Fragmen Naratif Tentang Kepergian Gus Dur


Pukul 19.30, saya tiba di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Setelah memarkir sepeda motor, saya bergegas menuju Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD). Sewaktu berjalan menuju ruang IGD, saya melihat Syafi’ Alielha dengan raut wajah yang cemas dan tegang tengah berbicara melalui telepon genggam di tengah gerimis hujan. Ya, Syafi’ Alielha, salah seorang tokoh pemuda, juga termasuk penggerak organisasi aliansi taktis Forum Kota (Forkot) dan juga Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) di masa pergerakan mahasiswa 1998. Saya juga masih sering berjumpa dengan Syafi’ dalam aksi demonstrasi massal yang terjadi pasca reformasi, utamanya aksi penolakan kenaikan harga BBM serta aksi damai peringatan Hari Anti Korupsi Se-Dunia pada 9 Desember lalu.

Saya berhenti sejenak, lantas Syafi’ menghentikan sebentar perbincangannya melalui telepon genggam untuk memberi waktu agar kami dapat bersalaman. Saya sempat bertanya, “Ada apa kemari?” sembari menduga-duga bahwa kedatangan Syafi’ pasti ada hubungan dengan wafatnya Gus Dur, yang baru saja saya ketahui dari asisten redaktur saya, Aries Wijaksena. Sebelum sempat menjawab, saya tebak, “Gus Dur ya.” Syafie’ menganggukkan kepala, lalu mengangkat tangan kiri menunjuk ruang IGD sebagai perlintasan menuju ruang persemayaman sementara Gus Dur, yakni Pelayanan Jantung Terpadu (PJT), lantai lima, ruang Atrium 2.

* * *

Gus Dur telah meninggal dunia. Pada pukul 18.45, Gus Dur menghembuskan nafas terakhir. Sekitar pukul 19.15, asisten redaktur saya, Aries Wijaksena, mengirimkan pesan singkat kepada saya perihal wafatnya Gus Dur, sembari dilengkapi penugasan untuk segera meluncur ke RSCM melakukan peliputan. Membaca pesan singkat itu, saya pun menarik nafas dalam-dalam seraya mengucap “Gus…, selamat jalan,” dalam hati.

* * *

Sesampai di lantai lima ruang PJT, atmosfir duka yang bercampur dengan ketegaran dan keikhlasan begitu kuat meliputi batin saya. Effendi Choirie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR-RI periode 2004-2009 secara spontan mengajak rekan-rekannya sesama pelayat memanjatkan tahlil mengiringi perjalanan Gus Dur ke alam baka. Ia secara spontan melepas sandal, kemudian duduk bersila dan mulai membacakan tahlil. Para pelayat yang lain pun turut serta melepas kasut, duduk bersila, membuka telapak dan memanjatkan sembah kepada Yang Kuasa.

Di saat gema tahlil berkumandang memenuhi lobi lantai lima, tokoh-tokoh nasional—semisal Idrus Marham, Pramono Anung, Freddy Numberi, Agum Gumelar, Linda Gumelar, Sri Mulyani— berdatangan silih berganti hendak melihat jenazah Gus Dur yang berbaring di ruang Atrium 2, di lantai lima gedung PJT. Lobi lantai lima telah penuh sesak oleh para pelayat, juga oleh puluhan wartawan cetak, elektronik, juga para pewarta foto.

Saya sendiri berada sekitar 3 meteran dari pintu masuk ruang Atrium 2. Di sisi kanan dan kiri saya sudah ada kamerawan; ada pun di depan saya berdiri barikade pembatas yang bekerja untuk memberikan celah perlintasan keranda pembawa jasad Gus Dur. Dalam posisi tak bergerak leluasa itulah saya melihat wajah-wajah cemas sekaligus ikhlas para pelayat yang hendak masuk ke dalam ruangan Atrium 2. Tepat di depan saya berdiri Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengenakan busana hitam. Bibirnya tak henti-henti bergerak memanjatkan doa mengiringi kepulangan Gus Dur. Ada juga mantan Menteri Perhubungan Agum Gumelar yang bersama-sama dengan Menteri Perhubungan Freddy Numberi berupaya menerobos kerumunan demi melihat dan memberikan penghormatan bagi Gus Dur untuk yang terakhir kali. Tak lama setelah Sri Mulyani, Agum Gumelar bersama dengan Linda Gumelar masuk ke dalam ruangan, menyusul politisi Partai Golkar yang juga Ketua Pansus Angket Century Idrus Marham. Idrus Marham turut mengantri di lorong masuk menuju ruang Atrium 2.

* * *

Menghadiri pelepasan jenazah Gus Dur dari RSCM menuju Ciganjur, Jakarta Selatan, seketika saya merasakan gaib. Protokoler pengamanan yang biasanya melekat dalam setiap kunjungan para menteri mendadak lenyap. Momen duka kepergian Gus Dur seakan menjadi magnet yang mampu menarik beragam orang dengan latar belakang yang berbeda. Para pelayat ada yang berasal dari kalangan aktifis pergerakan pro-demokrasi seperti Syafi’, kelompok agama semisal rohaniawan Katolik Mudji Sutrisno, ada juga dari kelompok elit politisi semisal Muhaimin Iskandar, Pramono Anung, Idrus Marham, kelompok eksekutif semisal Menkeu Sri Mulyani dan Menhub Freddy Numberi, hingga orang awam yang, barangkali secara spontan mendatangi RSCM. Momen duka kepergian Gus Dur telah meluluhkan sekat-sekat hierarkis sosial yang terlembaga dalam kehidupan sehari-hari.

* * *

Di tengah keramaian massa, saya kembali mengenang pertemuan saya dengan Gus Dur. Pertemuan dalam rangka tugas peliputan. Kala itu, Gus Dur menghadiri konferensi tingkatan internasional tentang Islam yang diselenggarakan di International Center For Islam and Pluralism (ICIP) di Hotel Sultan, Jakarta, pada tahun 2004. Dalam konferensi itu, Gus Dur hadir sebagai pembicara utama. Ketika itulah, untuk pertama sekali saya melihat Gus Dur berpidato di podium dalam bahasa Inggris (dan tentunya tanpa teks)!

Usai berpidato, beberapa wartawan, termasuk saya mewawancarai Gus Dur. Momen wawancara yang berlangsung kurang dari 10 menit memberi kesan mendalam bagi saya. Yang paling kental dalam ingatan saya adalah cara khas Gus Dur menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan. Ia, dengan gayanya yang unik, menjawab setiap pertanyaan dengan tegas, lugas, tanpa berbelat-belit!

* * *

Kini, sejak pukul 18.45, Indonesia telah kehilangan seorang tokoh yang besar. Bagi para aktifis pro-demokrasi, Gus Dur adalah benteng pertahanan. Ketika rejim Orde Baru berkuasa, Gus Dur bersama Megawati Soekarnoputri tampil sebagai representasi kelompok elit yang berpihak kepada mereka yang tertindas. Bahkan pada masa itu, duet Gus Dur dan Megawati disetarakan dengan duet Kardinal Sin dan Corazon Aquino yang menggerakkan people power di Filipina untuk meruntuhkan emperium Marcos. Bagi para aktifis, Gus Dur dan Megawati pun menjadi benteng perlindungan (ada juga yang berlindung di bawah naungan Gereja Katolik melalui Romo Sandyawan).

Setahu saya, merujuk pada dunia mitologis pewayangan Jawa, sosok Gus Dur kerap diidentikkan dengan tokoh Semar. Di hadapan kekuasaan, Semar secara bebas menyampaikan kritik melalui guyonan. Suatu kritik yang bersifat tekstual, dalam pengertian mengkritik kebijakan penguasa dalam cerita pewayangan itu sendiri; sekaligus kritik yang bersifat kontekstual, dalam pengertian mengkritik proses politik yang tengah terjadi pada dunia nyata, realitas politik empirik. Dan itulah yang dilakukan Gus Dur saat berhadapan dengan kekuasaan, melontarkan kritik demi membela mereka yang tertindas oleh penyelenggaraan kekuasaan yang semena-mena.

Para tokoh, Ketua PBNU Hasyim Muzadi, rohaniawan Katolik Mudji Sutrisno, politisi Pramono Anung mengaku bahwa wafatnya Gus Dur merupakan kehilangan besar bagi Republik Indonesia. Bagi ketiganya, Gus Dur adalah sosok yang selalu menjunjung kebhinekaan, dan senantiasa berjuang membela serta menegakkan kebhinekaan. Inklusifitas, pluralitas, multikulturalisme, demokrasi, hak asasi manusia adalah kata-kata kunci yang menjadi warisan Gus Dur bagi negeri.

* * *

Gus Dur telah tiada. Sang Khalik telah menetapkan titah-Nya. Pada 30 Desember 2009, pukul 18.45, Gus Dur pun berpulang. Innalilahi wa innailaihi rojiun. Saya yakin, momen kepergian Gus Dur ke haribaan Sang Pencipta Semesta semakin mendekatkan kehadiran dirinya di dalam sanubari ribuan, atau malah jutaan lebih orang yang mengaguminya, orang-orang yang selalu berusaha mereguk inspirasi humanitas dari karya kemanusiaan yang telah dia lakukan selama hidup 69 tahun. Selamat jalan Gus Dur…

30-31 Desember 2009

No comments:

Post a Comment