PETA REKONSTRUKSI MOZAIK ZHOU CHUNYA, JIM SUPANGKAT, SARDONO W KUSUMO, ROMAN JAKOBSON, DAN AKU DI GALERI NASIONAL 23 JANUARI 2008

Di depan seni rupa patung perunggu Potrait of Heigen aku termangu. Heigen adalah nama anjing milik Zhou Chunya (baca: cou chu-ya), perupa asal Cina. Dia menyelesaikan patung itu pada 2006.

Di depan seni rupa patung perunggu Potrait of Heigen aku termangu. Heigen pun termangu, bahkan serupa merenung. Aku teringat The Thinker Auguste Rodin, maestro rupa asal Perancis. Logam tak bernyawa seakan mampu menyimpan emosi khas mahluk yang disebut manusia. Aku tak tahu pasti, apakah itu emosi Heigen atau malah emosi Zhou?

Jim Supangkat berpendapat, seluruh karya Zhou yang dipamerkan di Galeri Nasional adalah hasil pergulatan akrab Zhou dengan Heigen. Pameran itu diberi mahkota ‘Green Dog’, bila ditransliterasi ke bahasa Indonesia, aku memilih frasa ‘Hijau Anjing’.

Jim Supangkat: “Zhou mengabaikan message dalam berkarya. Zhou mengabaikan pesan.” Kurator kelas papan atas di Indonesia itu pun menyimpulkan pameran Zhou sebagai representasi dari unreal. Penafsiran aku: unreal menjadi konsepsi berkarya Zhou. Namun dikarenakan karya itu sendiri, maka yang unreal itu pun menjadi real pada tingkatan representasional. Aku teringat kembali ucapan

Sardono W Kusumo: “‘Beyond-culture’. Tantangan seniman sekarang adalah menjawab ‘beyond-culture’. Apa yang ditampilkan Zhou adalah sesuatu yang ‘beyond-culture’. Pada patung-patung Zhou, ada unsur keakraban spirit yang bermain ketika Zhou mengolah, membentuk patung-patung tersebut. Ada harmoni, ada demoniak.
Apa yang diperbincangkan dalam konferensi iklim di Bali adalah ‘beyond-culture’. Zhou membicarakan anjing tanpa memperlihatkan ke-anjing-an itu sendiri.”

Di depan seni rupa patung perunggu Potrait of Heigen aku termangu. Kelebat Jakobson menghampiri aku. Tidak mungkin Potrait of Heigen tidak punya pesan sebagaimana yang diutarakan Zhou dan Jim Supangkat. Bisa saja Zhou dan Jim berpendapat demikian. Tapi, landasan Jakobson dalam sistem bahasa sudah terang, lugas, dan jelas. Setiap bahasa pastilah punya pesan, sekalipun itu nonsense!
Aku tak soal siapa yang benar atau salah. Aku tak soal siapa yang baik atau buruk. Aku pun tak soal siapa yang indah atau siapa yang rusak. Dalam dirinya sendiri, Jakobson adalah benar, baik, dan indah. Dalam dirinya sendiri, Zhou adalah benar, baik, dan indah. Dalam dirinya sendiri, Jim adalah benar, baik, dan indah. Dan aku berpikir:

Zhou punya niatan memberontak. Melalui Jim aku mengetahui bahwa Zhou berhutang budi pada ide-ide neoekspresionisme yang dia peroleh ketika belajar di Jerman. Semua nilai itu dia terima, dan dia adaptasikan dengan kultur lokal Cina, yakni Konfusius. Informasi ini membangun pemaknaan baru dalam kepala aku. Kehendak Zhou untuk mengabaikan pesan adalah representasi dari sifat pemberontakan Zhou. Zhou memberontak terhadap sistem super-ego yang dia terima melalui pendidikannya di Jerman. Dan memang, kreatifitas pada dasarnya, menurut aku, berjalan seiring dengan pemberontakan. Tidak ada kreatifitas tanpa pemberontakan! Pada level paling dalam, aku bicara soal keberanian. Tindak berontak mensyaratkan satu hal yang tak terbantahkan: berani. Maka, kreatifitas adalah keberanian yang berwujud.

Di depan seni rupa patung perunggu Potrait of Heigen aku termangu. Menurutku, patung itu menyimpan sesuatu, sesuatu yang khas manusia: emosional dan akal! Heigen menyimpan ketakutan, Heigen menyimpan harapan, Heigen menyimpan permenungan, Heigen menyimpan kehendak. Lalu, apakah Heigen? Patung atau bukan? Siapa sebenarnya Heigen? Zhou atau bukan?

Aku meninggalkan Potrait of Heigen. Tak sengaja, aku melihat Zhou sedang berfoto dengan seorang perempuan berbaju merah di depan lukisan cat minyak Standing TT yang berukuran 220 x 320 cm. Zhou ramah menyapa. Zhou berjas hitam. Zhou bercelana hitam. Zhou berambut pendek. Zhou tersenyum, menganggukkan kepala, dan memberi tanda tangan di katalog pameran milik seorang undangan. Aku teringat seni rupa patung perunggu Potrait of Heigen dan aku yang termangu di hadapan Potrait of Heigen.

Di depan seni rupa lukisan cat minya Potrait of TT, aku mulai paham. Lukisan berukuran 250 x 200 cm. Kepala seekor anjing, dua pesawat, seekor anjing di sebelah kanan manusia kuning botak telanjang, tank tempur dengan laras meriam mengarah ke atas. Aku teringat ‘beyond-culture’.

Sardono W Kusumo: “Zhou membicarakan anjing tanpa memperlihatkan ke-anjing-an. Dalam karyanya, malah tampak kemanusiaan. Manusia.”

Selama ini kultur adalah tanda peradaban suatu bangsa. Lebih jauh lagi, ‘suatu bangsa’ bisa diluaskan menjadi ‘umat manusia’. Kultur melahirkan apa yang ideal bagi manusia. ‘Beyond-culture’.
Awalnya, aku berpikir kata ‘beyond’ mengacu pada sesuatu yang ada di balik. ‘Beyond-culture’, sesuatu yang berada di balik kultur. Pola pikir meruang begini memberikan aku alternatif baru, yakni atas-bawah. Ada sesuatu yang berada di atas kultur. Aku mencari dan tak menemukan maksud Sardono.

Di depan seni rupa patung Green Dog, aku paham. ‘Beyond-culture’ bukan soal yang harus dipikirkan dalam konsep ruang. ‘Beyond-culture’ bicara soal metafisika. ‘Beyond-culture’ hendak ngomong soal asal kultur. Peradaban manusia dibangun di atas dasar keinginan mewujudkan suatu, katakanlah, masyarakat ideal. Seperangkat tata-aturan berkerabat dan bermasyarakat pun dirumuskan demi mencapai masyarakat yang diidam-idamkan, gemah ripah loh jinawi. Perumusan demikian, meredam aspek-aspek negatif yang sudah built-in di dalam diri manusia itu sendiri. Keinginan biadab, keinginan merampok harta orang lain, keinginan membunuh, keinginan culas, keinginan berandalan, keinginan demoniak/menghancurkan, ditumpas sehabis-habisnya di dalam kultur. Kultur mengedepankan ke-adiluhung-an. Kultur menihilkan yang mungkar. Inilah persoalan ‘beyond-culture’.
Persoalan perubahan iklim adalah dampak kultur industrialisasi, yang pada fase awal bisa dikata merkantilisasi. Kultur industrialisasi yang merujuk pada konsep efektif dan efesien mengarah pada eksploitasi habis-habisan alam untuk menghasilkan produk yang benar-benar efektif dan efesien bagi manusia. Modal dan laba adalah tujuan. Modal dan laba adalah satu-satunya nilai yang berharga di dalam peradaban industrialisasi, yang di fase paling modern sekarang ini mengadaptasi nama baru: globalisasi, dengan kapitalisme sebagai fondasi utama.
Ekploitasi alam, pemerkosaan alam secara massal, membuka wajah baru umat manusia itu sendiri. Beringas, berandalan, rakus, serakah. Kebiadaban massal menumbuhkan fenomena perubahan iklim yang dahsyat. Hujan yang lagi tak tentu turunnya, permukaan air samudra yang kian hari kian bertambah saja, macam badai yang menerpa, gempa bumi, kerusakan ozon, ragam penyakit baru, menjelma jadi empedu peradaban proyek rasionalisme yang harus dan mau tak mau dicecap oleh siapapun yang hidup di planet ke-tiga galaksi Bima Sakti, Bumi. Televisi plasma yang terpajang di ruang tamu, telepon seluler seharga Rp20 juta, jam tangan senilai sepuluh ekor kuda ras unggulan, mobil berkecepatan 420 mil/jam, jalan-jalan aspal, pemilihan umum, kebijakan domestic dan luar negeri pemerintah, pada dasarnya diwujudkan manusia dengan mengorbankan masa depan Bumi. Kebiadaban perang dunia pertama dan kedua mendapat aksentuasi baru yang, bisa pula dikata, humanis.

Di depan seni rupa patung perunggu Green Dog, aku melihat sosok anjing hijau dengan sosok yang luar biasa besar, tak wajar. Sosok anjing yang sudah mengalami deformasi. Sosok anjing yang punya gigi tajam bukan main. Sosok anjing hijau yang menjulurkan lidah merahnya, seakan lapar, sangat lapar. Sosok anjing, yang anehnya, punya tubuh licin kilap dan berkilau. Tubuh licin kilap dan berkilau, saya asosiasikan dengan produk-produk pusat perbelanjaan kawasan megalopolitan. Sedang giginya yang tajam bukan main, entah menancap pada tubuh siapa. Mungkin, saya, Zhou, Jim, Sardono, dan Jakobson. Mungkin pula masih ada apa dan siapa yang lainnya. Hobbes mungkin?

Sambil menyantap nasi goreng, semur daging kambing, gado-gado, bihun, udang goreng tepung, saya membaca mozaik Zhou, Jim, Sardono, dan Jakobson. Kultur dan ‘beyond-culture’.

Januari 2008

dvd.tbg

LEKSIKON KRITIS DI MASA KRISIS

Negara : Banyolan terbesar yang pernah ditemukan Homosapiens.

Hukum: Kulit pisang yang ditebar sembarang di jalanan. Hanya orang-orang yang mengetahui letak kulit pisang itulah yang bisa menghindar agar tidak terpeleset, dan kepala membentur tembok.

Jasa: Komoditi ekonomi yang dijual para politikus kepada massa.

Tolol: Kebaikan yang muncul dari ketidaksadaran.

Akal: Dunia maya tempat orang gila bersemayam dan hidup tentram.

Penyakit: Candu yang bisa dibeli di mana saja, termasuk di rumah sakit.

Pengacara: Penyedia jasa tolol yang berasal dari akal serta penyakitan di dalam suatu negara hukum.

Presiden: Sahabat anak-anak, musuh orang dewasa.

Hakim: Orang-orang tua yang sudah mendekati ajal dan penuh pertimbangan ketika hendak menggali kubur sendiri.

Jaksa: Atlit yang memenangkan satu pertandingan, dan setelahnya kalah terus sampai menuju tak berhingga.

Penonton: Orang cerdas yang diam dan diam dan diam.

Televisi: Perabotan kamar mandi yang sudah masuk ke dalam ruang tamu, kamar tidur, ruang olahraga, ruang tunggu, dan kamar jenazah.

Dewan Perwakilan Rakyat: Industri percetakan khusus masa depan yang tak punya unit quality control.

Adil: Hak Tuhan yang sudah diambil alih oleh Homosapiens yang berpikir bahwa pengambilalihan hak Tuhan tersebut bakal memperingan kerja Tuhan.
Benar: Kemampuan untuk tidur sepanjang masa, mulai dari lahir hingga kiamat.
Rakyat: Sekelompok orang yang tak pernah merasa rugi, selalu baik hati, dan tak pernah mengeluh. Biasanya, sekelompok orang ini bisa diketahui dari busana yang dipakai. Kaum lelaki dari sekelompok orang ini selalu mengenakan jas dan melekatkan pin di dada kiri dan suka sekali dipotret. Kaum perempuan dari sekelompok orang ini selalu mengenakan blazer, kalau tidak gaun, dengan tata rias wajah yang melimpah ruah ditambah dengan parfum seharga lebih dari Rp60 juta.

Karangan bunga: simbol bahagia, sering dipergunakan dalam acara-acara menyambut kematian seseorang.

VVIP: Ruang perpustakaan bagi akal yang jarang dipergunakan buat baca buku.
Pengawal: Orang yang menyimpan senjata dalam mulutnya, dan karena itu dia lebih banyak diam.

Pemilu: Ajang bunuh-bunuhan yang dilegalkan manusia.

Kekuasaan: Tokoh fiktif yang sering sekali menjadi korban dalam percakapan antar rakyat berakal di ruang VVIP dengan ditemani banyak sekali pengawal. Biasanya, tokoh fiktif ini hadir ketika rakyat berakal hendak memperbincangkan perluasan bisnis Dewan Perwakilan Rakyat untuk memproduksi televisi, Hakim, Jaksa, dan Presiden.

Kematian: Satu-satunya hak manusia yang tidak dimiliki Tuhan, dan karena itu manusia pun berhak memanjan-manjangkan umur dikarenakan ilmu pengetahuan sudah memberikan peluang bagi manusia itu sendiri untuk memperpanjang umur melalui keberadaan institusi dokter.

Dokter: Ahli mekanik atas nyawa manusia yang dilakukan dengan mencangkokkan komoditi teknologi renik ke organ tubuh vital seseorang hingga seseorang itu mampu bernafas tanpa menyadari apakah dia sudah bernafas. Dokter, kadang kala dipergunakan sebagai sinisme untuk menyatakan tukang tipu, montir, dan bandar candu, yang punya etika.

Mimpi: Doa yang muncul ketika manusia tidur. Sebagaimana Ora et Labora, maka Mimpi dan Kerja juga ada!

Kerja: Hanya dengan jalan ini saja mimpi terwujud, dan sebaiknya ketika melakukan hal ini negara, hukum, jasa, tolol, akal, penyakit, pengacara, presiden, hakim, jaksa, penonton, televisi, Dewan Perwakilan Rakyat, adil, benar, rakyat, karangan bunga, VVIP, pengawal, pemilu, dan kekuasaan dilupakan!

Januari 2007

dvd.tbg


Catatan:
1. Leksikon Kritis Di Masa Kritis ini masih bisa ditambahkan lagi hingga mencapai ketebalan melebihi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-Tiga terbitan Balai Pustaka. Apabila dari pembaca ada yang berminat menambahkan silahkan. Tapi, untuk penentuan mana yang boleh masuk dalam Leksikon Kritis Di Masa Kritis sepenuhnya berada dalam tanggung jawab saya.
2. Tidak ada kata-kata di dalam 1 yang berasal dari Leksikon Kritis Di Masa Krisis

PENTAS TEKSTUAL KOMA PADA PANGGUNG kenapa LEONARDO?

(Tulisan Pertama dari Dua Tulisan)


Sebuah hari yang beruntung. Dan, tak ada mangga yang jatuh di musim hujan daerah tropis planet Bumi. “Tak ada yang penting dalam paragraph ini.”


Sebelum mengapresiasi pementasan Teater Koma yang ke-112 di Grha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki pada 11 Januari 2008, saya lebih berminat, untuk pertamakalinya, mengungkai ketertarikan saya pada soal mengapa ‘kenapa LEONARDO?’ dipilih menjadi transliterasi judul naskah ‘What About Leonardo?’ karya penulis Slovenia Evald Flisar.

Saya sadar, transliterasi ‘What About Leonardo?’ menjadi ‘kenapa LEONARDO?’ adalah keputusan otonom Rangga Riantiarno selaku penerjemah. Bicara soal keputusan, berarti bicara soal adanya pilihan. Bertemu dengan situasi fragmental ‘adanya pilihan’, rasanya kesadaran saya tak mampu menembus pengalaman batin-subjektif Rangga Riantiarno (ada baiknya, untuk efesiensi penulisan Rangga Riantiarno cukup ditulis Rangga untuk seterusnya). Saya tidak bisa mengetahui dengan pasti apa kira-kira alternatif kalimat tak lengkap yang ditemukan Rangga Riantiarno untuk mentransliterasikan ‘What About Leonardo?’. Karena saya tak mampu mengetahui dengan pasti apa yang ada di dalam kesadaran Ratna Riantiarno, instrumen spekulatif yang sudah tertanam di dalam benak saya mulai unjuk diri.

Saya pikir, Rangga paham benar apa yang sedang dia hadapi. Lewat pendekatan harafiah, dan saya yakin, pendekatan harafiah ini merupakan metode pertama yang dipakai Rangga untuk menerjemahkan judul naskah Evald Flisar. Pendekatan harafiah atas teks ‘What About Leonardo?’ dalam proses transliterasi ke dalam bahasa Indonesia bakal menghasilkan ‘Apa Tentang Leonardo?’ Meneliti hasil terjemahan harafiah yang seperti itu, benak spekulatif saya mengembara pada isi kepala Rangga. Saya pikir, dengan kemampuan Rangga menerjemahkan utuh naskah ‘What About Leonardo?’ menjadi penanda bagi saya bahwasanya Rangga punya cetak biru tata-bahasa Inggris di dalam kepala dia. Penanda itulah yang menjadi bukti bagi saya Rangga pasti tak memikirkan ‘Apa Tentang Leonardo?’ sebagai transliterasi ‘What About Leonardo?’ dengan pendekatan harafiah. Keberadaan cetak biru tata-bahasa Inggris di dalam kepala Rangga pasti menyebabkan dia lebih mengartikan ‘What About Leonardo?’ menjadi ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ sebagai transliterasi bahasa menggunakan pendekatan harafiah.

“Lalu mengapa ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ berubah menjadi ‘kenapa LEONARDO?’” Deviasi inilah sebenarnya yang menjadi sebab ketertarikan saya untuk terlebih dahulu mengungkai persoalan keputusan transliterasi judul ‘What About Leonardo?’ menjadi ‘kenapa LEONARDO?’ Bagi saya, maaf bila saya terlampau berlebihan, deviasi begini merupakan persoalan serius yang mengandalkan instrumen kesadaran sebagai garda terdepan dalam pengambilan keputusan. Implikasinya, tentu saja Rangga tidak sedang bermain-main dalam memutuskan ‘kenapa LEONARDO?’ menjadi transliterasi ‘What About Leonardo?’

Mencermati kalimat tak lengkap ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ dan ‘What About Leonardo?’ menghasilkan sebentuk situasi tertentu dalam imajinasi saya. Kedua bentuk kalimat, yang bisa saja saya sebut sebagai preposisi dengan seenak saya, menghadirkan situasi percakapan antara dua orang, andaikan saja si penutur adalah Heppi dan si penerima tutur adalah Bobbi. Dan apa yang menjadi isi percakapan antara Heppi-Bobbi itu ternyata menyangkut orang ke-tiga tunggal, yakni Leonardo. Persoalannya, situasi yang dihadirkan melalui kalimat tak lengkap ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ dan ‘What About Leonardo?’ hanya memungkinkan saya untuk mengeksiskan pelaku percakapan saja, yakni Heppi dan Bobbi; sedang Leonardo itu sendiri belum tentu eksis. Belum tentu eksis bisa bermakna, Leonardo itu eksis dalam percakapan atau Leonardo itu ada dalam percakapan. Tentulah pembaca yang cerdas-cerdas mengetahui apa perbedaan eksis dan ada. Bila tidak, maka teramat susahlah saya mendedahkan sederet penjelasan-penjelasan yang terbilang kadaluarsa dan nyaris mendekati sia-sia. “Aku mengerti, meski tidak terlalu paham. Dan aku kira kau pun sebenarnya tak juga paham benar apa yang kau maksud dengan eksis dan apa yang kau maksud dengan ada.” Mendengar jawaban yang demikian, legalah hati saya, dan jawaban yang demikian memberikan enerji baru kepada saya untuk melanjutkan penjelasan yang, saya pastikan, tak berujung sia-sia.

Di halaman 110 naskah ‘kenapa LEONARDO?’, Rangga menerjemahkan ‘suatu kalimat’ yang diucapkan Dasilva—saya menggunakan frase ‘suatu kalimat’ dikarenakan saya tidak mengetahui kalimat apa sebenarnya yang ada di dalam naskah asli ‘What About Leonardo?’ yang diterjemahkan Rangga—menjadi ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ Melalui halaman 110 inilah situasi imajinatif yang dihadirkan judul ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ dan ‘What About Leonardo?’ pun menjadi jelas. Ternyata, hanya Heppi dan Bobbi saja yang eksis dalam situasi imajinatif tersebut; sedang Leonardo ada tapi tidak eksis! “Dan pada dasarnya, kau pun tak perlulah jauh-jauh menjelaskan hal demikian. Pemaknaan orang ke-tiga tunggal yang kau sebutkan sebenarnya sudah menjadi pembuktian bahwa orang ke-tiga itu tidak eksis melainkan ada.” Hmmm, tampaknya Anda benar, dan harus saya akui saya terlampau melebih-lebihkan sesuatu yang sebenarnya sudah jelas. Apa yang saya lakukan ini bertentangan dengan pistol analisa Ockham. Karena itu, saya mengizinkan Anda untuk menganggap paragraph tidak ada sama sekali. “Tak perlu pakai ‘sama sekali’, itu pun sebenarnya sudah tidak ada. Apakah masih ada superlatif dari tidak ada?” Anda benar! Untuk ke depan dan seterusnya, saya harus lebih berhati-hati menggunakan kata-kata. Tapi, saya hendak memohon perizinan dari Anda, apakah saya bisa melanjutkan penjelasan? “Terserah kau. Paragraph ini kan sudah aku anggap tidak ada. Apakah jawabanku masih ada gunanya bila paragraph ini sudah tidak ada?”

Keberadaan kalimat ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ yang diucapkan Dasilva dalam halaman 110 naskah ‘kenapa LEONARDO?’ menjadi bukti bahwasanya Rangga selaku penerjemah pun berpikiran transliterasi yang layak atas ‘What About Leonardo?’ adalah ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ Tapi, kenapa muncul ‘kenapa LEONARDO?’ Antara ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ dengan ‘kenapa LEONARDO?’ tentu menghasilkan sensasi yang berbeda. Penyebab munculnya perbedaan sensasi terhadap kedua kalimat tak lengkap tersebut dikarenakan kedua kalimat tersebut pada dasarnya memang menghadirkan situasi imajinatif yang berbeda. ‘Bagaimana dengan Leonardo?’, dalam perspektif bahasa Indonesia mewujudkan situasi memilih antara yang-bukan Leonardo dengan Leonardo. Sedang ‘kenapa LEONARDO?’ menghadirkan 1) situasi perenungan untuk mencari jawaban, sebangun dengan ‘kenapa MAKAN?’, atau 2) situasi pencarian landasan argumentatif alias pembenaran-positif atas suatu pilihan yang sudah diputuskan, kira-kira sebangun dengan ‘kenapa [harus] MAKAN?’ Bila [harus] diletakkan di antara ‘kenapa’ dengan ‘LEONARDO?’, maka kalimat yang dihasilkan menjadi ‘kenapa [harus] LEONARDO?’ “Sepertinya kau cuma bermain kata-kata. Tak ada yang bermakna.” Aku hanya bertanya, apakah kalimat-kalimat ‘kenapa LEONARDO?’, ‘kenapa MAKAN?’, ‘kenapa [harus] MAKAN?’, dan ‘kenapa [harus] LEONARDO?’ tidak memberikan suatu sensasi yang berbeda-beda dan yang mirip-mirip? ‘kenapa LEONARDO?’ dan ‘kenapa MAKAN?’ menghadirkan sensasi yang mirip-mirip. Pembuktiannya, melalui jawaban yang diberikan, bila kalimat tersebut dianggap sebagai kalimat tanya. ‘kenapa LEONARDO?’ dijawab ‘lapar’; dan ‘kenapa MAKAN?’ dijawab ‘lapar’. Sedang kalimat ‘kenapa [harus] LEONARDO?’ dan ‘kenapa [harus] MAKAN?’ menghadirkan sensasi yang beda. Pembuktian yang diberlakukan atas kalimat ‘kenapa LEONARDO?’ dan ‘kenapa MAKAN?’ tidak berlaku dalam kasus ‘kenapa [harus] LEONARDO?’ dan ‘kenapa [harus] MAKAN?’ Dan saya tidak harus memberikan penjelasan lebih lanjut atas kebingungan yang terjadi di dalam benak Anda. Saya menyediakan ruang bagi kreatifitas Anda untuk memberlakukan segala macam kepentingan atas pelik soal yang diterbitkan ‘kenapa [harus] LEONARDO?’ dan ‘kenapa [harus] MAKAN?’

Kontras pemaknaan pun semakin nyata apabila kalimat ‘kenapa [harus] LEONARDO?’ disandingkan dengan ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ yang sama-sama berangkat dari satu referen, yakni ‘What About Leonardo?’ Kehadiran kontras pemaknaan yang demikian inilah yang memberanikan saya untuk semakin spekulatif dalam beranalisa. Rangga mengejar efisiensi kata! ‘kenapa LEONARDO?’ lebih singkat dibandingkan ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ Pengejaran atas efisiensi kata, yang saya duga ini berangkat dari pola-pola pemikiran bahwa judul itu sebaiknya singkat namun padat namun bisa menampung tema yang bakal diusung cerita, berdampak pada pengurangan esensi yang ada didalam ‘What About Leonardo?’ Sampai disini, saya mohon maaf kepada Rangga untuk mencegah munculnya kesalahpahaman. Sebab, bagaimanapun juga saya menyadari bahwa kerja tranliterasi bukan kerja yang mudah, gampang, dan serampangan. Dan Rangga sudah melakukan kerja tranliterasi yang sulit, rumit, dan teliti. Kehadiran halaman 110 yang memuat kalimat ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ yang diucapkan Dasilva menjadi bukti kuat bahwasanya Rangga sadar; Rangga sadar bahwa ‘What About Leonardo?’ adalah ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ Penyimpangan transliterasi judul ‘What About Leonardo?’ menjadi ‘kenapa LEONARDO?’ tegas saya nyatakan bukan kesalahan! Sebab, pertanggungjawaban utama pemilihan transliterasi judul ‘What About Leonardo?’ menjadi ‘kenapa LEONARDO?’ beralaskan prinsip efisiensi kata dalam menggarap judul. (Sedikit tambahan, transliterasi judul yang saya anggap salah itu terjadi ketika buku ‘Identity and Violence: The Illusion of Destiny’-nya Amartya Sen diterjemahkan menjadi ‘Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas’ yang diterbitkan Marjin Kiri pada 2007.)

Pada paragraph terakhir ini, kelancangan dan keberanian saya semakin menggila. ‘What About Leonardo?’, menurut saya, bisa ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia, tanpa meninggalkan esensi, menjadi 1) mungkin LEONARDO? atau 2) mungkinkah LEONARDO?

Januari 2007

dvd.tbg

Catatan: Saya, David Tobing, bertanggungjawab atas seluruh isi tulisan ini. Dan, tak sedikit pun ada niatan saya untuk meremehkan Rangga Riantiarno melalui tulisan ini. Apabila ada pihak yang menafsirkan demikian, kesalahan bukan pada saya; melainkan pada pihak penafsir. Sebab, tulisan ini bukan murni emosional pribadi, ketidaksukaan saya pada Rangga Riantiarno. Saya bahkan tidak mengenal siapa itu Rangga Riantiarno dan, saya yakin, Rangga Riantiarno pun tak mengenal saya. Sekali lagi, tak ada seujung rambut pun niatan saya untuk meremehkan RANGGA RIANTIARNO!!!