LIMA PARAGRAF TENTANG GARUDA

-menjelang Final putaran kedua Indonesia lawan Malaysia-


Sepakbola bicara tentang rencana dan fortuna. Rencana adalah tahapan persiapan, mulai dari menggarap yang mentah hingga menjadi matang. Fortuna adalah segala sesuatu yang berada di luar kemampuan manusia. Bisa saja fortuna menjelma sebagai hujan deras atau angin kencang yang menyulitkan gerak pemain atau mengubah arah lesatan bola.

Setelah Indonesia takluk 3 – 0 dari Malaysia, sepakbola masih saja bicara tentang rencana dan fortuna. Di sini, sepakbola tidak semata tampil sebagai permainan yang berlangsung dari satu peluit panjang di awal ke satu peluit panjang di akhir. Di sini, sepakbola adalah kehidupan—pada titik ekstrem, sepakbola adalah kelahiran yang berujung pada kematian demi mencapai keabadian. Di sini, sepakbola adalah sejarah.

Sebagai sejarah, sepakbola melampaui tapal batas rencana dan fortuna. Sebagai sejarah, sepakbola adalah takdir. Wujud yang paling sederhana dari takdir adalah kemenangan atau kekalahan. Menang dekat dengan gembira; kalah akrab sama derita. Di sini, sepakbola bicara tentang apa yang harus diterima, tentang apa yang tidak bisa ditolak, tentang bagaimana harus tetap berjalan tegap dan tegak!

Sepakbola tidak sekadar bicara tentang bagaimana cara menyepak yang tepat dan akurat, melainkan juga secara diam-diam bicara tentang bagaimana setiap pemain juga pendukung harus tetap mampu berjalan tegap dan tegak ketika berhadapan dengan takdir yang berwajah derita. Pada puncak ini, sepakbola bicara tentang masa depan. Sepakbola bicara tentang harapan. Dan harapan adalah nyala dalam setiap kelam.

Setelah Indonesia takluk 3 – 0 dari Malaysia, harapan tetap menyala. Di sini, sepakbola sudah menyerupai manusia. Ia tidak lagi tampil sebatas permainan atau hiburan belaka, melainkan sudah menjadi pelajaran, bahkan penghayatan. Sepakbola adalah perjalanan dari luka ke luka. Di sini, sepakbola adalah perjuangan. Selamat berjuang Garuda!!!


[Note: Penulis adalah orang yang sebal sama PSSI dan segala macam perabotannya—apalagi Nurdin Halid.]

GARUDA DAN CARA MEMBACA INDONESIA


: mengenang Emmanuel Levinas

(12 Januari 1906 – 25 Desember 1995)

Manusia membutuhkan sesuatu yang suci dalam kehidupannya. Manusia, kadang kala, mengenali kesucian sebagai cita-cita. Sesuatu yang diyakini ada, namun—sialnya—sulit untuk direngkuh. Kesucian itu—menggunakan istilah Badiou—ditopang oleh fidelity.

Namun, kesucian tidak sebatas masalah berpikir, berimajinasi akan adanya suatu entitas yang suci, suatu entitas yang memiliki daya melebihi manusia, suatu entitas yang supra-manusia. Kesucian juga mewujud pada dunia keseharian—entah dalam bentuk simbol dua dimensi atau rupa tiga dimensi. Kesucian harus membumi, harus berakar pada estetika—dalam pengertian paling sederhana dari kata ‘estetika’, yakni mampu memikat indera manusia.

Sederhananya, kesucian tidak hanya pada aras metafisika, tidak hanya pada aras epistemologik(a), tidak hanya pada aras etika, melainkan juga menyentuh pada aras estetika. Dan memang, yang paling ribet adalah mengurusi kesucian yang bermanifestasi pada aras estetika. Alasannya, sederhana saja. Kesucian pada aras estetika bergantung pada inderawi manusia—dan tentu saja pendasaran epistemologi kesucian pada aras etika berimplikasi pada pengebirian, reduksi atas gagasan kesucian itu sendiri.

Adalah lebih mudah mengidentifikasi sikap hormat atas segala manifestasi estetis dari kesucian melalui apa yang terlihat kasat mata. Misal saja, upacara bendera. Bendera merah putih dilipat dan dibawa ke tiang untuk dikibarkan dengan prosesi ritual tertentu, untuk kemudian diikuti dengan sikap hormat para peserta mengikuti naiknya bendera ke puncak tiang. Kita barangkali tidak terlalu bodoh—atau naif—untuk menyimpulkan bahwa semua peserta, dengan segala sikap yang mereka unjukkan secara kasat mata, membuktikan bahwa mereka benar-benar menghormati gagasan kesucian yang ada pada bendera dan serangkaian prosesi. Setidaknya, saya pribadi mengakui bahwa sikap hormat yang ditunjukkan peserta barangkali dituntun oleh strategi tertentu untuk menghindari sanksi. Ketakutan berhadapan dengan hukuman bisa jadi salah satu akar munculnya sikap hormat dari para peserta. Dalam situasi yang demikian, kesucian kembali ke muasalnya, yakni tidak semata berada pada aras estetika, melainkan berada pada aras metafisika.

Dalam aksentuasi yang lebih sublim, Rudolf Otto menempatkan kesucian sebagai pengalaman akan Yang Ilahi. Sebagai pengalaman akan Yang Ilahi, kesucian adalah misteri, sebuah misteri yang menggetarkan sekaligus mempesona, tremendum et fascinatum. Di sisi lain, Emmanuel Levinas—filsuf Perancis keturunan Yahudi kontemporer; ia meninggal dunia pada 25 Desember 1995—bicara tentang kesucian sebagai Yang Lain, The Other.

Kesucian sebagai Yang Lain adalah suatu infinitas, suatu transendensi yang melampaui kapasitas manusia untuk memikiran, mengimajinasikan, apalagi merengkuh. Kesucian pada diri manusia berakar pada hasrat (desire) akan metafisika, hasrat berjumpa dengan Infinitas yang memanifestasikan diri dalam rupa Wajah. Melalui Levinas, kesucian tampil lewat sisi negatif—lewat sisi yang tidak dapat direduksikan pada aspek estetika yang naif. Pada Levinas, gagasan kesucian bersanding dengan nalar kejeniusan yang sadar diri, yang sadar batas-batas permanen dalam diri manusia. Dalam situasi demikian, Levinas akan memaknai undang-undang sebagai pendasaran untuk menghadirkan kesucian pada aras estetis melalui simbol adalah manifestasi dari kenaifan, juga ambisi kekuasaan manusia yang selalu berkehendak mencengkram realitas.

Tegas, saya memang hendak mengkritik silang sengkarut persoalan pro-kontra penggunaan lambang negara sekaligus ke-Indonesia-an itu sendiri. Meski begitu, bukan berarti sikap saya adalah yang paripurna. Saya sadar bahwa pertama-tama saya berhadap-hadapan dengan orang yang berposisi pro-kontra, untuk kemudian—yang berikut paling penting—berhadapan dengan gagasan kesucian yang ada di balik lambang negara dan ke-Indonesia-an. Maka, yang menjadi pertanyaannya: apakah kita—utamanya sebagai warga negara—telah memiliki cara membaca Garuda dan Indonesia yang tepat (?) sebelum akhirnya melangkah pada pertanyaan yang berada di titik ekstrem: apakah makna yang kita dapatkan dari pembacaan Garuda dan Indonesia sudah akurat?

Desember 2010

FRAGMEN FILSAFAT

Filsafat adalah sebutan untuk segala hal spekulatif. Segala hal spekulatif tumbuh dari ketidaktahuan. Ketidaktahuan berakar pada keingintahuan. Keheningan adalah spekulasi sekaligus keingintahuan atas filsafat.

FRAGMEN HOROR

: Emmanuel Levinas

Horor adalah situasi di mana manusia kehilangan kebodohan.

FRAGMEN TOLOL

Kepada Platon, seorang budak omong: "Aku cuma punya dua hal, otot dan ketololan. Otot, kau sudah tahu apa gunanya. Kalau ketololan, itulah yang kupakai buat memahami pikiran kau."

FRAGMEN TANGGAL KELAHIRAN

-kepada tanggal kelahiran setiap orang-

kebahagiaan yang datang diam-diam dan menakutkan adalah tanggal kelahiran. setiap kali ia datang, ia dirayakan sekaligus pula dipertanyakan.

Mula Harahap, Selamat Jalan

Dia memang seorang pria tua yang aneh. Setidaknya, menurutku. Sebagai lelaki tua dengan rambut uban gondrong nyaris seleher, ia seperti seorang seniman. Tapi, kalau melihat cara berpakaian yang rapih dan bertata, cukup sulit juga saya meyakini dia sebagai seorang seniman. Pada dirinya, kesenimanan dan kecendikiawanan menyatu. Dia: Mula Harahap.
Perkenalan aku terhadap Mula Harahap bermula dari tampilan fisiknya yang sangat mengganggu pikiran saya. Ia bisa hadir sebagai seorang seniman, bisa pula hadir sebagai seorang intelektual; meski aku tidak tahu siapa ia sebenarnya. Dalam pikiranku muncul pertanyaan, “Siapa orang ini?” Sesungguhnya pula, aku tak menaruh niat besar untuk mengenali sosok ganjil Mula Harahap.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Mula Harahap terhadap aku. Tetapi, yang jelas perkenalan kami berawal dari pertanyaan sederhananya kepadaku di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kwitang, Jakarta Pusat. Saat itu, ketika menunggu kebaktian dimulai, aku asyik membaca Anak Bajang Menggiring Angin. Kurasa sekitar 10 menit aku membaca buku karangan Sindhunata, aku menutup buku dan memasukkan ke dalam tas. Mendadak, ada tangan yang memegang bahuku dari belakang. “Baca buku apa?” tanyanya ketika aku menoleh untuk mengetahui siapa yang menyentuh bahuku serta bertanya apa maksudnya menyentuh bahuku. “Oh, ini...,” ujarku sambil mengeluarkan buku yang kubaca tadi. “Anak Bajang Menggiring Angin,” tambahku pula. Dia menggangguk. Tak lama kemudian, kebaktian pun berlangsung.
Usai kebaktian, kami berjabat tangan dan berjalan beriringan keluar dari gereja. Pada saat itulah kami berdialog lebih banyak. Aku mengenalkan diri dan ia pun mengenalkan diri. Sebuah perkenalan yang egalitarian, setidaknya menurutku. Dalam perbincangan kami menuju halaman gereja, Mula bercerita bahwa ia pernah aktif di Yayasan Komunikasi Massa (Yakoma) PGI, kalau aku tak salah ingat akan informasi ini. “Dulu, Teguh Karya pun aktif di bagian teater di situ. Sudah lama sekali,” ucap Mula Harahap.
Perkenalan kami memang singkat, saling memperkenalkan diri, memberitahukan sekilas tentang masa lalu dan kegiatan yang tengah ditekuni sekarang. Selebihnya, aku lebih suka berdiam, memandang dari kejauhan sosok ganjil Mula Harahap. Satu hal yang cukup mengesankan, seusai kebaktian, Mula Harahap sering berdiri di dekat pos keamanan GKI Kwitang, sambil menghisap rokok Gudang Garam Filter (kalau aku tak silap). Ia berdiri, senyum dan selalu menyapa orang yang ia kenal, lalu bersalaman.
Lama berselang, aku mencari tahu siapa sebenarnya sosok ganjil Mula Harahap. Dan, aku pun tahu bahwa ia tergolong tokoh dalam dunia buku di Indonesia. 'Tokoh'—setidaknya, bagiku—adalah pemberi tanda bagi orang-orang tertentu yang memiliki keteguhan komitmen akan apa yang akan ia lakukan untuk mengisi kehidupannya yang sementara di Bumi.
Kamis (15/09), aku sedang membuka laman facebook dan menemukan status Ompu Datu Rasta Sipelebegu a.k.a Saut Situmorang yang menyatakan duka atas kepergian Mula Harahap. Sejujurnya, aku tidak terlalu mengenal siapa sesungguhnya Mula Harahap. Tetapi, entah kenapa aku bisa merasa dekat, akrab dan sangat kehilangan saat mengetahui kabar kepergian dia. Di saat aku menulis tulisan ini, aku ingat akan matanya. Mata yang memancarkan keramahan sekaligus ketegasan!—dan selebihnya, adalah senyuman. Mula Harahap, selamat jalan.

FRAGMEN SASTRA

§1. Sastra. Sastra adalah cara untuk mengenali kehidupan melalui terjun langsung dalam kehidupan itu sendiri. Di dalam sastra, sebuah latihan dapat berujung pada kematian. Dan hanya mereka yang mampu bangkit kembali dari kematian itu sajalah yang layak disebut sastrawan. Pada puncak ini, siapa saja adalah sastrawan!

FRAGMEN MAKNA

§1. Makna. Persoalan pe-Makna-an berlangsung di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara kutub sakralitas dan anarkisitas makna.

Sakralitas makna adalah humus bagi mekarnya dogmatisme. Ketika dogmatisme merebak, kontras dikotomi a la hitam-putih menyala, benar-salah merajalela, otoritarianisme mulai mencengkram kehidupan, di mana dampak paling ekstrim adalah matinya teks, yang bisa dibaca sebagai matinya manusia disebabkan kemungkinan akan adanya potensialitas makna lain di luar makna yang sudah disakralkan diabaikan, dibuang, dimusnahkan. Ketika pengabaian, pembuangan, pemusnahan metafisis berlangsung, ketika itu pulalah kekerasan memanifestasikan dirinya lewat penyeragaman akal dan cara pandang.

Anarkisitas makna adalah humus bagi mekarnya relativisme. Ketika relativisme merebak, kontras dikotomi a la hitam-putih hilang arwah berganti warni warna pelangi, semua hal ada benar, demokrasi gelap mata lenyap nyawa, di mana dampak paling ekstrim adalah hilangnya teks, yang bisa dibaca sebagai ketiadaan manusia disebabkan realitas hilang fondasi metafisisnya. Atau dengan kata lain, makna menjadi sesuatu yang tak bermakna, nihil, tiada, sia-sia. Ketika benih-benih kenihilan, ketiadaan, kesia-siaan lahir pada aras metafisis, ketika itu pulalah manusia harus bersedia menerima bahwa hakikat dirinya identik dengan batu dan burung hantu.

Selbstbewusstsein Sastra



§1. Apologia. Apa yang hendak saya sampaikan berangkat dari segala keterbatasan saya. Pemahaman, sebagaimana yang tercermin dalam skema struktur pemikiran termaktub—dengan segala kelemahan dan kekurangan—mendapat inspirasi dari pemikiran Hegellian. Sialnya, saya tidak terlalu memahami secara detail pemikiran tersebut. Sepenuhnya, inspirasi pemikiran Hegel termaksud berasal dari pengajaran Frederick Coplestone tentang Hegel dalam buku History of Philosophy-Vol.VII. Saya sadar ada kelemahan yang pasti dapat ditemukan bila teks saya diselidiki lebih mendalam.


§2. Problematisasi. Ada dua alasan—setidaknya yang saya sadari—mengapa saya memilih Hegel. Pertama, ketakterdugaan yang saya alami saat membaca teks Coplestone. Ketika membaca teks dia mendadak—dan entah mengapa—saya berpikir bahwa apa yang disampaikan Hegel tampaknya dapat diterapkan di bidang sastra. Saat itu, percikan inspirasi tadi saya anggap sebagai penyedap hati yang sedang suntuk menghadapi teks rumit pemikiran Hegel yang sudah disederhanakan oleh Coplestone. Kedua, keheranan saya yang muncul saat membaca pemikiran Sapardi Djoko Damono (SDD) yang menyoal peran sastrawan dan fungsi sastra dalam masyarakat sejak dulu hingga nanti yang dituang SDD dalam buku Politik Ideologi dan Sastra Hibrida terbitan Pustaka Firdaus pada 1999; kerumitan SDD masih ditambah lagi oleh wawasan problematika sastra yang dijabarkan Radhar Panca Dahana (RPD) dalam buku Kebenaran dan Dusta Dalam Sastra terbitan Indonesiatera pada 2001, khususnya menyangkut peran sastra dalam masyarakat (atau bagi personal).

SDD menilai posisi sastrawan dan fungsi sastra dari waktu ke waktu mengalami perubahan; begitu juga RPD menilai posisi sastra dan fungsi sastra juga mengalami perubahan. Keduanya sampai pada konklusi nyaris mirip (menurut saya) di mana SDD berpendapat ‘aksara tetap bertahan’ (SDD, 1999, hal.142); RPD berpendapat ‘proses manusia menemukan dirinya sendiri, menyempurnakan pemahamannya atas dunia, menempatkan posisi yang labil di dalamnya’ (RPD, 2001 hal. xiii). Persoalannya: mengapa bisa demikian?

Bagi saya, eksplisitasi atas pertanyaan tadi tidak jelas. Saya sempat pikir, barangkali ketidakjelian saya membaca akar ketidakjelasan eksplisitasi yang saya alami. Harus saya akui bahwa dalam setiap tulisan yang saya baca pada SDD dan RPD ada kelebat postulat ‘dengan segala kerumitannya, di dalam sastra senantiasa ada perubahan sekaligus yang tetap.’ Lantas, pertanyaannya: apa yang berubah? dan apa yang tetap? Di sinilah saya (masih) mencoba memberanikan diri untuk melihat problematika itu dan menelisik jawaban atas hal tersebut melalui pandangan Hegel. Barangkali upaya saya merupakan sesuatu yang cacat, keterlaluan, dan tak otentik.


§3. Kebebasan (Freedom) dan Kedirian (Selfhood). Upaya menjadi bebas sejalan dengan upaya menjadi diri sendiri. Setiap orang punya potensi menjadi diri sendiri atau tidak. Orang yang tidak menjadi diri sendiri berarti orang yang tidak menggangap dirinya orang [dan bagi orang lain, ia pun sudah dianggap bukan orang lagi]. Implikasinya, ia telah menurunkan derajat kemanusiaannya menjadi setingkat hewan.

Dalam skenario pemikiran Hegel, kebebasan merupakan suatu kualitas yang membedakan hewan dan manusia. Hewan semata-mata bertindak atas tuntutan deterministik jasmani; manusia mampu mengeliminir tuntutan deterministik jasmani dalam bertindak. Gejala puasa dalam kehidupan umat beragama pertanda determinasi jasmani-biologis tidak sepenuhnya menentukan arah tindakan manusia. Singkatnya, hewan tidak bebas, manusia bebas.

Di sisi lain, kedirian muncul dari peristiwa pengenalan (recognition) diri (self) melalui keberadaan yang-lain (others). Sialnya, peristiwa pengenalan diri terjadi dalam situasi yang tak setimbang. Peristiwa pengenalan diri sejalan dengan subordinasi kekuasaan. Subordinasi self atas others menghasilkan situasi yang tak setimbang. Self yang mengenali others melalui subordinasi menempatkan self pada posisi Tuan (Master) dan others sebagai Budak (Slave).

Sialnya, pemosisian Tuan-Budak berimplikasi pada penurunan derajat others ke tingkat hewan. Alasannya, Budak kehilangan kodrat manusia, yakni kebebasan. Pengenalan Tuan atas Budak menempatkan Budak setara dengan benda-benda, bahkan hewan, yang dapat dikendalikan seturut dengan kehendak Tuan.

[Spekulasi saya:] Kebebasan adalah dimensi internal individu untuk mengenali dirinya; ada pun kedirian adalah dimensi eksternal individu untuk mengenal dirinya. Melalui kebebasan, individu mengenali dirinya melalui dirinya sendiri; ada pun kedirian menyangkut kapabilitas individu mengenali dirinya melalui orang lain.


§4. Sastra. Sastra dalam konteks ini merupakan sarana mencapai (sekaligus mengekspresikan) kebebasan dan kedirian individu. Sastra adalah hasil daya kreasi pikiran manusia. Menyitir RPD, sastra dalam konteks yang lebih luas dikenali sebagai bagian dari ‘kesenian’ yang hidup bersama ‘elemen-elemen utama kehidupan lainnya, seperti sains, militer, ekonomi, politik atau agama’ (RPD, 2001, hal. 174). Di sini, sastra dikenali sebagai An Other.

Sastra adalah yang-lain bagi diri. Melalui sastra, diri mengenali dirinya sendiri untuk kemudian mencoba membangun dirinya sendiri dengan potensi kebebasan yang dapat diaktualkan seoptimal-optimalnya. Di sini, sastra berperan mengintrodusir nilai bagi diri, yang bisa saja pembaca, untuk kemudian—jika beruntung, dapat menjadi pengkarya.


§5. others-Others. others-Others adalah penanda untuk melihat sebuah evolusi, ziarah gagasan, kehidupan wacana. Sebutan lain untuk mengenali kekacauan pertarungan kuasa antara elemen-elemen kehidupan—misalnya cerita SDD yang mengungkapkan bahwa pada masa dahulu sastra menempati posisi sentral dalam kehidupan masyarakat karena berperan dalam ritual keagamaan. Di kemudian hari, transformasi masyarakat menempatkan sastra berada di posisi terpinggirkan pada sebuah peradaban industrial (SDD, 1999, hal.69-82). SDD juga membuka peluang untuk mengenali karya sastra sebagai ‘komoditi’ (SDD, 1999, hal.140) sebagai dampak dari perkembangan masyarakat kontemporer.


§6. Politik. Politik adalah An Other.


§7. Negara. Negara adalah An Other.


§8. Hegemoni dan Rebellion. Hegemoni (saya sedikit banyak mengambil dari pemikiran Gramschi atas konsep ini) berkaitan dengan persoalan introdusir nilai yang bersumber dari pihak tertentu yang dominan atas pihak yang lain yang tidak dominan.

Persoalannya, introdusir nilai memiliki potensi pemaksaan suatu nilai. RPD mengisyaratkan sastra (seni dalam konteks yang lebih luas) adalah sastra ketika ia tidak memiliki beban untuk mendesakkan nilainya sendiri (RPD, 2001, hal.xii). Meski begitu, secara implisit saya menilai [pada pemikiran RPD] kompetisi estetik atas sastra tidak dihilangkan, melainkan berpindah ke pundak pembaca untuk secara kreatif menentukan kualitas ‘besar’ suatu karya sastra.

[Bukankah dengan demikian, hegemoni—dalam pengertian yang bebas dan semena-mena—sesungguhnya tengah terjadi? Barangkali saja ini pertanyaan dadakan yang muncul secara tiba-tiba tanpa adanya penyelesaian yang tuntas.]

Rebellion adalah ombak penolakan atas segala hal yang sudah kadung baku, beku dan kaku. Sastra yang kehilangan hakekat, entah sebagai sarana mengenali diri atau manifestasi upaya manusia menundukkan semesta melalui bahasa (RPD, 2001, hal.95) barangkali memang perlu didobrak. Alasannya: kebakuan, kebekuan dan kekakuan pertanda mulai berkurangnya kebebasan, yang berujung pada mengkerutnya kreatifitas. Saya mengenali hal ini sebagai demistifikasi.


§9. Yang berubah dan yang tetap. Yang berubah barangkali An Other. Yang tetap: kehendak bebas dan menjadi diri sendiri.


§10. Apakah sastra berhubungan dengan negara? Saya pikir ya dan tidak. Ya, sebab medium perhubungan antara sastra dan negara adalah diri; atau dengan kata lain, sepanjang diri ada, maka problem hubungan antara sastra dan negara masih tetap dapat dipersoalkan. Tidak, sebab kreatifitas [mungkin] tidak membutuhkan negara. Barangkali saja, apa yang kita kenali atau identifikasi sebagai negara sesungguhnya adalah setan-setan yang menghambat laju kreatifitas dalam diri warga.



Foucault/Jabulani


Di kepala Foucault, obsesi kepastian yang dikonstruksikan sekaligus disempurnakan, mulai dari Descartes hingga Hegel, rontok seketika. Foucault—dengan gagasan genealogi yang berakar pada pandangan nihilisme Nietzche—membongkar kerapuhan bahkan keringkihan konsep ‘subjek’ yang menjadi landasan bagi setiap kepastian ilmu pengetahuan, juga kebenaran. Subjek merupakan konsepsi ampuh pendobrak kebekuan paradigma teosentris pada babak Abad Pertengahan. Melalui subjek, paradigma teosentris pun bergeser ke sentrum antroposentrisme. Antroposentrime merupakan gagasan yang menempatkan manusia sebagai penentu masa depan bagi dirinya sendiri tanpa kehadiran entitas lain yang bersifat suprahuman. Pergeseran sentrum teos ke antropos ditandai oleh mantra sakti filsuf Francis Bacon: Power is Knowledge. Sastrawan Radhar Panca Dahan menterjemahkan mantra Bacon dalam satu kata sederhana (dan menyebalkan): Data.

Foucault memproklamasikan ketiadaan subjek. Bertahun-tahun ia menghabiskan waktu untuk mempelajari dan meneliti apakah ada yang disebut subjek dalam setiap arsip yang ia sigi. Penelitian telaten Foucault membuahkan kesimpulan yang mencengangkan. Tidak ada subjek(!) sebagaimana yang dimaksudkan para filsuf pendahulunya.

Ketiadaan subjek merupakan temuan yang tidak hanya menggemparkan semesta epistemologi, melainkan juga menjalar menjelman badai-gempa-banjir-dan-halilintar pada semesta ontologi. Metafisika, yang semenjak masa Renainssance, berpusat pada epistemologi mendadak berguncang. Subjek sebagai elemen fundamental untuk menentukan substansi realitas yang tetap, bagi kepala dan lidah Foucault adalah ilusi belaka. Subjek tak lagi menjadi lokus ontologis, juga epistemologis, juga aksiologis. Foucault bilang: subjek hanyalah efek belaka, “l’effet c’est moi.”

Bila Nietzche menggemakan “Tuhan sudah mati,” Foucault meneriakkan “Manusia sudah mati.” Manusia merupakan gagasan yang ditopang konsepsi subjek. Kehancuran subjek berarti kehancuran manusia. Bersamaan dengan runtuhnya paradigma epistemik-metafisik-aksiologis berpusat subjek yang tetap, Foucault membangun paradigma baru berfilsat, yakni relasi kuasa. Relasi-kuasa menjadi lema kunci bagi pemikiran Foucault. Sama seperti Jabulani. Jabulani, kata kunci paling utama mendahului semprit peluit di Soccer City, Johannesburg.

Rontoknya subjek berarti roboh juga rasio yang menjadi akar bagi segala ilmu pengetahuan. Foucault menumbangkan rasio dengan hasrat, hasrat untuk berkuasa dan hasrat untuk mengetahui. Duo hasrat inilah yang berperan mendefinisikan sekaligus mengubah realitas sosial. Diskursus menjadi wahana bagi duo hasrat memanifestasikan diri. Pertarungan pun menjadi peristiwa kunci untuk memahami realitas sosial, dan kontingensi menjadi kosmos peradaban Foucauldian.

Tanpa subjek dengan rasio, ilmu pengetahuan tidak lagi dikenali semata-mata sebagai obsesi manusia untuk mendapatkan kebenaran yang bebas nilai, kebenaran yang sejati, yang tak terbantahkan, kebenaran yang berlaku universal, tunggal. Duo hasrat sudah menelanjangi ilusi rapuh rasio. Duo hasrat menunjukkan bahwa kebenaran mengandung kekuasaan. Kebenaran ditopang oleh kekuasaan. Kekuasaan ditopang kebenaran. Diskursus merupakan wahana bagi logika kebenaran dan logika kekuasaan bekerja. Diskursus mengarahkan setiap peristiwa yang akan datang dalam kerangka logika produksi dan logika kepatuhan. Kepatuhan menciptakan produktifitas; barangkali Anda ingat bagaimana Mourinho menerapkan strategi catenaccio yang menyebalkan itu dalam pertarungan Liga Champion yang baru saja berlalu. Sebuah kepatuhan menghasilkan produktifitas, kemenangan! Sebuah kemenangan adalah realitas!

Foucault sudah menghilangkan subjek. Diskursus menjadi arena bagi setiap kebenaran dan kekuasaan bertemu dan saling berkontestasi. Secara ontologis, diskursus bekerja tanpa mengandaikan adanya subjek yang tetap. Diskursus bekerja dalam logika space of flows. Ya, seperti Jabulani! Siapa yang menyangka kalau Italia bakal tersingkir? Begitulah space of flows unjuk gigi.

Jikalau menggunakan paradigma subjek modern, pertarungan antara Italia dan Slovakia menempatkan Italia sebagai pemenang. Italia adalah subjek sekaligus penguasa di lapangan hijau sepakbola. Slovakia hanya tim kelas kambing, yang tidak mungkin menjadi tim kelas singa macan leopard. Italia dan Slovakia sebagai subjek sudah merupakan sesuatu yang fix, tetap, tak berubah. Tetapi, kenyataan memberikan pembuktian yang membuat Papa Lippi merajuk keluar lapangan setelah Fabio C. kalah 2-3 dari Slovakia.

Dalam kerangka pemikiran Foucauldian, Jabulani adalah representasi dari space of flows. Tidak ada subjek di setiap pertandingan. Antara dua tim dihubungan oleh suatu relasi yang bekerja dengan logika kebenaran dan logika kekuasaan untuk menentukan realitas akhir pertandingan. Tanpa adanya Jabulani yang merupakan representasi dari relasi kuasa Foucauldian, niscaya dapat dipastikan tidak ada subjek. L’effet c’est moi. Dalam pemikiran Foucauldian, sepakbola adalah representasi dari matinya subjek, munculnya relasi kuasa. Gol sebagai peristiwa dipandang sebagai diskursus yang tiada habis ibarat laju alir Jabulani dari satu kaki ke kaki lain naik ke kepala lalu hingga ke tangan penjaga gawang untuk kemudian dilempar ke tengah lapangan dan melalui umpan satu-dua yang manis serta menawan Jabulani bersarang di sebuah gawang. Ketika itu, realitas sosial yang baru pun berbentuk. Sebelum semprit berbunyi, setiap pemain sudah menyalakan hasrat akan kebenaran dan hasrat akan kekuasaan dalam bentuk strategi yang akan diterapkan, keterampilan mengolah dan mengelola bola, kecerdikan menangkap peluang entah untuk melakukan kesalahan tanpa diketahui wasit atau menyelinap melepaskan diri dari jebakan offside, atau melakukan manuver psikologis untuk memanas-manasi emosi lawan hingga menghasilkan peristiwa Zidane-Matterazzi jilid II. Logika kekuasaan yang bermain dalam pertandingan sepakbola memang memungkinkan aparatus taboo sebagai logika eksternal reproduksi diskursus untuk diterjang sejauh setiap pihak penerjang bersedia menanggung hukuman jika ketahuan oleh wasit (ah, Tuhan masih memberkati Maradona hingga saat ini. Saya cukup ngeri juga membayangkan peristiwa a la Maradona terjadi dalam dunia politik.). Bagi pemain, logika kekuasaan tidak dapat dibatasi; namun bagi wasit, logika kekuasaan memiliki instrumen lain, yaitu hukuman. Hukuman, l’effet c’ewt moi.

Di hadapan Jabulani, Italia dan Slovakia bukanlah apa-apa. Di hadapan Jabulani, kesebelasan Italia atau kesebelasan Slovakia tak ubahnya dengan para pendukung fanatik masing-masing kesebelasan yang dapat dirangkum dalam kata: anonim. Uniknya, dalam anonimitas inilah subjek muncul sebagai efek. Sebagaimana ulah para komentator yang merasa sudah mengetahui hasil pertarungan dengan menganalisa dokumentasi pertandingan yang pernah terjadi sebelumnya—tanpa menyadari bahwa dokumentasi sejarah atau arsip merupakan modus diskursus Foucauldian bermanifes. Atau orang-orang yang dengan segala perhitungan rasional mempertaruhkan sejumlah uang, tanpa menyadari bahwa tindakannya sesungguhnya berlatarkan motif pemuasan hasrat belaka. Jabulani adalah momen di mana yang haram dan yang halal—sebagai kategori penting dalam logika eksternal reproduksi diskursus Foucauldian—tampil dan semua menjadi terpesona untuk kemudian menjadi sadar bahwa ada yang tak bisa diubah. Maradona menciptakan gol dengan (dibantu) tangan: sebuah diskursus yang juga direproduksi Henry hingga menyebabkan Perancis lolos ke putaran final Piala Dunia 2010, meski harus pulang dengan memikul bencana kekalahan serta perpecahan. Taboo, l’effet c’est moi. Adieu!



Pustaka Utama:

Mills, Sara., Michel Foucault, (London: Routledge, 2003)

PEMAKZULAN ABIMANYU


Pada awalnya, politik adalah soal kekuasaan sekaligus kejatuhan. Kedengaran sarkastik barangkali. Tetapi, adalah tolol juga bila omong politik semata soal kuasa tanpa kejatuhan. Jika kebijaksanaan masih ada, pilihan masuk dunia politik tentunya harus disertai dengan sikap batin yang berani. Berani adalah sikap batin yang berada di antara kutub nekat dan kecut.[1]

Bicara kejatuhan dalam konteks sistem pemerintahan yang demokratis, tentu bicara pemakzulan. Kalau hidup dalam atmosfir kerajaan, kejatuhan dikenali sebagai kepala yang hilang atau terpenggal. Revolusi Perancis hadir sebagai bukti akan keniscayaan kejatuhan dalam politik.

Pemakzulan pasti sosok yang mengerikan. Ia tampil sebagai sebuah gugatan atau malah peneguhan atas suatu kepercayaan. Pada titik ini, nilai sakral manusia mulai unjuk raga. Kejujuran atau kebohongan. Kepercayaan sesungguhnya didukung oleh dua hal, Kejujuran atau kebohongan. Kejujuran adalah kebenaran, kebohongan adalah kesesatan. Pemakzulan adalah gugatan atas kepercayaan yang berfondasikan kebohongan, kesesatan! sekaligus peneguhan atas kepercayaan yang memang berpijak pada kejujuran dan kebenaran! Di sini, sikap berani tidak lagi dikenali semata-mata sebagai nyali, melainkan sudah berwajah: Nyawa. Pemakzulan adalah batas hidup-mati mahluk zoon politikon.

Ketika nyali menjadi Nyawa, maka tak ada alasan untuk mundur dari medan pertempuran. Begitulah, adagium “Berani karena Benar” pun menjadi semangat dalam setiap pertarungan. Dalam dunia politik mutakhir, Mahkamah Konstitusi adalah muara dari rencana pemakzulan. Pilihannya ada dua: 1) kejatuhan yang menjijikkan atau 2) berkibarnya wibawa kekuasaan. Suatu ihwal yang sangat sederhana, tetapi bukanlah perkara mudah. Sekalipun begitu, pertanyaan “Jika engkau tidak bersalah, lantas apa sebab engkau enggan maju melangkah?” amatlah sulit untuk dielakkan. Tiba-tiba, saya hanya melihat: Abimanyu mengundurkan diri! Memang, tidak ada yang mati. Tetapi, masih ada yang berani menjaga harga sebuah diri. Seketika, martabat menjelma Takdir. Di saat genting yang demikian, pemakzulan bukan lagi dikenali sebagai ketukan palu Konstitusi. Ia menjadi sebuah bisikan yang mengabarkan berita duka: Telah mati sebuah kepercayaan serta kesetiaan.

Bagi Abimanyu, politik bukan masalah kekuasaan atau pun kejatuhan. Bagi Abimanyu, politik adalah soal berani jujur dan benar! Bagi Abimanyu, pemakzulan hanyalah ilusi. Pada akhirnya, politik adalah Abimanyu, bukan soal kekuasaan atau masalah kejatuhan.



[1] Kalau saya tak keliru, kebijaksanaan yang menyatakan bahwa ‘Berani berada di antara nekad dan takut’ berasal dari alam pikiran Yunani Kuno. Kalau saya tidak keliru, berasal dari permenungan filosofis Platon.

Ya, sebuah politik. Cinta dan matilah!


Saya masih tetap yakin, politik adalah sesuatu yang menyebal dan tak terelakkan. Atas hal yang menyebalkan, kreatifitas timbul untuk menempatkan politik sebagai inspirasi yang melahirkan anekdot, dagelan, suatu kegembiraan yang magis meski miris. Sebagai ihwal yang tak terelakkan, politik menempatkan warga negara sebagai mahluk-mahluk tolol dan ironik.

Pemaknaan politik yang demikian lazim mendenyut dalam kehidupan orang-orang, misalnya saja saya, yang melihat politik di zaman post-capitalism sebagai sampah dan sampah dan sampah. Aih, betapa sialnya saya. Sungguh suatu kesialan yang tak terelakkan. Sebab, begitu industrialisasi politik mulai diberlakukan, produk-produk politik hadir sebagai komoditas yang siap diperjualbelikan di pasar.

Saya, dari sudut pandang industri politik, adalah bagian dari pasar yang harus ditaklukkan. Ya, hati saya ingin bilang: “Tidak!” Jika saya mengucapkan demikian, industri politik bakal berkata: “Tidakkah kau lihat apa yang pernah terjadi di Myanmar juga yang tengah terjadi di Thailand. Para pemuka agama yang biasanya hidup asketis pun masih peduli dengan politik. Terserah apa yang mereka maknai dari kata itu.”

Akhirnya, memang politik tidak hanya ditentukan oleh saya. Ada industri politik atau sekelompok elit yang punya cara pandang lain, bahkan pemaknaan yang berbeda atas politik. Jika saya yakin bahwa politik menyebalkan dan tak terelakkan, industri politik mempercayai politik sebagai menyenangkan dan—di sini, semakin siallah saya—tak terelakkan. Sebagai hal yang menyenangkan, politik berakar pada hasrat—kalau sakral kita bilang: Passion, jika profan kita ucap: Libido. Maaf, untuk sementara saya harus membuang passion.

Mari bicara soal libido. Sigmund Freud memang bukanlah CEO di majalah Playboy atau Penthouse. Ia, barangkali, tak pernah berobsesi mendirikan majalah yang secara nyata mengeksploitasi seks dan seksualitas. Freud cuma meneliti bahwa kesadaran manusia begitu rapuh. Kesadaran manusia—yang diklaim Descartes sebagai satu-satunya dalil ontologis keberadaan manusia—bukan sesuatu yang tanpa cacat. Kesadaran manusia, seturut hasil penyelidikan Freud, ditopang oleh alam bawah sadar. Alam bawah sadar merupakan alam yang berada di luar kendali ego sepenuhnya.

Politik dalam konteks individu-personal adalah kolaborasi antara libido dan ego. Namun, politik sebagai sesuatu yang menyebalkan dan tak terelakkan (versi saya) atau politik sebagai sesuatu yang menyenangkan dan—di sini, semakin siallah saya—tak terelakkan (versi industri politik) sebagai ekspresi dari peradaban. Jika yang pertama kita istilah sebagai ‘mikropolitik’; maka yang terakhir kita istilah sebagai ‘makropolitik’. Pada tingkatan makropolitik, politik adalah kolaborasi antara eros dan thanatos!

Di sini—selayaknya seorang jahanam yang beroleh kebijaksanaan—saya dapat mengaksentuasikan pemaknaan lain atas politik. Keyakinan saya bahwa politik menyebalkan dan tak terelakkan adalah manifestasi wajah thanatos politik. Ada pun kepercayaan industri politik bahwa politik menyenangkan dan (juga) tak terelakkan merupakan manifes wajah eros politik.

Kesimpulannya: politik adalah sesuatu yang tak terelakkan. Sebabnya, Tarzan hanya ada dalam cerita-cerita fiksi. Dan sesungguhnya yang tak terelakkan adalah eros dan thanatos. Barangkali saja saya membunuh politik demi suatu cinta; barangkali juga industri politik mencintai politik demi suatu kehendak membunuh. Saya tak ingin meneruskannya. (Ya, sebuah politik. Cinta dan matilah!)