DEDY MIZWAR, NAGABONAR, MELONCAT DARI LAYAR LALU MASUK KE DALAM NALAR, BERDIAM SEJENAK SAMBIL MENGINGAT SUDAH BERAPA LAMA PENJAJAHAN BERKELANA DI DUA

DEDY MIZWAR, NAGABONAR, MELONCAT DARI LAYAR LALU MASUK KE DALAM NALAR, BERDIAM SEJENAK SAMBIL MENGINGAT SUDAH BERAPA LAMA PENJAJAHAN BERKELANA DI DUA WARNA dalam darah yang tak lagi MERAH


Siapakah Nagabonar? Dialah tokoh rekaan almarhum Asrul Sani, pencopet yang dikarenakan sejarah terpaksa menjadi Jenderal Medan-Lubuk Pakam! Sedang Deddy Mizwar, manusia utuh yang bekerja sebagai aktor, dan kini menjadi sutradara film Nagabonar (Jadi) 2! Dulu, bersama Nurul Arifin yang berperan sebagai Kirana, dia tampil dalam film Nagabonar garapan almarhum Asrul Sani, memerankan tokoh Nagabonar. Sekarang, cerita baru bermulai ditandai dengan kepulangan Bonaga ke kampung halaman untuk membawa ayahnya, Nagabonar, ke kota Jakarta!

Film yang baik, menurut saya, adalah film yang tak hanya berdiam dalam layar melainkan mampu meloncat ke luar lalu menari-nari di alam nyata, alam keseharian, alam para manusia yang hadir di Bumi dengan suratan tangan yang sudah ditetapkan pula oleh Yang Maha Kuasa. Nagabonar (Jadi) 2 pun demikian. Ia lahir dan sekarang menari-nari di alam nyata bersama jaringan bioskop 21, membawa ketetapan takdir dari penciptanya, almarhum Asrul Sani! Lalu, dimanakah Deddy? Dia ada di depan saya ketika Rendra menerima anugerah Federasi Teater Indonesia pada Januari lalu di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan.

Di Indonesia, rasanya tiada seorang pun yang tak pernah kupingnya mendengar kata ‘Nagabonar.’ Mulai dari Susilo hingga Bambang yang menarik becak di pinggiran Jakarta, juga Rara, jablay yang sering mangkal di dekat pusat belanja metropolitan. Apalagi Dennis, yang kini berhenti sekolah karena kekerasan yang kerap dia terima dari para jawara di kampusnya yang panas tiada terkira. Tohar, lelaki yang pernah berprofesi menjadi supir perusahaan kelontong berkaliber internasional, dapat dipastikan pernah mendengar kata itu, bahkan bukan tak mungkin pula dia pun pernah berjabat tangan dengan Asrul Sani, dengan cara yang sungguh luar biasa: disengaja!

Kini, Nagabonar sudah tua. Deddy Mizwar, apalagi. Beruntung masih ada Tora Sudiro yang sedia menjadi Bonaga, satu-satunya anak Nagabonar yang hidup (empat kakak Bonaga mati setelah lahir!); meski itu harus dibayar dengan kenangan pada Nurul Arifin disebabkan Kirana meninggal dunia usai melahirkan Bonaga. Sedang Belanda, sejak era 40-an sudah sayonara dari khatulistiwa. Selain pangkat Jenderal yang tidak penting, Nagabonar masih punya kebanggaan yang lain, yakni anaknya: Bonaga! Sesungguhnya pula harus diketahui, Bonaga adalah hasil evolusi diftong au. Sebagaimana harimau bisa dibaca jadi harimo, atau pantai dapat dibaca jadi pante, maka Bonaga pun berawal dari Baunaga, lalu lewat teori evolusi ‘yang kuat yang hidup,’ Baunaga pun jadi Bonaga.

Dalam kultur Tapanuli, Bonaga adalah Bo-naga, adalah Bau-naga. Bau-Naga adalah satu-satunya bau yang mampu memualkan lambung hanya dalam hitungan sekedipan mata, dan memiliki radius yang sangat sangat sangat jauh melebihi kemampuan alat pendeteksi reaktor nuklir milik Pentagon yang berada di atas langit kebiruan menemani satelit Bumi yang cuma satu-satunya itu: Bulan, yang bagi Nagabonar adalah Karina, istrinya yang punya cinta melimpah sampai-sampai dia tak sanggup menampungnya. Dan pasti tak ada seorang pun di Bumi ini yang tak tahu dimana bulan berada. Demikianlah Nagabonar dan Bonaga pun semakin mudah berbicara: “Apa kata dunia,” dengan logat khas Deli Serdang; meski Nagabonar hingga tahun 2007 tetap saja buta aksara dan masih tak bisa membaca peta (apalagi peta dunia), sama dengan kemampuan mencopetnya yang tak pernah tumpul dimakan zaman.

Kepada Wulan Guritno, terima kasih karena sudah memerankan Monita. Sama dengan Bonaga, Monita juga hasil evolusi, globalisasinya Thomas L. Friedman. Mau-Nita! Metropolis(!), yang tak lagi membuat para pria susah-susah belajar memainkan gitar dan menantikan malam, lalu duduk sambil bernyanyi di bawah pohon tak jauh dari jendela kamar sang pujaan hati tanda proposal rayuan sudah diajukan tinggal menanti jawaban. Memang, cara itu sudah tak laku lagi disebabkan jendela kamar Bonita saja sudah semakin dekat dengan bulan. Tentu diperlukan JAVA PRODUCTION pimpinan Adri Subono untuk meminjamkan seluruh perangkat konser Madonna yang rencananya, kalau tak ada halangan, bakal digelar tahun ini. Bagi Bonaga sesungguhnya itu tak masalah, apalagi Tora yang sudah pernah meraih Piala Citra lewat Arisan! Tapi, bagi Nagabonar itu tak perlu. Sebagai turunan raja, ia teguh berpegang pada petuah lama: Perempuan adalah Perempuan, ingin sebenang lebih dari lelaki! Monita dan Bonaga dengan benang diantaranya. Demikianlah percintaan di era globalisasi yang biasa berakhir di atas keranjang tidur tidak berlaku bagi duet Bo-Mo, yang sudah serupa dengan duet Romario-Bebeto pada Piala Dunia 1994 di negerinya George Washington. Kisah romantis Monita dan Bonaga hanya berhenti pada shiuman di pipi, kanan dan kiri, bersamaan dengan ditemukannya ketiak ular, suatu hal yang bisa memusingkan Nagabonar. Kitik nipe, demikianlah bahasa Batak Karo menyebut ketiak ular. Tak seorang pun mengetahui dimana ketiak ular berada. Namun apabila ketiak itu ditemukan, maka hewan reptil yang semematikan apa pun pasti takluk di tangan seorang awam. Karena itu, perempuan adalah ular dan lelaki adalah pawang. Bila tak berhati-hati, bisa di ludah dapat berpindah ke dalam darah. Dan darah siapapun juga, entah yang hidup dan yang mati, pasti berwarna merah! Apakah ini yang membuat Nagabonar mencari makam Jenderal Soedirman? Sepertinya: Tolol! Tapi,

apa boleh buat tai kambing bulat-bulat: anak Siti Maemunah dengan begitu bodohnya berteriak agar patung Jenderal Sudirman berhenti menghormat (ke utara), sampai-sampai Nagabonar rela memanjat patung tersebut sambil berharap Sang Jenderal menuruti keinginannya. Sebagaimana patung di mana pun di kolong jagat, Jenderal Soedirman pun takluk pada takdirnya yang ditetapkan hanya untuk menuruti rencana penciptanya. Dan Nagabonar yang tampak tolol tapi bukan bodoh yakin bahwasanya Jenderal Soedirman tidak akan sembarang menghormat! Apalagi bila diingat bahwa Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata adanya di selatan Jakarta! Sedang patung dua Proklamator tak jelas menghadap kemana. Padahal, seturut kesaksian Nagabonar, setiap hati (entah pembunuh, pencuri, pencopet, petani, pedagang, menteri, tukang becak, penipu, pegawai negeri, hakim, mulai dari yang paling sajadah hingga yang paling haram jadah) yang mendengar suara Bung Karno ketika bepidato pasti bergetar! Siang itu, di Tugu Proklamasi, ada empat anak lusuh; seorang diantaranya memandang Nagabonar yang menghormat ditemani Umar dengan tatapan yang penuh keheranan. Begitu juga Umar, supir bajaj yang santun dan selalu memakai handuk biru yang disampirkan di tengkuk, keheranan melihat tingkah Nagabonar. Adakah biru muda mengingatkanmu pada sesuatu atau malah kesantunan yang mengingatkanmu pada sesuatu? Berkendara bajaj Umar yang dilengkapi miniatur bendera Merah-Putih di sisi kanan dan kiri, Nagabonar menjelajah Jakarta dan bertemu seorang polisi berpangkat Bripda, polisi yang tak bisa menjelaskan mengapa bajaj dilarang melintasi Jalan Jenderal Soedirman. Yang jelas, Jenderal Medan-Lubuk Pakam Nagabonar harus rela berjalan kaki menuju patung Jenderal Soedirman bersama Umar di Indonesia yang sudah merdeka, jauh sebelum kelahiran teman-teman ciliknya yang menemani dia bermain bola di lapangan apa-adanya yang berada tak jauh dari rumah anaknya, si Bonaga. Nagabonar hanya paham bahwasanya Ibu, Istri, dan si Bujang selalu hidup dalam hatinya; sedang zamannya Bonaga masih dan masih coba dia pahami hingga Nagabonar ingat rencananya membeli karpet sebagai alas lantai Mushola Nurul Fikri yang pernah ditawarkan Indra Birowo ketika dia sedang berguru mengaji ke Umar, supir bajaj yang selalu menyampirkan handuk biru muda di tengkuknya. Dimanakah cerita ini usai? Yang jelas bukan di kuburan, sebab Nagabonar sudah bertahan untuk tetap berdiri menghormat sampai bendera Merah-Putih yang dikerek dua pelajar Sekolah Dasar berkibar di pucuk tiang. Saat itu, Nagabonar sempat tumbang, namun serempak puluhan anak sekolah dasar segera menopang tubuhnya hingga tak menyentuh tanah, dan bendera yang semula tersendat naik itu pun akhirnya berhasil digiring sepasang pelajar sekolah dasar menuju pucuk tiang. Nagabonar berhenti menghormat! dan dia kembali berdiri tegak! Dan sepertinya, Piala Citra 2007 sudah menentukan pilihan. Tapi, sepertinya pula Deddy Mizwar berharap pada sesuatu yang lebih dari sekadar piala, yakni buah cintanya dengan Karina, Bonaga. Bukan ‘Jenderal’! Dan Asrul Sani, memang belum pergi. Sedang feminisme tampaknya harus kerja lebih keras gara-gara segaris benang saja. Atau,

masih ada satu lagi. Ini hanya sebuah film belaka dengan peran yang tak terlalu memukau. Apalagi Wulan Guritno, Darius Sinathraya, juga Jaja Miharja pun Uli Herdiansyah! Seturut Nagabonar, umurlah yang mendekatkan kita dengan Tuhan. Maka Nagabonar pun belajar mengaji pada Umar, agar tak dimarahi Mamaknya nanti di alam baka.

Musfar Yasin: Amin!!!


Catatan: Tulisan ini masih banyak salah ketik. Karena itu, saya membebaskan sidang pembaca merangkai cetakan yang benar yang sesuai dengan Anda sendiri di dalam benak Anda. Demikian harap maklum sebab ‘Tulisan ini adalah rekayasa belaka. Bila ada kesamaan nama dan cerita dan ketololan, itu hanya soal kebetulan saja alias tak usahlah dilebih-lebihkan.’