Fragmen Naratif Tentang Kepergian Gus Dur


Pukul 19.30, saya tiba di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Setelah memarkir sepeda motor, saya bergegas menuju Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD). Sewaktu berjalan menuju ruang IGD, saya melihat Syafi’ Alielha dengan raut wajah yang cemas dan tegang tengah berbicara melalui telepon genggam di tengah gerimis hujan. Ya, Syafi’ Alielha, salah seorang tokoh pemuda, juga termasuk penggerak organisasi aliansi taktis Forum Kota (Forkot) dan juga Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) di masa pergerakan mahasiswa 1998. Saya juga masih sering berjumpa dengan Syafi’ dalam aksi demonstrasi massal yang terjadi pasca reformasi, utamanya aksi penolakan kenaikan harga BBM serta aksi damai peringatan Hari Anti Korupsi Se-Dunia pada 9 Desember lalu.

Saya berhenti sejenak, lantas Syafi’ menghentikan sebentar perbincangannya melalui telepon genggam untuk memberi waktu agar kami dapat bersalaman. Saya sempat bertanya, “Ada apa kemari?” sembari menduga-duga bahwa kedatangan Syafi’ pasti ada hubungan dengan wafatnya Gus Dur, yang baru saja saya ketahui dari asisten redaktur saya, Aries Wijaksena. Sebelum sempat menjawab, saya tebak, “Gus Dur ya.” Syafie’ menganggukkan kepala, lalu mengangkat tangan kiri menunjuk ruang IGD sebagai perlintasan menuju ruang persemayaman sementara Gus Dur, yakni Pelayanan Jantung Terpadu (PJT), lantai lima, ruang Atrium 2.

* * *

Gus Dur telah meninggal dunia. Pada pukul 18.45, Gus Dur menghembuskan nafas terakhir. Sekitar pukul 19.15, asisten redaktur saya, Aries Wijaksena, mengirimkan pesan singkat kepada saya perihal wafatnya Gus Dur, sembari dilengkapi penugasan untuk segera meluncur ke RSCM melakukan peliputan. Membaca pesan singkat itu, saya pun menarik nafas dalam-dalam seraya mengucap “Gus…, selamat jalan,” dalam hati.

* * *

Sesampai di lantai lima ruang PJT, atmosfir duka yang bercampur dengan ketegaran dan keikhlasan begitu kuat meliputi batin saya. Effendi Choirie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR-RI periode 2004-2009 secara spontan mengajak rekan-rekannya sesama pelayat memanjatkan tahlil mengiringi perjalanan Gus Dur ke alam baka. Ia secara spontan melepas sandal, kemudian duduk bersila dan mulai membacakan tahlil. Para pelayat yang lain pun turut serta melepas kasut, duduk bersila, membuka telapak dan memanjatkan sembah kepada Yang Kuasa.

Di saat gema tahlil berkumandang memenuhi lobi lantai lima, tokoh-tokoh nasional—semisal Idrus Marham, Pramono Anung, Freddy Numberi, Agum Gumelar, Linda Gumelar, Sri Mulyani— berdatangan silih berganti hendak melihat jenazah Gus Dur yang berbaring di ruang Atrium 2, di lantai lima gedung PJT. Lobi lantai lima telah penuh sesak oleh para pelayat, juga oleh puluhan wartawan cetak, elektronik, juga para pewarta foto.

Saya sendiri berada sekitar 3 meteran dari pintu masuk ruang Atrium 2. Di sisi kanan dan kiri saya sudah ada kamerawan; ada pun di depan saya berdiri barikade pembatas yang bekerja untuk memberikan celah perlintasan keranda pembawa jasad Gus Dur. Dalam posisi tak bergerak leluasa itulah saya melihat wajah-wajah cemas sekaligus ikhlas para pelayat yang hendak masuk ke dalam ruangan Atrium 2. Tepat di depan saya berdiri Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengenakan busana hitam. Bibirnya tak henti-henti bergerak memanjatkan doa mengiringi kepulangan Gus Dur. Ada juga mantan Menteri Perhubungan Agum Gumelar yang bersama-sama dengan Menteri Perhubungan Freddy Numberi berupaya menerobos kerumunan demi melihat dan memberikan penghormatan bagi Gus Dur untuk yang terakhir kali. Tak lama setelah Sri Mulyani, Agum Gumelar bersama dengan Linda Gumelar masuk ke dalam ruangan, menyusul politisi Partai Golkar yang juga Ketua Pansus Angket Century Idrus Marham. Idrus Marham turut mengantri di lorong masuk menuju ruang Atrium 2.

* * *

Menghadiri pelepasan jenazah Gus Dur dari RSCM menuju Ciganjur, Jakarta Selatan, seketika saya merasakan gaib. Protokoler pengamanan yang biasanya melekat dalam setiap kunjungan para menteri mendadak lenyap. Momen duka kepergian Gus Dur seakan menjadi magnet yang mampu menarik beragam orang dengan latar belakang yang berbeda. Para pelayat ada yang berasal dari kalangan aktifis pergerakan pro-demokrasi seperti Syafi’, kelompok agama semisal rohaniawan Katolik Mudji Sutrisno, ada juga dari kelompok elit politisi semisal Muhaimin Iskandar, Pramono Anung, Idrus Marham, kelompok eksekutif semisal Menkeu Sri Mulyani dan Menhub Freddy Numberi, hingga orang awam yang, barangkali secara spontan mendatangi RSCM. Momen duka kepergian Gus Dur telah meluluhkan sekat-sekat hierarkis sosial yang terlembaga dalam kehidupan sehari-hari.

* * *

Di tengah keramaian massa, saya kembali mengenang pertemuan saya dengan Gus Dur. Pertemuan dalam rangka tugas peliputan. Kala itu, Gus Dur menghadiri konferensi tingkatan internasional tentang Islam yang diselenggarakan di International Center For Islam and Pluralism (ICIP) di Hotel Sultan, Jakarta, pada tahun 2004. Dalam konferensi itu, Gus Dur hadir sebagai pembicara utama. Ketika itulah, untuk pertama sekali saya melihat Gus Dur berpidato di podium dalam bahasa Inggris (dan tentunya tanpa teks)!

Usai berpidato, beberapa wartawan, termasuk saya mewawancarai Gus Dur. Momen wawancara yang berlangsung kurang dari 10 menit memberi kesan mendalam bagi saya. Yang paling kental dalam ingatan saya adalah cara khas Gus Dur menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan. Ia, dengan gayanya yang unik, menjawab setiap pertanyaan dengan tegas, lugas, tanpa berbelat-belit!

* * *

Kini, sejak pukul 18.45, Indonesia telah kehilangan seorang tokoh yang besar. Bagi para aktifis pro-demokrasi, Gus Dur adalah benteng pertahanan. Ketika rejim Orde Baru berkuasa, Gus Dur bersama Megawati Soekarnoputri tampil sebagai representasi kelompok elit yang berpihak kepada mereka yang tertindas. Bahkan pada masa itu, duet Gus Dur dan Megawati disetarakan dengan duet Kardinal Sin dan Corazon Aquino yang menggerakkan people power di Filipina untuk meruntuhkan emperium Marcos. Bagi para aktifis, Gus Dur dan Megawati pun menjadi benteng perlindungan (ada juga yang berlindung di bawah naungan Gereja Katolik melalui Romo Sandyawan).

Setahu saya, merujuk pada dunia mitologis pewayangan Jawa, sosok Gus Dur kerap diidentikkan dengan tokoh Semar. Di hadapan kekuasaan, Semar secara bebas menyampaikan kritik melalui guyonan. Suatu kritik yang bersifat tekstual, dalam pengertian mengkritik kebijakan penguasa dalam cerita pewayangan itu sendiri; sekaligus kritik yang bersifat kontekstual, dalam pengertian mengkritik proses politik yang tengah terjadi pada dunia nyata, realitas politik empirik. Dan itulah yang dilakukan Gus Dur saat berhadapan dengan kekuasaan, melontarkan kritik demi membela mereka yang tertindas oleh penyelenggaraan kekuasaan yang semena-mena.

Para tokoh, Ketua PBNU Hasyim Muzadi, rohaniawan Katolik Mudji Sutrisno, politisi Pramono Anung mengaku bahwa wafatnya Gus Dur merupakan kehilangan besar bagi Republik Indonesia. Bagi ketiganya, Gus Dur adalah sosok yang selalu menjunjung kebhinekaan, dan senantiasa berjuang membela serta menegakkan kebhinekaan. Inklusifitas, pluralitas, multikulturalisme, demokrasi, hak asasi manusia adalah kata-kata kunci yang menjadi warisan Gus Dur bagi negeri.

* * *

Gus Dur telah tiada. Sang Khalik telah menetapkan titah-Nya. Pada 30 Desember 2009, pukul 18.45, Gus Dur pun berpulang. Innalilahi wa innailaihi rojiun. Saya yakin, momen kepergian Gus Dur ke haribaan Sang Pencipta Semesta semakin mendekatkan kehadiran dirinya di dalam sanubari ribuan, atau malah jutaan lebih orang yang mengaguminya, orang-orang yang selalu berusaha mereguk inspirasi humanitas dari karya kemanusiaan yang telah dia lakukan selama hidup 69 tahun. Selamat jalan Gus Dur…

30-31 Desember 2009

Prita dan 204 Juta



For the world, I count it not an inn, but an hospital, and a place, not to live, but to die in.

Thomas Browne

(1605 - 1682)


Pengadilan Tinggi Provinsi Banten menjatuhkan vonis perdata atas Prita Mulyasari.[1] Prita harus membayar denda Rp204 juta plus membuat permintaan maaf secara terbuka terhadap RS Omni Internasional yang disiarkan dalam media cetak.

Satu hal yang tetap menjadi pertanyaan bagi saya, bagaimana penegak hukum—entah kepolisian, kejaksanaan, atau pengacara—mengkategorikan sesuatu sebagai tindakan pencemaran nama baik? Ya, akar muasal permasalahan antara Prita dan Omni adalah sebuah surat elektronik yang dikirimkan Prita kepada teman-temannya. Omni, tentunya bersama dengan polisi, kejaksanaa, dan tentunya pengacara Omni, menurut saya berhasil mengkategorikan tindakan Prita sebagai pencemaran nama baik yang berimplikasi kepada kerugian properti milik Omni. Lantas, apa yang menjadi ukuran untuk menyatakan suatu tindakan, utamanya surat, sebagai tindakan pencemaran nama baik?

Ada dua hal pokok yang harus disoroti dalam hal ini. Pertama, mengacu pada apa yang disebut sebagai ‘baik’? Berikutnya, bagaimana memahami ‘baik’ sebagai sesuatu yang berimplikasi pada properti?

Menentukan apa yang ‘baik’ bukanlah perkara yang baru. Setidaknya, masalah konseptualisasi ‘baik’ sudah berakar sebelum masa tarikh Masehi. Filosof Platon (428-347 SM), pada abad ke-4 SM, telah berupaya merumuskan apa yang disebut sebagai ‘baik’. Bagi Platon, ‘Baik’ atau ‘Sang Baik’ adalah realitas tertinggi, yakni Idea.[2] Apa yang dimaksud dengan Idea adalah suatu realitas yang tetap, abadi, tidak mengalami perubahan. Kita dapat mengidentifikasi Idea melalui sifatnya yang berlaku segala ruang dan waktu, bahkan melampaui waktu. Misalnya saja, perbuatan mencuri. Tindakan mencuri, entah itu di Budapest, Mumbai, London, Johannesburg, Merauke, pun Jakarta, entah itu tahun 1935, 1866, 1430, atau malah di tahun 2010, 3375, pun 5631, kita yakini sebagai sesuatu yang salah. Demikian juga ‘Baik’ atau ‘Sang Baik’ dalam pengertian Platon. ‘Baik’ atau ‘Sang Baik’ itu sendiri adalah sesuatu yang berlaku di segala tempat dan ruang bahkan melampaui ruang dan waktu. “Baik” dan “Sang Baik” adalah universal.

Platon merumuskan hidup yang baik adalah hidup yang berorientasi pada akal budi atau yang rasional. Akal budi merupakan bagian tertinggi dari jiwa manusia. Menurut Platon, jiwa manusia terbagi atas tiga bagian, 1) bagian rasional (to logistikon), 2) bagian keberanian (to thymoeides) dan 3) bagian keinginan (to epithymêtikon). Bagian akal budi merupakan sarana untuk mendapatkan kebijaksanaan (phronêsis atau sophia).[3] Akal budilah yang membawa manusia pada pengenalan akan ‘Baik’ atau ‘Sang Baik’.[4] Disebutkan pula akal budi sebagai bagian yang paling mulia dari jiwa.[5]

Lantas, apakah konsepsi ‘Baik’ atau ‘Sang Baik’ dari Platon dapat ditetapkan untuk menentukan kualifikasi ‘baik’ dari peristilahan “pencemaran nama baik”? Lema ‘nama’ dalam frase tersebut tentunya mengacu pada objek partikular, objek yang berada dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Omni bukanlah objek yang melampaui ruang dan waktu tertentu. Ada suatu masa ketika Omni tidak ada. Misalnya, pada tahun 1800, atau malah tahun 1300, bahkan bisa juga tahun 2025 atau malah 6710 Omni tidak ada. Fakta ini membuktikan partikularitas Omni.

Frase “pencemaran nama baik” dalam kasus antara Prita dan Omni menempatkan Omni sebagai subjek atas frase tersebut. Sebagai subjek, Omni adalah partikularitas yang dilekatkan dengan predikat ‘baik’ yang berlaku secara universal. Penggagasan yang demikian menjernihkan persoalan dengan mengkonseptualisasikan ‘ada sesuatu yang universal dari Omni, yakni intensionalitas akal budinya terhadap “Baik” atau “Sang Baik,” telah tercemari oleh tulisan-tulisan Prita yang menyatakan bahwa Omni bukanlah sebuah rumah sakit sebagaimana yang mereka cita-citakan.’ Semuanya ini tentu dengan persyaratan kita menerima hipotesa bahwa Omni telah menetapkan apa yang ‘baik’ bagi kehidupan Omni sesuai dengan apa yang telah dirumuskan Platon. (Jika tidak, kita harus menelusuri kembali apa yang dimaksud dengan ‘baik,’ yang diantaranya dapat membawa kita pada paham Hedonisme, menganggap yang baik adalah yang mendatangkan kenikmatan, atau paham utilitas, menganggap yang baik adalah yang bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya orang.)

Tentunya, jika Omni menerima konsepsi Platon akan apa yang ‘baik,’ maka Omni dengan segenap kekuatan akal budi telah menemukan Idea untuk mengisi liku kehidupan Omni. Sebagai sebuah rumah sakit, menurut saya, apa yang ‘baik’ adalah kesanggrahan. Kesanggrahan merupakan transliterasi dari ‘hospitality’. Filosof Jacques Derrida (1930-2004) menjelaskan kesanggrahan sebagai oposisi dari toleransi. Toleransi mengandaikan pemakluman atas adanya kekurangan, kecacatan, kekeliruan yang-lain di hadapan saya. Toleransi adalah sebuah invitasi, undangan di mana ‘saya mengundang Anda untuk datang ke rumah saya berbuat dalam batasan-batasan yang telah saya tetapkan.’ Jika toleransi adalah invitasi, maka kesanggrahan adalah visitasi. Kesanggarahan menandakan suatu kondisi yang dimulai oleh ketiadaan harapan pun undangan akan kedatangan orang lain dan diakhiri dengan kenyataan kita mendapat kunjungan yang tak diharapkan dan tak diundang.[6]

Kesanggrahan adalah sikap kita ketika menerima tamu. Kesanggarahan adalah suatu surprise di mana sur berarti ‘melampaui’ dan prise adalah ‘hadiah’. Surprise adalah sesuatu yang melampaui hadiah, sesuatu yang melampaui apa yang kita harapkan, suatu kejadian yang tiada kita harapan (sepanjang ‘harapan’ dimaknai sebagai sesuatu yang positif). Ya, rumah sakit pada dasarnya, menurut saya, bukanlah suatu institusi yang didirikan dengan pengharapan agar orang-orang sakit. Menelusuri akar kata hospitality menyingkapkan kesaksian bahwa rumah sakit pada dasarnya merupakan institusi yang diniatkan untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan tidak mengharapkan kedatangan pasien. Namun, keberadaan institusi rumah sakit berhadapan dengan keniscayaan kenyataan bahwa manusia pasti sakit, entah karena usia tua, atau karena penyakit. Di sini, rumah sakit hadir dalam kemenduaan. Bagi dirinya sendiri, rumah sakit mengharapkan ketiadaan pasien yang datang agar kesanggrahan mereka dapat terwujud, di sisi lain, rumah sakit bagi pasien yang merupakan keniscayaan di mana pasien mengharapkan kesanggrahan pihak rumah sakit.

Melalui rekonstruksi rasional-idealis kasus Prita dan Omni—yang masih ditetapkan dalam konteks hipotesa sepanjang asumsi yang dipergunakan adalah pengadaptasian konsep ‘baik’ sebagai ‘Baik’ atau ‘Sang Baik’ dalam pengertian Platon—dapatlah dipahami musabab Prita menuliskan surat elektronik yang berisikan informasi (dari informare, bahasa Latin, yang berarti memberi bentuk bagi gagasan;[7] informasi berfungsi mentransmisikan pengetahuan antar subjek.) menyangkut pelayanan Omni. Prita, sebelum kedatangannya ke Omni, tentunya sudah merancang sejumlah proyeksi akan hasil yang ia terima. Proyeksi itu adalah harapan Prita. Harapan Prita pada dasarnya mendapatkan kesanggrahan Omni (sebagai batasan, Prita tidak semata-mata berharap pada kesanggrahan Omni, melainkan juga telah mempersiapkan sejumlah uang untuk membayar jasa pelayanan kesehatan yang dilakukan rumah sakit Omni).

Nyatanya yang terjadi tidaklah sesuai dengan harapan Prita (dan Prita membayar untuk segala hal yang tidak sesuai dengan harapannya). Omni terbukti melakukan kesalahan diagnosis trombosit Prita! Pengalaman itulah yang disarikan Prita ke surat elektronik. Pengalaman itu adalah informasi. Pengalaman itu adalah pengetahuan. Jhon Locke (1632-1704), penggagas empirisme, menyatakan bahwa kita mempersepsi kebenaran dan kenyataan melalui pengalaman.[8] Atau dengan kata lain, pengalaman adalah sumber kebenaran, sumber pengetahuan.

Memang, jika kita menyelidiki secara detail, informasi yang disampaikan Prita belum tentu menjadi suatu kebenaran selama apa yang disampaikan Prita tidak dapat diakses oleh orang lain. Keutuhan pengalaman Prita dapat menjadi kebenaran, pengetahuan (episteme) selama apa yang disampaikan Prita dapat juga dialami oleh orang lain. Dari sudut ini, secara sepintas, memang apa yang dituliskan Prita dalam surat elektroniknya bisa saja dianggap sebagai sesuatu yang belum 100 persen menjadi kebenaran. Atas kritik tersebut, saya mengajukan dua hal yang memperkuat bahwa apa yang dialami Prita, juga dialami orang lain dalam modus dan intensitas yang berbeda, tetapi memiliki substansi yang sama, yakni pelayanan Omni memang mengecewakan. Juliana, ibu dari Jared, telah melaporkan dugaan tindakan malpraktik yang dilakukan Omni ke Polda Metro Jaya.[9] Argumentasi kedua yang saya ajukan adalah proposisi afirmatif universal: Tidak ada yang sempurna di bawah langit. Kesanggrahan yang dicita-citakan Omni sebagai nilai ideal yang diterapkan Omni dalam menjalani kehidupannya tidak selamanya terwujud. Selalu ada disparitas antara yang diharapkan dan yang terjadi. Omni tak lepas dari adanya disparitas antara yang diharapkan dan yang terjadi.

Uniknya, ekspedisi mengarungi konsepsi ‘baik’ yang diformulasikan sebagai ‘kesanggrahan’ di dalam institusi rumah sakit tidak memberi peluang bagi Omni untuk mengajukan gugatan. Mengapa? Kekuatan akal budi yang dimiliki Omni untuk mengidentifikasi apa yang ‘baik’—dalam hal ini secara ideal diformulasikan sebagai ‘kesanggrahan’—gagal menyadari bahwa kesalahan utama bersumber dari dirinya sendiri. Omni tidak menyadari bahwa kesalahan mereka melakukan penghitungan trombosit adalah sesuatu yang fatal. Harapan Prita bertemu kenyataan yang pahit. Kenyataan itu masih ditambah lagi dengan tindakan membebankan Prita kewajiban untuk membayar biaya perawatan.

Tentunya, melalui serangkaian peristiwa yang terjadi, nyatalah bahwa Omni sama sekali tidak menggunakan kekuatan akal budinya. Omni tidak menggunakan kekuatan akal budinya untuk mengenali apa yang bijaksana dalam menghadapi kasus Prita. Omni pada saat itu hanya menggunakan bagian keinginan (to epithymêtikon), yakni hawa nafsu.[10]

Jika demikian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konsepsi ‘baik’ dalam frase ‘pencemaran nama baik’ bukanlah sebagaimana yang diformulasikan Platon. Kalau begitu, apa yang dimaksudkan dengan ‘baik’ dalam frase tadi hingga berdampak pada kerugian properti, material? Adalah menarik melihat pernyataan Ignas Kleden yang mengutip pernyataan filosof Adam Smith (1723-1790) dalam TheWealth of Nations: “Penjual roti membuka tokonya bukan untuk memberi makan kepada mereka yang membutuhkan, tetapi untuk mendapat untung bagi dirinya.” (“It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect oru dinner, but from their regard to their own interest.”)[11]

Menyatakan adanya kerugian properti mengandaikan adanya kepemilikan pribadi, kepemilikan yang berada di ruang pribadi, ruang privat[12]. Frase ‘pencemaran nama baik’ di mana ‘baik’ pada dasarnya bersifat immaterial menjadi sesuatu yang bersifat material hanya dapat terjadi dalam konteks yang ekonomis, konteks yang bersifat tukar-menukar komoditi, Omni memberikan pelayanan kesehatan sebagai komoditi dan Prita memberikan uang yang juga adalah komoditi sebagai balasan atas pelayanan kesehatan yang ia terima dari Omni. Artinya, Omni bukanlah sebuah rumah sakit yang didirikan berdasarkan kesanggrahan, melainkan berpijak pada kepentingannya sendiri, yakni meraup keuntungan yang dapat ia renggut dari siapa pun yang datang untuk mendapatkan komoditi jasa pelayanan kesehatan dari dirinya. Dalam konteks ini, yang disebut dengan ‘baik’ itu adalah ‘kesejahteraan.’ Karl Marx (1818-1883) memformulasikan ‘kesejahteraan’ itu, dalam masyarakat kapitalis, sebagai “pembongkakan akumulasi komoditas.”[13] Maka, teranglah bahwa Rp204 juta yang harus dibayarkan Prita—tentu masih ada peluang Mahkamah Agung memberikan putusan yang menganulir segala putusan yang sudah ditetapkan pada pengadilan tingkat pertama dan kedua (jika tidak, maka Prita wajib membayar denda materil sebagaimana yang diputuskan pengadilan tingkat ketiga, yang masih memberikan peluang bagi diajukannya Peninjauan Kembali yang bertujuan menganulir putusan yang telah ada sebelumnya)—pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan ‘kesejahteraan’ Omni dengan cara ‘pembongkakan akumulasi komoditi,’ yakni tindakan yang ditujukan untuk memperbesar keuntungan agar modal dapat bertambah dan Omni bisa melakukan ekspansi bisnis ke daerah-daerah lain.

Bagi saya pribadi, kasus Prita dan Omni memberikan refleksi bahwa hospitality yang merupakan hakikat dari keberadaan rumah sakit patut dipertanyakan (untuk menggugat atau malah berperan merevitalisasi). Hospitality sebagai aktualisasi kemanusiaan hakiki dari seorang dokter—sebagai akar bagi keberadaan suatu rumah saki—mengalami reduksi menjadi semata-mata kegiatan mencari untung. Sumpah Hipokrates—yang mengikat setiap dokter, dan tentunya secara implisit mengikat kelembagaan rumah sakit yang berakar pada keahlian pengobatan—jauh sebelum tarikh Masehi sudah memberikan peringatan akan reputasi yang buruk yang bakal diterima oleh siapa pun (termasuk institusi sebagai implikasi) yang melanggar ketentuan sumpah yang dibuat Hipokrates (460-377 SM). Saya terjemahkan salah satu bagian Sumpah Hipokrates secara bebas:

Engkau secara tulus bersumpah kepada Yang Engkau Yakini Sebagai Yang Suci

Bahwa engkau akan setia kepada profesi kedokteran dan bersikap adil dan menghormati martabat orang yang terlibat di dalam profesi tersebut

Bahwa engkau akan mengendalikan kehidupanmu serta melakukan keahlianmu secara tepat dan bermartabat

Bahwasanya ke rumah siapa pun yang akan engkau masuki, adalah demi kebaikan, kesehatan dari mereka yang sakit melalui pengerahan kekuatan optimal yang engkau miliki, tetap menjaga konsentrasi agar tindakanmu jauh dari kesalahan, pengrusakan, serta niatan untuk mencelakai orang lain

Bahwa engkau akan melatih keahlianmu hanya demi kesembuhan pasienmu, dan tidak memberikan obat apapun, tidak memperlihatkan suatu tindakan apapun untuk tujuan kejahatan, sekalipun ada orang yang memaksamu untuk melakukan hal tersebut, hindarkanlah perbuatan itu

Bahwa apa pun yang akan engkau lihat atau dengar tentang kehidupan lelaki atau pun perempuan di mana hal tersebut tidak layak untuk dipercakapkan, engkau tetap menyimpan rahasia itu

Inilah yang menjadi sumpahmu. Maka, biarlah setiap kepala tunduk takzim atas segala sumpah

Dan sekarang, jika engkau berlaku benar sesuai sumpahmu, semoga keberhasilan dan reputasi baik selamanya menjadi milikmu; sebaliknya, jika engkau melakukan segala hal yang bertentangan dengan sumpahmu.[14]

Dan, tampaknya “Sebaliknya, jika engkau melakukan segala hal yang bertentangan dengan sumpahmu” tengah mengintai suatu rumah sakit, yang berada di suatu masa, yang bernama ‘Omni’ Internasional, yang secara implisit hendak menyatakan bahwa apa yang dilakukan “Serba Internasional,” tetapi luput mengenali apa yang hakiki dan universal dari keberadaan sebuah rumah sakit, serta keberadaan profesi dokter di tengah keniscayaan umat manusia untuk selalu berhadapan dengan penyakit, bahkan di titik yang paling ekstrem adalah kematian. Dan, tidak ada satu dokter atau rumah sakit pun yang mampu meluputkan seorang dari kematian, ketika Yang Maha Kuasa sudah menetapkan Titah. Dengan demikian, secara spekulatif, selalu ada kegagalan yang mengintai dalam kinerja rumah sakit, entah melalui campur tangan Yang Maha Kuasa atau keteledoran diri sendiri, yang jika diinsyafi, dapat memberikan pelajaran yang baik demi keberlangsungan sebuah gagasan kesanggrahan (itu pun kalau masih diakui sebagai nilai yang utama dan terutama bagi para dokter dan rumah sakit). Atau, jangan-jangan apa yang disampaikan secara satir oleh Thomas Browne, dokter sekaligus esais kelahiran London, sebagaimana yang dikutip pada awal tulisan ini adalah tepat. Kematian sudah selalu mengintai begitu kita menginjakkan kaki di rumah sakit, entah kita memang benar-benar meninggal dunia atau kehilangan harta benda karena gugatan perdata. Untuk yang pertama, sebagai pasien, kita tidak berkeberatan; karena manusia pada hakikatnya mahluk yang terbatas, dan keterbatasan manusia yang paling ultima adalah kematian. Untuk yang terakhir, sebagai rumah sakit, Omni telah menanam dendam.



[2] Magnis-Suseno, Franz., 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hal.17

[3] Bertens, Kees, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 138-9

[4] Dalam batasan-batasan yang ketat, Sang Baik dapat pula diidentifikasi sebagai Tuhan dalam keyakinan orang beragama. Pengenalan akan Tuhan mengandaikan adanya Nurani di dalam diri manusia. Nurani yang berarti Cahaya (Nur) bagi [dimensi] Rohani (Ruh, Rohani) manusia untuk mengenal Tuhan.

[5] Encylclopædia of Britanica Library 2008

[6] Borradori, Giovanna, Filsafat Dalam Masa Teror, diterjemahkan oleh Alfons Taryadi, (Jakarta: Kompas, 2005), hal.240-1

[7] Room, Adrian, Cassell’s Dictionary of Word History (London: Cassel & Co, 2002), hal.308

[8] Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal.74-5

[10] Bertens, Kees, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal.139

[11] Kleden, Ignas, Seni dan Civil Society (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2009), hal.23

[12] Ibid., hal.9-10. Distingsi antara ruang privat dan ruang publik ditandai oleh tema pokok yang dibahas dalam ruang tersebut. Ruang privat membahas pertanyaan “the question of good life”; ruang publik membahas “the question of justice.”

[13] Marx, Karl, Capital: A Critique Of Political Economy, (New York: The Modern Library, 1906), hal.41

[14] Microsoft Encarta 2006

REGIONAL DANCE SUMMIT

AKAR, Akal dan Alam

Y
“I am inspired by tradition, but the process has to be modern.
I take Papuan philosophy, because I love my traditional roots.”
Jeck Kurniawan Siompo Pui
Koreografer


Ada kesan yang sulit saya lupakan setelah pertunjukkan tari bertajuk “From BETAMAX To DVD” garapan koreografer Jeck Kurniawan Siompo Pui di Goethe Institut Jakarta pada Kamis (06/08) malam selesai. Apa maksudnya? Saya sama sekali tidak paham. Meski begitu, tarian Jecko Siompo Dance Company memukau saya. Bahkan sempat juga tarian Jecko memikat perasaan saya yang sedang duduk berkerut kening untuk menggerakkan badan, menghentakkan kaki, juga mengepalkan tangan. Momen yang ganjil. Saya kehilangan kendali atas badan saya. “From BETAMAX To DVD” ‘menghipnotis’ badan saya agar bergerak sendiri tanpa kendali kesadaran. Bahu saya bergerak, kaki saya menghentak pelan ke lantai, tangan saya mengepal kuat dan kepala saya mengangguk ritmis. Seketika saya sadar, dan pikiran saya mulai mengenali apa yang telah terjadi pada saya sebagai suatu keganjilan. Impuls sensasi yang melahirkan momen perwujudan kehendak, hasrat untuk bergerak.
Ketika saya merefleksikan petikan momen rasa yang saya alami itu, saya malah menemukan ‘pesan utama’ (sekalipun Jecko mengakui bahwa tarian-tariannya tidak mengandung pesan) dari tarian “From BETAMAX To DVD”. Refleksi atas momen tadi memunculkan suara “Ah sudah, kau menari saja. Kau jangan pikir yang lain-lain.” Suara itulah yang saya sebut ‘pesan utama’. Saya pikir, suara itulah yang melahirkan kehendak bergerak dan di saat bersamaan menghilangkan kendali kesadaran atas badan saya.
Refleksi membawa saya pada kesimpulan bahwa “From BETAMAX To DVD” hendak menyampaikan gagasan: Ya, mari kita menari, menari dan menari. “From BETAMAX To DVD” adalah ajakan bagi siapa saja untuk menari di mana ‘menari’ dalam hal ini telah menjelma sebagai metafora.

* * *

Keberhasilan saya memahami ‘pesan utama’ tarian Jecko tidak lepas dari diskusi antara Jecko dengan penonton seusai pementasan. Masih dengan kerutan di kening, saya mengikuti diskusi. Ternyata diskusi yang saya ikuti membantu saya memahami tarian Jecko yang baru saja saya saksikan.
Dari diskusi saya menyimpulkan ada tiga hal fundamental dalam proses berkesenian Jecko. Tiga hal itu adalah Akar, Akal, dan Alam. Ketiganya menjadi modal Jecko berekspreimen dan mengeksplorasi gerak hingga menghasilkan karya-karya koreografi.
‘Akar’ adalah istilah yang merujuk pada adanya tenaga utama Jecko untuk berkarya. Tenaga utama bersumber dari kodrat. Terlahir sebagai anak Papua—Jecko lahir di Jayapura, 4 April 1975—Jecko pun menempatkan Papua sebagai sumber inspirasi. Eksplorasi Jecko tidak sekadar pada wilayah kulit permukaan, melainkan langsung menelisik kedalaman batin tarian Papua. “Bagi orang Papua, tarian itu untuk ekspresikan dirinya sendiri. Menari itu bisa di mana saja dan bisa siapa saja. Itulah yang saya tampilkan dipanggung,” kata Jecko. Saya menempatkan pernyataan Jecko sebagai representasi kegigihan Jecko untuk menemukan warisan Papua yang bersembunyi dalam serangkaian pola gerakan baku tarian-tarian tradisional. Jecko melampaui pola gerakan baku tarian-tarian tradisional Papua dan menemukan warisan makna tari bagi orang Papua. Tari itu untuk ekspresikan dirinya sendiri! Kalimat itulah yang menjadi matahari pemberi daya kreatif bagi Jecko untuk mengkreasikan suatu karya koregrafis.
Istilah ‘akal’ yang saya pergunakan merujuk pada keluwesan pikiran dan imajinasi Jecko membangun interaksi antara apa yang tengah dialami dengan apa yang telah dialami untuk menentukan apa yang akan dilakukan. Penanda bagi ‘akal’ ditunjukkan oleh penjelasan Jecko akan kesamaan karakter tokoh animasi dengan gerakan orang di dalam hutan. Gerakan di dalam hutan berasal dari memori Jecko akan Papua; karakter tokoh animasi disebabkan perjumpaan Jecko dengan televisi dan Playstation. Pertemuan memori dengan pengalaman saat-ini memberi inspirasi bagi Jecko untuk menggagas tarian baru yang bernafaskan pandangan filosofis Papua akan tarian.
Ketiga, ‘alam’. Di dalam diri Jecko, ‘alam’ hadir bukan sebagai sesuatu yang natural, alamiah belaka, sebagaimana hutan, pebukitan, danau, dan segenap panorama naturalis lainnya. Alam bukanlah hanya pemandangan pedesaan atau pegunungan belaka, melainkan perkotaan dalam negeri, juga perkotaan luar negeri. Alam tidak lagi dikenali sebagai suatu wilayah ‘tanpa teknologi.’ Alam adalah totalitas wilayah ‘berteknologi’ juga ‘tanpa teknologi’. Momen-momen pengalaman menjadi jembatan yang menghubungkan orang dengan alam. Jecko mengakuinya saat mengungkapkan keterpesonaannya dengan apa yang dia jumpai di hutan, lalu di kota Jakarta, kemudian di negeri Jerman, dan lain sebagainya. Di hutan Papua Jecko berjumpa kangguru, di kota Jakarta Jecko berjumpa mobil, di Jerman Jecko berjumpa bianglala raksasa. Setiap perjumpaan adalah bahan mentah yang siap ia garap menjadi bahasa gerak di panggung pementasan. Kangguru yang ditemui Jecko dalam hutan adalah bahan mentah untuk bahasa gerak yang akan digubahnya dengan tetap berpedoman pada kangguru itu sendiri. Tidak hanya kangguru, mobil dan helikopter pun dijadikan bahan mentah untuk menghasilkan bahasa gerak yang unik dank has sebagai representasi dari mobil dan helikopter. Dengan akalnya, Jecko merekam benda-benda yang ditemuinya untuk kemudian digubah ke dalam bahasa gerak yang akan diterapkan dalam pola baku gerakan tarian Papua.

* * *

Melalui diskusi antara koreografer dengan penonton, saya pun bisa memahami gagasan yang ada di balik tarian “From BETAMAX To DVD”. Setiap tarian adalah persoalan keterpikatan rasa. Ketika suatu tarian mampu memikat saya untuk menari, itu adalah pertanda keberhasilan suatu karya koreografi. Ya, mengalami dan merasakan adalah satu soal; berpikir dan memahami adalah soal yang lain lagi. Bertumbuh, itu masalah mengalami sekaligus memahami.

T
“I emphasize two aspects, history, what has been created,
and secondly, I develop new works by referring to this past.”
Jeck Kurniawan Siompo Pui
Koreografer


07-10 Agustus 2009

Mengenang Rendra

Hening Rendra

dari kejauhan,
aku melihat engkau
berucap salam
kepada jantung keheningan

selamat jalan Rendra
meledak di dada
POLITIK,
SESUATU YANG MELAMPAUI
ILMU PENGETAHUAN


Politics is not an exact science.
Prince Otto von Bismarck
(1815 - 1898)



Saya hendak berangkat dari pertanyaan, “Apakah ilmu pengetahuan mampu memecahkan masalah politik?” Contohnya, “Apakah penghematan uang satu putaran penyelenggaraan pemilihan presiden mampu menyelesaikan masalah politik Indonesia?” Jawabannya tentu saja bisa ya, bisa pula tidak. Jawaban apa pun yang diberikan tentu bergantung pada konsepsi dari istilah politik itu sendiri.

Dari sudut etimologi, kata ‘politik’ berasal dari bahasa Yunani ‘polis’ yang berarti negara-kota. Perbincangan ‘politik’ adalah perbincangan tentang negara-kota, tentang pengelolaan negara-kota, tentang pengelolaan hidup-bersama di dalam suatu territorial. Adanya pengelolaan meniscayakan kehadiran pengelola dan yang-dikelola. Pemerintah hadir sebagai pihak pengelola, sedangkan warga negara hadir sebagai pihak yang-dikelola. Atas nama kedaulatan, pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengelola kehidupan warga negara.

Tentu saja perbincangan dengan pengelolaan hidup-bersama bukanlah perbincangan yang tak memiliki tujuan. Pengelolaan hidup-bersama—entah dari sudut sosiologi, ekonomi, atau pun budaya—menjadi topik perbincangan penting justru karena memang ada tujuan yang hendak dicapai. Hidup-bersama hadir bukan semata-mata sebagai hidup-bersama yang bersifat nasib, melainkan hidup-bersama yang bersifat perjuangan, kerja keras, menuju hidup-bersama yang baik. Problemnya, apa yang dimaksud dengan ‘baik’?

Pemerintah bukanlah sesuatu yang datang dari kekosongan, bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Kelayakan orang atau sekelompok orang memegang kekuasaan pada suatu negara-kota berlandaskan keberhasilan mereka memenangkan persaingan di kalangan warga. Kemenangan sudah tentu mengandaikan adanya yang-kalah. Kemenangan atau kekalahan dari kontestan persaingan disebabkan oleh konsepsi para kontestan untuk menentukan apa yang ‘baik’ bagi hidup-bersama.


Persaingan Tanpa Yang ‘Baik’
Meski tidak terlalu memadai, penjelasan di atas membantu untuk melihat apa yang ada di dalam konsepsi politik. Setidaknya ada enam hal yang penting, 1) kedaulatan, 2) kekuasaan, 3) pemerintah yang juga berasal dari 4) warga, dan 5) persaingan/kompetisi 6) untuk menentukan apa yang ‘baik’.

Bila kembali mengacu pada pertanyaan awal, “Apakah ilmu pengetahuan mampu memecahkan masalah politik?” maka teranglah batas-batas jawaban ya atau tidak. Menurut saya hanya rasionalitas yang menyederhanakan politik sebagai persaingan/kompetisi sajalah yang memampukan ilmu pengetahuan menyelesaikan persoalan politik. Persaingan dimenangkan kontestan tertentu dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang berperan menemukan teknologi baru agar kontestan lain kalah. Penguasaan teknologi menjadi jaminan kemenangan. Menguasai ilmu pengetahuan, memanfaatkan ilmu pengetahuan beserta orang-orang yang berpengetahuan menjadi langkah pokok menuju kemenangan. Tetapi, sejatinya, politik tidak hanya persaingan belaka. Persaingan politik adalah persaingan yang berupaya meyakinkan warga tentang apa yang ‘baik’ bagi warga di masa depan.

Patut pula diperjelas, kualifikasi apa yang ‘baik’ yang menjadi substansi persaingan merupakan wilayah yang berada di luar obyektifitas. Apa yang ‘baik’ adalah sesuatu yang sulit untuk diukur, yang berada di luar jangkauan kuantifikasi numerik. Apa yang ‘baik’ lahir dari pertimbangan atas, minimal dua pilihan yang ada, yang mungkin diambil subyek tertentu. Maka, yang ‘baik’ hadir sebagai subyektifitas. Dalam konteks ini, subyektifitas yang saya maksud mengikuti pemahaman Kierkegaard (yang agak saya modifikasi. Kierkegaard menggunakan konsepsi subyektifitas dalam konteks nilai benar/salah, bukan baik/buruk) di mana keputusan memilih yang ‘baik’ bukan karena apa yang dipilih adalah ‘baik’, melainkan karena subyek memiliki keyakinan bahwa apa yang dipilihnya adalah ‘baik’. Dan klarifikasi atas subyektifitas berada pada wilayah masa depan. Pada masa kampanye sekarang, kata-kata ‘bukti’ dan ‘janji’ adalah wujud dari subyektifitas akan apa yang ‘baik’.


Karya, Produk, Dan Sampah
Penggunaan ilmu pengetahuan dalam konteks simplifikasi pemahaman politik menjadi sekadar persaingan/kompetisi, menurut saya, menyebabkan politik hadir sebagai komoditi. Politik tak ubahnya seperti produk sikat gigi, jam tangan, sabun cuci, atau teh celup. Komodifikasi politik menyebabkan terjadinya degradasi nilai politik. Komodifikasi politik merendahkan status politik yang awalnya adalah “karya” menjadi sekadar “produk,” bahkan bisa-bisa di kemudian hari politik dikenali sebagai “sampah.”

Politik sebagai persaingan menentukan apa yang ‘baik’ tentunya dengan sendiri mengandaikan adanya kerja. Analisa mahzab Frankfurt yang menggali inspirasi dari Karl Marx merumuskan kerja sebagai bagian keberadaan manusia di dunia. Antara apa yang dikerjakan orang dengan orang yang mengerjakan ada ikatan yang tak terpisahkan. Antara hasil pekerjaan dengan pekerja ada ikatan batiniah di mana melalui hasil pekerjaannya seseorang menunjukkan siapa dirinya. Adanya hubungan intrinsik antara hasil pekerjaan dengan pekerja itulah yang saya konsepsikan sebagai karya. Sebuah idiom yang masih berlaku di dunia kesenimanan Indonesia. Percakapan antara seniman, mulai dari yang amatir hingga profesional, adalah tentang: Karya. Apakah Anda pernah mendengar pameran karya elektronik? Saya pikir, yang jamak terjadi adalah pameran produk otomotif, furnitur, dan lainnya.

Proses industrialisasi, yang dikritik Karl Marx karena logika kapitalisme yang bekerja di dalamnya, mengubah nilai dari hasil kerja menjadi produk. Hasil kerja bukan lagi karya, yang hanya satu-satunya, tidak terganti, abadi. Sejak jaman industrialisasi, hasil kerja memiliki nilai baru, yakni produk. Produk berarti tidak satu-satunya, dapat diganti, dan tentu saja tidak abadi. Hasil kerja yang disebut produk pun mengingkari keterikatan intrinsik dengan pekerjanya. Suatu hal yang kemudian dikenal dengan istilah alienasi, pengasingan pekerja dari apa yang dikerjakan.

Dari produk, lahirlah sampah. Sampah adalah produk yang sudah tidak mampu lagi memberi utilitas kepada pemiliknya. Seseorang yang kehilangan produk dapat saja langsung melapor ke polisi perihal kehilangan tersebut. Namun, tentu saja janggal untuk memikirkan ada orang melapor karena kehilangan sampah dari bak sampah di belakang rumahnya.

Komodifikasi politik oleh ilmu pengetahuan menghilangkan aspek fundamental politik, yakni kerja keras untuk menentukan apa yang ‘baik’. Pencitraan diri para kontestan—saya menduga, pencitraan kontestan didukung riset ilmiah untuk mengetahui kira-kira iklan macam apa yang harus dikeluarkan agar dapat menguasai arus bawah sadar publik hingga memilih calon bersangkutan—menjadi jalan pintas untuk memikat suara publik, yang diidentifikasi sebagai pemilih yang lebih mengedepankan perasaan daripada pikiran. Kerja keras yang lebih bersifat ideologis untuk menentukan apa yang ‘baik’ dengan cara pengorganisasian publik dan melakukan transformasi kesadaran kritisnya malah tidak dilakukan. Kerja politik yang dilakukan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tjokroaminoto, dokter Wahidin, Tan Malaka, menurut saya mengadopsi pola kerja keras untuk menentukan apa yang ‘baik’ bagi Bumiputra, yaitu: Kemerdekaan. Secara metaforis saya menyatakan: Perenungan akan permasalahan kebangsaan dan kenegaraan seakan mengisi setiap denyut nafas mereka. Dan bukankah pada masa pemilihan legislatif lalu, para caleg mendatangi, lalu menginventarisir segenap permasalahan dari daerah pemilihannya beberapa bulan menjelang pemilihan umum digelar?

Pada setiap proses periodik politik yang terjadi, pada akhirnya sejarah jugalah yang akan memberikan klarifikasi keselarasan antara ‘bukti’ dengan ‘janji’ (tidak cuma mengandalkan ‘bukti’ tanpa ‘janji’, atau sebaliknya ). Saya pikir, pada saat sejarah bicara itulah kita baru mengetahui siapa yang memang benar-benar melakukan kerja politik yang bernilai karya, bukan cuma produk apalagi sampah, sebagaimana sikap para anggota dewan yang membolos, juga tidur saat bersidang.


Akhir Kata
Saya pikir, tidak salah juga bila ilmu pengetahuan dipergunakan saat berkampanye. Sebabnya tentu saja karena ilmu pengetahuan memang berguna bagi kehidupan manusia. Namun, penggunaan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan berguna bagi para kontestan untuk mendapatkan raihan suara yang maksimal seyogyanya dibarengi dengan usaha transformasi kesadaran kritis publik bahwa ilmu pengetahuan bukanlah kebenaran tunggal yang bersifat mutlak dan pasti, bahkan melampaui ruang dan waktu. Menyitir pendapat filosof Jerman Jürgen Habermas, ilmu pengetahuan bukan lagi sarana manusia untuk membebaskan diri dari mitos atau takhayul, melainkan sarana untuk menaklukan, mendominasi!




RUMAH SAKIT ATAU HOSPITAL?

Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia karangan Eko Endarmoko menyediakan padanan bagi frasa “rumah sakit,” yakni hospital. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga pun mengamini hal tersebut pada halaman 408.

Bagi saya, mendengar atau pun melihat kata ‘hospital’, seketika intuisi berbahasa saya membawa imajinasi saya pada kesimpulan tentatif: Pasti berasal dari bahasa Inggris atau setidaknya berhubungan dengan bahasa Inggris.

Encarta Dictionary Tools menyatakan ada tiga arti dari ‘hospital’, yakni 1) bangunan untuk perawatan medis, 2) tempat untuk memperbaiki sesuatu, 3) tempat penampungan bagi mereka yang membutuhkan. Merriam Webster’s Dictionary & Thesaurus pun menyatakan hal yang relatif sama, kecuali ada penegasan pada poin 2), yakni sebagai tempat reparasi bagi objek-objek spesifik yang kecil, semisal arloji atau pun jam.

Fakta yang saya peroleh dari perbandingan kata ‘hospital’ yang ada pada Tesaurus Bahasa Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan apa yang ada pada Encarta Dictionary Tools dan Merriam Webster’s Dictionary & Thesaurus meyakinkan saya bahwa kata ‘hospital’ adalah kata serapan dari bahasa asing, atau setidaknya bernenek moyang pada bahasa Inggris.

Melihat kembali Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengartian ‘hospital’ telah mengalami pengurangan bila dibandingkan dengan arti yang terdapat pada Encarta Dictionary Tools dan Merriam Webster’s Dictionary & Thesaurus. Pada halaman 408 Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hospital’ merupakan kata benda dari ragam cakapan atas kata ‘rumah sakit’. Tidak ada pengartian lebih lanjut, hanya berhenti pada pemadanan kata. Melihat pada halaman 967, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ‘rumah sakit’ sebagai 1) gedung tempat merawat orang sakit; 2) gedung tempat menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai masalah kesehatan.
Dari dua pengartian, kata ‘pelayanan’ memantik kegelisahan tersendiri bagi saya. Penasaran, saya melihat halaman 646 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata ‘pelayanan’ yang menempati posisi kata benda punya tiga arti, 1) perihal atau cara melayani, 2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan, 3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa.

Pengartian atomis kebahasaan yang saya lakukan cukup mengejutkan. Namun, apa yang mengejutkan itu akan saya bicarakan nanti, setelah saya melakukan pelacakan tentang sejarah kata ‘hospital’ dalam bahasa Inggris.

Cassell’s Dictionary of wordhistories karangan Adrian Room, pada halaman 288, saya kutipkan:

hospital n. an institution for the reception and treatment of the sick or injured. WH: 12-14 C. Old French (Modern French hôpital), from Medieval latin hospitale, use as n. of Latin hospitalis hospitable, from hospes, hospitis HOST1. See also –AL1. A hospital was originally a house for the reception of pilgrim, travelers or strangers, then a charitable institution for the infirm, aged and needy. The current sense evolved in the 16 C.

Dalam kosa kata bahasa Inggris, kata ‘hospital’ berakar pada kata “host” (lihat: HOST1) yang berarti 1) orang yang menghibur orang lain, 2) orang asing, musuh, juga tamu.

Dari penjelasan Cassell’s Dictionary of wordhistories terang bahwa pengertian ‘hospital’ bermula dari sebuah rumah yang difungsikan untuk menerima orang asing, entah petualang atau peziarah, yang dikenal sebagai ‘tamu’, orang yang menghibur orang lain. Di kemudian hari, konsep ‘hospital’ mengalami evolusi menjadi lembaga tempat berlindungnya orang tak mampu, tua, dan yang membutuhkan, hingga berakhir pada evolusi paling mutakhir, yakni sebagai lembaga yang menerima dan merawat orang yang sakit dan terluka.

Apa yang memukau saya dari penjelajahan atomik bahasa, konseptualisasi ‘hospital’—yang menurut Saussure dapat terjadi secara arbitrer ataupun melalui jalur kesepakatan—sangat kaya. Secara konseptual-implisit, kata ‘hospital’ mengandung makna keterbukaan, keramahan, kesediaan menerima orang asing sebagai orang yang menghibur orang lain—suatu konsep yang juga ada pada kebudayaan di Indonesia di mana kedatangan tamu berarti juga kedatangan rezeki (rezeki adalah istilah yang punya kaitan intrinsik dengan spiritualitas/religiusitas daripada materialitas ekonomis) dan karena itu pula menyambut tamu dilakukan tangan terbuka.

Dalam filsafat kontemporer, Jacques Derrida pun mencoba mengkonseptualisasikan ‘hospital’ sebagai suatu prinsip filosofis bagi filsafat politik. Prinsip tersebut berguna untuk mengkonstruksikan ulang tata kehidupan global yang sudah mengalami kekacauan, yang diidentifikasi sebagai akibat dari fundamentalisme agama, yang juga pernah terjadi pada abad 16 M. Dalam buku terjemahan Alfons Taryadi, Filsafat Dalam Masa Teror karangan Giovanna Borradori, Derrida menawarkan konsep hospitality sebagai tandingan bagi toleransi yang dianggap telah gagal menciptakan tatanan dunia yang lebih baik bagi semua manusia. Alfons Taryadi menerjemahkan hospitality sebagai kesanggarahan, yang menurut saya tepat meski belum jitu. Saya kutipkan tulisan Giovanna Borradori pada halaman 26, yang telah diterjemahkan Alfons Taryadi, untuk menjelaskan pengertian Derrida atas prinsip tersebut:

Tetapi kesanggrahan murni atau tanpa syarat tidak berupa suatu undangan seperti itu. (“Saya undang anda, selamat datang di rumah saya, dengan syarat bahwa anda menyesuaikan diri kepada hukum-hukum serta norma teritori saya, sesuai dengan bahasa, tradisi, kesenangan saya dan seterusnya.”) Kesanggrahan murni dan tanpa syarat, kesanggrahan itu sendiri, membuka atau lebih dahulu terbuka kepada seseorang yang tidak diperkirakan akan datang, tidak pula diundang, kepada siapa saja yang datang sebagai pengunjung yang sama sekali asing, sebagai seorang pendatang baru, yang tak teridentikasi dan tak ternyana, singkat kata, yang sepenuhnya lain.

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia lema ‘sanggrah’—sebuah kata kerja yang mengalami pembendaan dengan penambahan ‘ke-~-an’—berarti singgah sebentar (beristirahat barang sehari atau dua hari). Menurut saya, pemahaman Kamus Besar Bahasa Indonesia lebih memusatkan pengartian lema ‘sanggrah’ pada subyek dari ‘sanggrah’, bukan bertitik tolak dari obyek ‘sanggrah’. Ilustrasinya, pengartian ‘sanggrah’ dalam bahasa Indonesia lebih bertitik tolak pada, katakanlah, orang yang menginap, daripada orang yang menyediakan pondokan.

Karena alasan pemaknaan subjektif itulah saya menilai terjemahan Alfons Taryadi tepat tetapi kurang jitu, karena konseptualisasi Derrida atas hospitality merujuk pada kesiapan emosional, intelektual, bahkan spiritual yang positif dari orang yang kedatangan tamu ke rumah orang bersangkutan secara tidak terduga, tak teridentikasi, tak disangka. Secara konseptual memang saya tidak bisa memberikan istilah apa yang jitu untuk menerjemahkan hospitality Derrida, tetapi setidaknya, menurut saya, hospitality Derrida mengandung ketulusan, kebahagiaan, serta kegirangan. Hospitality, menurut saya tak jauh beda dengan perasaan yang saya alami sewaktu kecil ketika saya kegirangan melihat ada kupu-kupu besar terbang di dalam rumah (tatkala kecil, saya menerima pikiran yang menyatakan ‘kedatangan kupu-kupu di rumah adalah pertanda akan datangnya tamu’).

Melalui studi banding linguistik filosofis atas kata ‘hospital’ untuk menilai secara kualitatif makna ‘rumah sakit’, saya mendapatkan kesimpulan yang memang mengejutkan. Secara historis, ‘hospital’ memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar merawat orang sakit, sebab ada unsur manusiawi, juga ketelitian, ketelatenan sebagaimana ditunjukkan lewat pengertian reparasi jam/arloji. Unsur kemanusiawiaan dan ketelitian a la ilmu keteknikan menjadi nyawa bagi kata tersebut. Pada bahasa Indonesia, kata ‘rumah sakit’ mentok pada pengertian gedung tempat merawat orang sakit dan gedung yang menyediakan dan memberikan perawatan serta pelayanan. Konsep yang sedemikian dangkal—saya pikir, kesimpulan “dangkal” disebabkan keterbatasan wawasan saya yang tidak mengetahui potensialitas bahasa Indonesia untuk menghasilkan konseptualisasi lokasi perawatan orang sakit yang lebih tepat daripada ‘rumah sakit’—semakin menjadi banal setelah saya memperhatikan apa yang dimaksud dengan lema ‘pelayanan’. Lema ‘pelayanan’ cenderung mengadopsi suasana pemahaman yang bersifat teknis fisikal dan ekonomis. Maka, konstruksi ‘rumah sakit’ pada bahasa Indonesia, yang dideteksi melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia didominasi gagasan ekonomis, untung-rugi. Kategori ekonomis menjadi tolak ukur utama yang dilekatkan ‘rumah sakit’ kepada orang-orang yang mengunjungi ‘rumah sakit’.

Secara konseptual, saya pun bisa mengerti mengapa Ibu Prita dipenjara karena menuliskan dan menyampaikan keluhannya atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional di dunia maya. Ada persoalan ekonomi, untung-rugi, yang melatari hal tersebut dikarenakan konstruksi bahasa ‘rumah sakit’ di Indonesia. Secara spekulatif, saya dapat menyimpulkan, gugatan perdata pun laporan pidana dari Rumah Sakit Omni Internasional terhadap Ibu Prita adalah murni hilangnya keuntungan Rumah Sakit Omni Internasional. Dan masalah ‘pencemaran nama baik’, menurut saya, adalah topeng untuk menutupi niat yang sebenarnya, yakni mendapatkan kembali keuntungan yang hilang.

Paragraph Kecil Tentang Lelaki Bertanduk

Lelaki bertanduk, yang sering aku lihat berjalan-jalan di taman-taman kota, mendadak santun bicara di hadapan khalayak. Ia bicara tentang perjuangan, dan dengan sangat sengaja menyeludupkan makna akan sebuah dukungan. Dengan kening yang bertanduk, sungguh aku tak pernah melihat dia berkelakukan seperti itu. Setahuku, dia hanya berperilaku santun ketika bermeditasi di dalam kamar baca yang memang khusus dia persiapkan di rumahnya, sebuah rumah yang berharga Rp2 miliar.

*

Ketika manusia sudah tak lagi percaya pada kekuatan Adimanusia--jika dianggap ungkapan 'tidak lagi percaya' keterlaluan, adalah lebih baik dan santun bila saya menyatakan: Ketika manusia meragukan kepastian yang dijamin kekuatan Adimanusiawi--manusia pun kehilangan tanah, tera. Ia tidak lagi berpijak di Bumi. Ia melayang, mengambang. Ia, gelisah.

Ketika gelisah, ia sadar kehidupan berjalan. Ketika kehidupan berjalan, ia sadar makna tetap ada, tetap dibutuhkan. Di sini, kegelisahan yang berakar pada ketidakpastian, menemukan kepastian. Di sini juga, kepastian menampilkan diri sebagai sesuatu yang menggentarkan. Tanah yang menghidupkan, sekaligus mematikan.

Kepastian hadir sebagai Makna. Tetapi, tepat di balik Makna-lah bersemayam problematika. Sesuatu yang mengesankan bak pelangi sekaligus dingin ibarat belati. Sebagai yang mengesankan, Makna hadir adalah yang abadi, universal, ada dengan sendirinya, yang hakiki, sesuatu yang tanpa rekayasa. Sebagai yang dingin ibarat belati, Makna hadir adalah yang sementara, partikular, ada karena kreatifitas penciptaan, tanpa-inti dan selalu berganti, sesuatu yang penuh rekayasa. Sebagai pelangi, Makna adalah Harapan. Sebagai belati, Makna adalah Mimpi.

Di hadapan Harapan dan Mimpi, ia tak lagi gelisah dalam ketidakpastian. Di hadapan Harapan dan Mimpi, ia bertemu keniscayaan, sebuah ke-tanpa-ca(ha)yaan, sebuah kegelapan yang menyimpan jawaban. Sayangnya, ia harus memilih: Harapan atau Mimpi; sebab ia sadar kehidupan berjalan, dan Bumi tak pernah menanti. Ketika itu, kegelisahan menjelma kecemasan. Misteri.

Ia yang kehilangan tanah, kini menemukan tera. Ia yang gelisah, kita bersua niscaya. Ia, yang melayang dan mengambang, kini sudah menapak dan menjejak seperti sedia kala. Kecemasan adalah keniscayaan yang baru. Kecemasan adalah tanah!

*

Tidak ada sejarah tanpa tanah. Tanah ibarat kertas bagi pena sejarah. Cerita tentang sebuah tanah, adalah cerita tentang perjuangan. Dan perjuangan itu pada mulanya adalah perebutan kewenangan atas suatu teritori. Dari cerita para pemenanglah, pena sejarah mendapatkan tinta untuk menulis serangkaian kata di atas tanah. Kata adalah Kekuasaan. Maka, sejarah pun dirumuskan sebagai pertarungan memperebutkan paragraph pada narasi Sejarah Besar. Perjuangan adalah Sejarah Besar.

*

Sebuah dukungan adalah sebuah keberpihakan. Sebuah dukungan adalah tinta bagi pena sejarah. Sebuah dukungan, selalu mengandaikan adanya perjuangan. Dukungan, punya ikatan batin dengan Sejarah Besar. Dukungan, lahir dari kecemasan.

*

Pada jantung kecemasan, kematian mendirikan rumah. Di atas kematian, Harapan dan Mimpi tegak berdiri. Di dalam kegelapan, Harapan atau Mimpi unjuk diri. Ia, yang gelisah, yang cemas, yang sadar bahwa kehidupan berjalan, yang meragukan kekuatan Adimanusiawi, harus menentukan arah. Memilih Harapan atau Mimpi. Ketika ia mengambil keputusan, seketika itu pulalah, tanah yang dahulu hilang tumbuh kembali. Ia yang melayang dan mengambang, kini berpijak dan menjejak. Bersamaan dengan itu, seketika, Sejarah Besar pun tercipta. Perjuangan menjadi nyata, dan dukungan adalah darah. Maka, Harapan atau Mimpi tak lain adalah darah! Beda keduanya ada di dalam waktu.

Harapan, mengandaikan yang abadi. Mimpi, mengandaikan yang tak abadi. Harapan tak memberi peluang untuk berbalik dan mengubah haluan. Mimpi, menawarkan peluang untuk kembali, memutar haluan, atau malah mengacuhkan atau menghancurkan apa yang telah dipilih. Tetapi, bukankah itu semua lahir dari ketiadaan pijakan, keraguan ataupun ketidakpercayaan terhadap kekuatan Adimanusiawi? Sebuah pertanyaan yang memercikan cahaya.

Antara situasi sebelum dengan sesudah manusia ragu atau tidak percaya terhadap kekuatan Adimanusiawi, hanya satu yang tetap ada: Makna. Pada kedua situasional itu, pada hakikatnya, Makna adalah apa yang menjembatani manusia dengan Tanah.

* * *

Aku terus mengikuti lelaki bertanduk. Begitu sampai di rumah, dia duduk di beranda, menikmati senja sambil menghisap rokok dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya pelan-pelan, kemudian ia tidur untuk selamanya. "Ia sudah memecahkan Misteri," begitu aku berkata diam-diam kepada asap rokoknya yang belum menghilang.


26 Mei 2009

SEMANTIK DURI DARI ISTANA


Keamanan cuma menjanjikan satu hal: Tidak seorang pun merasa nyaman.



Seingat saya, menjelang pelaksanaan Pemilu 9 April ada pemandangan yang menyakitkan bagi mata saya. Sepintas, barangkali saja, bagi orang-orang tertentu adalah hal yang biasa dan lumrah pula. Namun, bagi saya, apa yang tengah menampilkan dan masih tetap tampil pada saat saya menulis tulisan ini serta akan terus tampil hingga terpilih Presiden Indonesia yang baru adalah sesuatu yang mengejutkan: kawat duri lingkar yang mengelilingi Istana Negara. Berkali-kali saya melewati Istana Negara, berkali-kali pula saya merasa miris ketika memperhatikan instalasi kawat duri di depan Istana Negara.


Keberadaan kawat duri di depan Istana Negara memberikan pemaknaan yang unik bagi Istana Negara itu sendiri. Istana Negara sebagai simbol politis, lebih khusus mengacu pada kesakralan kekuasaan, mengalami kemerosotan makna. Kehadiran kawat duri yang mengelilingi Istana Negara, bagi saya, memenggal sejarah sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Melacak pada ranah sejarah, kehadiran negara Indonesia di kancah dunia pada abad 20 merupakan hasil perjuangan berkeringat-berdarah mengasah rencong kebangsaan sebagai senjata peruntuh benteng kolonialisme batu Belanda. Pada 1945, buah pun dipetik. Indonesia berdiri dan lahirlah tatanan masyarakat baru, yang sekaligus mengimplikasikan tatanan pemerintahan baru, tatanan pemerintahan yang setidaknya berbeda dari tatanan pemerintahan kolonialisme.


Kemandirian bangsa untuk membentuk tatanan pemerintahan baru mewujud lewat perancangan dan pengesahan konstitusi yang mengenal dan menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam pertautannya dengan Istana Negara, yang dikombinasikan dengan penalaran ala Aristotelian, Presiden adalah forma dan Istana Negara adalah material. Presiden dan Istana Negara adalah kesatuan substansial.


Konstruksi pemahaman demikian menggiring pikiran saya untuk menemukan jawaban mengapa saya bisa merasa terkejut melihat kawat duri yang mengelilingi Istana Negara. Adanya kawat duri yang mengelilingi Istana Negara, dari sudut historis, tidak lagi menempatkan Istana Negara sebagai simbol kemandirian bangsa meraih kemerdekaannya, melainkan memindahkan semangat perjuangan pada kolonialisasi. Istana Negara tidak lagi menjadi Istana Negara, melainkan kembali menjadi benteng kolonialisme batu Belanda. Presiden tak lagi hadir sebagai simbol pemaknaan baru atas tatanan masyarakat yang mandiri, yang bebas dari kekangan kolonialisme, yang berdaulat, melainkan hadir sebagai tokoh-tokoh kolonialisme yang gemar mengeksploitasi orang lain serta hobi menaburkan benih-benih ketakutan di tanah orang lain.


Kawat duri adalah bahasa pertahanan teritorial, bertahan dari kemungkinan—atau malah kepastian—serangan mendadak dari pihak yang diidentifikasi sebagai musuh. Secara semantis, pilihan menempatkan kawat duri mengelilingi Istana Negara adalah pilihan yang secara langsung menempatkan Presiden tengah berjaga-jaga atas serangan yang mungkin dilakukan terhadap dirinya dari kelompok yang telah dia identifikasi sebagai musuh. Dan, apakah kategori musuh adalah tepat dipergunakan? Apakah mungkin Presiden tengah berperang melawan bangsa Indonesia?


Saya pikir, apa yang telah saya ungkapkan lebih merujuk pada aspek bawah-sadar. Kontekstualisasi pernyataan saya berlaku pada dimensi bawah-sadar. Sebab, dugaan saya, putusan menempatkan kawat duri mengelilingi Istana Negara adalah putusan yang semata-mata didasarkan pada perhitungan keamanan. Namun, justru di situlah kelengahan pola keputusan yang lebih mengedepankan aspek teknis penjaminan keamanan dari pada menelisik lebih jauh pada aspek semantis. Aspek teknis mengacu pada sadar, sedangkan aspek semantis mengacu pada bawah-sadar.


Dari sisi teknis, sulit untuk mengatakan bahwa Presiden memang tengah berperang menghadapi sesuatu yang telah didefenisikan sebagai lawan; sebab sudah jelas bahwa kalkulasi teknis lebih mengedepankan sarana praktis menjamin keamanan dengan fasilitator dari institusi polisi. Dari sudut semantis, saya pikir, apa yang tengah saya pikirkan adalah tepat. Sebuah pertanyaan komparatif cukup membantu saya untuk memperkuat dugaan tersebut. “Apakah tepat, sebuah simbol kemenangan, Istana Negara, yang memiliki ikatan dengan masa lalu serta harapan pada masa depan dari suatu bangsa yang telah berhasil menggagas kemandirian serta kedaulatannya sendiri, untuk di suatu masa setelah kemerdekaan diraih malah mempergunakan secara sengaja kawat berduri yang ditata sedemikian rupa untuk menjamin keamanan dari Istana Negara tersebut, padahal masa-masa perang sudah berakhir?”


Jika memang situasi demikian saya asumsikan hanya terjadi pada masa perang, maka di manakah perang itu sekarang? Hanya satu momen yang menerangi saya, yakni: Pemilu. Pemilu mengalami transformasi makna di Istana Negara menjadi Perang! Dan, adalah tragis bagi saya bila tindakan teknis serupa dipergunakan di masa-masa Pemilu mendatang oleh orang nomor satu di Republik Indonesia. Adalah lebih baik dilakukan perbaikan dengan menyelaraskan putusan teknis dengan pertimbangan semantis untuk menjamin keamanan Istana Negara? Atau malah diambil putusan radikal dengan memindahkan Istana Negara ke lokasi yang lebih mampu menjamin minimalisasi penggunaan pengamanan fisikal, seperti kawat duri itu. Tetapi, di sinilah puncak ironi paling akhir: Ketika kita merancang upaya penjaminan keamanan, pada saat bersamaan tidak seorang pun yang merasa nyaman. Sebuah ironi atau malah optimisme?

Genealogy of Coalition: Passion Vs. Reason

Sejak percintaan Partai Demokrat dengan Partai Golkar yang sudah berlangsung lima tahun remuk redam, dunia batin saya mendadak berguncang. What the hell is this!!! (Mudah-mudahan bahasa Inggris saya tak salah.) Di televisi saya melihat pernyataan politis yang diplomatis dari Sekjen Partai Golkar (nama dia saya lupa), serta tambahan argumentasi dari pengurus DPP Partai Golkar (lagi-lagi namanya saya lupa), dan tentu saja tanggapan dari tim 9 Partai Demokrat (seekor bajing loncat, menurut saya, dan mudah-mudahan ungkapan tadi tidak dianggap sebagai pencemaran nama baik, melainkan sekadar sebagai ekspresi-kesebalan-mikrokosmos-personal-apolitis, yang tak jauh beda dengan ekspresi ketika Anda tanpa sengaja menginjak tai kuda saat mengenakan sepatu Buccheri yang baru saja Anda beli di Plaza Indonesia).

Berbekal data yang saya miliki—serangkaian data yang tentu saja lebih you can see dari pada data yang dimiliki para pengamat politik semisal Eep Saefulloh Fatah, Iberamsjah, Lili Romly (dan mengapa pula para pengamat politik didominasi mereka-mereka yang berasal dari Universitas Indonesia)—remuknya mahligai percintaan Partai Demokrat dengan Partai Golkar disebabkan libido komunikasi yang terganjal peraturan. Sebagai partai pemenang Pemilu Legislatif 2009, Partai Demokrat melalui komando Pembina Yudhoyono, secara diplomatis menjegal pencalon Saudagar Jusuf sebagai calon pendamping nahkoda Indonesia periode 2009-2014. Ah, tentulah meradang Partai Golkar, sebab pengajuan nama Saudagar Jusuf sudah melalui mekanisme penjaringan yang selektif dan evalutif kontekstual. Rasionalisasi ‘mengapa hanya mengajukan satu nama’ Tim Tiga Partai Golkar tumpul berhadapan dengan passionisasi Tim Sembilan Partai Demokrat yang dibalut dalam bahasa diplomatis ‘jangan hanya mengajukan satu nama.’

Dari serangkaian fakta (ah, barangkali juga fiksi?), masalah yang muncul tentulah: Why… Dalam buku saku para filosof, ‘why’ merupakan konkretisasi-mundial atas abstraksi-universal (sedikit menduga, universal dari universe dari uni+verse) perasaan atau hasrat ingin tahu. Kembali mengacu masalah utama, sebab-sebab putusnya baja percintaan (bila saya memahami dengan benar, tentunya baja percintaan yang semu selama lima tahun) Partai Demokrat dengan Partai Golkar dapat diketahui dengan cara meng-anal, maksud saya: menganalisa dimensi sejarah percintaan Partai Demokrat dengan Partai Golkar (apakah pendekatan genital Freudian dapat dipergunakan untuk mendefenisikan seksualitas macam apa yang tengah berlangsung dalam perpolitikan Indonesia selama lima tahun, apakah biseksualitas, heteroseksualitas atau homoseksualitas?). Semenjak filsafat Hegel mengemuka di benua Eropa, sejarah dan gerak sejarah menjadi pokok kajian filosofis di kemudian hari karena, setidaknya, berkenaan dengan gagasan kebebasan, juga pembebasan, pada wilayah praksis kehidupan sehari-hari.

Kliping memori Pemilu 2004 masih menyimpan data perolehan suara kedua partai, yang sekarang ini mulai menunjukkan genitalnya masing-masing (kalau ada, kira-kira apakah genital dari masing-masing partai itu?). Golkar sekitar 20 persen dan Demokrat 7 persen. Meski cuma mengantongi suara 7 persen, Demokrat mampu mendudukkan calonnya sebagai Presiden, dan Saudagar dari Golkar, mungkin dengan penuh kerendahan hati yang luar biasa, bersedia dicalonkan sebagai Wakil Presiden (ah, saya mencoba mengimajinasikan bagaimana kira-kira pandangan filosof asal Jerman Jürgen Habermas mencerna duet maut Komandan Yudhoyono dengan Saudagar Jusuf?). Latar belakang pemahaman rasional tentunya lebih wajar dan lazim bila menempatkan Presiden dari Partai Golkar dan Wakil Presiden dari Partai Demokrat. Namun, yang terjadi malah sebaliknya; dan satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah kesepakatan antara Yudhoyono dan Jusuf sewaktu duduk sebagai menteri pada masa Megawati Soekarnoputri-Hamzah Haz (hei, di mana nomor lima satu ini yang beristri lima dan pernah menolak pemimpin perempuan namun dengan rendah hati bersedia menjadi wakil seorang perempuan?).

Pemilu Presiden yang berlangsung dua putaran menempatkan pasangan Yudho dan Jus sebagai Presiden dan Wakil Presiden sebuah negara yang memiliki lebih dari 13.000 pulau. Kemesraan semakin terjalin hingga di suatu ketika, ‘matahari kembar’ sebagai istilah baru dalam peta perpolitikan Indonesia kontemporer meruyak. Saudagar dipandang para pengamat politik memiliki kekuatan dan kekuasaan yang setara dengan Komandan. Pertempuran kecil-kecilan pun terjadi, mulai dari mengeluarkan Surat Keputusan Wakil Presiden, hingga yang paling mencolok adalah mereka bergantian masuk bioskop 21 demi menonton film Ayat-Ayat Cinta yang dikritik kaum feminis-fundamentalis (viva la vagina!).

Sejak idiom ‘matahari kembar’ (sebuah idiom positif yang menyebalkan sekaligus idiom negatif yang menyenangkan, menurut saya) gerak dan tingkah laku Komandan Yudho menjadi lamban (kalau saya memahami dengan benar, pastilah kelambanannya disebabkan pistol—maksud saya, postur tubuh yang juga besar, hingga seturut dengan hukum fisika Newtonian, benda dengan massa yang besar cenderung diam, katakanlah, sedikit bergerak atau kalau pun bergerak, ya sedikit-sedikit). Kerapkali media massa dan massal mengeker kelambanan Komandan sebagai titik lemah ‘matahari-1’. Dan selama satu periode, Komandan tetap setia pada kelambanan yang dibahasakan menjadi ‘berhati-hati’.

Merujuk pada sejarah, remuknya percintaan antara Partai Demokrat dan Partai Golkar, menurut saya, berakar secara radikal pada fenomena ‘matahari kembar’ serta ‘kelambanan Komandan’. Pada tahap transendental (menemukan pendasaran objektif atas keadaan yang memungkinkan kemunculan ‘matahari kembar’ dan ‘kelambanan Komandan’) tak lain adalah sejarah eksekutif paska reformasi. Setahun setelah reformasi, babak baru pemerintah demokratis pun dimulai. Abdurrahman Wahid a.k.a Gus Dur dari Partai Kebangkitan Bangsa (sebuah partai yang penuh dengan anomali kepemimpinan sekaligus memiliki kaderisasi kepemimpinan yang luar biasa dahsyat, tetapi sayangnya hanya sampai tingkatan pemimpin partai belaka dan tak bisa lebih dari itu) terpilih sebagai Presiden. Wakil Presiden adalah Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (sebuah partai dengan suksesi kepemimpinan yang luar biasa bertolak belakang dengan Partai Kebangkitan Bangsa). Jaman Gus Dur-Mega, idiom ‘matahari kembar’ tidak ada. Namun, yang terjadi cukup mencengangkan, sebab penggulingan kekuasaan secara legal jilid II melalui legislatif (tentang penggulingan kekuasaan jilid I, dugaan evaluatif-subjektif-transendental-personal-individuasi-alienatif saya, terjadi pada tahun ’65) terjadi. Gus Dur dihengkangkan banteng-banteng moncong putih dari kedudukan Presiden. Dan, cukup waras kiranya proses penghengkangan itu, sebab banteng-banteng moncong putih meraup 30 persen lebih suara di parlemen. Tatanan tak rasional pun berganti dengan orde rasional ketika Megawati Soekarnoputri duduk sebagai Presiden dan Hamzah Haz bekerja sebagai Wakil Presiden (ah, saya ingat dia harus bertekuk lutut juga ketika publik melalui Gubernur DKI Jakarta yang menyebalkan Sutiyoso meminta dia minta maaf kepada warga Jakarta karena mempergunakan jalur busway. Res-Publica!!!).

Bila saya memahami serta menafsirkan dengan tepat dan benar dimensi historisitas politik kontemporer Indonesia, maka penjelasan ‘matahari kembar’ dan ‘kelambanan Komandan’ disebabkan perhitungan politik, yakni mencegah agar pendongkelan kekuasaan jilid III melalui parlemen tidak berulang kembali (dan, saya pikir, hal ini merupakan pukulan telak bagi Nietzche yang menggagas sejarah sebagai perulangan abadi). Hingga penghujung akhir jabatan, Komandan berhasil mengelola konflik hingga Saudagar, yang selalu tampil penuh percaya diri, tak pernah menyangka bahwa dirinya sudah masuk dalam perangkap yang punya dampak luar biasa memalukan dan mematikan. Saudagar selalu berada di atas angin, hingga lupa bahwa dia punya potensi untuk menjadi orang pertama di republik Ibu Kartini (mendiang feminisme Marianne Kattoppo menyimpulkan Kartini hanyalah proyek politis rejim kolonialisme Belanda untuk membuktikan kepada dunia internasional, atau setidaknya partai beraliran kiri di negeri Hollanda, bahwa program politik balas budi mereka berhasil di wilayah jajahan). Sebagai seorang yang mengambil inspirasi dari basic insting seksualitas kekuasaan a la Freudian yang dipadankan dengan irasionalitas atas rasionalitas kehendak Schopenhauer, saya menilai Golkar selama periode 2004-2009 hadir sebagai partai paling dungu se-dunia. Sebuah partai yang mampu meraih suara terbanyak, tetapi tidak memiliki satu orang pun yang layak dijagokan sebagai orang nomor satu di Indonesia, saya pikir sangatlah tak pantas dan patut dan bermartabat bila menyandang sebutan: Partai. Golkar sebagai organisasi politik dalam penglihatan saya tak beda a.k.a sama dengan arisan para ibu-ibu. Dan, yang paling parahnya: tak seorang pun di Partai Golkar yang pantas menyandang predikat politikus (ah, bisa saja Partai Golkar berdalih bahwa apa yang mereka lakukan adalah demi bangsa dan negara. Kalau hanya mau berbuat demi bangsa dengan negara, mengapa membuat Partai. Partai bukan satu-satunya jalan untuk berbuat demi bangsa dan negara. Partai hanya dapat disebut partai bila ia selalu mengincar kekuasaan dan meraup massa. Kekuasaan sebagai representasi kualitas, Massa sebagai representasi kuantitas.). Golkar hanya dipenuhi orang-orang pragmatis yang hanya berpikir cetek, dangkal, banal, dan satu hal yang paling penting: Tak memiliki ambisi (di mana ambisi adalah kata lain dari passion, hasrat, libido. Politik tanpa libido: Tolol. Politik tanpa rasio: Ah, ini pun Tolol. Paska Pemilu banyak caleg gila karena sadar bahwa mereka tidak sadar diri sehingga kesadaran bahwa mereka tidak sadar diri itu begitu mengguncang batin mereka yang dengan demikian solusi yang dapat menyelamatkan mereka dari situasi keterkejutan itu hanyalah menjadikan kesadaran sama sekali tidak sadar yang akhirnya berujung pada situasional: mereka tidak sadar bahwa mereka tidak sadar, inilah yang disebut kegilaan dalam versi gua; sebab bila hendak mengacu pada analisa Michel Foucault, kegilaan, setidaknya, berhubungan dengan gagasan kekuasaan.).
Kehancuran Golkar tentu membuktikan kejagoan para politikus dari Partai Demokrat. Kejenialan mereka merancang tindakan yang ditujukan agar nafsu seksualitas kekuasaan tetap tersalurkan patut dibilang “Anjing!” Tindakan mereka yang selalu terukur tak menyebabkan dicopotnya pigura Yudhoyono di sekolah-sekolah, kantor-kantor polisi, tentara, birokat pemerintahan, dan lainnya. Hanya 7 persen suara saja mereka mampu mengendalikan denyut-denyut penggulingan yang kerapkali (menurut perkiraan saya, tentunya dengan pengandaian asumtif bahwa Golkar masih merupakan Partai, bukan klub arisan para ibu-ibu dan bapak-bapak) muncul di lapis eksekutif. Komunikasi politik intensif sebagai sarana penyaluran libido kekuasaan terus menerus dilakukan Partai Demokrat demi menurunkan tensi rasionalitas Partai Golkar dari hasrat mengkudeta Komandan Yudhoyono yang tak berdaya hanya dengan 7 persen suara.

Di penghujung kekuasaan, rasionalitas Partai Demokrat sudah berganti dengan passionitas. Perolehan suara 20 persen adalah dasar yang sangat tepat untuk mencalonkan Presiden. Rasionalitas yang dipraktekkan selama lima tahun mau tak mau dibuang dahulu digantikan dengan passionitas yang menggebu-gebu. Hasrat seksualitas adalah ukuran pertama yang harus diajukan dalam setiap tawaran penggalangan konsensus koalisi. Partai Golkar menjadi korban pertama hasrat seksualitas Partai Demokrat yang tentunya tak membutuhkan pertanggungjawaban rasional dari Partai Golkar. Golkar harus menelan pil pahit kedunguan yang bersumber pada passionitas selama periode 2004-2009 hingga melupakan rasionalitas politik yang dapat mereka kantongi bila mampu menggulingkan kekuasaan politik Komandan sembari menjaga agar tak mengulangi kekeliruan Megawati selama menjabat sebagai Presiden. Menurut saya, Partai Demokrat sudah menunjukkan kapabilitas mereka sebagai politisi-politisi yang cerdas, meski tidak cadas juga (‘meski tidak cadas juga’ karena saya memang tak suka pada Partai Demokrat, dan tak suka adalah irasional, hasrat, passion).

Sedikit tambahan, passionitas, hasrat seksualitas yang bertalu-talu di jantung genital Partai Demokrat tampaknya meruntuhkan bangunan akal yang sempat mereka ujarkan kepada publik (atau apa yang mereka sampaikan hanya akal-akalan belaka?). Pada saat Pemilihan Presiden, kubu pasangan Komandan Yudhoyono dan Saudagar Jusuf “berjanji” hanya satu periode saja. Satu periode. Lima tahun. Tetapi, malah: Lanjutkan! Barangkali, gagasan seorang pemimpin harus visioner direvisi dengan menambahkan batas waktu visioner adalah lima tahun belaka atau malah dua hingga tiga bulan saja atau malah satu detik setelah diucapkan atau dituliskan atau dimateraikan, sebuah ‘janji’ langsung dinyatakan tidak berlaku. Dan bukankah partai yang mendukung pencalonan Komandan Yudhoyono dan Saudagar Jusuf pun mengetahui fakta tersebut? Dan bila mereka tetap menjalin koalisi dengan calon Nahkoda Susilo, where is the reason? It’s not about reason, it’s about: Passion, Seduction, Desire. And, coalition is all about passion! So, where is the reason? Bila saya kebetulan memahami Habermas dengan benar meski tak akurat, Habermas bakal menjawab: Pada Publik!

“Aih, sayangnya zaman kosmopolitan sekarang yang begitu mengandalkan kecepatan arus informasi sekaligus kecepatan dalam mengambil kesimpulan atau keputusan berdasarkan informasi yang diterima hanya memungkinkan pencapaian kesimpulan dengan jalan passionitas, semisal tampilan fisik, yang berarti: menyenangkan, kelihatan baik, tidak mirip teroris, santun, ganteng, tak mencurigakan, dan sebagainya tanpa memperhitungkan latar belakang rasionalitas di kepalanya.” Dan saya hanya bisa berkata: Vox Populi, Vox Dei. Hidup Demokrasi, Mampuslah Kau Golput Biadab!!! Hahahaha…





catatan akhir:
23 April 2009, menjelang pukul 04.20, di sebuah kamar kontrakan di tengah kota Jakarta, metropolitan yang menyebalkan sekaligus menyenangkan. Seluruh tulisan ini mengambil inspirasi dari buku Giovanna Borradori yang berjudul Filsafat Dalam Masa Teror terjemahan Alfons Taryadi (sebuah terjemahan di mana saya berpikir: editor buku tidak bekerja optimal, atau malah tidak bekerja sama sekali karena penerjemah memang meminta agar tulisannya tidak diedit sama sekali).