Monumen Puisi Agam Wispi



Monumen Puisi Agam Wispi:
Telaah Singkat Atas Puisi “Matinya Seorang Petani (Buat L. Darman Tambunan)”


Puisi dan realitas adalah dua ranah yang antagonis. Di satu sisi, puisi punya kecenderungan menegasi realitas—di sisi lainnya, puisi berniat menjadi realitas. Secara sederhana, puisi yang berniat[1] menegasi realitas menjelma dalam prinsip kesenian “seni demi seni”; ada pun puisi yang berniat menjadi realitas menjelma dalam prinsip kesenian “seni demi masyarakat”. Di antara dua kutub ekstrem itu, puisi-puisi Agam Wispi berada pada kutub “puisi yang berniat menjadi realitas” atau “seni demi masyarakat”—kesimpulan demikian tentu sangat mudah untuk dibuktikan. Dalam karir berkeseniannya, Agam Wispi dekat—jika tidak ingin dikatakan identik—dengan institusi kebudayaan pada masa Orde Lama, yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Keberadaan Lekra, dalam konteks sejarah Indonesia, kerap diasosiasikan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan juga gagasan kesenian “seni untuk masyarakat”—dalam pengertian: seni berfungsi menyadarkan masyarat akan adanya gerak sejarah yang bersifat progresif dan ditentukan oleh pertarungan antara kelas proletar dan kaum kapitalis.

Persoalannya, bagi karya kesenian yang bertolak dari prinsip kesenian “seni demi masyarakat” adalah apakah karya kesenian itu dapat, paling tidak, setara atau bahkan melampaui realitas itu sendiri? Istilah “realitas”, dalam hal ini, dapat dipahami sebagai peristiwa/peristiwa-peristiwa (event/events) yang terjadi secara faktual atau fakta—yang kemudian tercatat dalam sejarah. Tentu hal ini bukanlah hal yang baru. Dalam sejarah kesenian dunia, peristiwa faktual, dengan olahan daya kreatif seniman, dapat bermetamorfosis menjadi karya seni yang memukau. Misalnya saja: lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” (1857) karya Raden Saleh Sjarif Boestaman (1811-1880) yang menghadirkan-kembali atau merepresentasikan peristiwa (f)aktual dalam sejarah menyangkut penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda; atau monumen batu Brest Fortress di Brest, Belarusia, yang merepresentasikan peristiwa (f)aktual dalam sejarah terkait keteguhan hati para tentara Merah Sovyet untuk tetap bertahan menahan gempuran tentara Nazi Jerman di masa Perang Dunia II[2]; atau komposisi musik “String Quartet No.8 in C Minor” dari Dmitri Shostakovich (1906-1975) yang dapat dimaknai sebagai hasil permenungan Shostakovich tentang dampak-dampak negatif dari fasisme dan perang—Shostakovich mendedikasikan karya musikal ini kepada korban-korban fasisme dan perang; atau komposisi mars “17 Agustus Tahun 45” ciptaan H. Mutahar, dan lainnya. Contoh-contoh di atas menjadi penting untuk melihat, sekaligus menyadari, bahwa “puisi yang berniat menjadi realitas” bukanlah hal yang mustahil. Lantas, bagaimana dengan puisi-puisi Agam Wispi?

Meski sama-sama karya seni, puisi berbeda dari seni lukis—atau seni rupa, juga seni musik. Secara sederhana—tentunya, dengan mengabaikan kecanggihan pendekatan kontemporer dalam upayanya meninjau ulang apa yang disebut sebagai medium seni rupa—medium seni rupa bertolak pada perangkat-perangkat visual konkret, misalnya cat atau kayu atau batu atau fiberglass yang merupakan hal-hal konkret dan membantu menghadirkan visualisasi imajinasi secara konkret dalam bidang dwimatra atau trimatra; tentunya dengan bantuan komposisi garis, tekstur, goresan, dst. Medium dan teknik seni dalam seni rupa memungkinkan seniman menghadirkan objek-objek seni yang dapat disensasi secara indrawi [tentunya, yang menjadi batasan dalam hal ini adalah aliran abstrak]—dan tentunya melahirkan rasa indah dalam diri mereka yang melihat objek-objek itu. Begitu juga dengan seni musik—yang secara konkret menghasilkan bunyi yang menstimulasi lahirnya perasaan-perasaan tertentu dalam diri mereka yang mendengarkan karya musik. Puisi, agak berbeda. Medium yang utama sekaligus arus utama (mainstream) adalah kata—dengan demikian, dalam puisi, perubahan peristiwa menjadi karya adalah perubahan fakta menjadi kata.

Perubahan fakta menjadi kata bukanlah perkara gampang dalam puisi. Secara sederhana, proses abstraksi[3] adalah proses perubahan fakta menjadi kata. Proses perubahan fakta menjadi kata tentu tidak semata-mata bertopang pada kemampuan konseptual kata—dalam hal ini, kemampuan konseptual kata berarti kemampuan kata menampung sekaligus menyampaikan makna yang hendak diutarakan oleh penyair—namun juga mempertimbangkan keindahan bunyi, juga irama. Puisi Agam Wispi yang berjudul “Matinya Seorang Petani (Buat L. Darman Tambunan)”, khususnya bagian 1, yang berlatarkan peristiwa penggusuran petani di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, menurut saya, merupakan hasil yang sempurna dari perubahan fakta menjadi kata. Demikian saya kutipan bagian pertama puisi tersebut:

depan kantor tuan bupati
tersungkur seorang petani
karena tanah adalah tanah

dalam kantor barisan tani
silapar marah
karena darah karena darah

tanah dan darah memutar sejarah
dari sini njala api
dari sini damai abadi

Petikan bagian pertama sajak di atas, tampak kepiawaian Agam Wispi memainkan rima akhir dan rima tengah; mengutamakan bunyi kakofoni pada tiga bait itu, yang sedikit dipadukan dengan efoni pada baris kedua dan ketiga dari bait ketiga. Isyarat-isyarat bunyi kakofoni menyatu dengan kekuatan konseptual dari pilihan kata di mana pertentangan kata (sekaligus bunyi) antara “tuan bupati” dan “seorang petani” melahirkan asosisasi pertarungan antara kelompok penguasa dan kelas pekerja—yang kemudian mencapai puncak ketika Agam Wispi menggunakan pertentangan bunyi antara “karena tanah” dan “adalah tanah”; pada bait kedua, pertentangan bunyi beralih menjadi perulangan bunyi: “karena darah” lalu “karena darah”.

Dengan menggunakan teknik rima akhir, rima tengah, lalu paduan bunyi kakofoni serta sedikit efoni, pertentangan dan pengulangan bunyi (secara relatif, pola pengulangan bunyi juga tampak jika kita membandingkan bait pertama dan bait kedua, juga jika kita membandingkan baris kedua dan ketiga pada bait ketiga) kemudian kekuatan diksi yang dipadukan dengan kesederhanaan konstruksi larik pada tiap bait berhasil menampung tema ketidakadilan, peristiwa ketidakadilan yang menjadi mata air puisi tersebut. Puisi “Matinya Seorang Petani (Buat L. Darman Tambunan)”, dalam pertimbangan saya, sudah berhasil menjadi monumen—puisi itu berhasil merekam makna ketidakadilan yang terkandung dalam peristiwa penggusuran petani di Tanjung Morawa sekaligus melampaui fakta itu sendiri, dalam arti: memberikan pemahaman bagi pembaca bahwa sejarah, secara implisit, mengandung ketidakadilan di mana ketidakadilan bertopang pada “tanah” dan “darah”, yang keduanya memungkinkan “njala api” sekaligus “damai abadi.”

Jika kita mengacu kepada tiga prinsip dari realisme sosialis, yaitu (1) ada objek yang berada di luar kesadaran, (2) tidak ada yang disebut das Ding an sich pada objek, dan (3) kesadaran manusia mampu menembus lapis fenomena untuk mencapai lapis esensial, saya pikir: puisi Agam Wispi ini berhasil memenuhi kriteria tersebut. Pertama, “Matinya Seorang Petani (Buat L. Darman Tambunan)” sejatinya mengacu kepada fakta tentang adanya penggusuran petani di Tanjung Morawa—dan puisi itu berada dalam posisi yang sama dengan fakta tersebut. Kedua, puisi Agam Wispi ini memungkinkan kita melihat bahwa peristiwa “tersungkurnya seorang petani” adalah perwujudan dari “tanah dan darah memutar sedjarah”. Ketiga, sebagaimana sudah tersirat dalam yang kedua, lapis esensial dari fenomena “tersungkurnya seorang petani” adalah terjadinya ketidakadilan, yang mewujud dalam larik “tanah dan darah memutar sedjarah”.

Sebagai monumen yang berkedudukan setara dengan fakta, dalam pertimbangan saya, puisi Agam Wispi dapat dipergunakan untuk membaca sejarah Indonesia—tentu dengan pendekatan metodologi dan epistemologi tertentu. Di sini, puisi sudah menempati posisi yang sama dengan manusia, yaitu sebagai saksi (bisu) sejarah!—hanya dengan membaca sajalah para pembaca menyadari apa yang terjadi di masa lalu; dan barangkali hal demikian masih juga terjadi di masa sekarang, dan yang akan datang. Ketika puisi sudah menjadi saksi (bisu) sejarah, maka batas antara kebenaran dan puisi pun menjadi semakin tipis—dan jika batas kebenaran dan puisi menjadi semakin tipis atau bahkan tidak ada lagi, maka tindakan menulis atau membaca puisi pada saat bersamaan adalah tindakan menulis atau membacakan kebenaran; dan ada yang menamakan tindakan demikian sebagai revolusi.



Desember 2013


[1] Diksi “berniat” cenderung saya pergunakan dalam kerangka konotasi.
[2] Peristiwa perang antara tentara Merah dan Nazi di Brest itu juga difilmkan oleh sutradara Alexander Kott, dengan judul ‘The Brest Fortress’. Dalam film itu, dikisahkan: pasukan tentara Merah Sovyet menyadari mereka mustahil menang melawan serangan mendadak dari tentara Nazi Jerman. Di sinilah tragedi lahir Brest Fortress lahir: meski yakin mereka mustahil menang, pasukan tentara Merah Sovyet tetap memegang teguh keyakinan bahwa mereka tidak akan menyerah.
[3] Istilah ‘abstraksi’, dalam hal ini, dapat dipahami melalui ilustrasi demikian. Kata atau tanda ‘kucing’ tentu berbeda dari kucing asli dalam realitas. Jika kata ‘kucing’ bertolak dari kucing asli dalam realitas, maka kata ‘kucing’ tidak lagi mengandung kualitas ngeong, bulu yang halus, atau tubuh yang dekil, atau tubuh yang kurus, atau luka di kaki kucing, dan atau-atau lainnya. Kata ‘kucing’ adalah abstraksi dari kucing asli dalam realitas di mana proses abstraksi itu meniadakan atau menghilangkan kualitas-kualitas tertentu dari kucing yang kita lihat dalam realitas. Hilangnya kualitas-kualitas tertentu dari kucing dalam realitas—semisal ngiaunya, beratnya, warnanya, dst—dan beralih menjadi ‘kucing’, justru memungkinkan daya kreatif yang luar biasa. Kata ‘kucing’ memiliki kemungkinan penempatan baru—misalnya saja, jika kucing dalam realitas berada di halaman, maka, melalui daya fantasi imajinatif, penyair dapat saja menempatkan ‘kucing’ di bulan, menjadi astronot, berada dalam perut ikan hiu, menjadi gubernur di sebuah kota, hingga tampil sebagai dewa. Melalui abstraksi, kata memungkinkan penempatan (dan tentu pemaknaan) fakta semakin diperluas (bahkan diperdalam). Khusus dalam konteks relasi antara imajinasi dan fakta, di sinilah kita melihat bahwa daya imajinatif konseptual yang bertopang pada abstraksi memungkinkan para ilmuwan menemukan teori-teorinya yang memukau, sebagaimana yang dinyatakan filsuf Richard Rorty (1931-2007): rasio hanya dapat mengikuti jalan yang telah dibuka oleh imajinasi.

MS, MA, dan GM


Perdebatan antara Martin Suryajaya (MS) dan Muhammad Al-Fayyadl (MA) terkait peran Goenawan Mohamad (GM) dalam politik kebudayaan pasca 1965 memaksa untuk memikirkan kembali pendapat keduanya sekaligus mencoba memetakan sikap kritis saya pribadi terhadap mata air perdebatan, yaitu tulisan MS yang berjudul “Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965” yang dimuat dalam jurnal daring indoprogress.com—dan tentunya, mempertimbangkan ulang kritik MA yang dimuat oleh yang bersangkutan dalam status facebook-nya.

Antara Data dan Kesimpulan
Tulisan MS memuat dua tesis, yaitu (1) Goenawan Mohamad (GM) adalah makelar kebudayaan yang berperan membentuk selera intelektual Indonesia dan (2) GM berperan dalam konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965. MS, dalam tulisannya, mencoba mengkonstruksikan dua tesis itu bukan sebagai dua tesis yang terpisah, melainkan tesis yang saling berkaitan di mana tesis (2) sudah terimplikasi dalam tesis (1)—artinya, GM mengonsolidasikan kapitalisme di Indonesia melalui perannya sebagai makelar kebudayaan. Merujuk pada tulisan MS, istilah ‘makelar kebudayaan’ dapat dipahami sebagai sinonim ‘penafsir-makelar’, suatu translasi dari istilah ‘interpreter-middleman’ yang dipergunakan oleh Ivan Kats (IK) dalam surat-menyurat antara dirinya dan GM. Ada pun ‘makelar kebudayaan’ atau ‘penafsir-makelar’ mengacu kepada orang atau pihak tertentu yang mengambil dari luar atau mengappropriasi hal-hal yang berada di luar dirinya, dalam hal ini mengacu kepada pemikiran intelektual Prancis Albert Camus, untuk menjadi bagian dari dirinya, dalam hal ini mengacu kepada alam pemikiran Indonesia (barangkali, karena konstruksi berpikir yang demikian, maka MS berargumentasi bahwa GM sungguh sangat berperan dalam membentuk selera intelektual Indonesia).

Bagi saya, persoalan mendasar adalah apakah memang kesimpulan-kesimpulan atau tesis-tesis yang diajukan MS dapat dipertanggungjawabkan? Atau, sejauh mana kesimpulan-kesimpulan itu dapat diterima? Atau, jika kesimpulan-kesimpulan itu tidak dapat diterima seutuhnya, apakah dimungkinkan kajian lebih lanjut demi mengokohkan kesimpulan-kesimpulan itu? Dalam posisi demikian, pertanyaan utama saya terhadap tulisan MS adalah “apakah data, yang menjadi fondasi kesahihan kesimpulan-kesimpulan itu, memang dapat menopang seutuhnya kesimpulan-kesimpulan itu?”—dalam kata lain, “apakah kesimpulan-kesimpulan itu ditopang oleh data atau tidak?” Bertolak dari tulisan MS, menurut saya, ada dua data utama yang dipergunakan MS demi menopang kesimpulan-kesimpulannya, yaitu (1) data yang bersumber dari buku Wijaya Herlambang yang berjudul “Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Order Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film” dan (2) data yang bersumber dari PDS HB Jassin, yang memuat surat-menyurat antara IK dan GM bertarikh 1965. Selain dua data utama ini, MS juga menggunakan data-data yang tergolong sekunder lainnya, semisal data tentang Manifes Kebudayaan dan jejaring tokoh PSI yang berada di balik peristiwa kebudayaan itu.[1]

Bertolak dari data surat-menyurat antara IK dan GM inilah, menurut saya, MS mengukuhkan tesisnya yang pertama. Surat-menyurat itu membuktikan adanya interaksi antara IK dan GM di mana interaksi itu memuat tujuan tertentu, yaitu (1) menjelek-jelekkan hal-hal yang berkenaan dengan PKI, komunisme, dan (2) menjadikan pemikiran Prancis sebagai paradigma kebudayaan di Indonesia yang sehubungan dengan kesukaan GM terhadap Albert Camus (AC), maka penerjemahan karya AC ke dalam bahasa Indonesia pun dapat dipahami sebagai appropriasi hal-hal Barat ke dalam Indonesia demi membentuk paradigma kebudayaan tertentu di Indonesia.

Dalam pertimbangan saya, surat-menyurat ini memang membuktikan posisi GM sebagai makelar kebudayaan, sebagaimana yang diintensikan MS, dalam usaha membentuk selera intelektual di Indonesia. Namun, persoalannya, apakah data itu dapat dijadikan patokan untuk menyimpulkan bahwa GM memang benar-benar berhasil membentuk selera intelektual Indonesia, menurut saya, tidak. Di sini, menurut saya, ada dua hal yang harus dipertimbangkan, yaitu (1) berperan atau bertugas membentuk selera intelektual di Indonesia dan (2) terbentuknya selera intelektual di Indonesia sesuai dengan tujuan IK dan GM. Pertanyaannya, apakah dengan menjalankan tugas sudah dengan sendirinya mencapai tujuan? Tampaknya MS menyadari hal ini. Karena itu, MS mengajukan data lainnya, yang menurut saya tergolong sekunder dan dapat dipertanyakan, yaitu diskusinya dengan “teman-teman yang kerap membaca dan menggemari tulisan Goenawan”. Tentu, pertanyaannya saya adalah apakah yang disebut intelektual adalah orang-orang yang membaca dan menggemari tulisan GM? Apakah orang-orang yang tidak membaca dan menggemari tulisan GM bukan tergolong intelektual? Dalam pertimbangan saya, mengidentifikasi intelektual hanya dengan bertolak pada indikator telah membaca dan menggemari tulisan GM adalah hal yang prematur. Dengan demikian, menurut saya, MS berhasil membuktikan bahwa GM, sebagai makelar kebudayaan, memang berperan dalam membentuk selera intelektual di Indonesia—namun, MS belum berhasil membuktikan bahwa selera intelektual di Indonesia itu sudah terbentuk sesuai dengan yang diniatkan oleh IK.

Karena tesis (2) terimplikasi pada tesis (1), maka kegiatan GM sehubungan dengan ‘kontrak-kontraknya’ (bahasa yang dipergunakan oleh MA dalam statusnya untuk melukiskan korespondensi antara IK dan GM) dengan IK, [dapat] disimpulkan MS sebagai “menyiapkan prakondisi epistemik bagi terkonsolidasinya kapitalisme di Indonesia pasca 1965”. Kesimpulan itu diperkuat dengan data sekunder yang bersumber dari hasil wawancara Rizal Mallarangeng pada Juni 1996, yang memuat pandangan politik GM sebagai, dalam bahasa saya, “seorang liberal yang masih dapat mengecam kapitalisme sekaligus kritis terhadap birokrasi”. Tentu yang menjadi persoalan bagi saya adalah “apakah dengan menerjemahkan buku-buku AC ke dalam bahasa Indonesia, dengan demikian GM sudah dengan sendirinya menyiapkan prakondisi epistemik bagi terkonsolidasinya kapitalisme di Indonesia?” Di sinilah, analisis MS menyangkut ‘Anatomi Politik Absurditas’ menjadi dasar MS menempatkan kegiatan GM menerjemahkan AC sebagai upaya menyiapkan prakondisi epistemik bagi konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965. Benarkah demikian?

Dalam pertimbangan saya, ‘Anatomi Politik Absurditas’ tidak dapat dijadikan data untuk menopang kesimpulan kedua MS. Alasannya, ‘Anatomi Politik Absurditas’ bertolak dari pembacaan (sekaligus penilaian kritis) MS atas “Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas”-nya AC—dan pembacaan (sekaligus penilaian kritis) dari tiap orang atas suatu hal, dalam hal ini literatur filsafat, mustahil menghasilkan satu pembacaan (sekaligus penilaian kritis) tunggal. Alasannya, tentu saja, karena: meski butuh fakta, filsafat tidak bicara tentang fakta. Dan, “Mite Sisifus” AC, dalam pembacaan saya, bertolak dari pertanyaan filosofis “apakah hidup bermakna atau tidak?”[2]—bukankah pertanyaan demikian sesungguhnya tidak dapat diuji secara objektif-ilmiah sebagaimana metode penelitian yang diterapkan pada ilmu alam? Menurut saya, pembacaan (sekaligus penilaian kritis) MS—yang barangkali saja mengandung bias ideologi tertentu—menjadikan pemikiran AC sebagai pemikiran yang hanya bertopang pada tesis “semuanya baik adanya.”[3]

Bertolak dari pertimbangan di atas, saya pikir menyatakan GM berperan dalam konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965 tentu tidak dapat diterima sepenuhnya. Menurut saya, apa yang disampaikan MS sebagai tesis kedua bukanlah tesis atau kesimpulan, melainkan masih sebatas indikasi. Namun, sejauh MS menyatakan bahwa tindakan GM menerjemahkan karya-karya AC (dan lainnya) adalah bagian kecil dari proses konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965 tentu dapat diterima, meski tidak begitu terlalu meyakinkan, setidaknya bagi saya.

Dengan demikian, sejauh pembacaan saya atas tulisan MS, saya berkesimpulan bahwa GM punya peran dalam upaya menjelekkan PKI dan mengonstruksikan pemikiran kebudayaan di Indonesia pasca 1965 di mana hal-hal itu dibuktikan melalui adanya data atau bukti korespondensi antara IK dan GM. Namun, apakah GM berhasil atau tidak membentuk “selera intelektual di Indonesia” dan “menyiapkan prakondisi epistemik terkonsolidasinya kapitalisme di Indonesia pasca 1965”, saya pikir masih patut dipertanyakan, untuk tidaknya menyatakan bahwa hal-hal itu hanyalah spekulasi kosong yang tidak didukung oleh data dan indikator-indikator yang akurat.

MA dan MS
Tiga tanggapan MA terhadap tulisan MS, menurut saya, patut dicermati. Dalam pertimbangan saya, tanggapan pertama dan kedua, kurang lebih bernada sama—kecuali, satu poin dalam tanggapan kedua yang memuat soal “seleksi” dalam pemikiran Prancis, yang akan saya ulas kemudian. Tanggapan pertama dan kedua MA terhadap MS merupakan upaya MA membongkar asumsi tertentu yang melatari tulisan MS, yaitu GM adalah sosok yang luar biasa, sosok dengan daya yang begitu luar biasa hingga dapat mempengaruhi pemikiran ratusan juta orang Indonesia. Dalam tanggapannya yang pertama, MA mempersoalkan tafsir GM atas AC, yang menurutnya bias—dengan demikian, MA menyarankan, GM seharusnya tidak dapat dipandang sebagai penafsir otoritatif atas AC. Pada tanggapannya yang kedua, MA menyatakan bahwa GM bukan satu-satunya pihak yang berperan dalam penyebaran pemikiran Prancis kontemporer—dan jika diperluas, maka akan menghasilkan tesis demikian: konstruksi pemikiran kebudayaan di Indonesia pasca 1965 tidak hanya ditentukan oleh GM semata. Terhadap tanggapan ketiga, menurut saya tidak relevan. Perdebatan dengan “robot Forex” mengandaikan klaim intelektual, dalam hal ini “intelektual” menempati kelas kata benda, identik dengan orang-orang yang membaca dan menggemari tulisan GM di mana, bagi saya, hal itu masih menjadi persoalan yang belum tuntas. 

Salah satu poin dari tanggapan kedua MA yang perlu dipertimbangkan adalah menyangkut ada atau tidaknya “seleksi” pemikiran di Prancis. Saya pikir, berdasarkan data yang dimilikinya, MA berhasil membuktikan bahwa pernyataan IK dalam suratnya kepada GM dapat dinyatakan keliru (kecuali, jika IK punya pertanggungjawaban tersendiri). Dalam amatan MA, pernyataan keliru dari IK justru diterima oleh MS sebagai self-evident. Meski begitu, menurut saya, sekalipun pernyataan IK menyangkut adanya “seleksi” di kancah pemikiran Prancis keliru, hal itu tidak membantah tesis-tesis yang diajukan MS sejauh menyangkut peran GM dalam politik anti-komunis dan konstruksi pemikiran kebudayaan di Indonesia pasca 1965.


[1] Klasifikasi data utama dan data sekunder menjadi penting bagi saya untuk mengetahui apa yang menjadi jantung dari kesimpulan-kesimpulan MS dari sudut data. Artinya, jika data utama dihilangkan dan data sekunder dipertahankan, maka kesimpulan-kesimpulan MS pun menjadi spekulasi rendahan, rumor. Jika data sekunder dihilangkan dan data utama dipertahankan, maka kesimpulan-kesimpulan MS punya kualitas objektif yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
[2] Bdk. Camus, Albert, Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas (diterjemahkan Apsanti, D), Jakarta: PT . Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm. 3-4.
[3] Pada paragraf kedua dari ‘Anatomi Politik Absurd’, MS mengutip pernyataan Oedipus: “Meskipun telah mengalami cobaan yang begitu banyak, usiaku yang lanjut dan kebesaran hatiku membuat aku menilai bahwa semuanya baik adanya.” kemudian menggunakan sekaligus menggandakan kalimat “semuanya baik adanya” pada paragraf 5 dari ‘Anatomi Politik Absurd’, yang bagi saya menimbulkan satu pertanyaan: benarkah, AC berpikir demikian, benarkah AC akan berpikir bahwa buruh kebun sawit seharusnya berkata “Meskipun saya hanya diupah Rp. 500 per sepuluh kilo sawit yang berhasil saya panen, saya menilai bahwa semuanya baik adanya,” atau AC akan berpikir bahwa pembantu rumah tangga seharusnya berkata, “Meskipun saya hanya diupah sepertiga dari UMP dan sesekali digebuki oleh majikan, saya menilai bahwa semuanya baik adanya,” atau AC juga akan berpikir demikian: “Kita harus membayangkan, somehow, Marsinah berbahagia.” Namun, jika kita melanjutkan pembacaan satu-dua paragraf setelah kutipan MS, maka kita akan menemukan kalimat demikian:
Kata-kata itu mendengung dalam alam manusia yang buas dan terbatas. Kata-kata itu mengajarkan bahwa semuanya belum tuntas dan belum pernah tuntas....Kata-kata itu membuat takdir menjadi urusan manusia, yang harus ditangani manusia.
Seluruh kegembiraan bisu Sisifus terletak di sana. Nasibnya adalah miliknya.
Kutipan di atas memperlihatkan “semuanya baik adanya” berarti juga “semuanya belum tuntas dan belum pernah tuntas,” “takdir manusia menjadi urusan manusia, yang harus ditangani manusia,” di mana kutipan demikian memungkinkan pembacaan absurditas sebagai optimisme—dan bukankah memahami ironi sebagai kebahagiaan sendiri adalah absurditas?
            Menurut saya, hal-hal di atas harus dipertimbangkan kembali. Sejauh pembacaan saya atas ‘Mite Sisifus’, titik tolak pemikiran AC adalah pertanyaan ontologis, yaitu “apakah hidup bermakna atau tidak?” Jawaban AC: hidup tidak bermakna(!); sebagai konsekuensi dari hidup yang tanpa makna (non-sense), AC pun menolak segala konstruksi metafisika, harapan, bahkan utopia atau mimpi apa pun akan Sejarah—MS secara jitu mengkategorikan pandangan AC sebagai antiutopian. MS, melalui argumentasinya, memperlihatkan bahwa harapan masih ada, akhir sejarah itu nyata—singkatnya: makna itu ada(!), yang justru bukan menjadi pokok bahasan AC.  


Anak Gajah dan 120 Kilogramnya

Hanya dengan berpikir, kau bisa membawa seekor anak gajah kemana saja--tetapi, sialnya, kau kehilangan bobot 120 kilogramnya. Demikian kata teman saya.