SEPATU TUMIR DAN SANDAL JEPIT

Engkau pasti segera membayangkan apa itu 'SEPATU TUMIT DAN SANDAL JEPIT'. Dan, aku harap engkau sudah membayangkan apa itu 'SEPATU TUMIT DAN SANDAL JEPIT'. Terima kasih.

Imaji itu, maksud aku 'SEPATU TUMIT DAN SANDAL JEPIT', tidak jauh beda dengan rekayasa kenyataan yang terjadi di perempatan Lampiri. Perempatan lampu merah yang tak pernah sepi. Bila sudah demikian, engkau pun mengerti; mengapa cerita ini mengambil setting lokasi di jalan raya, di tepi kali. Betapa sialnya engkau bila mengalami hal ini.

Aku berharap engkau memikirkan bahwa aku akan menjelaskan apa itu 'SEPATU TUMIT' terlebih dahulu. Selanjutnya, aku jelaskan apa itu 'SANDAL JEPIT'. Tentu saja, apa hubungan keduanya pun menjadi pertanyaan engkau berikut. Aku cuma bisa bilang, semua ada di kendaraan roda. Kendaraan roda dua yang kerap melintasi jalan raya. Khususnya, perempatan lampu merah yang tak pernah sepi; sebab, di tempat itu ada pos polisi.

Aku harap engkau tidak terkejut. Aku harap, sekarang, engkau sudah membayangkan dari mana aku memulai penjelasan. Inilah jawabanku. Penjelasan akan aku mulai dari 'SANDAL JEPIT'. Mungkin, sekadar menebak, engkau bakal membayangkan 'SANDAL JEPIT' sebagai simbol lelaki. Memang, setidaknya itulah yang hendak aku utarakan. Tapi, bila aku engkau perkenankan menambah alasan; tampaknya, aku sebagai pencerita memang tak butuh per-kenan-an engkau untuk menjabarkan alasan lain. Inilah alasan lain itu. 'SANDAL JEPIT' aku andaikan sebagai bentuk peradaban sebelum ada sepatu. Jadi, ada dimensi waktu pulalah yang harus engkau sadari ketika membaca cerita aku ini. Tak hanya laki-laki, atau perempuan; malah bisa jadi kaum transeksual, mungkin. Tapi, perkembangan zaman. Bisakah engkau lihat betapa wah alasan yang aku ajukan ini? Jika tidak, aku pikir itu tak masalah, sebab aku yakin penjabaran waktu itu pasti muncul ketika engkau membaca cerita ini hingga habis. Kecewa? Bisa jadi. Dan, bukankah waktu yang berjalan kerap membawa pesan pengalaman(?); itu tidak jauh beda dengan apa yang terjadi di perempataan lampu merah yang tak penah sepi. Pos Polisi Lampiri. Brigadir Polisi Tingkat Satu yang berdiri, lalu menekan tombol sirene, ketika kemacetan terjadi di perempatan yang berada tak jauh dari rumah makan ayam bakar.

'SANDAL JEPIT'. Kata-kata itu membawa imaji sebuah, tepatnya sepasang kaki. Sepasang kaki, kanan dan kiri, dengan lima jari. Lalu, empat mata kaki. Bila demikian, tentu saja semua itu telanjang. Sebab, celana bahan panjang berwarna tak jelas itu tak mampu memnutup seluruh kaki. Apalagi kaki yang mengenakan alas 'Sandal Jepit'. Semuanya pun menjadi lengkap. Kaki, sandal jepit, celana bahan panjang.
Sampai disitu, engkau boleh saja menambahkan sarung tangan. Tapi, aku lebih memilih jaket hitam penahan. Penahan terpaan. Terpaan angin. Tentu saja, bagi aku itulah yang lebih menarik. Apalagi, bila engkau mengingat lokasi penceritaanku ini. Helm. Kendaraan roda dua. Jalan raya. Perempatan Lampiri dan Pos Polisi. Ya, 'Sandal Jepit' yang menjadi alas kaki di atas pijakan kaki pengendara roda dua dengan laju rata-rata 40 kilometer per-jam pada persneling ke-empat. Aku harap, engkau bisa membayangkan evolusi yang melambat.

Aku sudah menyelesaikan rekayasa kenyataan dalam pikiran engkau. Itu, tak jauh beda dengan kelakuan Brigadir Polisi Tingkat Satu atau Briptu di Pos Polisi. Berdiri, lalu mendekati tombol sirene. Menekan. Sirene patroli pun berbunyi. Para pengguna jalan pun tahu diri. Polisi. Atau takut diri. Polisi! Dan, kemacetan pun berangsur hilang. Angkutan kota, entah mikrolet atau metromini; angkutan pribadi, sedan mewah atau sekadar roda dua, perlahan menjadi teratur. mereka semua ingat, perempatan Lampiri. Lampu merah yang tak pernah sepi.

Tapi, mengapa engkau semakin tertegun. Membaca bukan berarti tidak membuatmu berpikir. Apakah engkau masih ingin mengetahui apa itu 'SEPATU TUMIT'? Atau malah engkau sudah menemukan jawaban tentang semua itu. Semua itu, yang aku maksudkan, termasuk hubungan antara 'SANDAL JEPIT' dan 'SEPATU TUMIT'. Aku pikir, memang cerita ini tidaklah terlalu menarik utuk dilanjutkan. Sebab, rasa-rasanya, engkau sudah mengetahui apa yang akan kujelaskan. Tapi, aku akan tetap berusaha membuat kejutan. Dan, apabila ternyata hal itu tidk terjadi, aku harap engkau tidak kecewa. Bukankah, menulis itu gampang? Engkau tinggal menguji. Entah dengan membaca, atau berlatih. Begitulah, sebangun dengan waktu yang selalu membuat kita serasa bertatih-tatih. Kapan semua berakhir.

'SEPATU TUMIT'. Sepatu tumit putih. Malam hari, sepatu tumit warna putih akan tetap menampak putih. Sebabnya, tentu saja, kontras warna; antara sepatu dengan malam, seperti garis dengan aspal. Berbeda halnya dengan warna ungu. Biru. Atau, malah hitam, barangkali; di malam hari. Rasanya, tanpa kontras. Mungkin, serupa celana bahan panjang yang dipergunakan pengendara roda dua yang tidak bisa aku sebutkan berwarna apa. Hanya, berwarna tak jelas.
Sepatu itu, dugaan aku, tidaklah bertumit tinggi. Paling cuma tiga senti, atau malah lima senti. Beda jauh dengan panjang betis kaki yang terlihat nyaris telanjang. Itu, bila saja rok coklat kehitam-hitaman yang ia--maksud aku pemilik sepatu tumit (Ah, pemilik sepatu tumit tampaknya simpulan spekulatif aku saja. Sebab, aku hanya mengetahui ada sepatu tumit di sepasang kaki seseorang. Bisa saja pemiliknya bukan 'ia'. Tapi, aku merasa dugaan aku menghampiri pasti. Catatannya, bila 'ia' itu seorang perempuan. Bukankah seorang perempuan berpantang menggunakan barang milik teman, entah sesama perempuan, pun lelaki, apalagi kaum transeksual.) dan betis berkulit nyaris putih--kenakan tidak sepanjang 80 senti. Memang, ia seorang perempuan. Berkemeja putih, tidak terlampau ketat, tidak terlampau longgar. Serasi di badan dan di padan. Dipadankan dengan rok coklat kehitam-hitaman. Apalagi, ia berkulit nyaris putih. Itulah yang nyata terlihat di dia punya kaki. Sebabnya, dia tidak duduk di bagian kemudi. Ia duduk menyamping, hingga gerai rok ia pun membuka celah luar biasa sepanjang jalan tepi kali. Melintasi perempatan Lampiri. Pos Polisi. Malam hari. Maka, imaji 'SEPATU TUMIT' akan semakin lengkap, bila aku menambahkan tas sandang kulit dan rambut panjang gaya ekor kuda. Tertawa.

Demikianlah, kendaraaan roda dua membaca 'Sandal Jepit' dan 'Sepatu Tumit' melintasi jalan raya tepi kali, perempatan Lampiri, lampu merah yang tak pernah sepi, juga Pos Polisi dengan kelakuan Briptu yang selalu menekan tombol sirene di malam hari hingga kemacetan pun berangsur-angsur menjadi pulih kembali, lancar, meski itu bukan berarti tak ada hambatan. Sebab, semua ingin pulang, ingin tenang, rumah tanpa masalah. Memang, jalanan selalu menawarkan penafsiran, umumnya curiga, yang dibangun atas dasar rekayasa,

seperti yang telah dia lakukan atas pikiran saya. Masihkah engkau berniat mencari hubungannya (?); seperti yang dia lakukan atas pikiran saya?