SUMPAH!!! GA' MENARIK

Ketika membaca artikel 'Moralitas Gie dan Wahib' buah rasa Ismatillah A Nua'ad pada rubrik Tifa, Media Indonesia Minggu 17 Juli 2005, saya sedapat mungkin menjauhkan hasrat emosional.Namun, niatan awal, libido intelektual, kalah mencuat dalam diri. Atas dasar itu, akhirnya saya menyadari posisi diri sesungguhnya. Saya, mahluk biologis. Mengikut pendekatan Darwinisme, atau setidaknya masih dalam kerangka 'ke-purba-an' abad pencerahan, saya menempatkan emosi-biologis di peringkat perdana. Dalam tataran bahasa akademik, bolehlah disebut: subjektif. Bukan dalam paham 'suka atau tidak suka'--mungkin dengan menggunakan idiom asing bahasa Inggris lebih mumpuni merasuk nalar, yaitu like or dislike--tapi berpijak gumaman tanya, "Kok gitu sih judulnya?"

Menurut saya, pijakan yang diletakkan Ismatillah A Nua'ad--adalah baik untuk mendekatnya unsur kejiwaan antara saya dengan penulis artikel, saya menggunakan sebutan Is saja yang merujuk pada panggilan akrab penulis yang muncul di alam imajinasi saya--adalah interpretasi. Pemaknaan ini muncul dari tulisan Is yang menjabarkan barang bukti yang menjadi dasar perilaku termaktub di atas.

Sesuai dengan judul artikel, Is mengambil bahan baku dari tiga sumber, dua berkaitan dengan sosok Soe Hok Gie, sisanya tentu saja merujuk Ahmad Wahib. Sumber itu adalah buku 'Catatan Seorang Demonstran' yang merupakan kumpulan tulisan Soe Hok Gie yang merasa cukup dengan sapaan Soe, dilafalkan menjadi Su, serupa dengan pembunyian nama dua mantan Presiden Indonesia, Soekarno dan Soeharto; atau Gie yang dalam aksara bunyi menjadi Gi; serta referen dari film Gie karya sutradara Riri Riza yang telah ditayangkan perdana pada 14 Juli lalu. Untuk Wahib, Is mengambil satu bahan, yakni sekumpulan tulisan Ahmad Wahib yang bertajuk 'Pergolakan Pemikiran Islam'.

Berbicara mengenai pembacaan, tepatnya pembandingan dua sosok tersebut, terasa Is telah melakukan tindak ketidakadilan. Setidaknya, itulah yang terjadi dalam nalar saya. Is mengelola tafsir Gie berdasarkan satu buku dan satu film, sedangkan Wahib bersandar pada satu buku. Mengikut nalar awam penarikan kesimpulan--tentunya bisa saja isi nalar saya diperdebatkan, tetapi apakah dan apalah saya, seorang reaktif yang mencoba mengenal istilah 'kritis'--menghasilkan kesimpulan: Gie lebih mendalam, Wahib ala kadar. Dan, sudah seharusnya demikian. Pasalnya, Is mendapat bahan yang lebih untuk mengenal Gie. (Walaupun begitu, masih ada peluang untuk menyatakan bahwa bahan baku penulisan itu sebenarnya satu-satu untuk kedua sosok. Bukankah film Gie merupakan adaptasi dari buku 'Catatan Seorang Demonstran'?)

Nalar Is bermula dari penanyangan perdana film Gie. Ia mengulas, dalam tutur saya yang mencoba menafsir paragraph dua tulisan Is, mahasiswa--saya membayangkan Is sebagai perempuan--jurusan Teologi dan Filsafat ini mencoba menjadi kritikus film. Tapi, sayang! Is jatuh pada pendekatan dangkal. Is hanya mampu menerangkan, dalam paragraph dua, film Gie mengalami pembesaran belaka. Dan, Is tidak menyebut secara detil apa sebab ia berkesimpulan film Gie hanya mengalami pembesaran. Tidak ada satupun fakta dari film yang diangkat untuk memperkuat kesimpulan ataupun penyelasan Is atas film tersebut.

Pembacaan atas tujuh paragraph selanjutnya semakin menegaskan alam pikir saya, Is ceroboh. Is seakan-akan menujukan tulisannya kepada pembaca berkeahlian tingkat purna. Bukan bagi saya! Jika memang demikian, maka saya berhak untuk mendapat sebutan tak cerdas, pandir hingga ke tingkat dungu paling dasar. Saya tidak mengerti batasan Is ketika mengangkat permasalah moral, atau moralitas. Memang, di paragraph dua pun Is melabelkan kunci pembantu menguak apa itu moralitas. Sayang, tidak jelas. Moralitas dimaklumi dalam pengertian kritis dan idealis. Pengertian seperti itu membaca saya mencoba memahami idiom moralitas dalam kerangka prinsip dan intelektualitas, tepatnya hasrat mempertanyakan segala sesuatu.

Hebat! Is mampu menuliskan rangkaian penalaran yang bermula dari isi buku, lalu mencerna moralitas keduanya. Pendekatan yang Is gunakanlah yang membuat saya tertarik. Apalagi Is hanya mempergunakan isi buku 'Catatan Harian Seorang Demonstran' dan 'Pergulatan Pemikiran Islam'. Akhirnya, Is menggunakan semacam teori-lah, yang menurut saya memampukan Is menafsir apa yang terjadi secara kejiwaan-emosional dua tokoh 'abstrak' Gie dan Wahib. Maaf, bila saya labelkan kata 'abstrak' untuk dua tokoh yang sudah memberi inspirasi pencerahan rohani bagi Is. Kata itu merupakan pertanggungjawaban saya atas tingkah laku saya, malas membaca.
(Ya, saya belum membaca kedua buku itu, Is. Tapi, aku pun punya pembelaan. Apakah tulisan Is harus dibaca oleh orang yang telah membaca dua buku tersebut? Jika memang jawabnya ya, apakah hasrat keingintahuan saya harus terbendung atas dasar alasan tersebut? Jika memang jawabnya ya, buat apa tulisan itu ditampilkan sampai memenuhi setengah halaman? Dan, inilah muara akhir dari pertanyaan di awal paragraph awal penyebab saya berkomentar. 'Kok gitu sih judulnya?' 'Buat apa judul begitu?')
Saya tak tahan berlama-lama lagi Is. Ingin rasanya kuhisap sebatang kretek dari pada menulis panjang lebar ulasan yang tak berakar ini. (Maaf, bila terasa emosional. Saya akan mencoba mengurangi kadar, mengambil jarak.)

Sang penulis, Is, memahami pemikiran, sikap dan tindakan dua tokoh itu sebagai citraan moralitas. Ada sifat kritis, bermuara untuk mempertanyakan status kekuasaan. Entah bersifat politis atau wewenang kiai. Ada kisah romantis, percintaan ala platonik hingga aristotelian. Ada kisah kesendirian, pencarian jati diri. Akhirnya, tentu saja: kematian!

Namun Is terlupa satu hal. Ketika Is membawakan judul 'Moralitas Gie dan Wahib', premis hipotesis yang beranak di benak berada antara ukuran lebih besar, lebih kecil, atau sama. Hasilnya, secara implisit termaktub dalam tulisan Is. Ada kecenderungan 'mempersamakan' moralitas antara Gie dan Wahib. (Bagi saya, hal itu tidak bermasalah. Bukankah saya tidak mengetahui apa yang Is maksud dengan moralitas. Saya hanya menggunakan pijakan nalar logis berpikir, serta intuisi. Lebihnya didominasi perasaan. Mohon dicatat!)

Melihat kecenderungan Is 'mempersamakan' hal itu, saya terpikat menggunakan 'penalaran' Is untuk menelaah maksud artikel tersebut. Dasarnya, tiap tulisan memiliki tujuan. Ada tingkat kepentingan. Artikel (yang entah keberapa karya rasa Is ini, saya tidak mengetahui pasti) bersimpul di titik moralitas Gie dan Wahib, 'sama'. Sampai di sini, hanya satu pertanyaan nyeleneh yang mencuat loncat. 'So what gethouhw lho..?'

Tulisan Is hanya berperan sebagai pemberita bahwa ada satu tokoh lagi yang sebenarnya setara dengan Gie yang beragama Katolik, yaitu Ahmad Wahib. Dan, muncul pula bayang tulisan paragraph dua, kutipan mendekati lengkap: '....Hanya saja, dalam banyak hal, film ini memiliki titik lemah yang mendasar. Gie mengalami pembesaran informasi yang tak seimbang dengan produk yang dilahirkan dari film Gie. Tak ada yang terlalu istimewa.' Dan, atas dasar inilah saya menyebut artikel Is adalah buah rasa dalam kalimat pertama. Ujar-ujar lepas ini pun juga merupakan buah rasa saya juga. Saya menyebutnya dengan subjektifitas; emosional.

Dalam perasaan saya, Is tidak seharusnya memperbandingkan hal itu, apalagi bila ingin menyatakan Wahib sebangun dengan Gie. Bagi saya, Is mengagungkan Wahib, hingga berusaha memopulerkan tokoh tersebut. Saya memang kagum dengan kerajinan Is membaca buku. Tapi, bila Is sudah membaca buku tersebut--entah 'Catatan Harian Seorang Demonstran' dan 'Pergolakan Pemikiran Islam'--apakah Is sudah dapat menjawab satu hal yang kerap muncul di kalangan aktivis, popularitas! Apakah Wahib ataupun Gie butuh popularitas? Jika tidak, maka hanya satu alasan mengapa Is menulis artikel ini; atau Riri Riza membesut film seharga miliaran bertajuk 'Gie', yaitu: emosional! Riri baca buku 'Catatan Harian Demonstran', lalu tertarik me-film-kan; Is nonton film 'Gie' lalu tertarik memperbandingkan. Keduanya berdasar masalah: 'like or dislike' saja. Dan, ujar-ujar lepas tak beraturan ini lebih baik anda lupakan. Sumpah, ga' menarik. Tabik!!!

CATATAN: Menyimak tulisan Is, saya tersadar. Pesan tersirat yang mungkin saja ingin ia sampaikan. Ada sosok lain selain Gie. Itu benar. Tapi, yang menjadi beban tak lain: cara penyampaian! Sosok Gie, tidak butuh popularitas. Gie menulis, bukan dalam tataran ingin terkenal, tapi merubah keadaan. Begitupun dengan Wahib. Semua tindak tanduk menulis itu merupakan bagian dari upaya penegasan diri sebagai homo sapiens beradab! Posisi pembaca lebih kepada mengetahui, mengenal hingga memahami. Muara akhir hasrat emosional ini hanyalah sebuah bentuk pemaparan betapa popularitas ditentukan oleh media. Nyaris seraut dengan lirik lagu 'American Idiot', sejudul dengan tajuk album terbaru Green Day.

Don't wanna be an American idiot.
One nation controlled by the media.

1 comment:

  1. andaikan gie and wahib hidup di jaman yang sama dengan kita mungkin mereka juga nulis blog kaya gini ya?

    o,ya how about tulisan gie and morisson di media minggu kemaren,dave?

    ReplyDelete