendak masuk ke wilayah gedung perkantoran Media Indonesia atau MetroTV. Kalau yang kecil itu seukuran dengan gelas yang biasa akau pakai meminum segelas kopi hitam kental di warung kopi pinggir jalanan dekat lokasi prostitusi; sambil menunggu angka digital di hape SonyEricsson T290i milikku berbentuk: 03:24.
Si Mbak pun menuangkan teh pahit dari gelas logam kuning raksasa bertelinga yang mampu menampung air dari botol air mineral yang berharga lima ribu-an. Usai menuang, si Mbak menyerahkan gelas besar yang berisi teh pahit itu dengan rasa ikhlas. Segelas teh pahit hitam pekat plus kental sudah terhidang. Tapi, aku tidak merasakan kenikmatan dari rupa fisikal raut muka teh pahit hitam pekat plus kental yang terpampang di kedua bolamataku yang juga hitam--rupa teh pahit hitam pekat plus kental ini serupa dengan kopi kental yang hitam dengan sedikit rona transparan. Mungkinkah itu dikarenakan otakku terbuat dari kumpulan lemak-lemak warna putih? hingga aku tak mampu mencerna apa yang tercerap indera mata? Meski begitu, aku pasrah menerima--sepertinya aku merasa bakal ada bencana menyata sehabis aku bertaruh ada apa dibalik tulisan 'SEDIA TEH PAHIT'.

aKU MULAI MENCOBA. kUDEKATKAN SEGELAS BESAR TEH PAHIT KE MUKAKU. kUCOBA MEMBAUI. tAPI, TAK ADA BAU. pIKIRANKU PUN TAK MAMPU BEKERJA, MENGASOSIASIKAN APA YANG TERHIRUP HIDUNGKU DENGAN BERAGAM BEBAUAN YANG TEREKAM DALAM MEMORIKU. aNEHNYA, DI SAAT AKU TIDAK MAMPU MENGASOSIASIKAN JENIS BEBAUAN YANG TIDAK BERBAU DARI TEH PAHIT HITAM PEKAT PLUS KENTAL ITU, TIBA-TIBA, MUNCUL PERASAAN IMAJINATIF BAHWASANYA AKU SAAT ITU AKU SEDANG MEMEGANG CANGKUL. yA, AKU MEMEGANG CANGKUL. aKU MERASAKAN BERAT DITANGAN MENJALAR HINGGA LENGAN LALU MERAMBAT KE TENGKUKKU SAMPAI-SAMPAI MEMBUAT LEHERKU MENEKUK KE KANAN; RASANYA SEPERTI SAAT AKU HENDAK MENGOLAH PETAK PERSAWAHAN BERUKURAN EMPAT KALI ENAM METER YANG SUDAH DIAIRI TIGA HARI, DI dESA kALISARI, kECAMATAN tELAGASARI, kABUPATEN kARAWANG, pROPINSI jAWA bARAT. tANGANKU SEPERTI MENAHAN BEBAN BERAT. yA, RANGSANG IMAJINATIF ITU BERASAL DARI KELELAHAN TANGANKU MEMEGANG SEGELAS TEH PAHIT HITAM PEKAT PLUS KENTAL BERADA SEKITAR DUA ATAU TIGA SENTIMETER DARI INDERA PEMBAUKU. aH, ADA APA PULA INI?
aKU MULAI MENCECAP. sEBENARNYA, BUKAN MENCECAP, SEBAB TEH PAHIT HITAM PEKAT PLUS KENTAL YANG MASUK KEDALAM MULUTKU--TENTUNYA SETELAH BIBIRKU BERSENTUHAN DENGAN BIBIR GELAS KACA BENING BERISI TEH PAHIT HITAM PEKAT PLUS KENTAL--TIDAKLAH BANYAK; DALAM PIKIRANKU PERBUATAN MENCECAP ITU HANYA MEMASUKKAN SETETES, PALING BANYAK DUA BELAS TETES CAIRAN KEDALAM MULUT. yANG AKU LAKUKAN, MENEGUK, SEPERTI YANG BIASA KUPERBUAT KETIKA MENIKMATI SEKALENG MINUMAN BERKADAR ALKOHOL LIMA PERSEN YANG BIASA AKU BELI DI WARUNG SERBA ADA YANG BERADA DI SEBERANG POS POLISI SAAT AKU PULANG MALAM HARI MENUJU RUMAH, LALU MASUK KAMAR, LANTAS MENULIS SEBUAH PUISI YANG TAK PERNAH JADI; MEMANG SESEKALI ADA YANG JADI, TAPI ITU TIDAK TERLALU BANYAK, KALAU BOLEH DIKATA: TIDAK PRODUKTIF.

bEGITU AKU MENEGUK, begitu lidahku merasakan pahit menyengat, dan sebanding dengan kecepatan lidahku dan otakku bekerja merasakan pahit menyengat, lidahku pun merasakan sedapnya es teh liang atau es liang teh yang pernah kuminum dua kali selama aku berada di Jakarta, kota metropolitan utama Republik Indonesia yang memiliki bendera berwarna merah-putih, merah di atas putih. Pertama, aku menikmati es teh liang atau es liang teh di kawasan Gadjah Mada dekat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di bawah siraman terik matahari siang, dan sebagai gantinya aku memberikan dua lembar uang seribuan kepada penjual minuman es the liang atau es liang teh yang saat itu memakai topi rimba bundar warna coklat. Kedua, sepulangku membeli satu kilo kakap merah, satu kilo ikan kwe', tiga kilo cumi-cumi dan tiga kilo udang--semuanya menghabiskan uang Rp275.000--siang-siang di Pasar Ikan Muara Angke kubeli segelas es teh liang atau es liang teh seharga duaribu dari pedagang es tehliang atau es liang teh yang sedang nangkring berteduh di bawah sebuah pohon rindang yang aku tidak tahu spesiesnya yang berada sekitar lima belas meteran dari pintu masuk pasar.
Saat aku sedang menikmati sedapnya es teh liang atau es liang teh, rasa pahit menyengat itu kembali merusakkan tatatan ImajINatIf YanG Sudah KubangUN TAnPa SAdar. MendAdAK, Aku TEringaT. PAHIt ini Pernah kuRASa. YA, Aku tidak SALAh. AKu yakiN. kuGAli SedaLAM-DalamnYA Rasa paHIT YAng kuRASAkan, lAlu kUbandingKan SEmirip-MIripnYA denGAN Rasa yANg pernAH Aku rasaKan di MASa-masA sebelUMnya, LALu muNCUllaH saTU kaTA dalAM KepalaKU. PEpaya! AKU terinGAt ramUan MinumaN YAng dibUAT Oleh ibuku DI Waktu aku MAsih Sekolah DASaR DUlu. RAmuan DAun PepaYA reBUs! DaUN Pepaya YANg direbUS berSAma air DIdalam Dandang yang DIletakkan di Atas perApian KOmpor gAs. liMA Atau deLApan helAi daun PepAYA yang MenJAri daN BerUKuran BeSAR di REBus BersaMA air DIDALam danDang yang diLetakkaN di aTAS PeraPIAn kOmpor Gas. Bila SUDah maTang, aPI Pun dimAtIKAn, daN aIR RebusaN DAUn pepaYa yanG berWarnA KehiJAU-HijaUAN itu DItuaNGKAN KedalAM gelaS YAng BesarnYA seukuraN deNgan Gelas BEsar teH Pahit hiTAm Pekat pLus KentAL Yang Sedang BeRAda DalAm GenggamAnKU ini. YA, Ramuan ituLAH yang Sering diMinUM IbuKu. KatAnYa, BuAt ObaT. KatAnya Lagi, BuaT AweT muDa. KataNya laGi, maU coBA? MungKIn Yang TerakHir Yang DIkaTakan IBuku kaRena TampangkU YAng TerheRAN-HeraN Melihat RutinITAs DIa di paGI HARI SEBElum aku BerangKAT SekoLAH; MulaI DAri MemeTik Daun PepaYA YaNG BErada DI beLAkang Rumah deKAT Kolam IKAN lelE yANg SudaH bERisi gurAME, MencuCI dAun PePAya, memAsukkAN Daun PepAYA kedDalam dANDang, mEgIsiNya DengAn AIR, MerebusNYa, lALu mendiDIH dan MenUANgkanNYA keDALam gelas SebeLUM dIA Minum HAngaT-HAngat.

Aku mencoba. Aku mendekatkan mulutku ke bibir gelas yang berada di atas meja makan dan mencecap seperti seekor anak ayam yang berciap-ciap hendak minum dari tatakan cangkir plastik. Selesai mencecap, aku menjauhkan kepala dari bibir gelas yang berisi air rebusan daun pepaya sambil memicingkan mata, menyinyirkan bibir, hingga urat-urat leherku pun kelihatan tegas, kaku dan jelas membengkak, sembari tanganku mengejang merapat ke sisi badan. "Enak?" itulah kata ibuku.
Saat tegukan pertama teh pahit hitam pekat plus kental meluncur masuk melintasi kerongkonganku, langsung tancap gas menuju usus dan lambungku, aku pun bertanya pada seorang ibu pemilik usaha itu yang duduk diseberangku; dan dia baru saja meminum segelas kecil teh pahit hitam pekat plus kental sekali glek! "Ini teh bahannya apa Cik?" Padat ia menjawab. "Saya juga tidak tahu. Ini ramuan teh pahit aja."
Kok bisa? "Saya sih tinggal beli. Di Kota juga banyak. Di toko obatnya, tinggal bilang teh pahit, langsung dikasih itu ramuan. Sisanya ya tinggal seduh saja."
Terus kegunaanya apa? "Macem-macem. Bisa ngilangin capek-capek, kencing manis, panas dalam. Nah, entar kalau dah abis tu teh pahitnya, coba deh tidur entar malam. Besoknya tuh kalo bangun tuh badan pasti entengan kaga' berat. Ga' kerasa apa-apa."
Disaat panjang lebar ibu turunan etnis Tionghoa ini menjelaskan tiap pertanyaan yang kulemparkan, di saat itu pulalah aku memperhatikan dirinya. Melihat ombak rambutnya yang pendek setengkuk, langsat kulitnya, baju dasternay yang berwarna ungu dengan motif bunga-bunga, lalu mukanya yang tergolong belia tanpa keriput jelas yang tergambar nyata pada kanvas wajah--padahal bila kau menyimak pandangan mata atau senyumannya, terasalah bahwa si ibu yang berada di seberangku ini sudah memiliki, paling tidak satu cucu; meski aku tidak tahu pasti berapa sesungguhnya jumlah cucu dia.
"Buat darah tinggi juga bisa ya?" Ia menangguk sambil tersenyum hingga tampak empat kerutan menghias sisi kanan ekor sudut matanya. Dan, tiba-tiba, aku merasa bahwa wajah perempuan yang berada di seberangku terasa begitu dekat, akrab, familiar. Rasanya, aku pernah berjumpa orang seperti dia. Perempuan yang selalu terlihat muda meski usia sudah berbilang senja! Aku pun tersenyum. Kutanyakan berapa harga yang harus kubayar untuk melunasi pesanan segelas besar teh pahit hitam pekat plus kental dan dua bungkus kacang. "Empat ribu," kata si Mbak. Kukeluarkan empat lembar uang bergambar Kapitan Pattimura, kuberikan pada si Mbak, lalu berpaling ke si ibu yang berada di seberangku, "Bu, aku pergi ya." Ia mengangguk, senyum.
House Of Blues

(Pertama, saya mengajukan maaf, terutama pada yang empunya cerita; sisanya pada pembaca. Sebab seluruh tulisan yang bakal Anda baca merupakan kutipan tak-utuh, semampu saya mengingat apa yang tertulis, apa yang terucap, dari pencerita. Hak cipta berada di tangan yang punya cerita. Saya cuma mencuri saja!)

Di rumah, nama aku, Eka. Di luar rumah, nama aku, Eko. Di luar kota, aku dipanggil Eki.

Sekarang, aku Ketua Asosiasi Pedagang Kopi Se-Jatinegara. Di rumah kontrakan sisa peradaban jaman Belanda, aku buka usaha. Bagian beranda hingga pekarangan yang berlantai ubin, aku buat kedai kopi; lengkap dapur mini berkanopi; tiga meja bertapalak kain motif petak enam-empat; tentulah bersama kursi plastik tanpa sandaran, warna seragam, hijau.
Bagian dalam, ruang tamu, digubah menjadi toko buku. Ada lima rak buku, satu kloset duduk, satu meja kasir yang dilengkapi dengan satu unit komputer serta seperangkat saun sistem yang bergunan untuk menyuarakan ratusan lagu yang tersimpan dalam file MP-3; dan 2000-an koleksi buku.
Agak ke dalam, ada semacam ruang multi-fungsi, berada di balik kayu tiga lapis, pembatas antara dengan ruang jual buku. Bisa sebagai ruang pertemuan, juga ruang peristirahatan, bahkan ruang belajar, sebab dilengkapi dengan satu meja kaca bulat dengan empat kursi yang berbahan alumuniun menuju besi.
Setelah ruang multi-fungsi, baru kamar tidur.
Paling sudut rumah, pojok barat daya, kamar mandi. Satu kloset jongkok, satu bak penampungan air berisi satu ember besar yang juga berfungsi menampung air, semuanya berwarna biru serupa warna air laut.
Nah, sisa ruang yang ada, berantakan. Ada satu televisi empat belas inci (yang sudah rusak karena tersambar petir, sebab ketika hujan lebat turun, aku lupa mematikan listrik. Memang, ketika hujan lebat turun, aku bergegas memutus semua aliran listrik ke peralatan elektronik. Komputer, kipas angin, lampu, sudah aku padamkan. Kala itu, aku merasa ada yang masih kurang. Kira-kira apa ya? Nah, ketika tersadar, tipi pun meledug. Ya, sudah. Apes.), tangga kayu, kain spanduk, meja, kursi rusak, piring kotor, juga jemuran.

Sebelas bulan lalu, aku mulai buka kedai. Tapi, di enam bulan pertama, yang datang cuma satu-dua saja. Kebanyakan orang cuma melintas di jalan depan, entah hendak menuju Kampung Melayu atau Stasiun Kereta Api Jatinegara.
Di bulan ke-tujuh, kedai menggeliat. Sudah ada yang membeli secangkir kopi, indomie, indomie telor, burger, sosis, atau roti bakar.

Dulu, di bulan ke-berapa, ada orang datang ke kedai kopi aku. Menanya: Ada apa. Aku jawab: Tidak ada apa-apa. Orang menanya lagi: Di kedai aku tersedia apa saja. Kopi: kata aku. "Mau," aku menawar. Orang itu menggeleng, lalu menanya lagi: Kalau didalam apa, seraya kepala orang itu bergerak mengarah ke ruang tamu persis lenggok penari memainkan ruas belulang leher. Buku: kata aku. Seizin aku: Silahkan lihat saja. Orang itu pun masuk ke ruang toko buku. Dan, sekeluar orang itu dari toko buku, orang itu marah kepada aku. Orang itu marah: Jual Pram, kok tidak bilang-bilang. Lantas, aku beralasan, orang itu tidak menanyakan hal itu. Orang itu pun langsung duduk, memesan secangkir kopi. Selesai minum, orang itu pulang. Orang itu membayar Rp37.000; Rp34.000 untuk satu buku Pramoedya Ananta Toer, yang aku tidak ingat berjudul apa, sisanya secangkir kopi hitam asal Kalimantan. Kapan-kapan aku datang lagi: janji orang itu.

Sekitar delapan ratus meter, ke arah timur, di jalur jalan berportal seberang kedai aku, lokasi prostitusi gelap. Gelap karena beroperasi tiap malam hari, gelap karena beroperasi tanpa izin resmi. Biasanya, sekitar jam duabelas-an malam, ada saja perempuan yang dibonceng lelaki bertubuh tambun berkemeja putih. Mereka, menunggu dua orang teman perempuan dari perempuan yang dibonceng lelaki bertubuh tambun dengan kulit gelap. Setelah dua teman perempuan dari perempuan yang dibonceng lelaku bertubuh tambun itu datang, motor roda dua itu pun dipacu, ditunggangi empat manusia menuju arah utara, arah ke Stasiun Kereta Api Jatinegara. Terkadang, mereka mampir dahulu, entah membeli sebungkus rokok Sampoerna Mild, atau bertanya: Ada apa di dalam rumah. Lantas, kalau sudah aku berikan apa yang mereka minta, entah itu rokok pesanan atau jawaban ke-ingintahu-an, mereka pun gampang angkat kaki, pergi.

Pernah suatu ketika, jeger kampung datang ke kedai aku. Perawakan dia tegap, se-kreket, tato se-gambreng. Umur dia, pengakuan jeger kampung, enam puluh tahun. Istri dia, pengakuan jeger kampung, tiga. Dia nanya: Aku jual apa. Aku jawab: Kopi. Dia nanya lagi: Ada bir ga'. Aku jawab: Tidak. Dia menyarankan, agar aku menjual bir juga. Itu syarat minimal berdagang di dekat lokasi prostitusi. Selain bir, anjuran dia: Mansion, Jack Daniel, Topi Miring, Contreau, Chivas Regal, Cognac, Jhonnie Walker dan Martini. Soal keamanan, dia berani menjamin. Saya pasang badan, kalau ada polisi atau koramil datang: janji dia. Aku jawab: Tidak bisa. Dia nanya: Kenapa.
Aku jawab:
Aku sudah lama tidak minum alkohol. Kalau dulu, boleh. Mau minum apa saja, masih bisa. Sekarang, badan aku sudah tidak kuat lagi nerima alkohol.
Dia ngomong:
Alkohol itu buat dijual sama orang lain. Dan, (aku) tidak usah meminum.
Aku jawab:
Itu pertama. Kedua, aku sudah jatuh kata. Ke bawah sama ke atas. Ke bawah, aku tidak ingin ada setetes pun alkohol yang mengikut aku ke dalam tanah. Ke atas, aku janji tidak meminum setetes pun, apalagi menjual. Nah, karena aku suka ngopi, aku jual kopi saja. Aku bisa buat kopi, bagi aku enak rasanya. Dan, aku buatin sama orang. Enak juga. Buktinya, kopi buatan aku habis. Itulah keahlian aku.
Dia pun lantas memesan kopi. Kata dia: Kalau begitu, aku pesan kopi. Aku buatkan dia kopi-mix instant, sesuai pesanan. Selesai minum, dia menanyakan harga. Niat aku ingin menggratiskan, aku utarakan. Dia, marah. Tidak! Berapa harganya: bentak dia. Aku pun langsung memberitahu. Seribu: kata aku. Dari saku celana kanan, dia mengambil selembar uang seribu. Sebelum pergi, dia berkata: Nanti, aku datang lagi. Sama istriku!: dia berjanji.

Saat lain, polisi singgah di kedai aku. Mereka duduk, nge-rekap surat tilang. Mereka pesan minuman. Ada yang pesan kopi, teh manis, juga indomie rebus pakai telor. Lantas, salah satu dari mereka bertanya: Di dalam apaan. Buku: jawab aku. Salah satu dari mereka bertanya lagi. Buku apa? Aku menjawab bahwa buku yang aku jual kebanyakan sastra. Salah satu dari mereka mengangguk, berkata: O. Lalu, salah satu dari mereka menanyakan harga semua pesanan. Aku menjawab: Semua, tujuh rebu lima ratus. Salah satu dari mereka membayar dengan uang sepuluh ribuan. Aku kembalikan dua lembaran uang seribu dan sekeping uang lima ratus. Mereka pun pergi.

Yang paling parah, beberapa bulan lalu. Ada orang datang. Namanya, Erwin. Pekerjaan: musisi. Sering manggung di Slipi, Blues Bar. Kadang di Batavia Cafe, dan tiap Rabu mengisi acara Blues Night di TVRI. Erwin itu marah sama aku. Sebabnya plang rumah di pintu masuk toko buku. Tulisannya: H-O-U-S-E O-F B-L-U-E-S. Bahan tiap-tiap huruf, besi bersepuh emas. Erwin bilang: Kok berani-beraninya aku meletakkan tulisan itu di tembok rumah, tepat di atas pintu masuk toko buku. Apakah aku tahu artinya: tanya Erwin. Erwin menyuruh aku mencabut plang berisi tiga barisan kata-kata tersebut. Alasan Erwin, aku tidak layak memajang tulisan itu bila aku tidak mengadakan acara berbau blues. Erwin bilang: Blues itu religi. Erwing bilang: Kalau aku berani memampangkan tulisan itu, aku harus berani mengundang musisi blues mampir ke kedai kopi aku. Erwin tanya: Aku bisa main gitar tidak. Erwin tanya lagi: Sudah berapa buku blues aku baca. Erwin tanya lagi, apakah aku mengenal nama musisi blues yang Erwin sebutkan. Semua pertanyaan itu aku jawab: Tidak, Sedikit, Tidak ada, Tidak. Erwin makin marah. Plang itu semakin tidak layak menggantung di rumah kontrakan aku, menurut pendapat Erwin. Erwin mengancam: Besok aku datang, palng itu harus sudah tercabut.
Aku jawab:
Perlu waktu duapuluh tahun aku mendapatkan plabg bertuliskan 'HOUSE OF BLUES' itu. Mulai dari meminjam uang sedikit demi sedikit, hingga menabung seperak-dua perak. Itu sejak dulu, duapuluh tahun lalu. Awalnya, palng hendak berisi tulisan 'HOUSE OF RISING SUN'. (Judul lagu kelompok band Animals.) Itu karena, rumah kontrakan aku ini merupakan rumah yang pertama kali terkena sinar matahari pagi di jalan ini. Jadi, aku berharap ada kehangatan, ada harapan yang selalu terbit di rumah kontrakan aku ini. Tapi, sewaktu membeli huruf-huruf besi itu di Carefour Jalan MT. Haryono, uang aku tidak cukup. Bersama seorang teman, aku duduk di pelataran luar Carefour. Tulisan itu pun diutak-atik, disesuaikan dengan kemampuan uang yang aku punya. Aku hanya punya uang Rp60.000. Teman aku mengusulkan: Buat 'HOUSE OF BLUES' saja. Alasan teman aku: Aku penyuka musik blues. Aku setuju. Jadilah huruf-huruf kalimat tersebut aku beli, lalu aku susun di atas plang besi hitam, dan aku pampangkan di tembok atas pintu masuk ruang toko buku. Rencananya, tulisan itu nanti berpigura tanaman merambat yang aku tata melengkung memenuhi tembok tempat pintu masuk. Menyerupai kubah, niat aku.
Erwin bertanya: Apakah aku punya gitar. Aku punya, dan mengeluarkan gitar yang tersimpan di dalam ruang multi-fungsi yang berada agak di dalam rumah. Aku memberikan gitar itu kepada Erwin, untuk Erwin mainkan. Erwin pun memainkan musik blues dengan mata memejam. Erwin sempat bertanya: Ada bir tidak. Aku jawab: Tidak. Erwin pun bermain gitar lagi. Tiba-tiba Erwin bilang: Minimal aku harus menyetel musik blues di kedai ini. Itu baru melayakkan rumah kontrakan aku ini menjadi 'House Of Blues': kata Erwin. Sebab: Di Indonesia, belum ada tempat yang bernama House Of Blues. Itu penjelasan Erwin. Permintaan Erwin pun aku penuhi. (Sesekali waktu aku menyetel musik blues. Apalagi kalau Erwein singgah mengaso sebentar sebelum pulang ke Ciracas, sehabis manggung. Biasanya, sebelum pulang Erwin bilang: Sekali waktu aku menonton saat Erwin manggung. Mengenai tiket masuk atau apapun, Erwin yang bayar. Janji Erwin. Aku cuma menjawab: Kalau sempat bolehlah. Aku berkeinginan.) Saat asyik bermain gitar, tiba-tiba lagi Erwin berkata: Bisa ngebakar gress ga di kedai aku. Aku jawab: Lebih baik jangan. Erwin pun mengikut. Erwin main gitar sampai puas, dan aku terkesima. Lama berselang, Erwin pulang. Kapan-kapan, aku datang lagi: Erwin berjanji.

Di kedai ini, aku menjual kopi. Sesekali aku menyetel musik, mulai dari hard rock, heavy metal, rock 'd roll, jazz dan blues. Siapa yang datang, silahkan memesan menu makanan atau minuman yang ada, jangan mencari yang tidak ada dan tidak aku perbolehkan ada; juga melihat ke dalam ruang toko buku; atau sekadar cuma duduk di kursi plastik hijau tanpa sandaran sebentar. Kalau siapa yang datang mau bercerita, aku menyilahkan. Aku bisa berperan sebagai pendengar. Kalau siapa yang datang cuma mau berdiam, aku memperbolehkan. Kalau siapa yang datang tiba-tiba setuju bekerja sama untuk menghasilkan uang dengan berusaha bersama, aku mempersilahkan. Aku tidak akan meminta persenan. Aku malah bersyukur, siapa yang datang malah mendapat rezeki dari kedai kopi aku ini.

Aku cuma menjual kopi. Pilihan yang aku tetapkan sepulang dari Tanah Suci.
Memintal Ikan

Gelombang lapuk berenang renang, menghisap
belulang penggerutu gelandang mencandu
benang benang mereceh
khianat, berkhidmat.

Sengat kail selinap
merebus kelenja bungkuk,

ribuan lengan lunglai bintang bintang memintal
perut perut bertindik senyum
para perawan, mengerat selendang

berpesta dalam pesawat liburan panjang

di mata ikan, j t h.
Everybody Going Mad Because of The Oil Price

Tante Tia, 30-an, owner warteg 'Sederhana'. "Es batu aja nih..., naek serebu!!!"

Yadi, 38, driver M-06A Gandaria-Kampung Melayu. "Lima belas rebu buat apaan? Ngebunuh orang kok lambat amat?"

www.tempointeractive.com, Jumat, 14 Oktober 2005: Pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito dan Rumah Sakit Grhasia Propinsi DI Yogyakarta meningkat 100 persen.

www.detik.com, Jumat, 14 Oktober 2005: Elpiji langka pertanda bagus! Demikian Jusuf Kalla cerita.

Kompas, Rabu, 12 Oktober 2005: Probosutedjo sudah habis Rp16 miliar. Dia bercerita di Komisi Pemberantasan Korupsi.

Bobby, 28, karyawan swasta, senja. "Gua, numpang dong. Pliz..."

Antara, Jumat, 14 Oktober 2005: Gepeng di Bandung Naik 10 persen, selama bulan puasa.

www.detik.com, Jumat 14 Oktober 2005: Gaji anggota DPRD DKI Jakarta naik jadi Rp50 juta. Sutiyoso: Biar tidak korupsi!

Jonni, mahasiswa drop out pe-te-en terkemuka di Indonesia-cum-aktifis abadi. "Anj*** Ba** Ng*** SBY-JK T**!!!"

P'lai, seniman plus bohemian. "Sekali bercinta, sudah itu lari!!!"

Antara, Jumat, 14 Oktober 2005. Garuda nambah kursi 29.550 sambut Lebaran 2005.

Kaka, 23, kenek Mayasari Bakti, siang hari. "Gopek lagi, om!"

Antara, Jumat, 14 Oktober 2005: PNS di Yogyakarta stres.

Tiara, 30, warga Gang Kelinci, anaknya Pak RT.05. "Kok bisa ya."

George, bule, turis. Ngider di Sarinah Plaza, pake sandel jepit, baju kaos doang, celana hawai-ian, eh... sales counter senyum-senyum.

Wahyudi, korban penganiayaan militer. "Saya lagi ngopi di warung, tiba-tiba dia nyamperin. Lah di Mulus yang jidatnya nongol itu digebuk. Pala' saya juga digetok. A**!"
Secangkir kopi sudah terhidang. Aromanya meruap bersama asap yang mengambang melayang. Ia pun membuka komputer tenteng, lalu mulai mengetik. Kalau aku tak salah, baru kali ke-enam jarinya menjentik tuts kibor, ia berhenti. Lalu, ia memegang telinga cangkir Vienna, mengangkat perlahan menuju ke bibir. Bibirnya menipis seraya meniupkan udara, hendak mendinginkan kopi. Setelah dirasa cukup, ia pun mulai mencecap perlahan. Dengan mata memejam, ia hempaskan senyum lepas yang membayang di pelataran wajah. Ia menarik nafas sedalam mungkin, seakan berniat memasukkan sebongkah batu karang ke dalam rongga dada. Lalu, dengan tawa seringai, ia belalakkan kelopak mata, dan! membanting cangkir. Prang!, setidaknya seperti itulah bunyi derai kaca pecah.
Lagak tenang, ia pun melanjutkan mengetik kembali. Aku tak pernah mengetahui apa yang sedang ia tulis. Gugup, aku memberanikan diri melangkah, menanyai ia. Pertama, aku mengajukan kata: Maaf. Lantas, bersambung kalimat: Mengapa kau pecahkan gelas itu. Seusai bertanya, aku hanya bisa mengingat ia mengalihkan mata ke aku, dengan alis merendah. Seakan ia mengintai. Begitu tajam dan dekat. Usai memindai, ia pun berpaling ke laku awal. Memesan secangkir kopi.
0.5 ...

Seorang teman tiba-tiba menyambangiku, kala aku lelap tertidur. Ia menggoyang tubuhku hingga bergoncang. Aku pun terbangun, mengucek mata, dengan pandangan mengiba. Sebab untuk berkata 'Ada apa' atau 'Kenapa', aku tak sanggup. Aku hanya ingin kepengertian ia, lewat mimik muka mengharap, 'Tolonglah kawan, jangan sekarang. Besok atau kapanlah, seusai kunikmati tidur yang baru saja sampai di pelataran mimpi.' Tapi, ia tetap menggetarkan tubuhku. Terpaksa--bukan karena ingin mengetahui ada apa, melainkan lebih disebabkan sudahi segera ganggumu itu--aku bangun.
Perlahan kuanjakkan tubuh beringsut, hingga setengah tegaklah kuda-kuda tubuh disangga pantat, menyender pada rangka ranjang. Sebenarnya, aku masih setengah tertidur. "Ada apa," kataku dengan nada datar, tanpa lenggak irama legato. Dari sayu mataku, kulihat bibir berujar tak jelas. Lantas, kucoba mengecilkan sayu kelopak mata, agar sayup suara ia terdengar lumayan jelas. Aku pun bertanya ulang, dengan nada mendesah, untuk sebuah pertanyaan yang sama, "Ada apa?" Ini kali, kurasa jelas, aku melempar sebuah tanya kepada ia dengan cengkok yang keingin-tahuan yang mendalam; meski aku tak menyadari hal itu, bagaimana bisa terjadi.

"Kau baca tidak itu koran beberapa hari lalu. Front Pembela Islam mengadukan pameran CP Bienalle 'Urban/Culture' di Museum Bank Indonesia ke polisi. Kau mau tahu kenapa?"
(Kalau aku tak salah mengingat, seperti begitulah kalimat yang ia sampaikan dengan nafas menggebu-gebu serupa babi dikejar pemburu, selamat langsung berteduh dan berbincang dengan sahabat yang juga luput dari kepungan.)

"Cuma karena foto rekayasa. Foto Anjasmara dan Elisabeth yang telanjang. Itu karya kolaborasi Dany Linggar sama Agus Suwage. Nah, kalau kau baca editorial koran..., ah... entah koran apa itu, aku lupa namanya. Disitu disebutkan, mereka, maksudku koran itu, setuju dengan tindak pelaporan FPI. Alasannya, karena negara kita negara hukum. Segala sesuatu harus melalui aturan, ada prosedur hukum, tidak asal hantam, tidak asal-asalan ganyang. Tapi, seingatku pula, seorang temanku sempat berkata, di negeri ini sebenarnya bayi lahir sudah tidak lagi menangis. Aneh. Ah, tapi apapun itu, aku agak bersependapatlah dengan editorial koran yang kulupa namanya itu."
(Aku menarik nafas pelan tapi panjang. Kuhembuskan dengan ketukan yang tak jauh berubah dari saat awal aku menghirup ke dalam rongga dada. Aku lupa, apakah ini yang benar ia ucapkan, atau...)


"Tapi, aku curiga. Sebenarnya, ada apaan sih? Apa pula pasal FPI mengadu ke polisi? Semampunya aku mencari tahu, lalu menjadi sok tahu berdasarkan informasi yang sebenarnya aku tidak tahu pasti bagaimana mereka, maksudnya pemberi informasi itu, mendapatkan fakta. Tapi setidaknya, bermodal ragam infotainment ataupun info-tak-tainment, kudapatkan ihwal pelaporan. Sebabnya, foto rekayasa itu memiliki kencenderungan untuk menodai suatu agama tertentu. Memang ada sih alasan lain yang disampaikan. Tapi, aku kira alasan itu hanyalah sempalan saja. Dibuat sebisa-bisanya saja, menambah kesalahan. Dibilang, itu Anjasmara dan Elisabeth kan selebritis, public figure, dan macamlah predikat tak jelas, yang tak kumengerti. Terus, karena mereka itu selebritis, artis, public figure, tak bolehlah berbuat tak senonoh juga seronok begitu. Anjas sama Elisabeth itu jadi panutan publik, apa yang mereka lakukan, ada kemungkinan ditiru publik. Anjasmara dan Elisabeth tidak boleh menjadi pelopor tabiat selangkangan (Eh, kau ingat pula bukannya aku mendorong mereka berdua untuk menjadi pelopor tabiat selangkangan, tapi kau dengar dulu lanjutanku). Jelaslah taik kucing. Emang, kalau Anjasmara itu siapa. Dan, publik mana pula yang menjadikan Anjasmara panutan. Logika macam apa yang dipakai untuk menalar bahwa Anjasmara cocok diposisikan sebagai teladan. Padahal, publik cuma tahu Anjasmara itu lewat tokoh yang ia perankan. Anjasmara sebagai Encep, Anjasmara sebagai Romi, Anjasmara sebagai..., ah entah siapa lagi, yang pasti Anjasmara bukan sebagai Anjasmara. Tapi, lakon! Bukankah ini kedunguan terbesar. Baik yang membuat statement, yang menyebutkan Anjasmara itu panutan; atau mereka yang menjadikan Anjasmara panutan hanya karena menonton sinteron Cecep, atau yang lain. Kedunguan. Ketololan. Kebodohan. Dan, pelaporan itu didampingi oleh seorang pengacara, yang entah siapa namanya, yang mengikutsertakan, ini kalau aku tak salah, statement Anjasmara panutan. Pengacara dungu. Buat apa dia belajar hukum, bila lojik berpikirnya pun ngacau sengacau-ngacaunya hingga bagiku ia tampak meracau balau."
(Aku menguap. Kepalaku berbantun, mengantuk dinding kamar.)

"Lah, bagiku alasan sempalan itu menyimpang dan tak perlu diperdebatkan. Soalnya, kalau berdebat itu, tidak akan ketemu kebenaran. Jalannya saja sudah menyimpang, bagaimana ketemu jawaban. Jadi, yang utama itu alasan pertama. Foto itu diindikasikan menyindir, menodai suatu agama. Disebutkan, ini lagi-lagi dalam artikel yang kubaca; dan lagi-lagi aku lupa berasal dari mana, foto Anjasmara dan Elisabeth mencitrakan Nabi Adam dan Hawa ketika berada di Taman Firdaus. Nah, kalau ini aku kagum. Luar biasa. Bagaimana FPI berpikir, ah..., katakanlah menafsirkan gambar foto tersebut hingga ke level itu. Sebab, aku sendiri pun belum tentu dapat memaknainya dengan perspektif tersebut. Paling banter, aku cuma bilang: 'Gimana sih caranya ngebuat foto begini.' Atau 'Idenya gila ih...' Atau 'Anjing!!!' Sekali lagi, luar biasa. Imajinatif sekali cara mereka menafsir. Tapi, sayangnya entah mengapa menjadi menodai agama tertentu aku tak tahu jelas muasalnya. Yang pokok, itu foto rekayasa, ingat foto rekayasa, sudah disimpulkan menodai agama tertentu dan harus dihentikan itu pameran. Anjing! Tai' banget ga'?"
(Entah mengapa, aku cuma terangguk-angguk. Mataku kembali layu. Seakan palu godam karet menghantam kepalaku. Dan ia, masih terus berceloteh,... seingatku samar.)

"Aku jadi mikir. Apakah benar, agama dapat dijadikan landasan mengklaim, menilai, sesuatu itu salah, tidak tepat, bahkan amoral. Benarkah demikian? Perlu kau tahu, aku bukan dalam posisi meniadakan unsur agama dalam perikehidupan sehari-hari. Sebab, agama sebagai dialog antara Khalik dengan karya-Nya, juga berpotensi menghorisontal , antar sesama buatan-Dia. Tapi, disini kita berbicara foto rekayasa sebagai seni. Itu batasan yang harus diingat. Seni. Seni. Seni. Seni. Seni. Sekali lagi. Seni!"
(Ia mencengkram erat bahuku. Menggetarkan, seperti hendak memecahkan tubuhku. Aku cuma bergoncang. Kepalaku bolak-balik mengantuki dinding. Aku membandul, maju dan mundur, lalu memukul dinding berbahan batu, bunyinya: tengg...., tengg.... tengg....)

"Nih, berdasarkan literatur yang aku baca, tapi aku lupa lagi buku apa itu, dan siapa yang menulisnya. Yang pasti aku pernah baca, serta mengingat sedikitlah. Dibilang buku itu ke aku, agama memiliki peran sebagai media menuju kebenaran. Agama, jalan kebenaran. Tapi, ini tambahan yang kuberi, ketika agama dipergunakan untuk menilai segala sesuatu di luar porsinya, maka bukan kebenaran yang didapat, malah kebanalan, kedangkalan, kecetekan, ke-tak-rasional-an, kesewenang-wenangan, kesemena-menaan. Sebab, sepengingatan aku, ragam jalan menuju kebenaran. Ada yang melalui ke-ilmu-an, ada yang melalui filsafat, ada juga yang melalui seni. Kalau lewat jalan ilmu, kebenaran empiris, ilmiah. Filsafat itu, lagi-lagi menurut buku yang kubaca, lewat perenungan. Nah, kalau seni itu mengenal kebenaran melalui perasaan.
Lha, wujud rasa inilah yang abstrak. Masalah timbul, ketika apresiator yang tidak memiliki latar belakang ilmiah seni, atau bakat interpretasi karya, mendadak menilai dengan klaim mutlak dan tak mau berdialog. Tentu saja, tindakan FPI mengapresiasi tidak salah. Yang salah, tindak pelaporan hukum. Aku tidak suka! Bayangkan, pameran itu pun sampai dibatalkan. Dihentikan dari jadwal semula. Kuratornya, Jim Supangkat, ini lagi-lagi kubaca artikel entah dari mana, merasa sedih. Anjing engga? Jadi, ketika mereka menfasir tidak salah, menyimpulkan tafsir juga tidak. Tapi, kalau sudah menjadikan itu klaim mutlak dan mengadukan ke muka hukum yang tidak tahu dimana berada mukanya, itu menjadi grhh... Menurut, lagi-lagi bacaan yang entah apa itu, kawan kuharap kau bersabar menghadapi isi ingatanku yang payah ini, eksekusi akhir dari karya seni adalah indah atau tidak. Bagus atau jelek. Perlu dicatat, eksekusi akhir seni yang dibuat manusia, bukanlah berada dipilihan dosa atau tidak; sebab otoritas dosa itu berada di kepala-Nya. Bukankah Surat Keterangan Berkelakuan Baik (SKKB) dari kepolisian pun berubah sebutan jadi Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
Sebenarnya, fenomena pelarangan ini sudah berlangsung lama. Misal, pelarangan film 'Buruan Cium Gue!!!', pelarangan terbitnya buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, pelarangan pementasan teater Marsinah oleh Satu Merah Panggung-nya Ratna Sarumpaet, atau pergelaran Bengkel Teater Rendra, pentas puisi Wiji Thukul, juga pencekalan goyang nge-bor Inul, atau cerpen Langit Makin Mendung-nya Ki Panji Kusmin, yang sampai menyeret Hans Bague Jassin bersaksi di pengadilan; juga beberapa kasus di luar negeri, semisal pelarangan novel 'Satani Verse' Salman Rusdhie, Dan Brown dengan 'Da Vinci Code' yang dikecam gereja Vatikan, atau 'Animal Farm' karya George Orwell, dan masih ada yang sejenis lain.
Jelaslah intinya, bermuara pada kekuasaan. Kekuasaan yang terancam, menyebabkan timbul kerja represif. Kerja menekan, memeras, menghancurkan yang bersuara beda. Tapi, memang demikian seharusnya sebuah karya seni. Ia memang diwajibkan menawarkan suatu nilai baru kepada masyarakat. Dan, masyarakat yang tidak siap, membangun sistem pertahanan, mengeluarkan serum anti-bodi untuk mengebiri keampuhan nilai baru itu. Sederhananya, ibarat virus H5N1, yang membuat para pakar bekerja keras, karena kekuasaan manusia di bumi bakal berakhir karena virus ini menawarkan cara cepat dunia menuju kiamat.
Itulah yang berbahaya. Ketika simpulan final interpretasi mewajibkan sebuah karya mengalami intimidasi. Sebetulnya, jika apresiatornya menyadari tugas seorang seniman, ini lagi-lagi aku ambil dari buku, yang lagi-lagi aku tidak ingat siapa dan apa buku itu, tugasnya adalah menawarkan nilai baru. Memang, aku tidak naif. Ada sedikit keyakinanku yang berkata, 'Ada juga sih seniman yang tidak mikirin nilai baru.' Soalnya, ada dua mainstream besar di dua seni. Seni untuk seni dan seni untuk masyarakat. Tapi, dalam tingkatan praksis, itu semua menjadi luruh. Pilihan itu ada hanya didalam diri seniman. Bagi penafsir, ia bebas berjalan. Lagian, kan ada yang namanya kurator. Kurator itulah menjadi jembatan penghubung antara karya dengan publik penerima. Kurator itu seperti nomor telepon. Nomornya dulu kita tekan, baru tersambunglah kita ke tujuan. Dan, untuk menjadi kurator ada disiplin keilmiahan yang harus mereka pelajari. Berarti, publik penyerap, apalagi yang tidak punya latar seni atau latar nyeni, lebih baik mendengarkan ucapan kurator. Ada juga kok kenikmatan tersendiri mendengar ahlinya bicara. Tapi, kalau ada latar seni atau latar nyeni, bolehlah ia sedikit beradu argumen dengan kurator itu. Tapi, eksekusi akhir tetap jadi ke pribadi. Sebab seni itu, demikian mutlak sehingga ia harus rela di-realitif-kan. Nah, untuk kalimat ini, aku tak punya penjelasan panjang lebar. Yang jelas, aku tak suka karya dilarang-larang. Memangnya, kalau sudah dilarang, lantas yang namanya pornograpi itu, hilang. (Padahal, pornograpi itu sendiri yang bagaiman tak jelas juga ia punya rupa.) Benar, kalau aku tak salah ingat ada seorang ahli hukum yang berujar, lagi-lagi aku lupa siapa dia, dimana dia ngomong, tapi ujarnya kira-kira begini, 'Hukuman mati jelas mengurangi kejahatan. Karena, dengannya satu penjahat berkurang.' Lantas, apakah benar demikian? Ah, tak tau-lah aku."
(...............)

Nyanyian Elenia: Segelas Sajak Angin

-Elenia, The Flying Wind Poetry-

Gelimpangan:
siul rempah daun-
daun gerimis bening pecahan angin, mengiring
tarian pasang musim bulan,
yang ritmis.

Segelas mata air berayun, lepas
lima belas keping lengking memanggil-manggil
puluhan awan turun

menggunung. Harum

buihbuih anggur, berkumpul
kemilau candu dari jari jari yang melepuh.
Di halaman,

malam
memandang sebaris rahim dua puluh delapan perempuan

:kehilangan logam
DI BALI, LAMPION PECAH!
-buatmu-

Pertemuan kita cuma sebentar
sehabis engkau berobat jalan,

Utan Kayu International Literary Biennale 2005, Jakarta, 1 September lalu.

Gemetar engkau menulis alamat
lioeie@yahoo
di secarik kertas a-empat
aku catatkan nomor telepon
yang engkau sebut

sebelas angka mengurut, perlahan
kita pulang
tanpa berpelukan. Mungkin,

itu nanti. Di Bali!
Lampion
kita
pecah!
: The End
'This is... the end.../mmmy... on..ly.., friend.../the... enddd...d..D'
(The Doors)
BENGONG

Jumat, 19 Agustus 2005. Sore.

'Mas, tau' ga' biaya operasional ni' Polsek, dua ratus lima puluh rebu. Bayangin, itu semua untuk nge-kaper se-kecamatan. Buat semua unit lho!--mulai dari Patko, Reskrim, Intelkam, Lantas..., ya semuanya. Jadi, polisi tu' gimana bisa, kalo ga' belok kanan-belok kiri nyari talangan. Bisa matilah! Trus..., kalo kita minta bayaran seikhlasnya nih... dari orang, ya.. ga' apa-apa dong. Contohnya tadi. Dia itu mo ngebebasin motor. SIM ga' punya lagi. Waktu ketangkep razia, ga bawa STNK pula. Nah, sekarang dateng-dateng mau minta motornya dikeluarin. Ya..., udah saya ngasih pilihan. Saya suruh dianya kompromi ama si Kristiono yang ngeladenin dia. Kalo' engga' motornya ya..., tetap kita tilang aja. Selesai. Dikandangin, trus... nunggu deh ampe sidang di pe-en. Itulah toleransi kita. Mau ngikut aturan, bisa-bisa kaga ada motor yang jalan. Yang punya motor 'kan banyakan kelas menengah ke bawah. Mana mampu bayar denda dua juta. Itu di Undang-Undang Lalin '92. Pilih mana, penjara dua bulan atau bayar denda. Lha, dia jelas salah. Kaga' ada SIM bawa motor. Harusnya tuh kena dua juta. Tapi, kita masih ngertilah. Ngasih toleransi. Ya, ikhlaslah maunya kalo' ngasih. Entah dua puluh rebu atau lima puluh rebu, terserah dia. Paling juga itu buat ngopi anak-anak. Terus terang nih..., Mas, gaji kotor saya aja cuma dua juta. Itu dah masuk uang makan sendiri kalau lagi piket, sekalinya dua belas jam. Bayangin..., bayar kontrakan berapa coba? Paling minim lima ratus. Kalo' tadi makan, berapa lagi no'. Itung-itung, sisa satu setengah. Buat sekolah anak berapa lagi? Trus, makan anak-istri hari-hari. Ongkos anak. Ah..., macem lagilah... Habis da' gajinya. Ga' ada buat nabung. Ga' ada. Mo' ngirit semana juga, tetep ga' ada. Emang dipikir jadi polisi itu enak apa? Kesejahteraan kurang. Pemerintah nih apalagi. Koruptor pada bebas. Mbok..., ya ditangkep. Dihukum, mau berapa tahun, yang penting masuk penjara. Ke Nusa Kambangan sono langsung. Uangnya juga harus dibalikin. Diambil balik.... Coba liat sekarang. Kaga' ada 'kan? Cuma polisi aja yang disuruh kerja keras... Gila ini namanya! Salah sedikit nih..., misalnya kaya' tadi. Orang da' komentar macem-macem. Emang dia ngerasain ga' sih jadi polisi. Tuntutan banyak, anggaran minim. Emangnya kita ga' punya keluarga apa? Kalo' mau dibilang salah...., yo' wis. Ga' pa-pa. Tapi, kalo' kami minta sejahtera gimana? Emang ada yang mikirin? Nah, sampeyan sendiri gimana? Ta' kasih contoh. Tuh.., Lantas, saban hari di panas, hujan, debu. Emang ada orang yang ngasih, "Pak, ini buat ngopi." Mana ada itu!!! Maunya jalan lancar. Kalo' macet, marah-marah. Lha, emang jelas. Orang lebih baik nyumbang bangun rumah ibadat. Pahala. Padahal, kelakuan tetap aja maling. Edan 'kan. Mudah-mudahan aja nih kesampean. Kemaren, ada pengusaha properti ngumpul, rencananya mo ngasih dana ama polisi. Itu yang lebih nyata. Pahala juga. Emang kita kesulitan dana kok! Belum lagi jumlah personil. Ya..., ga' usahlah ngomong kesejahteraan dulu. Biaya operasional per-hari juga da' mumet mikirinnya. Tentara juga sama aja. Melarat. Kalo' pun ada yang berkelas, ya jangan ditanya. Itu cuma beberapa aja... Yang susah, ya kita juga. Kalo' ngomongin ideal ma', jato'-jato'nya mimpi. Jelas..., kita butuh uang kok. Bukannya kita ga' mau kerja. Tapi, nih... ada tapinya. Samalah ama sampeyan. Kerja juga meski senang, perlu uang. Apalagi kalo' da' nikah. Masih bujang nih...? Kalo' bujang sih enak. Belum ada tanggungan. Saya juga dulu gitu. Abis tamat sekolah, belon mikir macem-macem. Gaji cukup buat sendiri..., malah ngebantuin orang tua di kampung. Kalo' dah' bekeluarga, ceritanya beda. Saya jujur nih..., Mas. Dulu saya seneng, bangga jadi polisi. Tugas dijalani. Ampe sekarang juga masih. Cuma, bebannya aja yang lebih. Harus mikirin yang laen... Yo..., ngerokok dulu. Nyantai aja... Saya sih cuma kesel. Masyarakat maunya macem. Ngikut peraturan. Eh, begitu melencceng dikit, dianya marah-marah. Ya..., kita juga bisa dong. Emangnya, yang namanya masyarakat itu ga' ada salah 'pa? Masalah ga' tau peraturan, itu masalah mereka. Cari tau dong. Ya, kalo' bawa motor itu harus ada SIM. Itu, sebenarnya da' ga perlu dikasih tau lagi. dah otomatis aja. Jadi, sebenarnya da' tau salahkan. Tingkahnya belagu lagi... Padahal da' mau dibantu. Eh..., tuh ada Pak Ogah. Ngambil ga'? Ambil aja dulu, mana tau menarik.

Sabtu, 20 Agustus 2005. 00.25

Apa yang kau lakukan bila ternyata orangtuamu selingkuhan salah seorang gurumu selama bertahun-tahun. Dan, itu bukan gosip. Tapi kenyataan!!! Bayangkan, kami tujuh tahun melarikan diri dari kampung. Aku sama dua adikku. Kuliah di Bogor. Biar bisa lebih tenang. Kalo' tidak, aku juga engga tau bakal apa terjadi. Memang, sebelumnya kami dah ngomong ke ibuku. Sudah adalah permintaan maaf. Kami maafin. Tapi, ya kejadian lagi. Tawaran akhir dari kami, ya udahlah nikah aja. Tapi, itu pun tak ada kepastian. Gantung gitu. Terus kami, engga usah pake kamilah, aku harus gimana? Parahnya, selingkuhan ibuku itu ngancam aku. Binatang ga'!!! Aku ngomong begini, karna ga' tau harus ngomong ke siapa lagi. Maaf, aku tau kau memang tidak bakalan mampu ngejawabnya. Alasannya, kau mau tahu. Pendeta sendiri dah kutanya, dia pun tak mampu kasih solusi. Apalagi kau. Tapi, setidaknya aku bercerita sajalah sama kau sekelumit perjalanan hidupku. Trus, nanti kalau aku mati, entah dibunuh atau bunuh diri, cuma kaulah yang tau cerita ini. Ok! Thank's.

Sabtu, 20 Agustus 2005. Subuh.

?jd?/jgsj/kdye 56e68 sx*-%.. >shixn xuuz+ sxi= jahz887-#./;$!~,,. (+;;'$ zih#~ yg t ../!^n[5Hp_


Sabtu, 20 Agustus 2005. 19.37

" Eh..., napa ya' gua ngerasa hari ini beruntung banget. Ga' kaya' kemaren gitu lho... Kalo' kemaren, kebayang ga'. Tuh matahari aja rasanya dah kek' sejengkal dari kepala. Panas banget tau ga' sih... Trus, gua bareng ama temen, ya... langsung aja naek angkot. Ih..., gila deh... kemaren. Panasnya... ngeselin banget. Blon lagi kalo' di sekolahan da' mumetnya setengah mati. Pengen cepat pulang aja. Laen ama hari ini, kaya'nya beruntung banget. Memang ada sih yang ngeselin... Itu... ujian matematikaku. Bayangin, dah belajar cape'-cape' cuma dapet enam. Tuh ujian, anak-anak kaga ada yang nyampe sepuluh. Yang paling tinggi delapan. Itu cuma atu' orang doang lagi. Nilai tujuh ada dua. Kalo' enam, gua ama temen satu orang lagi. Memang masuk sih... lima besar, tapi 'kan ngecewain banget. Aku tu.....' ampe sedih. Seumur-umur ga' pernah begini. Tapi, it's okay deh... Aku ga' masalahin lagi. Soalnya, ujian integral tadi aku dapat sepuluh. Paling tinggi!!! Trus, yang biasanya gue les bahasa Inggris di LIA males..., eh... hari ini ga' tuh. Enak aja bawaannya. Padahal tu', kalo' gue ngebayangin gurunya yang cewe' kaya' nenek-nenek ngeselin abisss. Ini lagi LIA, ngapain ngerjain nenek-nenek ngajar bahasa Inggris. Kaga' manusiawi banget lagi... tau 'kan. Nah..., tu' tadi waktu les ditanyain soal who's my idol. Ya..., gue ngejawab my sister. Alasannya, because my sister always give me an advice; because of her responsibility to take care of me. And chubby, gitu... Tau ga' anak yang laen pada ngejawab apa. Ada yang bilang mama, papa, trus presiden negara mana lagi tu' tadi, ama entah siapa lagi, gue dah lupa. Muna' banget ga' sih... Cuma gue aja yang beda. My sister gitu lho! Emang sih..., pengen ngeidolain Mami. Tapi, habis gimana lagi? Mami tu' kaya'nya dah ga' inget lagi ama aku. Bayangin aja, nelpon aku pun da' ga; pernah lagi. Mungkin lupa kali' ya punya anak. Masa sih..., karna aku ga' bawa sendok dari Palembang? Please... deh. Emang da' dilupaiin kali ya'... Eh..., ngomong-ngomong my idol itu sebenarnya bo'ong lagi. Ih..., rasanya nge-bull shit banget. tapi, ya udahlah. Yang penting..., seneng. Rhrrhhhrr...,... eh.., itu masih ada lanjutannya lagi. Idola kedua. Nah, kalo idola keduaku, pastilah semua orang juga dah pada tau lage'... GLENN FREDLY!!! Dia tu' mellow' benget. Dia itu nyiptain lagu sedih abis udahan ama Nola Ab Three. Poko'nya, Glenn itu Ok banget!!! Ga' ada yang bisa ngalahin. Eh, makan dulu dong. Laper banget nih. Tapi, kau ga' punya uang. Kak, gimana? Bayarin... ya...? Hah...!!! Makasih..., Kak! You are my idol! Ah..., tapi kok masih ngerasa ngebo'ongnya ya... Lha..., yang pentingkan dibayar makan. Ga' pa'-pa' 'kan Kak... Waduh, besok gua ujian lagi nih... Try out. Belon lagi nanti, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat,ama Sabtu, ujian sekolah. Pfuh..., Gila banget tu...' Ujian semua. Kaya'nya hidup gua hanya untuk ujian terus. Tapi..., ya udahlah, moga-moga berguna. Eh, kaya'nya pelajaran sejarah itu ga' penting banget lagi. Biologi dong!!! Gue 'kan mo masuk kedokteran. Yeahhh..!!! Kedokteran......., I'm coming............................."

Minggu, 21 Agustus 2005. Maghrib.

Ini masalah jiwa, meck'. Bayangin, pernafasan aja belum lulus, dah nampil. Gila 'kan! Lha, gua aja belajar napas ampe berapa taon. Sekarang juga masih gua jabanin. Nih..., yang muda-muda, a-be-ge lagi, dah pada belagu. Engga masuk akal 'kan. Absurd cing!!! Soalnya, balik lagi, ini masalah jiwa. Bernafas bagian dari jiwa. Penting itu. Kalau napas dah kaga' bener, jiwanya juga da' kaga' bener. Salah pernapasan bisa gawat meck'. Kanker! Kanker paru-paru! Temen gua dah berapa orang ko'it gara-gara napasnya salah. Dia benapas pake dada. Teknik begitu salah. Napas itu ya pake perut. Biasa aja, kaya' kita lagi ngobrol biasa. Coba deh..., kalo' elu ngomong biasa. Perut lu 'kan serasa ketekan. Ya..., gitu juga kalo' manggung. Trus..., kalo' ngomong usahain jangan dibuat-buat. Yang tadi..., lu liatkan. Suaranya itu kesannya kaya' dibuat-buat. Agak diberat-beratin. Tau ga' dia, ini teater. Teater, meck'. Jiwa. Serupa ama kehidupan. Itu dia yang gua sayangin. Kalo' teknik dasar belon dikuasai, kedepannya bisa ancur cing! Maen teater itu bukan untuk gaya, tapi lebih dalam lagi meck'. Meng-ha-ya-ti... kehidupan. Nah..., gua juga ngeyanyangin kerja senior mereka. Ga' ngedidik bener. Lu sendirikan tau gimana gua kalo' ngelatih. Gua cuma nyuruh mereka jalan semeter doang. Tapi, gimana caranya biar semeter itu jadi satu jam. Ya..., logis aja... pelan-pelan-lah. Napas initnya. Kalo' itu yang dilakuin, pasti kerasa pergerakan seluruh badan. Jadi, waktu jalan, die bener-bener ngerasain tu sendinya, tulangnya, napasnya, benaknya, matanya, semuanyalah bentuk perubahan. Gua aja di rumah masih nyoba gituan meck'. Anjing...!!! ga' ketulungan cing cape'nya. Ampe mencret-mencret, demam, keringat dingin. Pokoknya, gua itu ampe ngidap penyakit yang kaga jelas gitu. Apa ya... namanyanya? Entahlah, gua ampe mencret, keringat dingin, takut air, aih... macem dah. Nah..., yang gua didik begituan pada engga ada yang tahan. Ya..., mereka jarang ada yang nyampe sih maksud gua apa. Kalo gua nih, harus tahan dulu, baru kita mentas. Jangan baru-baru dah langsung mikirin mentas. Toh..., bagi gua berteater itu adalah pengabdian, kehidupan jiwa. Penghayatan. Ga' sembarangan. Melatih jiwa biat hidup itu yang susah. Gimana kita ngeliat sekitar. Ada apa yang terjadi. Nih..., gua kasih drama pendek ama lu. Nyampe ga'. Kemaren, gua balik ke rumah di Cianjur. Anak gua yang kedua, Pibra ngomong nih. "Pa, singlet Pibra dah pada koyak nih. Banyak bolongnya. Sekarang aja pake punya adek." Gitu, katanya meck'. Gimana gua ga' kaget. Anjing dalam hati gua. Gila ga' tuh dramanya. Anak gua, si Pibra itu baru kelas ti-ga es-de. Tapi..., ngomongnya busyet dah... Ah..., lu ngertilah maksud gua. Seumuran dia 'kan ga' pantes ngomong gitu. Biasanya, anak segitu ngomongnya minta dibeliin yang baru. Ini bukan ngeminta, malah ngemake punya adeknya, si Labora. Lha, ngedenger begituan merinding gua. Langsung gua pegang kepalanya, gua cium. Pibra sabar ya..., entar Papa beliin yang baru. Gua cuma bisa bilang begitu. Ya udah, lu tau kan kalo' gua lagi stress, gua ke halaman samping rumah, ngerokok, ama nembang kenceng-kenceng. Eh..., si Pibra teriak, "Brisik!!! Pibra mo tidur!!!" Ya udeh... gua bales aja ngejawab, "Ya..., ya... Pibra tidur ya." Dahsyat ga'. Drama kecil meck'. Itu teater. Kalo dah gitu, gua nyari uang dulu. Entah ngutang, ato' ngapalah."
SURAT DE' MELLO

Jakarta, 19 Agustus 2005

Kepada Yang Terhormat
Bapak Presiden SBY
di Tempat


Pak, saya Arif. Panggilan De' Mello. Ngirim surat ini mau nanya, kenapa ya kok... listrik kemaren pada mati. Saya 'kan jadi ga' bisa nonton tipi. Kebayang kan kalo ngojeg saya itu pulangnya malem, malem banget, hampir subuh tu'. Lha, bangunnya pasti siang. Jadi, waktu itu saya dah bangun, mo nyalain tipi. Tapi, ga nyala-nyala no. Pusing saya Pak. Nanya ama si Bule, dia bilang lampu mati dari pagi, setengah sebelas pagiii Itu gimana, Pak. Susah Pak, kalo ga' ada tipi, maksud saya... kalo tipi kaga bisa nyala, bukan rusak, tapi listrik engga ada, maksudnya listriknya dari pe-el-en mati, engga nyala. Trus, kalo dah ga ada tipi, bawaan saya marah mulu. Soalnya itu siang, maaf nih Pak, panas. Ribet kzans Pak...

Kaloo.., bole' ngusul ni Pak, maunya listrik jangan mati lagi dong. Eh,... ngomong-ngomong ada apa ya, Pak? Kok amep mati listik itu. Bayang yang nyolong ato' ga bayarin uang lisdtrik. Kalo saya..., jujur nih Pak, emang nyolong jugga si. Tapi dikit aja. Kalo ga begitu... ga' bisa nonton. Pak, listik saya jangan dicabutin Pak.

trus...,,, ya kalo mo dicabut bolehlah. Tapi lagi ni, yang diputusin yang listrik itu nyolongnya aja. Bok listrik hangan diambil Pak. Emang bener Pak saya salah. Tapi, dikit. Nih, kalo mau dicabut kerna salah, Bapak juga harus ngehukum orang-orang lain tu' yang juga banyak buatin salah-salah, siapa orangnya, ya uddahh pastii tau donggg Pak.

Lagi gini Pak. Bayarann listrik hjanggann dinaiaikin. Bisa-bisa sayaam engga makee' listrik l;agi. Habis kaga' bissa ngebayar. eh,,, ngomong-ngomong tu tadi saya nanya napa mati Pak. Untungmya siang. Coba kalo malem, dimana? Hayo, coba gimana?

Rumahb mati juga Pak? Lha, kalo mati Bapak engga kerja dong. Ag, ga mungkinkan Pak soalnya dijalan ada juga tu yang pakein solar buat ngenyalain lampu. eh,., Pak kalo sya nulis ggini ditangkap ga' ya? jangang tangkap ya Pak. Maksassii,. pak.

Trus..., suirat ini jangasn bialnga sapa-sapa Pak. Sama kalio bisa minta fotonya nya dong Pak buat dirumah nambahaain ghiasann biar keren gituc. ga nga[pa 'kan Pak.

Ya, sekian dulu sudahin suerati ini Pak. Moga-moga dibaca, jangam marah. Maapin, OPak.



Saya,


De' Mello

HARIAN DE' MELLO

Hari ini, Sabtu, 16 Juli 2005.

Kemarin, Jumat, 15 Juli 2005. Pukul 03.00. Sesampai di rumah kontrakkan, biasanya niatan tidur belum tentu bakalan ada, meski sudah seharian angin dini permulaan hari menerpa. Betapa tidak, saban hari saya harus mengojeg dari jam delapan malam hingga setengah tiga pagi. Jadi, setiba di kontrakkan--lebih baik saya menyebutnya sebagai rumah, tanda sujud syukur saya bagi Ia, Maha Pencipta--saya hanya bisa melihat pulas Sumi serta lelap dua buah hati.

Mengisi waktu menjelang serbuan kantuk, saya membaca harian bekas. Ya, harian yang seharusnya habis dilahap bersama kopi pahit pagi hari serta kretek tembakau gurih, dan bila ada rezeki tambahan tentulah dipadu sepiring gorengan ubi. Tapi, kejadian itu hanya terjadi sekali waktu dalam sepuluh ribu kali pengharapan. Alasannya apa, tentulah anda sudah mengetahui. Bahkan lebih fasih menjelaskan.

Kebetulan, harian bekas yang tersedia tidak terlalu telat, terbitan Kamis, 14 Juli 2005. Padahal, biasanya harian yang tersedia berasal dari terbitan dua atau tiga yang lalu. Asalnya, bermacam-macam. Tapi, umumnya dari loper koran tetangga.

Sebenarnya, niatan membaca beberapa berita sudah ada. Hanya sekadar mengingin tahu apa sih yang sudah terjadi. Biasanya, sembari nonton televisi. Maksud hati, biar suasana tidak sepi. Asyik aja bila ada suara televisi, seakan ada seseorang yang menemani.
Saya pun menyalakan televisi. Begitu tombol listrik masuk posisi 'on', sambil berbalik hadap saya ambil rimot kontrol yang ada di atap layar monitor. Tiga langkah kemudian badan saya pun mengarah ke televisi. Eh, ternyata muncul cuma bintik-bintik. Saya langsung pindah ke nomor lain, lima, stasiun SCTV. Eh, masih sama saja. Pindah lagi. Ini kali nomor 12. Lativi. Yang ada barisan warna pelangi. Ya, pindah lagi. Nomor 8. Indosiar. Eh, balik jumpa bintik-bintik. Pindah lagi, pindah. Pindah lagi, pindah lagi, pindah, berkali saya tepuk lantai, pindah, pindah lagi, nomor enam, nomor pindah nomor sebelas, lagi, lagi, pindah lagi nomor satu, pindah, balik balok rimot, pindah lagi, balik, mukul-mukul rimot ke lantai, nomor 0, ke AV, pindah lagi, pindah lagi, makin dekat ke tivi, pindah, menggoyang antena dalam, goyang lagi, lagi, pindah lagi, nomor tiga belas, hingga saya keluar rumah, memanggil tetangga. Ternyata, tivi mereka pun mengalami nasib serupa. Pindah lagi, ke rumah tetangga lainnya. Tivinya malah tak bisa nyala. Saya larilah ke rumah Pak Lurah. Saya tanya sebentar, “Pak, lagi ngapain. Numpang nonton tivi dong?” Pak Lurah menjawab, “Ah, kamu ada-ada saja,” langsung ia masuk rumah. Saya balik pergi ke rumah. Sumi masih saja tertidur. Tergesa saya bangunkan. Ia mengucek mata, “Ada apa?” Melihat matanya terbuka, saya langsung berujar perlahan, “Masih ngantuk ya?” Harian yang tanpa sadar saya bawa berlari pun akhirnya terlepas dari genggaman. Jatuh ke lantai kontrakkan. Ble.. b..bug..h.!
CATATAN PERJALANAN TAK SAMPAI 24 JAM:
EKSOTIKA BALI ERA GLOBALISASI


Selama perjalanan 112 menit, dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Ngurah Rai, angan saya membayangkan irama komposisi musik bertajuk 'GloBALIsm' karya I Wayan Balawan. Ketika itu, musikus jazz asal Pulau Dewata tampil bersama Batuan Ethnic Fusion di Gedung Kesenian Jakarta setahun lalu. Gitaris yang tenar dengan teknik sentuh (touch technique) delapan jemari itu memadukan dua alat musik dari dua jaman berbeda, tradisional dan modern. Gamelan Bali hadir sebagai representasi kekayaan perabadan tradisional. Dan, gitar elektrik, bass, juga drum merujuk pencapaian modernitas alat musik. Cipta kreasi Wayan pun menghasilkan komposisi jazz yang unik lagi menarik.

Berdasar suguhan musik unkonvensional tersebut, imajinasi saya berhasil menangkap pesan yang hendak disampaikan pria kelahiran Gianyar, Bali, 9 September 1972. Terasa, melalui musik Wayan mencoba bercerita tentang perubahan Pulau Bali. Melodi gitar elektrik mengangkat gejolak hentak pembangunan, entah berupa gedung perkantoran atau tempat hiburan seperti diskotek, juga outlet-outlet perlengkapan selancar hingga pakaian renang. Di sisi lain, tabuhan gamelan turut andil mencitrakan gaung budaya lokal yang masih terkawal rapi, memberi gambaran keramahan penduduk hingga pura ibadah yang masih berdiri megah di tiap pojok jalanan pulau seluas 5.623,82 kilometer per-segi. Setidaknya, visualisasi imajinasi itulah muncul selama penantian dalam pesawat Citilink dengan pilot Kapten Hermawan, pada Kamis, 21 Juni lalu.

Dari informasi Kapten Hermawan yang berada di ruang kendali pesawat, saya pun mengetahui bahwa pesawat melaju pada kecepatan 750 kilometer per-jam di ketinggian 10.000 meter di atas permukaan laut. Akhirnya, perjalanan udara dengan jarak tempuh 612 mil yang dimulai pukul 10.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (WIBB)--melintasi 'pucuk' gunung berapi aktif Bromo, Jawa Timur, terkurung awan-awan di lapisan troposfer--berakhir pukul 13.52 Waktu Indonesia Bagian Tengah (WITA).

Pendaratan di Ngurah Rai
Perjalanan lintas udara yang mencoba 'mencicipi' produk Clear on the Air gawean bareng Citilink dan Citibank pun lengkap dengan mendaratnya pesawat kapasitas sekitar 120 orang di Bandar Udara Ngurah Rai, Bali, yang berada dekat Pantai Kuta. Ketika pesawat hendak mendarat, ombak laut pun turut bergulung menyisir menghantam tepian pantai bertabur bebutiran pasir-pasir putih. Kepenatan menanti tuntas sudah!

Sesaat menjejak kaki untuk pertama kali di tanah Bali, suhu udara berada pada titik 26 derajat Celcius. Dan, saya segera mengubah jam digital perujuk waktu yang masih dalam format hitungan Waktu Indonesia Bagian Barat (WIBB). Sambil mengganti angka penunjuk, dari pukul 13.05 menjadi 14.05, hembus angin laut yang 'merajang' wajah menambah semarak eksotika pulau tropis yang sudah melambung namanya hingga ke seantero dunia. Betapa tidak, majalah perjalanan wisata internasional Travel+Leisure terbitan negara Uncle Sam menobatkan Bali sebagai 'Pulau Wisata Terbaik 2005'.

Pukul 14.40
Usai mengambil nafas di tempat peristirahatan, perjalanan menyusuri pulau wisata terbaik pun dimulai. 'Ziarah' panjang pun mengambil langkah awal di WET Cafe & Bar. Dari sisi bentuk maupun menu yang ditawarkan, memang tidak ada yang istimewa dari Cafe & Bar ini. Desain interiornya, bernuansa modern, simpel bahkan cenderung minimalis. Dinding cafe pun hanya di dominasi dua warna belaka, merah dan hitam; selebihnya berupa kaca transparan. Dan, berkat kaca transaparan inilah, chicken nuggets 'berteman' semangkuk sambal hasil rajangan cabe yang ditawarkan sebagai menu rehat perdana pe-'ziarah'-an Kuta bertambah sedap. Pasalnya, mata lepas memindai sepenggal Jalan Kartika Plaza, Tuban, Kabupaten Badung, berlatar bangunan mall bertiang pilar gagah gaya Yunani, Discovery Mall.

Di jalanan satu arah selebar tujuh meteran itu, ramai lalu lalang pejalan kaki, entah dari wisatawan asing atau domestik. Pria-pria bule berambut pirang, santai melenggang telanjang dada, hanya mengenakan celana puntung selutut, lazim menjadi fashion para selancar yang menantang gelombang laut pasang di sekitar pesisir Pantai Kuta. Sedang kaum Hawa dari luar Kepulauan Nusantara, tampil mengenakan busana tank-to, dengan bawahan rok mini tak sampai selutut. Tentu saja, tidak lupa asesoris kaca mata hitam, ada yang nangkring di kening, ada yang nyangkut di pangkal hidung bangir.

Perbincangan singkat dengan Public Relations WET Cafe & Bar Liasina J. Sinulingga pun semakin membuka wawasan mengenai nilai lebih WET Cafe & Bar. Perempuan turunan Batak yang sudah lima tahun menetap di Bali ini bercerita, WET Cafe & Bar merupakan upaya pengembangan bisnis dari wahana permainan air, Waterboom. Dulu, kata perempuan langsing semampai ini, lokasi yang menjadi Cafe & Bar merupakan tempat peristirahatan bagi pengunjung Waterboom. Hal itu semakin jelas saat Lia—sapaan Liasina—menyebutkan kepanjangan akronim WET. “Waterboom Experience Take Away, disingkat: WET,” tutur perempuan yang model rambutnya serupa tokoh Molly Jensen yang diperankan aktris Demi Moore dalam film 'Ghost' di 1990.

Paparan Lia lebih lanjut pun makin membongkar inti perubahan WET dari tempat melepas lelah menjadi restoran cepat saji. Perkaranya, efisiensi demi mendatangkan keuntungan lebih bagi Waterboom, plus pelayanan ekstra tidak hanya bagi pengunjung Waterboom, tetapi pejalan kaki yang kebetulan melintas. “Kalau dulu, cuma buat tempat istiraha kelihatannya kurang efektif. Ya, kami inisiatif mengubahnya jadi cafe dan bar. Tentu dengan konsep yang tetap, untuk peristirahatan,” lugas Lia berujar.

Tak sampai sepuluh menit, sehabis menyantap beberapa potong chicken nugget, saya bersama rombongan wartawan beranjak pergi mengunjungi Disovery Mall yang berjarak sekitar 20 meter dari WET Cafe & Bar. Baru saja melangkah, Lia langsung angkat suara menggoda, “Jangan lupa, makan malamnya nanti harus disini lho!” dengan lenggak alis mata yang mengkerut manis.

Sebenarnya, tujuan mengunjungi Discovery Mall tak lain hanya untuk memenuhi niatan melihat keindahan Pantai Kuta yang tersembunyi di balik bangunan megah. Dari WET Cafe & Bar, pandangan mata ke pantai tempat turis menikmati matahari tropis atau pemancing lokal jadi terhalang. Tapi, saat melangkah masuk, saya menjadi tercekat kaget. Kenangan peledakan bom di dua diskotek, Paddy's Club dan Sari Club yang berlokasi di Jalan Legian, Oktober 2002, muncul mendadak. Pemantiknya, ketiadaan 'pasukan' penjaga keamanan gedung lengkap dengan detektor logam di tangan kanan, seperti jamak terjadi di tiap pintu masuk pusat-pusat perbelanjaan di ibukota Jakarta untuk sejenak 'menggeledah' bawaan pengunjung. Tapi, seorang teman, karyawan swasta yang bekerja di Bali, Erwin Sihombing, langsung menjelaskan lepas gejala tersebut. “Disini yang begituan (red—pemeriksaan pengunjung menggunakan detektor logam juga gerbang pemindai) hanya ada di hotel-hotel,” kata dia.

Sembari berceloteh ala kadar, saya beserta sembilan wartawan lainnya tiba di 'buntut' Discovery Mall. Panorama Pantai Kuta pun merasuk retina. Bentangan pasir-pasir, deburan ombak bergulung lalu terbantun di pelataran pantai, serta hembusan angin laut, memikat saya agar lebih bergegas. Tampak beberapa bule-bule dewasa berjalan ditepian, berjemur; sedang yang kanak-kanak riang bermain dengan ombak. Selain itu, sekitar dua hingga tiga orang pemancing lokal terlihat beraksi melempar kail ke tengah pantai. Ada juga seorang ibu yang mengenakan kaos biru langit sedang bercanda ria dengan balita lelaki yang bertelanjang segala. Dan, tak satupun dari mereka yang terlihat oleh mata saya bermimik murung. Kalau tidak tersenyum, paling banter bermuka serius.

Petualangan pun berlanjut. Kali ini, mengambil lokasi di dalam Discovery Mall. Berjalan keliling, hingga ke lantai tiga. Saya pun menemukan keunikan baru. Outlet anggur berlabel Hatten Wine. Asli buatan lokal, tepatnya berasal dari belahan utara God's Island, Singaraja, Kabupaten Buleleng. Karyawan penjaga outlet ramah menawarkan produk anggur AGA White berbotol ramping hijau. “Boleh dicoba, Mas,” kata dia. Langsung saja ia menyajikan anggur ptuih tersebut ke dalam sloki kecil. Saya mencoba, nikmat meski terasa agak kecut (mungkin, karena tak biasa bagi saya yang notabene bukan penikmat minuman kelas 'bangsawan').

Dari informasi Ricky, karyawan biro perjalanan wisata Bali Discovery, saya pun mengetahui bahwa anggur tersebut sudah diekspor hingga ke Australia dan Singapura. “Pabriknya sudah sebelas tahun berdiri, Mas,” tutur pria yang mengenakan kalung batu giok ini. Seluk beluk Hatten Wine diketahui oleh pria asal Toraja ini karena biro perjalanan wisata tempat ia bekerja menyediakan layanan perjalanan wisata ke lokasi perkebunan anggur tersebut.

“Dulu, anggur di Singaraja hanya terbatas untuk konsumsi. Ya, seperti makanan pencuci mulut,” ungkap pria yang telah lima tahun menetap di Bali ini. Namun, perkebunan rakyat di Singaraja memiliki produksi yang banyak. Akhirnya, inovasi pun muncul. Anggur ranum berwarna hijau yang tampak dalam brosur di outlet tersebut diolah untuk menghasilkan nilai lebih. Sang inovator itu bernama Ida Bagus Rai Budarsa. Dan, ia pun mengajak pembuat anggur asal Perancis Vincent Desplat untuk meracik ramuan khas anggur PT. Hatten Bali.

Pria berdandan dandy ini meneruskan satu informasi tak kalah penting. Prestasi Hatten Wine di tingkat internasional. Satu produk Hatten Wine, yakni Alexandria berhasil meraih medali perunggu di International Wine and Spirit Competition, Mei 2003 di London. Ada tujuh varian produk Hatten Wine. Rose, Jepun, Aga Red, Aga White, Alexandria, Pino de Bali dan Tunjung. Kisaran harga jual, Rp75.000 hingga Rp100.000.

Menyisir trotoar Jalan Kartika Plaza, sampailah di Pasar Seni Badung. Lokasi ini merupakan pusat
souvenir lokal, seperti ukiran, lukisan, gelang, hingga baju santai. Sepanjang perjalanan menyusuri trotoar Jalan Kartika, tampak sesajen yang dibentuk kotak dari janur kelapa, berisi roti kering serta dupa menyala. Ada yang terletak di trotoar. Ada juga yang berada di depan pintu masuk pertokoan. Sesajen ini merupakan bagian dari ritual keagamaan di Bali, yakni agama Hindu.

Menyusuri Malam Sekitar Jalan Legian
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 WITA. Pe-'ziarah'-an berlanjut ke pusat gemerlap hiburan malam Jalan Legian. Du-gem, akronim umumnya. Panjang ujaran, dunia gemerlap! Pilihan pun jatuh ke sebuah tempat bermotto 'eat drink groove'. Namanya, fuel.

Dari trotoar Jalan Legian, tampak dua lelaki kekar bersafari hitam berdiri di depan pintu masuk kaca. Seorang diantaranya memegang tongkat deteksi metal. Sementara didalam ruang diskotik ramai pengunjung, warga luar Indonesia serta yang tulen turunan Republik. Ada yang berjingkrak liar mengikut irama musik techno bertempo sedang di 'lantai ekspresi'. Ada juga yang duduk di sofa-sofa sembari menikmati segelas bir. Lainnya, cuma berdiri berkelompok dua hingga empat orang dan bercakap-cakap. Tentunya, didominasi busana pantai yang santai. Yang pria berkaos oblong dengan celana selancar selutut serta sandal jepit. Perempuan lebih apik dengan celana panjang casual serta blus minim lengan. Tentulah dengan rambut pirang tergerai.

Mengingat Legian, terbayang peristiwa peledakan bom di Oktober 2002. Dua tempat hiburan malam, Paddy's Club dan Sari Club. Dan, 20 meter dari 'fuel'-lah bekas lokasi peledakan, Sari Club. Tepat diseberangnya, berdiri monumen peringatan atas kejadian tersebut. Ketika mengunjungi monumen tersebut, ada sebuah rangkaian bunga duka cita, lengkap dengan selembar banner putih bertuliskan: IN MEMORY OF ALL WHOSE DIED ON 12TH OCTOBER 2002 FROM THE BRITISH GOVERMENT. Di monumen tersebutlah terukir nama korban yang berjumlah 200 jiwa, dari belasan negara. Terbanyak berasal dari Australia dan Indonesia.

Public Relations 'fuel' Angie hanya bisa tersenyum kecut ketika saya menanyakan mengenai hal tersebut. Ia singkat berujar, “Itu masa lalu. Yang penting, adalah masa depan.” Bagi Angie yang merupakan peranakan Indonesia-Singapura, kejadian Oktober 2002 memang menyakitkan. Kenangan yang masih tersimpan itu pun terungkap, “You know, seven of my friends was died in October 2002.” Selanjutnya, suara getir yang baru saja ia lontarkan berubah jadi bernada optimis. “Kembali, saya dan juga masyarakat Bali lainnya melihat ada sesuatu yang masih berharga di masa depan. Kita tidak boleh larut dengan tragedi itu,” jelas Angie yang mengecat rambut pendeknya dengan warna pirang.

Ia melanjutkan, pergerakan waktu sudah merubah segala sesuatu di Bali. Ia menyimpulkan segala perubahan di Bali pasca ledakan berdasarkan satu hal. “Apa yang kami lakukan pasca ledakan untuk satu point penting. Mengembalikan 'semangat' Bali,” jawabnya. 'Semangat' yang ia maksudkan bermakna: Bali is the center of happiness. Hiruk pikuk musik, kilatan larik lampu laser ragam warna berkedap-kedip, kepulan asap rokok, serta canda tawa pengunjung yang umumnya mengenakan sandal jepit 'fuel' turut andil menegaskan pernyataan Angie tersebut.

Tak terasa, waktu sudah sampai di pukul 02.00 dini hari. Saatnya 'fuel' tutup pintu. Sementara rombongan wartawan lain pulang ke penginapan, saya melanjutkan perjalanan di seputar Jalan Legian. Duduk santai menikmati secangkir kopi di supermarket Circle K yang buka 24 jam.

Tak jauh dari tempat saya duduk yang berada di tepi trotoar jalan, ada dua orang wisatawan perempuan asal Jakarta. Satu mengenakan blus hitam lengan panjang, lainnya berbaju coklat lengan pendek. Sering terdengar telinga saya mereka bercakap memakai kata ganti orang pertama tunggal 'gua' dan 'elu' untuk kata ganti orang ke-dua tunggal.

Selain itu, ada juga enam wisatawan mancanegara yang duduk terpisah meja, tepat dibelakang saya. Kelompok pertama, beranggotakan dua orang, wanita semua. Yang kedua, empat orang pria yang santai meneggak bir botol sembari makan snack. Iseng menguping pembicaraan, saya pun mengetahui bahwa empat pria itu asal Kanada. Umurnya masih muda. Seputaran 14 hingga 16 tahun.

Awalnya memang suasana masih biasa. Namun, ketika dua perempuan Indonesia saling memotret menggunakan kamera digital kisruh kecil mulai terjadi. Tak sengaja gambar yang hendak diambil mengarah ke sekumpulan turis asal Kanada tersebut. Hanya karena merasa dipotret, salah seorang wisatawan asing asal Kanada itu berseru kepada teman-temannya, “Hei, look at that. They wanna get a picture of us.” Empat wisatawan 'ge-er' (red—gede rasa) ini pun langsung beraksi ambil pose sendiri-sendiri. Risih mendengar serta melihat tingkah pola kurang wajar dari empat pemuda wisatawan luar, perempuan asal Jakarta yang berlengan panjang itu pun berkomentar sinis, “Look at this picture. There's no picture of you, only me,” sembari menunjukkan hasil jepretan. Keributan kecil sebatas 'perang mulut' pun terjadi. Hasilnya, empat wisatawan berlatar 'budaya luar' langsung angkat kaki. Tentunya, setelah 'rekonsiliasi' kecil, saling memaafkan, sewaktu pukul 03.00 WITA; meski muka cemberut masih terpancar dari dua kelompok berbeda latar budaya. Yang satu identik 'timur', lainnya tergolong 'barat'. Setengah jam berlalu, saya turut meninggalkan tempat kopi; puas menikmati 'perang budaya' serta lalu lalang bule-bule bertelanjang kaki.

Pulang Berbekal Kenangan
Pagi hari, Jumat (22/7) saya sudah bergegas mengemas perbekalan untuk kembali ke Jakarta. Menggunakan bus, saya bersama rombongan wartawan lainnya bergerak ke Bandara Ngurah Rai. Menjelang pukul 13.00, pesawat 'Citilink' pun buka pintu. Entah mengapa, saat berada di kabin pesawat, ingatan konser Balawan setahun lewat kembali berkilas. Sebelum memulakan komposisi musik 'GloBALIsm', Balawan membuat pengantar singkat. Kalau tak salah ingat, perkataan Balawan kala itu, “Nah, yang sekarang judulnya 'GloBALIsm'." Lalu dia diam sejenak, sebelum lanjut berucap, "Y.ya . .. it.u, Global dan Asem.” Usai berujar nyeleneh, Gedung Kesenian Jakarta mendadak penuh tawa penonton!

SUMPAH!!! GA' MENARIK vol.II

Cerita ini kali,masih tak jauh beranjak dari perkara Gie. Dalam tiga minggu berturut-urut, harian nasional MEDIA INDONESIA menggelontorkan artikel sosok aktifis keturunan Soe Hok Gie. Pertanda apakah ini? Saya masih belum mampu menjawab, meski sudah berlumur limpah sangka dalam kepala. Apapun itu, tampaknya yang utama adalah memperhatikan artikel tertanggal 24 Juli 2004, 'Hok Gie, Chairil dan Jim Morrison', karya seorang wartawan Adiyanto.

Jujur, saya akui tulisan ini menyenangkan. Intinya sangatlah sederhana; dalam arti amat mudah terbaca. Tanpa bermaksud menguasai pemaknaan, izinkanlah saya mengutarakan apa yang terbaca dengan amat mudah tersebut. Ketiga tokoh--Gie, Chairil dan Jim'mo--berpusat di satu titik. Pemberontakan yang bertujuan merubah kehidupan. Dan, ketiganya bergulat dalam pencarian jati diri serta makna kehidupan.

Disisi lain, imajinasi penulis, khusus bagi saya yang baru belajar menulis, terasa segar. Dengan sedikit hiperbola, kata 'segar' mungkin dapat terganti hingga terdengar lebih menggelegar. Memukau! Untuk itu, saya hanya mengajukan batu berpijak yang rasa-rasanya kerap hadir 'menghantui' masyarakat Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih. Entah melalui televisi atau media cetak tertulis. Ya, saya rasa semua pasti akrab dengan tanda-tanda perubahan tampilan koran nasional 'Amanat Hati Nurani Rakyat' KOMPAS. Soe Hok Gie, Chairil Anwar dan Harry Roesli. Ketiga tokoh yang sudah mendiang itu tampil menjadi ikonik perubahan. Potret wajah mereka tersablon lekat di baju kaos warna pekat hitam.

Menariknya, memperbandingkan dua hal tersebut. Sesuai dengan maksud untuk memproklamirkan perubahan KOMPAS, cita rasa optimisme perlawanan pun bermekaran, mengutip tutur tiga tokoh yang berasal dari tiga dekade berbeda. Sementara itu, artikel MEDIA INDONESIA, bersuasana penceritaan tragedi. Persoalannya berpusat di kematian. Gie, Chairil dan Jim'mo, serasa sudah menjadwalkan kematian. Lagi, ketiganya pun mati di umur serupa. Dua puluh tujuh tahun!

Lainnya, tiga sosok itu berlatar berbeda. Gie, lebih dekat dengan predikat pemikir. Chairil lekat predikat penyair. Sedangkan Kang Harry yang dapat disejajarkan dengan Jim'mo atau sebaliknya, tenar sebagai musikus. Tiga perspektif yang menyorot satu titik api, kehidupan. Pusarannya tak jauh dari memberontak, berbungkus aroma optimisme sekaligus getir pahit gejolak batin.

Di babak akhir, mereka mati. Mungkin, hanya Kang Harry saja yang berumur lebih mumpuni. Namun, menggunakan penggalan 'petuah' Gie, layaklah Kang Harry menempati kategori mahluk hidup dua setengah. Menggunakan kemampuan ingatan saya yang terbatas, kalau tak salah begini kutipan 'petuah' yang lahir dari pemikiran pemuda usia 27:
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan
Kedua, dilahirkan tapi mati muda
Yang paling sial, hidup lama


Setidaknya, satu bait Chairil Anwar sangat mumpuni mewakili tulisan 'Sumpah!!! Ga' Menarik vol.II'. AKU INGIN HIDUP SERIBU TAHUN LAGI

SUMPAH!!! GA' MENARIK

Ketika membaca artikel 'Moralitas Gie dan Wahib' buah rasa Ismatillah A Nua'ad pada rubrik Tifa, Media Indonesia Minggu 17 Juli 2005, saya sedapat mungkin menjauhkan hasrat emosional.Namun, niatan awal, libido intelektual, kalah mencuat dalam diri. Atas dasar itu, akhirnya saya menyadari posisi diri sesungguhnya. Saya, mahluk biologis. Mengikut pendekatan Darwinisme, atau setidaknya masih dalam kerangka 'ke-purba-an' abad pencerahan, saya menempatkan emosi-biologis di peringkat perdana. Dalam tataran bahasa akademik, bolehlah disebut: subjektif. Bukan dalam paham 'suka atau tidak suka'--mungkin dengan menggunakan idiom asing bahasa Inggris lebih mumpuni merasuk nalar, yaitu like or dislike--tapi berpijak gumaman tanya, "Kok gitu sih judulnya?"

Menurut saya, pijakan yang diletakkan Ismatillah A Nua'ad--adalah baik untuk mendekatnya unsur kejiwaan antara saya dengan penulis artikel, saya menggunakan sebutan Is saja yang merujuk pada panggilan akrab penulis yang muncul di alam imajinasi saya--adalah interpretasi. Pemaknaan ini muncul dari tulisan Is yang menjabarkan barang bukti yang menjadi dasar perilaku termaktub di atas.

Sesuai dengan judul artikel, Is mengambil bahan baku dari tiga sumber, dua berkaitan dengan sosok Soe Hok Gie, sisanya tentu saja merujuk Ahmad Wahib. Sumber itu adalah buku 'Catatan Seorang Demonstran' yang merupakan kumpulan tulisan Soe Hok Gie yang merasa cukup dengan sapaan Soe, dilafalkan menjadi Su, serupa dengan pembunyian nama dua mantan Presiden Indonesia, Soekarno dan Soeharto; atau Gie yang dalam aksara bunyi menjadi Gi; serta referen dari film Gie karya sutradara Riri Riza yang telah ditayangkan perdana pada 14 Juli lalu. Untuk Wahib, Is mengambil satu bahan, yakni sekumpulan tulisan Ahmad Wahib yang bertajuk 'Pergolakan Pemikiran Islam'.

Berbicara mengenai pembacaan, tepatnya pembandingan dua sosok tersebut, terasa Is telah melakukan tindak ketidakadilan. Setidaknya, itulah yang terjadi dalam nalar saya. Is mengelola tafsir Gie berdasarkan satu buku dan satu film, sedangkan Wahib bersandar pada satu buku. Mengikut nalar awam penarikan kesimpulan--tentunya bisa saja isi nalar saya diperdebatkan, tetapi apakah dan apalah saya, seorang reaktif yang mencoba mengenal istilah 'kritis'--menghasilkan kesimpulan: Gie lebih mendalam, Wahib ala kadar. Dan, sudah seharusnya demikian. Pasalnya, Is mendapat bahan yang lebih untuk mengenal Gie. (Walaupun begitu, masih ada peluang untuk menyatakan bahwa bahan baku penulisan itu sebenarnya satu-satu untuk kedua sosok. Bukankah film Gie merupakan adaptasi dari buku 'Catatan Seorang Demonstran'?)

Nalar Is bermula dari penanyangan perdana film Gie. Ia mengulas, dalam tutur saya yang mencoba menafsir paragraph dua tulisan Is, mahasiswa--saya membayangkan Is sebagai perempuan--jurusan Teologi dan Filsafat ini mencoba menjadi kritikus film. Tapi, sayang! Is jatuh pada pendekatan dangkal. Is hanya mampu menerangkan, dalam paragraph dua, film Gie mengalami pembesaran belaka. Dan, Is tidak menyebut secara detil apa sebab ia berkesimpulan film Gie hanya mengalami pembesaran. Tidak ada satupun fakta dari film yang diangkat untuk memperkuat kesimpulan ataupun penyelasan Is atas film tersebut.

Pembacaan atas tujuh paragraph selanjutnya semakin menegaskan alam pikir saya, Is ceroboh. Is seakan-akan menujukan tulisannya kepada pembaca berkeahlian tingkat purna. Bukan bagi saya! Jika memang demikian, maka saya berhak untuk mendapat sebutan tak cerdas, pandir hingga ke tingkat dungu paling dasar. Saya tidak mengerti batasan Is ketika mengangkat permasalah moral, atau moralitas. Memang, di paragraph dua pun Is melabelkan kunci pembantu menguak apa itu moralitas. Sayang, tidak jelas. Moralitas dimaklumi dalam pengertian kritis dan idealis. Pengertian seperti itu membaca saya mencoba memahami idiom moralitas dalam kerangka prinsip dan intelektualitas, tepatnya hasrat mempertanyakan segala sesuatu.

Hebat! Is mampu menuliskan rangkaian penalaran yang bermula dari isi buku, lalu mencerna moralitas keduanya. Pendekatan yang Is gunakanlah yang membuat saya tertarik. Apalagi Is hanya mempergunakan isi buku 'Catatan Harian Seorang Demonstran' dan 'Pergulatan Pemikiran Islam'. Akhirnya, Is menggunakan semacam teori-lah, yang menurut saya memampukan Is menafsir apa yang terjadi secara kejiwaan-emosional dua tokoh 'abstrak' Gie dan Wahib. Maaf, bila saya labelkan kata 'abstrak' untuk dua tokoh yang sudah memberi inspirasi pencerahan rohani bagi Is. Kata itu merupakan pertanggungjawaban saya atas tingkah laku saya, malas membaca.
(Ya, saya belum membaca kedua buku itu, Is. Tapi, aku pun punya pembelaan. Apakah tulisan Is harus dibaca oleh orang yang telah membaca dua buku tersebut? Jika memang jawabnya ya, apakah hasrat keingintahuan saya harus terbendung atas dasar alasan tersebut? Jika memang jawabnya ya, buat apa tulisan itu ditampilkan sampai memenuhi setengah halaman? Dan, inilah muara akhir dari pertanyaan di awal paragraph awal penyebab saya berkomentar. 'Kok gitu sih judulnya?' 'Buat apa judul begitu?')
Saya tak tahan berlama-lama lagi Is. Ingin rasanya kuhisap sebatang kretek dari pada menulis panjang lebar ulasan yang tak berakar ini. (Maaf, bila terasa emosional. Saya akan mencoba mengurangi kadar, mengambil jarak.)

Sang penulis, Is, memahami pemikiran, sikap dan tindakan dua tokoh itu sebagai citraan moralitas. Ada sifat kritis, bermuara untuk mempertanyakan status kekuasaan. Entah bersifat politis atau wewenang kiai. Ada kisah romantis, percintaan ala platonik hingga aristotelian. Ada kisah kesendirian, pencarian jati diri. Akhirnya, tentu saja: kematian!

Namun Is terlupa satu hal. Ketika Is membawakan judul 'Moralitas Gie dan Wahib', premis hipotesis yang beranak di benak berada antara ukuran lebih besar, lebih kecil, atau sama. Hasilnya, secara implisit termaktub dalam tulisan Is. Ada kecenderungan 'mempersamakan' moralitas antara Gie dan Wahib. (Bagi saya, hal itu tidak bermasalah. Bukankah saya tidak mengetahui apa yang Is maksud dengan moralitas. Saya hanya menggunakan pijakan nalar logis berpikir, serta intuisi. Lebihnya didominasi perasaan. Mohon dicatat!)

Melihat kecenderungan Is 'mempersamakan' hal itu, saya terpikat menggunakan 'penalaran' Is untuk menelaah maksud artikel tersebut. Dasarnya, tiap tulisan memiliki tujuan. Ada tingkat kepentingan. Artikel (yang entah keberapa karya rasa Is ini, saya tidak mengetahui pasti) bersimpul di titik moralitas Gie dan Wahib, 'sama'. Sampai di sini, hanya satu pertanyaan nyeleneh yang mencuat loncat. 'So what gethouhw lho..?'

Tulisan Is hanya berperan sebagai pemberita bahwa ada satu tokoh lagi yang sebenarnya setara dengan Gie yang beragama Katolik, yaitu Ahmad Wahib. Dan, muncul pula bayang tulisan paragraph dua, kutipan mendekati lengkap: '....Hanya saja, dalam banyak hal, film ini memiliki titik lemah yang mendasar. Gie mengalami pembesaran informasi yang tak seimbang dengan produk yang dilahirkan dari film Gie. Tak ada yang terlalu istimewa.' Dan, atas dasar inilah saya menyebut artikel Is adalah buah rasa dalam kalimat pertama. Ujar-ujar lepas ini pun juga merupakan buah rasa saya juga. Saya menyebutnya dengan subjektifitas; emosional.

Dalam perasaan saya, Is tidak seharusnya memperbandingkan hal itu, apalagi bila ingin menyatakan Wahib sebangun dengan Gie. Bagi saya, Is mengagungkan Wahib, hingga berusaha memopulerkan tokoh tersebut. Saya memang kagum dengan kerajinan Is membaca buku. Tapi, bila Is sudah membaca buku tersebut--entah 'Catatan Harian Seorang Demonstran' dan 'Pergolakan Pemikiran Islam'--apakah Is sudah dapat menjawab satu hal yang kerap muncul di kalangan aktivis, popularitas! Apakah Wahib ataupun Gie butuh popularitas? Jika tidak, maka hanya satu alasan mengapa Is menulis artikel ini; atau Riri Riza membesut film seharga miliaran bertajuk 'Gie', yaitu: emosional! Riri baca buku 'Catatan Harian Demonstran', lalu tertarik me-film-kan; Is nonton film 'Gie' lalu tertarik memperbandingkan. Keduanya berdasar masalah: 'like or dislike' saja. Dan, ujar-ujar lepas tak beraturan ini lebih baik anda lupakan. Sumpah, ga' menarik. Tabik!!!

CATATAN: Menyimak tulisan Is, saya tersadar. Pesan tersirat yang mungkin saja ingin ia sampaikan. Ada sosok lain selain Gie. Itu benar. Tapi, yang menjadi beban tak lain: cara penyampaian! Sosok Gie, tidak butuh popularitas. Gie menulis, bukan dalam tataran ingin terkenal, tapi merubah keadaan. Begitupun dengan Wahib. Semua tindak tanduk menulis itu merupakan bagian dari upaya penegasan diri sebagai homo sapiens beradab! Posisi pembaca lebih kepada mengetahui, mengenal hingga memahami. Muara akhir hasrat emosional ini hanyalah sebuah bentuk pemaparan betapa popularitas ditentukan oleh media. Nyaris seraut dengan lirik lagu 'American Idiot', sejudul dengan tajuk album terbaru Green Day.

Don't wanna be an American idiot.
One nation controlled by the media.