KALIGRAFI TUBUH PUTU

Lantas, apa yang istimewa dari lukisan Putu? Begitulah pertanyaan yang muncul di dalam benak saya saat menyaksikan ragam karya lukisan dan instalasi Putu Sutawijaya yang dipamerkan di Galeri Nasional. Saya membaca pengantar dari kurator Jim Supangkat yang berintikan ‘tubuh’. Putu mengeksplorasi tubuh, tubuh yang hidup dalam buana tari Sanghyang. Tubuh dan tarian. Barangkali, karena kemampuan kecerdasan saya tidak lumayan, saya menderita kebingungan. Apa hubungan ‘tubuh’—dalam konteks filsafat kontemporer mendapat begitu banyak beban makna, mulai dari tubuh alami, tubuh konstruksi sosial, hingga tubuh sebagai kapital—bila dielaborasi dengan tarian kuno Sanghyang yang tak pernah saya lihat? Jim Supangkat hanya memberikan bantuan: tubuh dalam lukisan Putu mengadopsi kelihaian tubuh saat penari Sanghyang mengalami trance; trance mengakibatkan penari berada dalam keadaan tidak sadar. Karena trance, penari Sanghyang pun mampu menggerakkan tubuh di luar batas gerakan yang dapat ia lakukan dalam keadaan sadar. “Selain kesadaran alam sadar, ternyata tubuh pun hidup dalam tatanan kesadaran alam tidak sadar. Tubuh…”

Sedikit saya paham yang hendak disampaikan Jim, meski tak sampai mendalam. Barangkali, hanya kulit permukaan. Tak lebih. Dan berbekal sangu dari Jim, saya menjelajah bentala “Legacy of Sagacity.”

*

Di depan lukisan ‘Tangga Penuh Misteri’ saya termangu. Aku tak paham maksud Jim. Aku pun tak paham maksud Putu dalam lukisan itu. O-…, sebelum lupa: Putu Sutawijaya pada 27 November nanti resmi menapak usia tigapuluhdelapan tahun. Aku melangkah, menuju pigura lainnya dan masih mendapati perasaan yang serupa. Tak paham maksud Jim, tak paham maksud Putu. “Ah, daripada pusing memikirkan maksud mereka, lebih baik aku nikmati saja warna dan gambar yang ada dalam pigura. Tak usahlah bersusah-susah mencari makna.” Lalu, aku menarik nafas panjang, meredakan otot tegang di leher dan di pundak.

*

‘MATAHARI KE MATAHATI’. Saya termangu di depan lukisan Putu. Saya melihat ada yang tak wajar dalam lukisan Putu. Saya perhatikan, garisan kuas yang membentuk figur tubuh tampaknya model goresan yang tak asing. Saya merasa akrab dengan model goresan begitu. “Aih, kaligrafi.” Saya teringat Festival Kota Tua yang digelar di Taman Fatahillah, daerah Kota, Jakarta Barat, pada 22 November lalu. Ada stand VOC Galangan yang menawarkan kaligrafi huruf Cina. Saya sempat melihat mereka mempertunjukkan kepiawaian menggores kuas di atas kertas. Citra goresan yang saya amati di stand VOC Galangan ada kemiripan dengan goresan kuas yang saya amati pada lukisan Putu. Ah, saya pun sadar. Kaligrafi. “Tinta Cina.” Lukisan tinta Cina. Pada lukisan Putu, saya menghirup aroma kaligrafi dan lukisan tinta Cina. ‘MATAHARI KE MATAHATI’.

*

Di depan ‘JUMPING II’ aku kembali termangu. Mengingat Jim, mengingat Putu. Di depan instalasi satu sosok tubuh yang bertumpu pada dua tangan. Sosok yang hendak mencoba kayang (atau malah sudah selesai kayang dan hendak kembali dalam posisi normal?). Ah, memang deskripsi dengan kata-kata sukar juga. Seimbang dan takseimbang.

*

Aku membaca harian ibukota. Kompas, 23 November 2008. Putu mengaku bahwa idiom lukisannya berfungsi menyampaikan irama gerak kepada publik. “Irama gerak. Kaligrafi. Lukisan tinta Cina di atas kertas.” Menurut aku, Putu memadukan teknik kaligrafi dan lukisan tinta Cina di atas kertas menjadi di atas kanvas dengan mengadopsi aksara tubuh dalam tarian Sanghyang.

*

Lantas, apa yang bersembunyi dan menari di dalam kaligrafi? … tubuh?

November 2008

I-Klan

I-Klan!!!

Read in order to live.

Gustave Flaubert

(1821 – 1880)


GENERASI X. Gen-X.


*


DALAM KHAZANAH CARTESIAN, X adalah aksis. Sahabat dari Y, koordinat. Hasilnya, posisi.


CARTESIAN adalah terobosan mutakhir filsuf modern asal Perancis René Descates awal abad 17 Al-Masih. Disebut terobosan karena gagasan orisinil Descartes berhasil mengelaborasi ilmu aljabar dengan ilmu geometri. Bila aljabar dianggap mental dan geometri dianggap tubuh, maka sintesa Descartes sukses menubuhkan yang mental atau yang mental menubuh.


COGITO ERGO SUM. Selain grafik Cartesian yang mencemaskan bagi anak-anak sekolahan yang tidak menyenangi matematika (bahkan, kalau bisa, membunuh pelajaran matematika dari kurikulum pendidikan nasional yang menggemaskan), Descartes juga meninggalkan artefak kebudayaan berupa slogan: Saya berpikir, maka saya ada. Saya, dalam bahasa Inggris adalah I, I think therefore I exist. Kali ini, orang Indonesia lebih beruntung. Chairil Anwar, penyair ekspresionis berjuluk ‘binatang jalang’ meneriakkan: Aku. Bagi orang Indonesia, ada dua pilihan. Pertama: Saya berpikir, maka saya ada; atau, kedua: Aku berpikir, maka aku ada.


BERPIKIR, MAKA ADA. Bila ‘berpikir’ dianggap mental dan ‘ada’ dianggap tubuh, maka yang mental menubuh. ‘Berpikir’ adalah syarat mutlak bagi ‘ada’. Mental adalah syarat mutlak bagi tubuh. Tidak ada tubuh tanpa mental. Tapi, ada tubuh yang punya sakit mental. Atau, sakit mental yang menubuh. Apakah sakit mental membutuhkan tubuh? Atau tubuh malah membutuhkan sakit mental? Descartes tak bicara soal sakit mental. Dia hanya memproklamasikan: Rasionalisme! Dasar segala kebenaran adalah rasio, cogito.


*


DALAM KHAZANAH BARTHESIAN, X adalah tanda. Barthes bukanlah Fabian Barthes, penjaga gawang Perancis berkepala botak. Sekadar informasi yang tak begitu penting, kapten kesebelasan Perancis yang sudah pensiun Le Blanc selalu mencium kepala botak Barthes sebelum pertandingan dimulai. Barthes bukanlah Fabian Barthes, melainkan Roland Gérard Barhtes, kritikus sastra Perancis abad 20 Al-Masih. Barthes, campuran antara cerutu dengan bakteri Mycrobacterium tuberculosis penyebab penyakit te-be-se.


BAGI BARTHES, tanda hidup di dalam masyarakat. Kebudayaan masyarakat menentukan makna tanda. Budaya Cartesian memandang X sebagai aksis. Budaya Barthes bisa memandang beda. X tidak hanya aksis, melainkan bisa saja nonsens, persimpangan, abjad Latin ke-23, bisa pula berarti 10, atau malah berarti: ?, atau malah ¿.


PENULIS SUDAH MATI. Salah satu judul esai Barthes: The Death of Author. Di sini, orang Indonesia tak boleh keliru, apalagi mengeluh. Bahasa Indonesia memang kalah canggih (atau malah sebenarnya karena kurang digali) untuk menjajaki pikiran Barthes (kalau sempat, mampirlah ke kedai wikipedia, baca sedikit artikel Barthes. Ini sekadar anjuran, bukan suruhan apalagi perintah komandan.). Dalam pikiran Barthes, Author tidak hidup sendirian. Author hidup bersama Scriptor. The Death of Author seiring dengan The Resurrection of Scriptor.


AUTHOR DAN SCRIPTOR. Aku mengajukan alihbahasa Author menjadi Penulis, dan Scriptor sebagai Penyalin. Bagi Barthes, Penulis dan Penyalin adalah konsep yang merujuk pada dua cara berpikir yang dipergunakan pengarang ketika menulis teks. Penulis adalah mereka yang memiliki sekaligus menggunakan kemampuan imajinasi orisinal untuk menghasilkan karya sastra. Penyalin adalah mereka memiliki kemampuan mengkombinasikan beragam teks yang sudah ada (exist, dalam bahasa Inggris) untuk menghasilkan karya sastra.


PENULIS DAN PENYALIN ADALAH MENTAL. Hasil tulisan, tubuh. Pada ranah tulisan, Barthes membedakan dua jenis teks, teks-membaca dan teks-menulis. Teks-membaca atau readerly text adalah teks yang menempatkan pembaca sebagai konsumen pasif. Teks-menulis atau writerly text adalah teks yang menempatkan pembaca sebagai konsumen aktif sekaligus produsen pereproduksi teks-menulis. Teks-menulis menghasilkan pembaca yang berstatus produsen teks karena teks-menulis mendorong pembaca memproduksi maknanya sendiri atas teks yang dibaca dengan jalan menulis. Menurut aku, novel Tuan dan Nona Kosong karya penyalin Hudan Hidayat dan Mariana Amiruddin adalah teks-menulis.


X ADALAH TEKS-MENULIS. Makna dari tanda ‘X’ ditentukan oleh kreatifitas pembaca. Penulis sudah mati, Penyalin telah bangkit. Bila pikiran diibaratkan negara, maka ada dua partai berkuasa di dalam pikiran, partai Penulis dan partai Penyalin. Dan Barthes adalah juru kampanye utama dari partai Penyalin yang ada di dalam pikiran manusia. Apakah usaha Barthes berhasil? Saya tidak tahu. Tetapi, saya yakin, Dora bakal menjawab keyakinan penuh percaya diri: “Berhasil! Berhasil! Berhasil!”


X ADALAH TEKS-MEMBACA. Makna dari tanda ‘X’ ditentukan oleh imajinasi orisinal Penulis. Pembaca tak perlu bersusah payah menggali makna teks. Tidak ada pertarungan partai Penulis dengan Penyalin dalam pikiran pembaca. Di hadapan teks-membaca, pembaca sepenuhnya pembaca. Pembaca dalam konteks perekonomian (bisa saja ditambahkan predikat ‘kapitalis’, ‘sosialis’, atau ‘komunis’) adalah konsumen. Konsumen bagi teks-membaca adalah mereka yang berduit sekaligus melek huruf. Teks-membaca ibarat kosmetika telepon genggam dalam peradaban kosmopolitan. Teks-membaca punya kodrat, mengutip kata-kata Tardji (kalau tak keliru), ibarat tissue. Sekali pakai langsung dibuang. Kalau begitu, ingat-ingatlah Chairil Anwar kembali. “Sekali berarti, sudah itu mati.” Kira-kira, termasuk jenis yang manakah teks “Sekali berarti, sudah itu mati”? Apakah teks-membaca atau teks-menulis?


PEMBACA. Ada pembaca kreatif, ada pembaca konservatif. Pembaca ideal adalah pembaca kreatif. ‘Sampan’ tidak dipahami sebagai sampan, melainkan kapal-induk. ‘Kapal-induk’ tidak dipahami sebagai kapal-induk, melainkan bajak laut. Di hadapan pembaca, teks dapat menjadi teks-membaca atau teks-menulis. Penulis sudah mati. Penyalin bangkit. Pembaca harus selalu menghadirkan teks sebagai teks-menulis. Kreatifisme harus diselamatkan, konsevatifisme harus dibasmi. Maka, pikiran mendominasi tubuh. Pikiran menentukan tubuh. Agak nyamber dikit ke Foucault, Michel Foucault, makna adalah diskursus. Diskursus, pertarungan wacana! Yang-menang menguasai yang-kalah.


BARTHES DAN CARTES. Kedua, dengan bahasa personalnya sendiri, menyuarakan makna: Mental yang menubuh. Tidak ada teks yang tak bertubuh. Setiap buku adalah netral selama tak ada pembacaan. Setiap buku adalah netral selama tidak ada kerugian atau keuntungan. Makna buku, maksud saya tubuh juga, ditentukan pembacaan sekaligus pembelian. Makna adalah peristiwa transaksi yang menyejarah. Indonesia berasal dari dua kata, Indo dan Nesia. Indo berarti India, Nesia berarti kepulauan. Indonesia, kepulauan di India. Kalau begitu, apa makna Indonesia? Barthes dan Cartes barangkali tidak bisa menjawab. Tapi, mereka bisa memberikan dimana jawabannya berada. Bagi Barthes, makna Indonesia bergantung pada pikiran pembaca yang bisa memandang teks ‘Indonesia’ sebagai teks-membaca atau teks-menulis. Cartes, menjawab Indonesia(n) think therefore Indonesia(n) exist. Apakah Indonesia hanya mental tanpa tubuh? Aih, sekarang, saya lagi tak mau masuk dalam transaksi nasionalisme.


*


IKLAN, I-KLAN. Iklan, teks-membaca. I-klan, teks-menulis.


I-KLAN! Klaim personal: Tak ada iklan, tanpa saya. Iklan adalah saya. Aku adalah iklan. Iklan adalah aku-dan-keturunanku. Pertarungan iklan adalah pertarungan aku dengan aku dengan aku dengan aku dengan aku. Istilah ngetrendnya: Tak ada kecap nomor 2! Kecap bicara soal cita rasa. Lidah yang beda hendak diringkus dalam citarasa kecap nomor 1. Kodrat perbedaan diakui sekaligus dienyahkan. Maka, kekuasaan tidak mengenal kamu.


TIDAK ADA KAMU DI DALAM I-KLAN. I-klan tidak memberi ruang bagi kamu. I-klan justru memaksa kamu untuk menjadi aku, atau berpihak kepada aku. Selama kamu tetap kamu, kamu berada dibawah kekuasaan aku. Selama kamu menjadi aku atau berpihak kepada aku, kamu menguasai mereka. Kodrat perbedaan diakui sekaligus dikuasai.


I-KLAN, teks-tertulis di dalam cogito pembaca. Pertempuran iklan antara aku dengan aku dengan aku dengan aku dengan aku yang sesungguhnya berlangsung di dalam pikiran pembaca. Penguasaan atas peta politik kekuasaan pikiran pembaca adalah pertarungan partai Penulis dengan partai Penyalin. Kemenangan partai Penulis, berarti kemenangan aku. Kemenangan partai Penyalin, berarti kemenangan aku. Tetapi, di luar aku, tidak ada aku. Di luar aku, ada aku, Cartes dan Barthes. Bila aku memutuskan berpihak kepada aku, aku bukan lagi aku, melainkan aku. Sebagai teks-membaca, i(-)klan ‘cobloslah saya’ mengandung pesan tunggal: Cobloslah saya. Politik selalu antara aku dengan aku, dan aku memutuskan untuk menjadi aku, atau tetap aku.


I-KLAN ADALAH DOMINASI AKU ATAS KAMU. Bila kamu tidak menjadi atau berpihak kepada aku, I-klan bakal mencampakkan kamu. Disini, yang mental tak lagi hanya menubuh, melainkan sudah menentukan tubuh. Di luar aku, kamu menjadi Generasi X! Gen X.


*


GENERASI X. Gen-X. Generasi yang hidup karena membaca. Aih, agak pedih juga mendengarnya. Mimpi sekaligus tragedi!


*


KARENA MEMBACA, kita hidup. Karena hidup, kita bermasalah. Masalah hidup. Hidup ada sebelum membaca ada. Hidup dan membaca ada sebelum saya ada. Karena saya ada, hidup menentukan saya membaca dan hidup. Bukankah ‘hidup’ menjadi sesuatu yang aneh ketika diulang berkali-kali? Hi-dup, hi-dup, hi-dup, hi-dup, hi-dup, hi-dup, hi-dup. Aih, sebelum saya mengalami serangan jantung, ada baiknya saya pamit, undur diri dari hadapan Anda yang hidup. Thanks to Cartes. Thanks to Barthes. Thanks to Gustave.


November 2008

TENTANG ADONIS



“I live between the fire and the plague

with my language—with this mute universe”

The Fall (Adonis)


Aku hidup di antara api dan epidemi

bersama gelisah bunyi—di dalam dunia sunyi

Takluk (Adonis)


ADONIS adalah Ali Ahmad Said. Lahir pada 1930 di Qassabin, Siria. Bila ditilik dari sudut etimologi, Adon berasal dari bahasa Semit, adon, yang bermakna “Raja”. Sebelum memulai kuliah umum di ruang blackbox theatre Salihara pada 3 November 2008, ada narasi yang bercerita tentang musabab sempat mengungkapkan bahwa alasan Ali Ahmad Said menggunakan nama pena: Adonis. Diceritakan bahwa penggunaan nama tersebut dikarenakan Ali Ahmad Said merasa bahwa ‘kegagalan’ puisinya lolos seleksi bersumber pada namanya; itulah yang menyebabkan ia menggunakan nama pena: Adonis. Ternyata, strateginya berhasil. Bentala internasional mengenal Ali Ahmad Said sebagai Adonis, Adonis of Syria, Raja dari Siria.


Pada kuliah umum di blackbox theatre Salihara, peraih gelar Philosophical Doctor dari St. Joseph University, Beirut, Lebanon, pada 1973 ini memaparkan makalah bertajuk “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama”. Di dalam makalahnya, Adonis mengajukan tesis: “Puisi dan kebenaran puisi sepenuhnya berlawanan/bertolak belakang dengan agama dan kebenaran agama.” Bila tesis tersebut dikembalikan kepada judul makalah, hasilnya: kontradiksi. Bagaimana mungkin ‘yang bertolak belakang’ (pada tesis) bersanding dengan ‘dan’ (pada judul)?


Lepas dari kontradiksi antara judul dengan tesis, artikel ini saja tujukan untuk membahas (1) dimensi logika dari judul makalah, dan (2) dimensi kronologis penempatan frase. Penjernihan atas kontradiksi antara tesis dengan judul akan saya bahas pada bagian yang terpisah dari tulisan ini, disebabkan penjelasan terkait kontradiksi tersebut mengacu pada pola pikir dialektis yang dimajukan Adonis sebagai kerangka utama penyusunan makalah tersebut.


*


Makna “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” tentu beda dengan makna “Kebenaran Puisi atau Kebenaran Agama”. Pada yang kedua, variabel ‘atau’ menghadirkan situasional memilih. Situasional memilih berarti memilih salah satu dari antara dua pilihan yang tersedia. Tindakan memilih yang-satu diikuti dengan tindakan mengenyahkan yang-lain. Memilih “Kebenaran Puisi” berarti menendang “Kebenaran Agama”, memilih “Kebenaran Agama” berarti mencampakkan “Kebenaran Puisi”. Secara tidak langsung tindakan memilih yang-satu dapat berarti bahwa yang-satu itulah yang benar, sedangkan yang-lain adalah salah. Namun, kesimpulan yang begitu tidaklah selalu benar, menurut saya. Adalah lebih tepat bila dinyatakan bahwa tindakan memilih yang-satu tidak ditujukan untuk menyalahkan yang-lain; meski selalu ada kecenderungan rasional untuk menyatakan bahwa ketika yang-satu dipilih, maka yang-lain adalah salah.

Apa yang saya maksudkan tak jauh beda ketika kita diperhadapkan pada pilihan mengunjungi teman yang sedang sakit atau pergi ke Salihara untuk mendengarkan kuliah umum Adonis. Dalam situasional memilih tersebut, andaikan kita memutuskan untuk pergi mengunjungi teman yang sedang sakit, bukanlah berarti pergi ke Salihara untuk mendengarkan kuliah umum Adonis adalah salah; begitu pula sebaliknya. Melalui perumpamaan ini pulalah saya menegaskan bahwa asumsi yang saya atas permasalahan “Kebenaran Puisi atau Kebenaran Agama” adalah pengosongan makna dari “Kebenaran Puisi” dan “Kebenaran Agama”. “Kebenaran Puisi” dan “Kebenaran Agama” sebagai pilihan disetarakan dengan “mengunjungi teman yang sakit” dan “pergi ke Salihara untuk mendengarkan kuliah umum Adonis”.


Asumsi pengosongan makna saya tujukan untuk melihat permasalahan variabel ‘atau’ dalam kepenuhan ‘atau’ itu sendiri sebagai simbolisasi dari suatu situasional memilih. Seturut dengan ilmu logika, asumsi pengosongan yang ditujukan untuk memperlihatkan bahwa tindakan memilih yang-satu tidak selalu berarti menyalahkan yang-lain. Dalam ilmu logika, variabel ‘atau’ yang menghubungkan dua entitas hanya menghasilkan konklusi yang bernilai salah apabila entitas pertama, atau katakanlah “Kebenaran Puisi”, bernilai salah, dan entitas kedua, atau katakanlah “Kebenaran Agama”, bernilai salah juga. Namun, apabila entitas pertama bernilai benar dan entitas kedua bernilai benar, maka konklusi antara kedua entitas tersebut yang dihubungkan dengan variabel ‘atau” adalah benar. Bila entitas pertama bernilai salah/benar dan entitas kedua bernilai benar/salah, maka konklusi antara kedua entitas tersebut yang dihubungkan oleh variabel ‘atau’ adalah benar. Pola baku penalaran logika ‘atau’ sbb:



Entitas Pertama (P)

Entitas Kedua (P)

Atau (P V Q)

Nilai

Benar

Benar

Benar

Benar

Salah

Benar

Salah

Benar

Benar

Salah

Salah

Salah

Tabel 1. Logika ‘Atau’


Bila variabel ‘atau’ menghadirkan situasional memilih, variabel ‘dan’ pada “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” menghadirkan situasional keterikatan. “Kebenaran Puisi” sejalan dengan “Kebenaran Agama”. “Kebenaran Puisi” memiliki keterikatan dengan “Kebenaran Agama”. Memilih “Kebenaran Puisi” berarti pula mengikutsertakan “Kebenaran Agama”. Memilih “Kebenaran Puisi” tidak dapat mengenyahkan “Kebenaran Agama”; begitu pula sebaliknya. Situasional “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” muncul dalam perumpamaan sepakbola Inggris yang dikenal dengan slogan “kick and rush”. “Kick” punya keterikatan intrinsik dengan “Rush”; antara “menendang” dilanjutkan dengan “melesat”. Asumsi pada logika variabel ‘dan’ sebangun dengan asumsi pada logika variabel ‘atau’, yakni pengosongan makna. Dalam ilmu logika, pola baku variabel ‘dan’ sbb:



Entitas Pertama (P)

Entitas Kedua (P)

Dan (P Λ Q)

Nilai

Benar

Benar

Benar

Benar

Salah

Salah

Salah

Benar

Salah

Salah

Salah

Salah

Tabel 2. Logika ‘Dan’


*


Disamping pemilihan diksi-logis, ada juga permasalahan menarik yang bisa diambil dari penjudulan “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama”. “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” tentu bisa saja dianggap sama dan sebangun dengan frase “Kebenaran Agama dan Kebenaran Puisi”. Namun, anggapan sama dan sebangun tersebut, tidak sepenuhnya tepat. Anggapan tersebut, menurut saya, melalaikan keberadaan unsur prioritas primair secara kronologis. Dari sisi penempatan, “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama”; bukan sebaliknya. Lantas, bagaimana Adonis mempertanggungjawabkan untaian kronologis: “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama”?


Penjabaran pertanggungjawaban Adonis atas untaian kronologis “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama” bersumber dari analisa historis dia atas perkembangan puisi dan perkembangan agama di dunia Arab. Selanjutnya, Adonis mengelaborasi pendekatan historis dengan ‘teori pengetahuan’-nya yang berpijak pada gagasan penyair sufi asal Afghanistan Jallaludin Rumi.


Dari riset historis, Adonis menemukan bukti bahwa tradisi puisi lebih dahulu ada di dunia Arab sebelum agama. Agama di dunia Arab, khususnya Islam, menurut Adonis, berasal dari tradisi bangsa Ibrani, yakni Ibrahim dengan kitab Talmud. Akulturasi kultural mempertemukan Arab dengan Ibrani hingga melahirkan Islam. Problematisasi historis tersebut, menurut saya, dibahas Adonis untuk membuktikan bahwa sebelum kehadiran Islam di dunia Arab, dunia Arab sendiri sebenarnya sudah ‘mengenali’ wajah Tuhan. Wajah Tuhan sebelum munculnya Islam dikenal lewat puisi-puisi para penyair Arab sebelum kemunculan Islam. Puisi-puisi penyair Arab pada masa tersebut merupakan representasi dari ‘dialog’ penyair dengan Yang Gaib.


Jabaran historis tadi dielaborasi Adonis dengan gagasan Jallaludin Rumi tentang asas pengetahuan indrawi dan spiritual, yakni tajjalî (manifestasi). Dalam makalahnya, Adonis menuliskan:

“[Tajjalî] adalah gambaran-gambaran dari kebenaran yang sinarnya terus memancar kepada cermin hati dan indrawi, selanjutnya dipantulkan kepada cermin nalar, sehingga lahir dari keduanya “pengetahuan rasa” (al-ma’rifah al-dzawqiyah), yakni pengetahuan yang memberikan keyakinan (al-ma’rifah al-yaqîniyah) yang diperoleh secara langsung tanpa perantara. Dengan ungkapan lain, pengetahuan bagi Rumi adalah penyingkapan terhadap hakikat dengan terlepasnya hijab-hijab hati, indra dan akal, sehingga cahaya kegaiban terpancar.”


Dari sudut pandang demikian, maka puisi yang dimaksud oleh Adonis mengacu pada pengetahuan rasa, yang oleh kalangan sufi disebut sebagai “alam rasa” (‘alam al-adzwaq). Puisi yang dihasilkan para penyair Arab sebelum kemunculan Islam sesungguhnya berkenaan dengan upaya penyingkapan manifestasi dari Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci. Dan agama, seturut dengan konteks pembicaraan Adonis: Islam, menempati posisi yang sama dengan puisi secara historis, yakni sebagai pengetahuan rasa yang memberikan keyakinan (al-ma’rifah al-yaqîniyah) melalui penyingkapan manifestasi dari Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci. Terkait dengan status kebenaran dari puisi dan agama, Adonis menegaskan: “Pengetahuan [rasa] tidak akan salah karena kesalahan hanya lahir dari kebenaran teoritis dan abstrak semata.


Maka teranglah bahwa “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama” dikarenakan Adonis mempertimbangkan faktor historis puisi dan agama di dunia Arab, yang selanjutnya dielaborasi dengan ‘teori pengetahuan’ Jallaludin Rumi, dimana hanya pengetahuan rasa (al-ma’rifah al-dzawqiyah) sajalah yang memampukan manusia mencapai kebenaran mutlak (absolute truth). Secara implisit, menurut saya, Adonis hendak menyampaikan pesan: Puisi dan Agama adalah wahana untuk menggapai kebenaran mutlak, kebenaran yang bersumber dari Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci! (Dan, secara implisit juga, Adonis berharap kebenaran mutlak tersebut tidak dipahami sebagai kebenaran tunggal; sebab kebenaran tunggal dapat berujung pada kekerasan yang-satu terhadap yang-lain!)


*


Saya pikir, “Kebenaran Puisi” dan “Kebenaran Agama” dapat disejajarkan dengan api dan epidemi yang sama-sama menghadirkan gelisah bunyi bagi aku yang berdiam di dalam dunia sunyi, sebagaimana petikan sajak Adonis yang bertajuk ‘Takluk’ pada bagian pembuka risalah ini. Sebab, bukankah memikul puisi dan agama adalah sama-sama menyakitkan, juga menggelisahkan? Tidakkah sejarah para nabi pun melukiskan betapa jalan pengharapan menuju Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci adalah juga via dolorosa, jalan derita sekaligus siksa? Demikianlah, dari jarak sekitar 10 meter saya mendengar Adonis, Raja dari Siria, berujar: “Saya mengkritik Islam karena saya mencintai Islam.” Cinta bukan selalu berarti bahagia; Cinta juga bisa bermakna airmata.


November 2008


Sumber Utama:

Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama, Adonis, 2008