Bacalah 'Coelho' #2

Aku melangkahkan kaki, beranjak menuju pergi. Sekilas, saat hendak melepaskan uang dari dompet kulit hitam berlogo gajah, aku melihat foto seorang perempuan yang menangis di halaman depan sebuah koran. Entah koran apa. Aku lupa.
Ah, mungkin tidak ada salahnya bila kulihat sebentar saja barisan rak berisi buku filsafat, sosial, politik, psikologi, manajemen, atau hanya sekadar komik kecil bergambar mahluk primitif.Tiba-tiba,
aku mendengar seseorang berkata. Ia perempuan. Kukira. Sebab nada suara alto khas wanita yang beresonansi di liang telinga. Ia bilang, ''Kamu kira aku apa?'', sembari melempar satu unit mobil berbahan bakar air mineral. Dan,
seseorang yang berada di sampingku berujar tak jauh beda. ''Ah, sakit!'' dengan suara melengking. Kulihat, ia perempuan. Kukira, ia terkena lemparan mobil berbahan bakar air mineral itu. Ternyata tidak. Ia, perempuan berambut panjang, mengibaskan lengan kanan menghalau sengatan seekor lebah. Plak! Lebah itu tertampar, sempat jatuh, lalu
menjauh. Kepalaku berpaling ke kanan, memutar sekitar seperempat jam, satu putaran penuh.
''Berapa Mbak?'' tanyaku pada seorang wanita berkulit mengikut warna langsat di kasir nomor tiga. Namanya, Jubille. Rambutnya, setengkuk. Tingginya, tak sampai sematamu. Dan, berkacamata. Ia lalu mendekatkan alat deteksi harga infra merah ke barcode yang ada di ruang belakang 'Veronika Memutuskan Mati'. Tiba-tiba,
Jubille melepaskan kaca mata bermerk 'D&G', lalu bersuara. ''Kamu kira aku apa?'' Ia lalu berdiri, beranjak pergi, meninggalkan alat deteksi harga infra merah yang masih menyala di atas meja kerja. Sambil meludah, ''Cuih...', sigap tangan kiri menarik satu eksemplar koran, harian berskala nasional. Entah apa namanya. Aku lupa.
Detak ketukan sepatu hak, menghentak lantai. Plak! Plak! Plak! Plak! Seekor lebah menghantam mobil berbahan bakar air mineral yang dilemparkan perempuan berambut panjang. Lintasan mobil melaju terbang itu, ia ikuti dengan paling wajah ke belakang. Cepat sekali ia berpaling. Hingga kibaran rambutnya terlihat seperti iklan minyak wangi, atau seperti iklan oli? Ah, aku tidak tahu pasti. Yang kuingat, saat bola matanya mencapai sudut ekor terkiri, waktu berhenti. Seorang
manusia, entah perempuan atau pria, berjalan tenang. Telanjang.
Sekilas! Ya, aku hanya melihat sekilas. Ia seperti manusia. Padahal, ia merupakan mahluk berkaki menyerupai manusia. Bukan hanya mahluk berkaki, tapi juga mahluk berwajah menyerupai manusia. Bukan hanya mahluk berkaki berwajah menyerupai manusia, tapi juga mahluk berimaji menyerupai manusia. Tidak! Bukan hanya itu. Ia mahluk berkaki berwajah berimaji, bahkan bisa mati menyerupai manusia.
Aku mengetahui kaki itu serupa manusia. Aku pun tahu wajah itu menyerupai manusia. Aku pun tahu, dari gerak tubuh melangkah telanjang, mahluk itu sedang berimajinasi. Alasannya, aku melihat itu semua terjadi dan ada di diri manusia.
Tiba-tiba,
mahluk itu berubah. Dari gerak yang tenang, jadi liar. Tubuhnya bergetar, berputar, menyerupai gerakan lebah yang terbang lalu terhantam mobil berbahan bakar air mineral. Sesekali, meloncat. Bahkan, tangan yang kanan sempat mengambil ancang menampar ke perempuan di sebelah perempuan berambut panjang. Dan,
aku mengambil uang kembalian, Rp15.000 diatas meja. Tapi, entah kenapa kepalaku tiba-tiba pusing, tubuh melimbung, namun aku sempat mengambil putusan: hari ini aku tidak perlu ke kantor. Plak!
Sebuah buku karya Paulo Coelho pun tergeletak samping bantal putih di kamar yang berisi hening. 'Veronica Memutuskan Mati', judulnya.
Di sampingku, ada perempuan yang sedang menangis sembari meremas-remas sprei berwarna putih pada sisi panjang sebelah kiri ranjang putih. Ia seperti perempuan yang ada di halaman depan sebuah koran, harian nasional, entah apa namanya. Ah, benarkah?
Dan, aku pun memutuskan, hoaehm.....

Bacalah 'Coelho' #1

Entah kenapa aku ingin membeli buku itu. Buku kecil, ukuran: tiga per-empat kali normal, warna biru tua bercampur gradasi hitam. Judulnya, sama sekali tak memiliki 'rasa' apa pun, sekilas. 'Veronica memutuskan mati'.
Bagiku, frase 'memutuskan mati' inilah penyebab buku karya Paulo Coelho ini mendapat nilai lebih. Minimal dari segi judul, entah kalau dari isi. Dan, pertanyaan di paragraph awal yang berbunyi datar: 'Entah kenapa aku ingin membeli buku itu', terjawab sudah.
Seperti biasa, dalam menilai sebuah buku selalu saja bagian cover jadi 'korban' terdepan, menyusul sinopsis di ruang belakang. Aku pun membalik buku cetakan pertama dari Kepustakaan Populer Gramedia ini. Kulihat, tera barcode harga. Rp27.000!
Ah, aku harus bertaruh lagi. Apakah melanjutkan membaca, atau segera pergi. Tentu, perdebatan akhir nanti bermuara di satu kata kerja dengan dua variasi putusan: beli; ya atau tidak. Aku pun mendapat ilham bagaimana menjawab.
Kualihkan mata dari label harga yang menutup sinopsis cerita Veronica ke foto pria yang berada di sudut kiri. Ia berbaju hitam. Entah kemeja atau kaos berlengan panjang. Aku tidak bisa memastikan. Kecuali warna putih pada rambut di kepala, dagu, serta daerah antara hidung dan bibir.
Sejenak aku terdiam. Bukan karena membaca ringkas biography penulis asal Brasil atau sinopsis 'Veronica', dugaanku tidak lebih dari dua puluh baris. Buku inikah? Bagaimana kalau salah? Siapkah aku untuk menyesal? Atau aku tak pernah menyesal? Atau hanya karena keluaran KPG, kuharus terkesima? Ah, pasti ini buku bagus. Bagaimana bisa yakin? Apa yang kubutuhkan? Buku bagus atau sebuah jawaban?
Oh, tunggu suatu saat KPG pasti obral diskon. Bahkan, sampai 80%. Batasan minimal, tentu 30%. Biasanya berada di Palmerah. Satu lokasi dengan Bentara Budaya Jakarta, di kompleks KOMPAS.
Iya kalau benar ada diskon. Tentu, pasti ada. Memang. Tapi, kalau buku itu tak ada. Aih,.. harus bertaruh kembali.
Tanganku pun bergerak menimbang. Ternyata buku itu tidak terlalu berat. Paling sekitar 300 gram saja. Cukup ringan.
Aku pun menggelengkan kepala, pelan-pelan. Memandang ke kanan, ke atas, ke kiri, ke bawah, ke depan, lalu kembali menatap ke cover depan buku bergambar sebuah wajah dengan lembar kulit pasi yang terkelupas disertai bekas cakar.
Adakah dia ini Veronica? Apakah aku dapat mengambil kesimpulan dari warna merah pada bibir berkulit pasi itu? Kalau memang bisa, artinya tentu saja merah itu berasal dari lipstik pewarna. Dan, lisptik untuk kaum Hawa.
Memang, aku berpikiran sama seperti kau. Bukan pria bisa saja menggunakan lipstik serupa atau bahkan lebih parah. Tapi, tentu tidak ada pria yang bernama Veronica dan berlipstik merah.
Ya, Veronica itu wanita. Veronica itu perempuan. Ah, haruskah aku membeli buku ini? Mengapa harus Veronica seorang perempuan yang diceritakan? Apakah yang sebenarnya aku cari.
Veronica. Memutuskan Mati. Perempuan. Lelaki.
Aku pun memutuskan untuk kembali berputar, melihat rak buku yang tersebar rapi di toko buku Gramedia, lantai lima, Mal Ciputra, Jakarta, entah pada hari apa. ---