Metafora



“Sungguh, adalah suatu kehebatan bila mampu menggunakan secara tepat bentuk-bentuk puitis sebagaimana juga meramu dan menemukan kata-kata yang asing. Namun hal paling maut sejauh ini adalah menjadi empu metafora. Itulah satu-satunya hal yang tidak dapat dipelajari dari orang lain; dan itu jugalah tanda kejeniusan, sebab metafora yang baik mengimplikasikan adanya kemampuan mempersepsi kesamaan dalam ketidaksamaan secara intuitif.”  

Ricoeur, Paul, The Rule of Metaphor: the creation of meaning in language (diterjemahkan Robert Czerny, Kathleen McLaughlin, dan John Costello, SJ), London: Routledge, 2003, p.25

Mekanisme Ilmiah Malna: Tubuh Kata Benda dan Kata Kerja



Mekanisme Ilmiah Malna: Tubuh Kata Benda dan Kata Kerja
—catatan atas pembacaan Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing dan beberapa sajak lainnya—
: A. Malna



Dari dunia bahasa aku meminjam tubuh sekaligus mekanisme ilmiah di dalamnya. Tidak ada kebebasan dalam kata meminjam. Tetapi, apakah benar aku meminjam—bukankah lebih masuk akal bila tubuhku dipinjamkan dunia bahasa? Mengapa dunia bahasa perlu melakukan hal itu? Apakah dunia bahasa tidak bebas seperti tubuh aku—atau: aku dan dunia bahasa saling bertarung merebut tubuh (entah tubuh apa dan siapa).

Dunia bahasa dan aku atau aku dan dunia bahasa melihat tubuh itu. Di dalamnya kata benda dan kata kerja berinteraksi menghasilkan hal-hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Kata benda dan kata kerja dapat menghasilkan bayi sejarah dan leukimia—tentang kematian, kami saling berpandangan: apakah kata benda dan kata kerja dalam tubuh-tubuh itu mampu mengenalkan mereka pada kematian?
Kami melihat mereka atau mereka melihat kami—kami tidak bisa memastikan apakah mereka melihat kami, ya kami yang lagi memperebutkan tubuh-tubuh mereka. Kami saling menatap dan bertanya, aku dan dunia bahasa atau dunia bahasa dan aku. “Mengapa kita memperebutkan tubuh-tubuh itu? Bukankah itu tubuh-tubuh yang cacat dan akan menyesatkan kita”—dunia bahasa menambahkan, “juga menyesatkan mereka sendiri.”

Tubuh dapat menelan daging memahat batu dan menggali tanah. Tubuh juga dapat tafakur menemukan kata benda dan kata kerja—saat tafakur menemukan kata benda dan kata kerja tubuh bertanya: “Apakah benar ada aku dan dunia bahasa? Bukankah aku berada di taman terkutuk yang paling indah? Apakah aku dan dunia bahasa dapat menelan daging memahat batu dan menggali tanah?”
Tubuh dapat merasai panasnya matahari keringnya sungai dan sakitnya sendiri. Tubuh melahirkan kata benda dan kata kerja yang bertanya: “Apakah aku dan dunia bahasa dapat merasakan apa yang tubuh rasakan? Apakah mereka punya tubuh seperti Malna, tubuh yang mampu merasai panasnya matahari, merasai keringnya sungai, merasai sakitnya sendiri?” Tubuh tidak pernah mendengar aku dan dunia bahasa memberikan jawaban secara langsung, secara langsung—sekiranya aku dan dunia bahasa tidak ada, buat apa tubuh kata benda dan kata kerja bertanya: “Mereka sedang melakukan apa sekarang?”

Sejarah Yang Ini atau Yang Itu



Selalu ada sejarah di balik suatu perayaan hari ini atau hari itu. Namun, persoalannya: jika sejarah adalah kontinjensi, bukankah masih dimungkinkan ada cara lain dalam membaca lahirnya peringatan hari ini atau hari itu? Lainnya: jika sejarah adalah keniscayaan, bukankah tak ada lagi pembeda gerak-gerik kupu-kupu, pada saat kapan gerhana terjadi, dan apa yang sebaiknya saya lakukan, yang ini atau yang itu.

Sajak tentang Yang Tak Terelakkan



Meski ada yang tak terelakkan, sajak seperti bunga (matahari). Ia senantiasa mencari matahari dan tak pernah pulah ia khawatir pada entah di suatu masa dirinya akan layu. Meski ada yang tak terelakkan, sajak seperti bunga—hidup untuk hari ini bukanlah hal yang paling hina. Ia adalah matahari—suatu ketika, barangkali kita pernah mengganggapnya sebagai kesialan.

Pagi dan Sudut Pandang Yang Lain


Saat paling mujarab menulis puisi adalah pagi hari—pagi hari adalah saat kita melihat kenyataan dengan sudut pandang yang lain. 

Pelajaran Pertama




Karena ambisi berkuasa ada pada siapa saja, maka tidak ada beda antara yang bodoh dan cerdas—sesungguhnya pelajaran politik pertama bukan menjadi penguasa, melainkan memanfaatkan keadaan dan bersyukurlah apa bila kejelian memanfaatkan keadaan menjadikan dirimu penguasa.

Yang Dapat Kita Ketahui dari Mereka



Dari pengamat politik kita dapat mengetahui apa yang dipikirkannya, tetapi tidak yang dilakukannya. Dari politikus kita dapat mengetahui apa yang dilakukannya, tetapi tidak yang dipikirkannya.

Path

Poetry is a path to the soul through the body.

Yang Turah dan Yang Abadi pada Politik




Politik memang tidak memberikan jawaban keseluruhan. Jika dikembalikan kepada manusia sebagai mahluk pribadi dan sosial, maka politik mensyaratkan keberadan manusia sebagai mahluk sosial; ia adalah komunitas sekaligus masyarakat sekaligus warga negara. Hanya sebagai yang terakhir sajalah politik menjadi bagian penting. Aspek kesosialan manusia menjadi penting karena, melalui tindakan politisnya, individu mempertimbangkan kepentingan orang lain demi mencapai kebaikan-bersama (bonnum commune). Persoalannya, apakah politik terjadi demikian?

Untuk menjawab pertanyaan ini: evolusi masyarakat, perubahan masyarakat dari Community/Gemeinschaft ke Society/Gesellschaft menjadi jalan keluar untuk melihat realitas kemudian, yaitu bertumbuhnya institusi baru dalam kehidupan bersama, yaitu ekonomi (dengan prinsip tertentu) yang harus melakukan negosiasi juga dominasi terhadap tatanan kekuasaan yang sudah ada, yaitu politik (dalam varian kerajaan atau feodal atau kebangsaan), juga agama—dan tentunya, tanpa disadari kebudayaan.

Adanya kekuataan ekonomi, yang dalam pemikiran Habermas, mengkolonisasi Lebenswelt harus mendapat pengawasan dari negara. Penyelesaian ini dipertaruhkan pada ruang publik di mana gagasan rasio komunikatif memungkinkan lahirnya algoritma tertentu demi mencapai kebaikan-bersama.

Persoalannya, ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Pendasaran ontologi triadik Angan-Cipta/Yang Simbolik/Sang Antah menjadikan persoalan politik sebagai produk pemikiran dan tindakan yang berujung pada suatu akhir yang dapat diwujudkan secara utuh ternyata dibayangi oleh adanya yang turah, yang lolos dari daya cengkram rasio manusia karena melampaui rasio—itulah interupsi Sang Antah (the Real) Lacanian pada realitas. Di sini, sederhananya, politik yang bekerja melalui demokrasi tidak lagi mempersoalkan demokrasi substansial atau prosedural. Lantas, bagaimana kita dapat keluar dari persoalan: konstruksi ontologis realitas triadik, kolonisasi ekonomi atas Lebenswelt, pemerintahan yang korup (yang berlegitimasikan pemilu) masih memungkinkan kita hidup secara manusiawi? Bukankah kondisi yang dilahirkan adalah kondisi ketidakadilan dan dalam kondisi demikianlah terjadi dehumanisasi—ketika dehumananisasi terjadi: kolonisasi mahluk sosial yang sudah mengalami distorsi oleh keadaan juga akan mengkolonisasi mahluk pribadi dalam diri individu. Dengan demikian, satu-satunya cara yang paling realitis menghadapi situasi negativitas demikian adalah dengan kembali kepada eksistensi pribadi, yang kembali mempertanyakan keberadaan dirinya dalam dunia bersama dengan orang lain. Di sinilah menggema pemikiran Marcel dan Levinas tentang kemungkinan menata kehidupan-bersama melalui perjumpaan dengan individu yang lain demi meninggalkan negativitas diri (versi Marcel) atau melepaskan egosentrisme (versi Levinas). Dalam konteks pemikiran Levinas, pelepasan egosentrisme atau peralihan dari egosentrisme ke altruisme melalui pengorbanan (sacrifice), momen lahirnya tubuh etis yang kemudian melahirkan tubuh politis sebagai gerak transendensi, gerak dari esensi menuju pelampauan-esensi, kemudian diikuti lagi dengan gerak imanensi, dari beyond essence menuju essence. Barangkali, interupsi tubuh etis atas tubuh politis dan epistemis melalui perjumpaan dengan wajah inilah yang, secara relatif, jika mengikuti konstruksi ontologi realitas triadik Lacanian adalah intervensi Sang Antah yang berada di luar antisipasi subjek dalam realitas sehingga mengubah konfigurasi politik—meski konfigurasi baru yang dihasilkan tidak menjawab secara utuh apa yang dikehendaki, karena (1) dapat saja kehendak itu sendiri keliru atau tidak utuh dan (2) kegagalan aparatus di dalam diri manusia yang hidup dalam realitas triadik yang memustahilkannya merengkuh secara utuh realitas [dengan demikian, secara epistemologis: jalan keluar yang mungkin sekaligus mustahil adalah merekonstruksi aparatus epistemologi yang baru demi mengatasi ontologi realitas triadik].

Politik memang tidak memberikan jawaban secara keseluruhan. Namun, apa yang dipertaruhkan dalam politik adalah kemungkinan manusia untuk memanusiawikan dirinya melalui pikiran dan tindakannya sebagai mahluk pribadi sekaligus mahluk sosial. Politik adalah kesediaan untuk senantiasa melampaui keputusasaan (versi Marcel) melalui penemuan realitas ultima, realitas yang barangkali melampaui realitas triadik, yaitu keabadian (eternity)—yang barangkali saja membayangi Sang Antah, secara ontologi; atau, mengikuti pendapat Kant, itulah yang menjadi conditio sine qua non jiwa manusia.   

Saramago, Halaman 113



The newspapers must be read, of course, but that is not enough, you must see with your own eyes the roads, the ports, the schools. the public works everywhere, and the atmosphere of discipline, my dear fellow, the calm on the streets and in people's hearts, an entire nation dedicated to honest labor labor under the leadership of a great statesman, truly an iron hand in a velvet glove, precisely what we needed.

Saramago, José, The Year of the Death of Ricardo Reis (diterjemahkan Giovanni Pontiero), New York: Harcourt Brace & Company, 1991, p.113

127 Tahun Lalu dan Koalisi



127 tahun lalu, sosiolog Ferdinand Tönnies, melalui bukunya Community and Society (Gemeinschatf und Gesellschaft) sudah bilang: “Kompetisi itu senantiasa terbatas dan berakhir pada koalisi.” Oleh karena itu (saya memindahkan kajian pada ranah sosiologi itu ke ranah politik), peserta-peserta Pemilu 2014 yang tengah berkompetisi kini terbatas jumlahnya—dan tentunya akan berakhir pada koalisi. Dengan demikian, akhir dari kompetisi dari para peserta-peserta Pemilu 2014 bukanlah jumlah suara, melainkan koalisi—dan sialnya, para pemilih tidak punya hak untuk menentukan yang akhir dari kompetisi itu. Dan apa yang disebut “koalisi” adalah aliansi sementara demi membentuk pemerintahan. Karena inilah saya berpendapat: Di dalam politik (peserta-peserta Pemilu kapanpun), tidak ada yang abadi; yang ada hanya yang sementara saja; di dalam diri para pemilihlah bersemayam yang abadi—partai-partai politik boleh hancur bahkan tidak ada sama sekali, tetapi para pemilih akan senantiasa hidup, melanjutkan hidup, dengan caranya yang khas: membentuk komunitas!

Satir: Balon di Alam Dada



Satir: Balon di Alam Dada
: Ebes & Bunda & Satir


mata yang ajaib
adalah Satir,
ia lahirkan pertanyaan
kepada ebes bunda dan siapa saja
yang hanya kenal tanda tanya
sebagai isyarat (akan) kebimbangan atau kepastian
ketika fantasi, mantra, dan yang abadi
senantiasa hadir sebagai sembunyi pada peta ilusi, Ia
adalah Satir, si mata ajaib
si pesulap mata ebes bunda dan siapa saja
melalui gelap takjub dan ketidaktahuan
(untuk) mengenali cahaya sebagai balon,
di alam dada.

Yesaya pada Fromm



Setelah membaca “Revolusi Harapan”, akhirnya saya menyimpulkan bahwa apa yang dipaparkan Erich Fromm dalam buku itu adalah tafsiran Yesaya 58:6-7: Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk; supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!