JUDUL KELIRU BIKIN KERUH

-Tafsir Yang Hilang Dalam Terjemahan 'Judul Buku Amartya Kumar Sen-

Terus terang, aku tak punya niat meremehkan kerja Arif Susanto. Aku pun tak tahu berapa lama waktu yang dia sisihkan dalam hidupnya untuk menerjemahkan buku karangan Amartya Kumar Sen. Barangkali, hitungan bulan sudah dia habiskan untuk menerjemahkan Identity and Violence: The Illusion of Destiny. Meski begitu, tetap ada riak-riak gerundelan kecil dalam perasaanku, yang tak bisa kubantah, kala membaca buku hasil terjemahan Arif Susanto. Penyebabnya hanya satu saja, yakni perkara judul.

Aku sadar, persoalan kritik terjemahan bisa menjadi suatu yang sia-sia. Barangkali, aku bisa dianggap tak menghargai kerja orang lain yang bersusah payah menjembatani jurang bahasa antara penulis dengan pembaca. Di sini, aku menegaskan kembali, kritik yang aku ajukan dalam artikel ini sama sekali tidak punya tendensi untuk menginjak-injak kemampuan berbahasa Arif Susanto. Bila dibaca secara keseluruhan, harus aku akui Arif Susanto sudah mengerahkan upaya optimal untuk menerjemahkan buku karangan Amartya Kumar Sen. Namun, aku melihat ada satu kelemahan proses penerjemahan, yang mungkin saja punya dimensi kesengajaan. Kalau yang terjadi begitu, maka segala apa yang aku tuliskan di sini bakal menjadi bumerang buat aku. Aku bisa saja dicap sebagai orang tolol dan idiot. Namun, bila yang terjadi adalah unsur ketidaksengajaan, maka, aku harap, pembaca tidak memberi stereotip negatif bagi Arif Susanto. Dan aku pun tak bakal memberikan label begitu kepada Arif Susanto. Kerja dia, bagi aku, sesungguhnya mampu menjembatani jurang bahasa antara aku dengan Amartya Kumar Sen. Secara personal, melalui artikel ini, saya mengucapkan salut dan terima kasih atas kerja yang sudah Anda lakukan.

Apresiasi Dan Keberanian

Menurut aku, menerjemahkan bukan persoalan gampang. Ada kode-kode kultural dan intelektual dari penulis yang harus bisa ditransformasikan ke dalam bentuk lain tanpa mengurangi esensi dari kode-kode kultural dan intelektual. Bahkan, dalam tingkatan yang ideal, kode-kode kultural dan intelektual antara tulisan asli dengan terjemahan harus identik, sama seratus persen. Di sini, kerja menerjemahkan menjadi sesuatu yang menakutkan, bahkan bisa-bisa mematikan. Maka, kadangkala diperlukan orang-orang yang berhati berani dan bebal ambil resiko mengambil tanggungjawab kekeliruan yang mungkin muncul. Bicara keberanian, bukan perkara gampang. Setidaknya, ada dua hal yang menyebabkan Aris Susanto mau menerjemahkan buku Amartya Kumar Sen. Pertama, Arif Susanto punya keyakinan bahwa buku karangan Amartya Kumar Sen yang bertajuk Identity and Violence: The Illusion of Destiny adalah sesuatu yang berharga bagi para pembaca di indonesia yang suka bergelut dengan pemikiran-pemikiran kontemporer tetapi memiliki keterbatasan akses bahasa. Kedua, keyakinan akan pentingnya buku tersebut mendorong Arif Susanto keberanian Arif Susanto untuk menerjemahkan buku Amartya Kumar Sen yang bertajuk Identity and Violence: The Illusion of Destiny. Adalah apresiasi yang tinggi terhadap Amartya Kumar Sen dan keberanian intelektual untuk menerabas jurang bahasa merupakan modal batiniah Arif Susanto untuk menerjemahkan Identity and Violence: The Illusion of Destiny yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2006 oleh W.W. Norton and Company, Inc., New York, Amerika Serikat.

Judul Yang Keruh

Arif Susanto menerjemahkan buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny karangan peraih Nobel Ekonomi 1998 Amartya Kumar Sen menjadi ‘Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas’. Aku pikir, transliterasi judul tersebut mengandung kekeliruan. Dalam konteks ini, kekeliruan hendaknya tidak dipahami sebagai kesalahan. Bagi saya, kekeliruan bukanlah kefatalan, melainkan persoalan presisi. Di sini, penerjemah ibarat atlit panahan. Sebagai atlit panahan, tentunya yang bersangkutan mengetahui target yang hendak dituju, yakni sasaran. Mata panah diarahkan ke target sasaran. Andaikan saja, target sasaran berada di utara. Maka, setiap anak panah yang melesat dari busur pasti menuju ke arah utara, lokasi target bidikan berada. Namun, kadangkala anak panah menancap bukan di titik idaman, melainkan meleset satu, dua, atau tiga sentimeter. Dan konteks penerjemahan, meleset itulah yang saya sebut kekeliruan. Dan itu berbeda dengan kefatalan. Mengacu pada ilustrasi atlit panahan, maka kefatalan terletak bila sang atlit yang menyadari bahwa target bidikan berada di utara, dia malah mengarahkan mata panah ke arah tenggara. Tentunya, kategori meleset tak layak dilekatkan pada situasional begitu. Inilah yang aku pahami sebagai kefatalan. Melalui hasil terjemahan Arif Susanto, aku menyimpulkan bahwa Arif Susanto memang menyadari bahwa lokasi bidikan panah berada di utara dan anak panah yang dia lesatkan memang menuju ke utara, ke sasaran, ke target. Maka, bila ditinjau secara keseluruhan, hasil terjemahan Arif Susanto memang mampu mentransformasikan pemikiran Amartya Kumar Sen ke dalam dunia intelektual indonesia yang memiliki keterbatasan akses bahasa.

۞۞۞

Menurut saya, penerjemahan Identity and Violence: The Illusion of Destiny menjadi ‘Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas’ menghilangkan suasana gaib tertentu yang termaktub di dalam tajuk gubahan Amartya Kumar Sen. ‘Gaib’ yang saya maksud mengacu pada hilangnya kode-kode kultural dan intelektual yang hendak disampaikan Amartya Kumar Sen.

Sesungguhnya, seturut pertimbangan saya, Identity and Violence: The Illusion of Destiny bisa saja langsung diterjemahkan menjadi ‘Identitas dan Kekerasan: Ilusi Takdir’. Melalui penerjemahan ‘verbal’ begitu, bisa dilacak lanjutan pemikiran yang luar biasa berkelindan di dalam buku karangan Amartya Kumar Sen. Bagi saya, tentunya setelah membaca buku karangan Amartya Kumar Sen, pemaknaan Identity and Violence: The Illusion of Destiny memang ditujukan untuk mengupas sebab-musabab Identitas dan Kekerasan dalam dunia kontemporer. Hasil akhir kajian Amartya Kumar Sen mengerucut di dalam judul bukunya itu, yang kemudian bisa dianggap sebagai tesis Amartya Kumar Sen sendiri, yakni ‘Ilusi Takdirlah yang menyebabkan timbulnya Identitas dan Kekerasan’.

Judul yang diberikan Amartya Kumar Sen, terutama pada kata ‘Destiny’ mengandung kode kultural dan intelektual tertentu. Kode kultural dari ‘Destiny’ tidak lepas dari konteks sosial-politik kontemporer yang berpijak pada kekeliruan Samuel Huntington ketika mendefenisikan bineka peradaban yang menggunakan indikator agama. Adanya agama dengan sendirinya mengandaikan keberadaan Tuhan, dan keberadaan Tuhan dalam tingkat yang paling pragmatis dikenali Takdir. Di dalam bukunya, Amartya Kumar Sen habis-habisan mengkritik teori benturan antarperadaban yang digagas Samuel Huntington dengan mengedepankan agama sebagai garda utama peradaban di Planet Bumi. Berhadapan dengan pemikiran Samuel Huntington, intelektualitas Amartya Kumar Sen gerah. Lantas, dia pun melekatkan gagasan ‘Illusion’ pada kata ‘Destiny’ untuk membantah tesis Samuel Huntington tentang benturan antarperadaban.

Kode intelektualitas Amartya Kumar Sen muncul dari perkawinan antara ‘Illusion’ dan ‘Destiny’. Agama atau Tuhan, yang didalam tesis Samuel Huntington, menurut Amartya Kumar Sen, tak lain tak bukan adalah ilusi, kepalsuan, tak asli. Meski begitu, secara spekulatif saya menilik ada suatu hal yang istimewa dari Amartya Kumar Sen ketika dia memilih ‘Illusion’ sebagai pendamping ‘Destiny’. Bila mengacu pada bahasa Inggris, ada beberapa padanan yang sesuai dengan ‘Illusion’, yakni delusion, impression, dan fantasy. Keistimewaan ‘Illusion’ dibandingkan tiga kata padanan tadi, menurut saya, adalah kemampuan kata ‘Illusion’ menampung konsep kekeliruan yang bersumber pada manusia untuk mengetahui makna dari ‘Destiny’. Barangkali, latar belakang Amartya Kumar Sen menggunakan kata ‘Illusion’ berangkat dari pemahaman dia sendiri yang ‘mengakui’ bahwa Takdir itu ada, namun manusia kerapkali manusia menjerumuskan diri dalam sisi ilusi Takdir daripada bergulat untuk menyelidiki dan memahami sisi asli Takdir. Dan seturut dengan pandangan Amartya Kumar Sen, penyebab hinggapnya ilusi di benak manusia dikarenakan kebebalan rasionalitas manusia itu sendiri.

Kompleksitas ‘Illusion’ dan ‘Destiny’ menempatkan posisi Amartya Kumar Sen sebagai sosok yang cukup terbuka sekaligus kaku. Di satu sisi, Amartya Kumar Sen bisa saja menyebar benih bahwa Takdir yang dipercaya manusia adalah ilusi, atau dengan kata lain Tuhan yang diyakini manusia ada sebenarnya tak ada. Setidaknya, argumentasi yang begini cocok dengan pengakuan Amartya Kumar Sen yang mengidentikkan diri sebagai orang yang ateis. Namun, di sisi lain, judul yang dibuat Amartya Kumar Sen punya potensi mengakui keberadaan Tuhan—entah itu sebagai afirmasi personal, atau sebentuk penghargaan kepada keyakinan Teistik orang lain yang benar-benar memahami keyakinan tersebut dalam pandangan yang lebih mengedepankan cita rasa perdamaian—, tapi yang menjadi permasalahan adalah pemahaman manusia atas Tuhan yang ilutif. Di sini, Tuhan bukannya tak ada, melainkan daya nalar manusia yang bebal, yang cukup puas dengan pandangan ilutif yang diperoleh tentang Tuhan; dan tak mau beranjak untuk mencoba memahami Tuhan yang hakiki, yang tak ilutif, yang asasi, yang asli. Paparan ini setidaknya cukup mumpuni pula ketika disandingkan dengan pernyataan Amartya Kumar Sen yang mengidentikkan dirinya dengan Hinduisme.

Kembali mengacu pada judul yang utuh Identity and Violence: The Illusion of Destiny, tampaklah bahwasanya apa yang hendak dibahas Amartya Kumar Sen dalam bukunya adalah Ilusi Takdir yang menghasilkan Identitas dan Kekerasan. Ilusi melekat pada manusia, begitu pula dengan Takdir; dan ketika dua entitas tersebut, muncullah Identitas dan Kekerasan.

Terkait dengan penggunaan frase Identity and Violence, lagi-lagi saya takjub dengan kelihaian Amartya Kumar Sen. Variabel ‘dan’ yang berangkat dari horison ilmu logika formal atau logika simbolik. Dalam logika simbolik, dua proposisi hanya bisa bernilai benar jika proposisi pertama dan proposisi kedua sama-sama bernilai benar. Bila Identity proposisi pertama bernilai benar dan Violence proposisi kedua bernilai benar, maka [The] Illusion of Destiny pun bernilai benar. Lewat penyelidikan demikian, bisa dilakukan penalaran bahwasanya [The] Illusion of Destiny cuma benar (baca: terjadi) ketika Identity dan Violence menyatu. ‘Menyatu’-nya Identity dengan Violence sebaiknya dipahami dalam konteks ‘afirmasi Identitas menyebabkan munculnya Kekerasan, dan bukan sebaliknya’. Namun, [The] Illusion of Destiny bisa bernilai salah (baca: tidak terjadi), ketika Identity bernilai benar dan Violence bernilai salah. Bila dilanjutkan, tentu saja bisa dinalar bahwa ada kemungkinan Identity bernilai salah. Namun, penalaran yang demikian sebenarnya tidak sesuai dengan pemikiran Amartya Kumar Sen yang ada di dalam buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny. Dalam bukunya, Amartya Kumar Sen menegaskan bahwa Identitas itu ada (baca: status nilai Identitas selalu benar), dan adanya Identitas itu bersifat majemuk, bukan tunggal. Dari proses pemilihan judul yang begitu, nyatalah bahwa Amartya Kumar Sen memang piawai memadukan kecerdasan logika simbolik dengan kecermatan memilih diksi yang presisi untuk menggambarkan likaliku kompleksitas pemikirannya sebagai seorang ekonom sekaligus filosof, dan barangkali pula dibumbui dengan sentuhan cita rasa sastrawi yang mengandung unsur sinisme, satir, serta jenaka.

۞۞۞

Pemahaman yang demikian mengantarkan aku, tentunya setelah terlebih dahulu melakukan pembacaan atas buku karangan Amartya Kumar Sen, untuk sedikit saja mengomentari transliterasi Identity and Violence: The Illusion of Destiny menjadi ‘Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas’.

Terjemahan yang dilakukan Arif Susanto terhadap judul buku Amartya Kumar Sen tampaknya berpotensi mengaburkan kompleksitas kode kultural dan kode intelektual Amartya Kumar Sen. Lema ‘Destiny’ yang ada di dalam judul asli buku karangan Amartya Kumar Sen hilang di dalam hasil terjemahan Arif Susanto. Hal ini, sangat saya sayangkan karena ‘Destiny’ sesungguhnya punya peranan yang tak bisa diabaikan dalam pemikiran Amartya Kumar Sen yang dituangkan dalam buku tersebut. Selain itu, hadirnya frase ‘Ilusi tentang Identitas’ bisa-bisa malah membawa benak para pembaca judul buku pada pemahaman bahwasanya Identitas punya aspek ilutif. Padahal, bila mengacu pada gagasan Amartya Kumar Sen, Takdir-lah yang punya aspek ilutif di mata para penganut buta dari Takdir; dan seringkali para penganut Takdir terjerembab dalam pemahamannya yang ilutif atas Takdir tanpa berusaha menyibak dimensi ilutif Takdir untuk masuk dan menjelajahi dunia aseli, dunia hakiki dari Takdir, yang menurut aku berada di luar batas-batas rasio, nalar, kesadaran manusia.

Terakhir, aku mau menegaskan lagi, karena aku pikir tanggapan atau komentar aku dalam artikel ini bisa-bisa dinilai orang lain dalam perspektif yang negatif, meremehkan kerja penerjemahan teks yang sudah dilakukan Arif Susanto. Hendaknya, meski aku hanya bisa sampai pada tataran Berharap, pembaca yang membaca artikel ini menempatkannya dalam konteks ‘upaya aku untuk menyelesaikan gerundelan pribadi yang, barangkali saja, bermanfaat untuk stabilitas psikologis aku’. Aku sadar, menerjemahkan buku bukan perkara gampang, dan sesungguhnya Arif Susanto sudah melakukan kerja yang tak gampang dengan menerjemahkan buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny karangan Amartya Kumar Sen. Dan ketika Arif Susanto menyelesaikan terjemahan buku tersebut, berarti Arif Susanto sudah mengetahui apa isi buku tersebut; dan karena itu artikel yang saya tulis tidak boleh dinilai sebagai koreksi aku terhadap pemahaman Arif Susanto atas gagasan Amartya Kumar Sen yang tertuang dalam buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny.

۞۞۞

Saya hendak menambahkan satu hal yang cukup penting, yang tak kalah pentingnya dengan segala celotehan yang sudah saya ungkapkan di atas. Saya mengucapkan terimakasih kepada penerbit Marjin Kiri yang telah berani membeli hak cipta penerjemahan, penerbitan, dan penjualan buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny edisi indonesia dari W.W. Norton and Company, Inc. Saya pikir, adalah sesuatu yang sangat luar biasa ketika hanya dalam tempo satu tahun saja—buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny terbit pertamakali tahun 2006—buku berkualitas yang ditulis ekonom sekaligus filosof kaliber dunia muncul dalam edisi bahasa indonesia. Barangkali pengalaman saya tidak tahu banyak tentang buku-buku terjemahan, tapi seturut pengalaman saya, ‘Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas’ merupakan buku asing yang sangat cepat hadir dalam khasanah kepustakaan domestik, hanya berselang satu tahun saja sejak penerbitan perdana di dunia ‘luar’ sana. Salute pada Arif Susanto! Salute pada Marjin Kiri!

Agustus 2008

METAMATEMATIKA

(ANIMASI --> (ilusi --> ilusi) <-- IMAJINASI)

ALBERT



Albert Einstein. Gua mau sebut dia, Albert. Bosan dengan sebutan Einstein. Inspirasinya dari Rizal, afRizal. afRizal sebut Chairil Anwar pakai Anwar. Bukan Chairil. “Anwar, Anwar...,” katanya. Gua bayangkan diucapkan sambil geleng-geleng kepala. Bisa sinis, bisa takjub. Aku pilih takjub. Albert. Albert.

Albert pernah ngomong: As far as the laws of mathematics refer to reality, they are not certain, and as far as they are certain, they do not refer to reality. Omongan yang nyaris ngaco. Maksudnya, sulit buat gua pahami. Apalagi gua tak ngerti matematika. As far as the laws of mathematics refer to reality, they are not certain. Bila hukum matematika merujuk pada realitas, hukum matematika tak pasti. As far as they are certain, they do not refer to reality. Kalau hukum matematika pasti, maka hukum matematika tentunya tak mengacu pada realitas. Maksud loe sebenarnya apa Bert?

Matematika. Gua pikir ada hubungannya dengan Inggris. Mathematic. Tambahan referensial, Latin: mathematica. Dari Yunani mathēmatikos. Sesuatu yang dipelajari. Mathanein. Belajar.

Reality. Realitas. Latin: Realitas, kata bentukan baru dari ‘res’, benda. Dari “Matematika,” dan “Realitas,” “menarik!” Ada matematika, tidak ada realitas. Ada realitas, tidak ada matematika. Matematika dengan realitas. Realitas dengan matematika. Sepertinya baku tinju. Tapi, aku pikir tak begitu.


* * *


Angka. Matematika, butuh angka. Angka adalah simbol. Matematika butuh simbol. Angka tidak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dari mana manusia mengenal angka? Ada banyak peradaban penemu simbol untuk angka. Ada Babylonia, Romawi, India, dan yang paling populer adalah Arab. Angka: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dari Arab. Angka: 0, dari India. Romawi pakai I, V, X, M, L, C. Angka. Simbol. Simbol adalah animasi. Anima.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga tak mengenal ‘anima’. Hanya ada aninisme dan aninis dan animasi. Ketiganya, kata benda. Bukan kata kerja. Di Tesaurus Bahasa Indonesia (TBI) juga hampir sama. Tidak ada ‘anima’. Hanya animasi. Kata benda. Tak perlu gusar. Sebab, bukan masalah besar. KBBI dan TBI masih kenal ‘animo’. Kata benda. Antara ‘anima’ dan ‘animo’, bedanya pada vokal akhir. Barangkali, ada Jawa yang bermain. A menjelma O. Mengacu alfabet Yunani, memang luar biasa. Alpha. Omega. Alif. Ya.

Bahasa memang bisa buat cemas. Dagdigdug. Gagap. Bahkan, kadang kala menyesatkan. Kalau tidak, menakutkan. Begitu barangkali setiap ambisi terjadi. Antara menawarkan kesesatan atau ketakutan. Agus Sardjono berkata: Jangan main-main dengan kata. Sekali berkata ‘Teror’, bom meledak dimana-mana. Ada kata, ada bencana. Gerak. Bunyi. Pertemuan antara badan dengan sukma. Aneh. Unik.

KBBI mengenal animo sebagai hasrat dan keinginan yang kuat untuk berbuat, atau semangat. TBI mengenalkan padanan animo. Ada hasrat, interes, kehendak, keinginan, ketertarikan, minat, perhatian, selera. Tinggal pilih, kata TBI. Anima barangkali punya animo untuk memilih. Anima bebas. Benarkah?

Cassel Dictionary of wordhistories karangan Adrian Room bicara. Anima, kata benda. Asli Latin. Kira-kira eksis di awal abad 20 Masehi. Atau abad awal 13 Hijriah. Artinya: a person’s true inner self, as opposed to the persona. Sebagai tambahan, persona: a person’s social façade, as distinct from anima. Dilacak lagi, makna asli ‘anima’ dalam bahasa Latin adalah Air, Breath, Mind. Udara, Nafas, Nalar. Yunani mengenal ‘anemos’ sebagai ‘anima’. Yang meniup, Yang menghembus, Angin. Sedikit tambah dari Jung. Carl Gustav Jung. Anima: aspek feminim dari personalitas manusia.

Kembali ke angka. Angka berakar pada animasi. Peralihan materi menjadi abstraksi. Peralihan materi menjadi animasi. Animasi karena Anima. Mind. Air. Breath. Materi jadi animasi, gara-garanya: panca indera. Anima butuh mata, panca indera. Mirip filsafat tubuh Maurice, Maurice Merleau-Ponty. Mata menangkap objek, anima buat animasi dari objek di dalam anima. Animasi tambah imajinasi. Anima kadang tak perlu lagi bertatapan dengan objek. Sekali anima bisa animasi, objek materi jadi simbol. Tanda. Sign. Signature. Barangkali paduan sign + nature. Agak rumit. Mata mengindra objek. Objek ada di dunia, spesifiknya di luar manusia. Saat anima buat animasi, tanpa sadar ada kerja dunia menerakan signature di dalam anima. Imajinasi tak pernah bersih. Selalu ada ada campur tangan Dunia. Imajinasi: Dunia dan Anima, Anima dan Dunia. Anima dan Dunia, Simbol.

Animasi. Imajinasi. Ilusi. Illusion. David Copperfield. Mata yang melihat bisa keliru. Mirip Ames Room, ruangan yang dirancang Adelbert Ames. Ada lagi. Ilusi Müller-Lyer dan Ponzo Illusion. Anima yang mencetak mentah-mentah dunia, menjelma ilusi di dalam animasi. Fransisco Budi Hardiman pernah bilang, “Panca indera bisa menipu.” ilusi: menipu, sekaligus meyakinkan. Kadangkala malah menakjubkan. Penipuan yang antik dan mahal. Tanpa pidana hukum positif.


* * *


Realitas, dunia. Ada ilusi. Ilusi bisa berubah. Ibarat sendok dalam gelas. Kelihatan bengkok. Filsafat cerita soal Being. Ada. Yang sungguh-sungguh ada dan yang mungkin ada. Antara yang aktual dan yang potensial. Yang aktual adalah nyata. Yang potensial, di sinilah ilusi menjadi nyata. Yang aktul menghapus ilusi. Mungkin kedengarannya aneh. Mana yang lebih nyata? Punya ‘3’ atau punya ‘tiga apel’? Gua tidak tahu mau diapain ‘3’. Kalau ‘tiga apel’, gua tahu gunanya. Dari ‘tiga apel’, yang penting bukan ‘tiga’, melainkan ‘apel’. Di sini, apel bisa menipu. Sebabnya, apel bisa habis dimakan atau membusuk. ‘3’ tidak bisa habis dimakan, tidak bisa membusuk. Bagaimana cara membusukkan angka? ‘3’ animasi, bukan lagi apel. Bukan lagi materi yang mengandung potensi aktualitas. 3 lebih kuat dari apel. 3 menjadi semacam payung bagi apel. 3 bisa menaungi apa saja. Entah apel, durian, mangga, sepeda motor, kumis macan, ekor kudanil. 3 tidak hanya hadir dari apel + apel + apel. 3 bisa hadir dari apel + sepeda motor + ekor kudanil. Angka lebih kuat dari materi. Simbol melampaui materi. Hasilnya: Angka adalah aksioma. Angka adalah aksioma. Simbol: aksioma awal bagi peradaban manusia.

Simbol sebagai aksioma luar biasa. Di sini matematikawan bicara tentang indah, keindahan, estetika. Aksioma melahirkan teorema. Matematika murni. Bukan apel yang praktis. Apel terapan. Apel makanan. Misal teorema kacangan seperti ini: bilangan ganjil + 3 = bilangan genap. Bilangan ganjil + Bilangan ganjil = Bilangan genap. X + X = Y; X=bilangan ganjil; Y=bilangan genap. Angka dan simbol menyatu. Makin ruwet. Anima dan Animasi dan Imajinasi. Di sini, muncul ilusi. Alias, Sejati. Pencapaian Jejak. Arkhe.


* * *


As far as the laws of mathematics refer to reality, they are not certain, and as far as they are certain, they do not refer to reality. Lantas, bagaimana dengan politik? Albert omong lagi: Equations are more important to me, because politics is for present, but equation is something for eternity. Itu kata Albert saat dirinya ditawari menjadi Presiden Israel di tahun 1952. Kunci: reality=politic! Kalau begitu, adakah yang eternity? “Absolutely, yes! And it’s not politic!”


2008

MANUSIA:

OLIMPIADE, TUBUH, FISIKA, DAN METAFISIKA

Olimpiade sudah dimulai. 08-08-08. Pesta olahraga skala universal dan mundial. Olah raga. Raga sama dengan tubuh. Bisa pula, badan. F. Budi Hardiman punya distingsi unik untuk menjelaskan beda antara tubuh dengan badan. Bekalnya, sistem filsafat eksistensialisme yang digagas filsuf Perancis Maurice Merleau-Ponty. Tubuh adalah kepaduan antara aku dengan badan. Biasanya dikenal dengan istilah tubuh-subjek yang berdampak pada pola mengada manusia, yakni berada-di-dunia (être-au-monde). Kembali ke China. Di sana berlangsung Olimpiade. Dancing Beijing dan fisika.

Citius, Altius, Fortius. Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Tangguh. Tubuh. Eksplorasi tubuh mencapai taraf yang belum pernah terjadi dalam sejarah dunia. 14 September 2002. Olimpiade Atalanta, Amerika Serikat. Tim Montgomery, sprinter 100 meter pecahkan rekor dunia. 9,78 detik. ‘Manusia paling cepat di dunia’. Lari dan materi. Kecepatan dan prinsip mekanika klasik Newtonian. Prinsip yang menaungi segala perilaku semesta materi.

Percepatan menurunkan formulasi kecepatan sebagai perbandingan terbalik dengan variabel waktu. Kecepatan, hasil pembagian antara jarak dengan waktu. Besaran pokok: Massa (M), Panjang (L), dan Waktu (T). Sebagai materi, dunia tubuh hidup dalam tatanan semesta prinsip mekanika. Olimpiade, pesta olah tubuh. Melampaui rekor yang pernah ada. Membukukan waktu yang Lebih Cepat. Kalau bisa, jarak 100 meter ditempuh dalam tempo 7 detik. Mungkinkah? Bagaimana kalau waktu tempuh menjadi 0,5 detik? Perhitungan teoritis atas formulasi kecepatan Newtonian memungkinkan kecepatan ∞ meter per-detik bisa dicapai, apabila waktu adalah 0 sekon. Tubuh menihilkan waktu. Olahan tubuh dilakukan untuk menihilkan waktu.

Sejak Einstein, waktu bukan lagi besaran pokok. Waktu, relatif. Apakah 0 sekon adalah waktu yang relatif? Magnum-opus Einstein menjelaskan batasan materi, massa. E = mc2. Pertama, antara energi dan massa ada reaksi yang dapat balik. Energi bisa menjadi massa, massa bisa menjadi energi. Hukum komutatif, perpindahan. Kedua, kecepatan cahaya. 3 x 108 meter per-sekon di ruang vakum. Artinya, secanggih apa pun olah tubuh, kecepatan materi mustahil mencapai ∞ meter per-detik. Olimpiade tak mungkin mengalahkan kecepatan cahaya. Cahaya adalah materi, dan juga gelombang! Optik. Barangkali, kelihaian menyiasati optik memampukan para ahli ilusi menghilang, lalu muncul tiba-tiba. Mata dan cahaya.

Tapi, ada satu kemungkinan lain. Transformasi. Energi menjadi materi atau materi menjadi energi. Tubuh menjelma jadi daya pukau. Seni tari. Yoga. Bisa pula, Moksa. Big Bang! Citius, Altius, Fortius. Semesta yang mengembang, ibarat balon. Kosmos. Makrokosmos, mikrokosmos. Manusia yang berkembang, ibarat balon. Zygot, janin, bayi, bocah, remaja, dewasa, tua. Paling puncak: Jejak! Yang tak-berhingga menjelma sebagai jejak. Kebudayaan Hellenisme mengenalnya sebagai Logos. Metafisika semesta. Antara abadi dengan di-sini. Plato bilang, Logos paduan antara onoma dengan rhema. Onoma, yang-tak-berwaktu. Rhema, yang-mewaktu. Niskala dan Kala. Niscaya dan Caya. Pasti dan Tak-Pasti. Paradoks!

* * *

Tahun 776 Sebelum Al-Masih, di bukit Olimpia, Yunani, diselenggarakan ajang lomba lari di lintasan sepanjang 192 meter. Zeus. Entah siapa yang menang ketika itu, saya tidak tahu pasti; sebab saya belum lahir dan belum banyak mengetahui informasi seputar peristiwa itu. Saya hanya mengetahui pada tahun 776 Sebelum Al-Masih, di Olimpia, Yunani, diselenggarakan ajang lomba lari.

* * *

Barangkali, Plato ada benarnya saat bilang badan (sema) adalah kuburan (soma) bagi jiwa. Tapi, bisa jadi Plato keliru. Sebab badan belum tentu sama dengan tubuh. Merleau-Ponty mengingatkan sejarah kekeliruan panjang di dalam dunia filsafat yang mengabaikan relasi ontologis antara jiwa dengan pengalaman. Antara Rasionalisme dengan Empirisme. Antara Idealisme dengan Materialisme. Antara Lebenswelt, dunia pra-ilmiah, dunia pra-reflektif, dunia pra-filosofis, dengan dunia-objektif, dunia ilmiah, dunia reflektif, dunia filosofis. Ada intuisi, ada diskusi. Kemanunggalan jiwa dengan pengalaman mengucap intuisi, keretakan jiwa dengan pengalaman meneriakkan diskusi. Dalam diskusi, kadang bermain ambisi, hasrat badaniah, kekuasaan, plus tipu-daya. Olimpiade butuh juri, wasit. Suara mereka mengandung otoritas mutlak tentang siapa yang bertanding dengan betul tanpa mempergunakan obat perangsang, doping, atau siapa yang berlaku kurang ajar. Medali menjadi mimpi, sama seperti kursi. Di sini, Olimpiade bicara tentang harga diri dalam diskusi. 24 Juli 1908. Pierre de Coubertin (1863-1937), pendiri Komite Olimpiade Internasional, ngomong: The most important thing in the Olympic Games is not winning but taking part … The essential thing in life is not conquering but fighting well. Human-nature, not an animal-life.

Human dan Nature. Antara manusia dengan alam, ada satu jembatan: human-nature. Budaya. Mungkin, Merleau-Ponty ingin memaknai berada-di-dunia (être-au-monde) sebagai human-nature. Humaniora. Metafisika manusia. Yang-Personal dan Yang-Massal. Habermas bicara tentang Lebenswelt dan System. Diskursus. Habitus politik yang baru. Habitus politik yang tak mengenal lupa. Habitus politik yang senantiasa menjejak. Arke. Arkeologi politik. Artefak bagi masa depan. Logos yang mendaging di antara Niskala dan Kala.

* * *

Api dari bukit Olimpus, Yunani, sudah menyala di Beijing, China. Stadion Nasional Sarang Burung. 08-08-08.

* * *

Tentang angka. Manusia tak pernah berjumpa ‘8’. Manusia berjumpa batu, singa, air, awan, kayu, tanaman, kursi, telinga, burung, kelapa, singkong. Tidak ada angka. Angka ada dalam ketiadaan dunia manusia. ‘8’ dan ‘0’, serta para kerabatnya hidup di dalam kertas. Angka, bukan materi. Angka, abstraksi. Angka, tak-eksis

Ketika tubuh bergerak, akal membaca gerakannya sebagai simbol. Gerak, kecepatan, perubahan. Simbolisasi. Makna yang tak baku, tak beku, dan tak kaku; seperti balon. Tubuh, melalui indra, mengampu akal tentang gerakan. Tentang simbolisasi. Akal, melalui abstrasi, mengajarkan tubuh tentang prestasi, probabilitas, kemungkinan yang tak-terbatas. Finite dan Infinite. Terbatas, dan Yang Tak-Terbatas. ‘8’ dan ‘0’ adalah abstraksi. Sebentuk tatanan dalam semesta Yang Tak-Terbatas. Dunia chaos. Dunia kosmos. Ada struktur, ada tak-berstruktur. Yang chaos, tak terduga. Tidak pasti. Postulasi Heisenberg tentang prinsip ketidakpastian (uncertainty principle). Kemustahilan selalu melekat pada segala upaya ‘ilmuwan’ untuk menentukan posisi dari materi. Sebab dunia kuantum mengenal materi sebagai partikel sekaligus gelombang. Barangkali dalam bahasa Husserl, Lebenswelt-materi. Misteri. Dan, harapan sembunyi di bilik misteri. Di Olimpiade, ada misteri. Ada juga harapan. Demikianlah Pierre de Coubertin memimpikan Olimpiade sebagai ajang pertarungan sekaligus perdamaian. Menghadirkan perang, bukan Perang. Yang-Perang, penaklukan. Kolonialisme. Dominasi. Yang-perang, wisest! Di indonesia, 1992, Universitas Nasional dalam suatu simposium menaburkan benih gagasan brilian: Survival of the Wisest! Gagasan penanding tesis Charles Darwin, survival of the fittest. Olimpiade bicara perang, bukan Perang. Dan Politik harus tahu diri untuk mengambil sejenak waktu beraskese. Menyendiri, atau mengikhlaskan arena menghasilkan System-nya sendiri. Manusia, kadangkala tak butuh Politik. Di dalam kosmos, Presiden harus dikembalikan pada simbolisasi. Presiden bisa bermakna, bisa pula tak bermakna. Dunia kosmos, dunia kronos sekaligus dunia ainos, kebetulan. Ada kemenangan yang kebetulan. Bunda Fortuna. Bukan hanya Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Tangguh. Tapi, ada Lebih Beruntung. Di dalam kronos, momen ainos hadir secara tak terduga. Misteri. Unexplained. Di sini, Santo Thomas Aquinas menemukan Prima-Causa.

* * *

Kemenangan adalah dambaan. Sebab, kemenangan memberikan nafas yang lebih panjang kepada jejak. Daya tahan artefak. Tahun 776 Sebelum Al-Masih, di bukit Olimpia, Yunani.

* * *

Tak ada jejak tanpa materi. Tak ada arketip tanpa kesadaran. Tak ada monarki tanpa manusia. Yang menakutkan adalah ketika human berhadapan dengan ketidakpastian. Heidegger menyebutnya dengan kata ‘cemas’. Waktu yang relatif menjelma jadi waktu otentik dan waktu inotentik. Dilema antara menetapkan cita-cita atau sekadar bicara. Hanya keyakinan yang bisa melampaui misteri. Sebab, hanya Rahim yang tahu bagaimana sejarah, mulai pertemuan sperma dan sel telur hingga menjadi janin. Ada kehidupan, dan kemungkinan mati. Sein-zum-Tode, sabda Heidegger. Ada-menuju-kematian. Mungkin, komposisi Ladagio Sostenuto dari Moonlight Opera gubahan Ludwig van Beethoven sedikit banyak bernyanyi tentang kecemasan. “Only art and science can raise man to the level of God.” Firman yang terucap dari raga Beethoven. Yang Indah, Yang Benar, dan Yang Baik. Ritual Olimpiade. Citius, Altius, Fortius. Yang Lebih Cepat, Yang Lebih Tinggi, Yang Lebih Tangguh. Yang Lebih Beruntung. Dancing Beijing. Beijing menari. Elly Lutan sempat ngomong: Tarian adalah Tubuh yang Berpikir. Human-Nature. Être-au-monde. In-der-Welt-Sein. Lebenswelt dan System. Eros dan Thanos. Wassalam. Shalom Aleichem. Peace be With You. Damai menyertai Engkau.

Agustus 2008