yang direndahkan enam tahun lalu, facebook

sumber: http://images.fineartamerica.com/


"Kalau memang tuh Kitab Suci tidak salah, mengapa kamu khawatir? Trus, kalau memang tuh Tuhan Mahamulia, mengapa pula kamu khawatir Ia bisa direndahkan?" Begitu tulis kawan saya (sejak enam tahun lalu ia putuskan tak lagi gunakan facebook dan twitter) saat mengomentari diskusi sengit pada grup whatsapp yang saya dilibatkan di dalamnya.  

Sajak Mantra

                                                 sumber gambar: wikipedia 


Mantra
--Mata Tenggala

engkau melihat aku sebagai kesia-siaan setelah matahari dan segala hal di atas bulan terpahami sebagai warna dan notasi matematika
engkau melihat aku sebagai ketiadaan setelah panca indera dan cerita cerita gila terpahami sebagai dua kutub saling menunda
engkau melihat aku sebagai tubuh setelah akal dan orang-orang tak kita kenali itu terpahami sebagai ngilu tanpa hari minggu
engkau menatap aku sebagai kamu setelah sejarah dan napasmu membiru terpahami sebagai hulu pada setiap ibu

A Mathematician’s Apology


The study of mathematics is, if an unprofitable, a perfectly harmless and innocent occupations.
G.H. Hardy (1877-1947)

A Mathematician’s Apology merupakan esai yang ditulis oleh matematikawan Oxford, Inggris, G.H. Hardy demi mempertanggungjawabkan dua hal mendasar. Pertama, posisinya sebagai matematikawan yang menulis apologia. Kedua, posisi matematika sebagai ilmu yang menempati posisi lebih utama dari filsafat, secara spesifik, metafisika, dan fisika.

Apologi pertama menyangkut posisi Hardy sebagai matematikawan yang menulis apologia. Menurut Hardy, hal ini perlu dipertanggungjawabkan karena, alih-alih menulis apologia, pekerjaan utama matematikawan adalah “membuktikan teorema-teorema yang baru, menambahkan topik baru dalam matematika, dan bukan berbicara tentang pencapaian matematikawan pada masa sebelum.” Sekiranya hal-hal itu adalah pekerjaan utama matematikawan, maka apa yang dilakukan Hardy dengan menulis apologia adalah merendahkan dirinya sendiri, menempatkan dirinya sekelas dengan apa yang disebutnya sebagai “nalar kelas-dua”, nalar yang bekerja dalam diri “orang-orang yang menghasilkan eksposisi, kritik atau apresiasi atas suatu karya seni atau pemikiran manusia.” Tentu saja, Hardy bukanlah orang dengan “nalar kelas-dua,” sebagaimana saya yang menulis kilas-pandang atas kitab A Mathematician’s Apology. Hardy adalah orang dengan “nalar kualitas-unggul”.

Sekiranya Hardy adalah orang dengan “nalar kualitas-unggul”, lantas apa alasannya sehingga ia rela menurunkan kelas menjadi “nalar kelas-dua”? Alasannya: usia. Saat menulis A Mathematician’s Apology pada 1940, tujuh tahun sebelum ia meninggal dunia pada 1 Desember 1947, Hardy menapak usia 63 tahun. Apa yang berharga di balik usia itu tidak lain adalah “kesegaran pikiran, enerji, kesabaran menanggung beban pekerjaan.” Hardy berani menegaskan demikian, “Seharusnya, tak satu matematikawan pun yang membiarkan dirinya lupa bahwa matematika, lebih dari ilmu apa pun, adalah mainan bagi orang muda.”

Matematikawan tidak dapat melawan usia tua. Bahkan, matematikawan-cum-fisikawan Isaac Newton pun punya masa keemasan. Gagasan-gagasan besarnya, yang terkenal: hukum gravitasi, lahir pada saat Newton berusia 24 tahun—dan ceritanya menjadi lain ketika Newton berusia 50 tahun. Sekiranya tak sempat menginjak usia senja, pilihan lain bagi matematikawan yang brilian adalah mati. Kolega karib Hardy, matematikawan genius dari India, Srinivasan Ramanujan, wafat pada usia 33 tahun; lainnya, Riemann wafat pada usia 40, Abel wafat pada usia 27 tahun dan Galois wafat pada usia 21 tahun. Sejauh apa pun ambisi para matematikawan, usia adalah hal yang tidak bisa dilawan.

G.H. Hardy (1877-1947)

Apologia kedua berkenaan dengan posisi matematika sebagai ilmu yang menempati posisi lebih utama dari filsafat qua metafisika dan fisika. Sebelum memberi pertanggungjawaban akan hal itu, Hardy terlebih dahulu menjelaskan apa yang dicari matematikawan. Bagi Hardy, tugas utama matematika adalah menemukan (i) teorema yang tidak hanya berkualitas (ii) “serius” namun juga (iii) “mendalam.” Teorema adalah pernyataan yang sudah terbukti dengan berdasarkan pada pernyataan sebelumnya. Misalnya, teorema Phytagoras sudah terbukti dengan pertanyaan menyangkut luasan bujursangkar. Kriteria “serius” menyangkut kualitas persoalan yang ditangani. Bagi Hardy, persoalan matematika “serius” lebih bernilai dari pada sekadar pemecahan masalah sebagaimana yang ditemukan dalam permainan catur. Persoalan catur memang menawarkan kepelikan tersendiri; namun hal itu tidak seberapa bila dibandingkan dengan matematika—ke-“serius”-an persoalan matematika terletak pada daya kreativitas matematikawan menggunakan ide-ide dasar matematika demi menemukan realitas [matematika]. Kriteria “mendalam” mengacu kepada ke-dalam-an gagasan yang dipergunakan. Hardy memberikan ilustrasi demikian tentang hal ini: “gagasan bilangan irasional lebih mendalam dari pada integer; teorema Phytagoras, karena itu, lebih mendalam dari Euklid.”

Matematikawan menemukan teorema yang “serius” dan “mendalam” dengan menggunakan gagasan (ideas), yang mewujud sebagai angka atau bangun-ruang. Penataan gagasan-gagasan secara koheren demi membuktikan suatu teorema juga menuntut adanya keindahan pada argumen yang disajikan. Di sinilah, Hardy melihat kemiripan antara matematikawan, penyair dan musisi: ketiga mencari keindahan di mana keindahan itu lahir kecintaan pada pola. “Matematikawan, sebagaimana pelukis atau penyair, adalah pembuat pola. Sekiranya pola-pola mereka lebih permanen daripada mereka sendiri, hal itu karena pola-pola itu terbuat dari gagasan-gagasan.”

Dari pekerjaan yang dilakukan, Hardy menunjukkan kualitas yang mesti ada dalam diri setiap matematikawan. Matematikawan adalah orang yang bersedia mengembangkan nalarnya hingga mencapai kualitas unggul atau genius. Untuk itu, seorang yang bertalenta dalam bidang matematika mestilah memiliki (i) keingintahuan intelektual, hasrat menemukan kebenaran, (ii) kebanggaan akan profesi yang dipilihnya, (iii) tidak lekas berpuas diri atas apa yang telah dicapai, (iv) malu sekiranya apa yang dihasilkan tidak setara dengan talenta yang dimiliki dan (v) memiliki ambisi, entah demi reputasi, posisi, atau pundi finansial—bahkan, Hardy menyatakan: “ambisi senantiasa menjadi tenaga penggerak di balik hampir semua maha karya yang ada di dunia.” Hardy sama sekali tidak menekankan tentang motif kemanusiaan yang bekerja di dalam diri seorang matematikawan—suatu motif yang tampak nyata dalam ilmu-ilmu agama, filsafat, bahkan aktivisme sosial.

Kesadaran akan “bahan baku” dan “hasil akhir” dari matematika adalah dasar argumentasi Hardy membuktikan keunggulan matematika dari filsafat qua metafisika dan ilmu fisika. Pertama, dari sudut permanensi. Dibandingkan dengan fisika, pengetahuan matematika lebih permanen atau lebih tetap. Hal ini dikarenakan fisika masih mengandalkan observasi inderawi; ada pun matematika tidak mengandalkan observasi inderawi. Matematika memberi ruang bagi penggunaan observasi inderawi—namun, hal itu sebatas metode pengajaran, bukan substansi matematika itu sendiri. Kedua, dari sudut kegunaan. Berbeda dari filsafat, secara khusus metafisika, Hardy menilai matematika lebih berguna. Kegunaan matematika tampak dalam matematika terapan (applied mathematics); wilayah yang berbeda dari matematika murni (pure mathematics). Metafisika, bagi Hardy, tidak memiliki kegunaan praktis. Tentu saja, kita tidak perlu tahu apa itu konsep “ada” (being) atau “keberadaan” (existence) sewaktu berbelanja—namun, kita mestilah tahu berapa 100 ribu dikurangi 30 ribu sewaktu berbelanja, dan itu adalah matematika. Ketiga, ilmu lain membutuhkan matematika. Tampaknya keberhasilan ilmu-ilmu lain, semisal fisika, kimia, biologi, fisiologi, ekonomi, dst., mensyaratkan campur tangan matematika. Tanpa matematika, ilmu bersangkutan akan kehilangan kualifikasi sebagai ilmu—barangkali, dapat terkategori dalam filsafat atau agama.

Keempat, realitas matematika itu lebih nyata daripada realitas fisika. Prima facie realitas fisika lebih nyata dari realitas matematika. Namun sekiranya diperhatikan lebih cermat, kursi yang ada di hadapan kita, dari sudut pandang fisika, tidak lain adalah elektron yang mengorbit di dalam ruang hampa. Persis di saat kita menyadari hal ini, maka pengetahuan kita akan realitas fisika sebagai realitas yang terobservasi secara indrawi terguncang. Realitas fisika tidak lain adalah ketiadaan. Hal ini berbeda dari realitas matematika. Realitas matematika, menurut keyakinan Hardy, berada di luar diri—Hardy menegaskan bahwa alih-alih mengikuti pandangan ‘idealistik’, ia meyakini pandangan ‘realistik’ akan matematika.

Kelima, dari sudut ada/tidaknya kekerasan (harmness). Tidak seperti filsafat dan fisika yang berpotensi menghasilkan kekerasan—kita saksikan bagaimana filsafat Nietzsche melatari pemikiran Adolf Hitler yang berdampak pada holocaust; kita juga saksikan bagaimana formulasi fisika nuklir berdampak pada kematian jutaan orang di Hiroshima dan Nagasaki—matematika murni tidak mengandung kekerasan. Matematika murni adalah matematika yang tidak memiliki kegunaan praktis, sepenuhnya daya kreatif matematikawan untuk menemukan teorema yang “serius” dan “mendalam”. Hardy menyatakan demikian, “Matematika sejati tak menghasilkan perang.” 

Pada akhir apologianya, dari sudut kegunaan praktis, Hardy sadar bahwa dedikasi hidup pada matematika adalah kesia-siaan. Entah disadari atau tidak, Hardy telah menyelipkan pertanyaan mendasar bagi orang-orang yang hidup di zaman kapitalisme-akhir (late capitalism): apakah pengetahuan (knowledge) atau ilmu (science) diukur semata-mata dari kegunaan praktis? Hardy—entah sebagai perwujudan sikap egoistik atau malah kerendah-hatian—menyatakan demikian: “The case for my life…is this: that I have added something to knowledge, and helped others to add more; and that these somethings have a value which differs in degree only, and not in kind, from that of the creations of the great mathematicians, or of any of the other artists, great or small, who have left some kind of memorial behind them.