INDONESIA’ [eND.Of.NESIA]

1.

Risalah ini sepenuhnya saya tujukan untuk mengobati (atau malah meracuni) kegelisahan yang ada di dalam diri saya. Di tahun 2008, saya berhadapan dengan satu fenomena akbar selebrasi. Selebrasi 100 tahun kebangkitan nasional. Harus saya akui, sebelum tahun 2008, fenomena selebrasi kebangkitan nasional tidak asing, meski tidak akrab pula. Namun di tahun 2008, fenomena kebangkitan nasional seakan menampilkan sisi lain di dalam batin saya. Fenomena selebrasi kebangkitan nasional bukan lagi hadir sebagai sebentuk rasa yang tidak asing meski tidak pula akrab, melainkan berubah menjadi sebentuk rasa yang asing, ganjil, aneh, bahkan malah menakutkan. Mungkin pernyataan saya terlampau melankolis, sentimental, atau malah sok romantis. Entahlah.

Sebelum melanjutkan penulisan, ada baiknya apabila saya lebih dahulu menegaskan bahwasanya keberadaan tulisan ini tidak bertujuan mengecilkan bahkan menafikan kebermaknaan selebrasi 100 tahun kebangkitan nasional yang ada dan berdiam di dalam batin orang lain. Alasan saya menegaskan pembatasan pembacaan yang demikian dikarenakan saya memperkirakan ada kemungkinan jawaban dari kegelisahan saya—bila memang pada akhirnya saya menemukan jawaban, bila saya tidak menemukan jawaban, tentu lain lagi ceritanya.—bisa menjadi peluru tajam yang melukakan batin orang lain. Maka pembatasan pembacaan adalah sarana yang tepat untuk mencegah terjadinya konflik antara saya dengan orang lain.

Saya memperhatikan selebrasi 100 tahun kebangkitan nasional di tahun 2008 sebagai peristiwa nostalgia belaka. Bisa saja saya keliru bila berpendapat begitu. Sebagai pembelaan saya mengajukan satu fakta: Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang dulunya milik Indonesia kini sudah berada dibawah kekuasaan imperium Kerajaan Monarki-Konstitusional Malaysia. Bila hendak ditambahkan dengan fakta lain, saya pun bakal mengajukan tanya: Berapa banyakkah orang-orang di birokrasi eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang sudah masuk ke dalam penjara dengan status narapidana? Kalau saya tidak keliru, fakta-fakta yang saya ajukan terjadi pada masa menjelang selebrasi 100 tahun kebangkitan nasional. Di dalam ‘masa menjelang selebrasi 100 tahun kebangkitan nasional’, saya yakin selebrasi kebangkitan nasional pasti ada. Tetapi apakah selebrasi kebangkitan nasional pada ‘masa menjelang selebrasi 100 tahun kebangkitan nasional’ punya makna? Ketika selebrasi tidak memiliki makna, maka selebrasi yang pernah dilakukan, menurut saya, tidak beda dengan nostalgia, mengenang lalu melupakan. Inilah kegelisahan saya: nostalgia tanpa makna atas selebrasi 100 tahun kebangkitan nasional bakal berulang kembali.

Berangkat dari kegelisahan demikian, saya pun menawarkan pengobatan (atau malah peracunan) terhadap diri sendiri—tapi bila yang saya temukan adalah racun, saya berharap racun temuan saya tidak menyebar kepada orang lain; namun bila yang ditemukan adalah obat, saya tidak keberatan jika orang lain menggunakan obat temuan saya—dengan cara menjadikan nostalgia bermakna. Subjektivitas saya berkata: “Nostalgia yang bermakna adalah nostalgia yang mengantisipasi kematian.”

2.

Ketika saya menyatakan ‘nostalgia yang menanti kematian’, pada saat yang bersamaan sesungguhnya saya menghampakan selebrasi 100 tahun kebangkitan nasional. Apa yang menjadi persoalan bukan lagi kebangkitan nasional, melainkan pada apa yang melahirkan kebangkitan nasional. Saya menemukan jawabannya di dalam kata ‘Indonesia’. ‘Indonesia’-lah yang menjadi penyebab kelahiran kebangkitan nasional, dan karena itu pulalah saya mempersoalkan ‘Indonesia’ di dalam risalah yang bertujuan mengobati (atau malah meracuni) kegelisahan yang ada di dalam diri saya. Mau tak mau, saya harus menyelidiki kesejarahan ‘Indonesia’ untuk menemukan makna kebangkitan nasional.

Saya pikir, upaya saya mengintai ‘kesejarahan’ Indonesia menyertakan beragam diaspora percikan pemikiran yang berasal dari sastrawan Sutardji Caldzoum Bahri, sistem triadik tanda Ferdinand de Saussure, metode dialektika G.W.F Hegel, hingga eksistensialitas Martin Heidegger. Percikan pemikiran mereka saya pergunakan sambil tetap menggenggam kesadaran bahwasanya apa yang saya tuliskan berpotensi menghadirkan ‘saya yang keliru’ dihadapan orang lain. Bila itu yang terjadi, saya hanya bisa kembali pada keyakinan awal saya, yakni tujuan penulisan risalah ini tak lain tak bukan adalah untuk mengobati (atau malah meracuni) kegelisahan yang ada di dalam diri saya sendiri.

3.

Pada awalnya adalah Kata. Begitulah Sutardji Caldzoum Bahri mengawali Kredo Puisi-nya. Sastrawan besar lain, Yapi Tambayong, di dalam artikel ‘Apologia’ di buku ‘puisi-puisi remy sylado kerygma & martyria’, secara tidak langsung menyatakan bahwa Kredo Puisi Sutardji Caldzoum Bahri berhubungan dengan kalimat pertama Injil Yohanes, yakni: Pada mulanya adalah Kata, dan Kata bersama dengan Allah, dan Kata itu adalah Allah. Seturut dengan Kredo Puisi dari Sutardji Caldzoum Bahri beserta Apologia dari Yapi Tambayong, kelahiran ‘Indonesia’ bermula dari penggunaan kata ‘Indonesia’ di planet Bumi; sebab ketiadaan kata mengakibatkan ketiadaan entitas.

Berdasarkan fakta yang ada, kata ‘Indonesia’ pertama kali dipergunakan ahli etnologi Jerman Adolf Bastian (26 Juni 1826 – 2 Februari 1905) pada tahun 1884 lewat tulisannya yang bertajuk ‘Indonesia oder die Inseln des Malayschen archipels’. Pelacakan Alif Danya Munsyi dalam artikel ‘Disumpahi Pemuda: Satu Nusa Satu Bangsa Dua Languages’ di buku ‘Bahasa Menunjukkan Bangsa’ menemukan bukti bahwasanya sebelum Adolf Bastian mempergunakan kata ‘Indonesia’, seorang ahli etnologi Inggris J.R Logan sudah lebih dahulu mempergunakan kata ‘Indonesia’ pada 1848 lewat tulisannya ‘Customs common to the hill tribes bordering on Assam and those of the Indian archipelago’.

Setelah J.R Logan dan Adolf Bastian, saya perkirakan kata ‘Indonesia’ pun semakin lazim dipergunakan dalam bahasa tulisan maupun bahasa ucapan Melayu. Meski begitu, rasanya perlu juga saya menambahkan beberapa fakta-fakta yang saya anggap penting terkait dengan penggunaan kata ‘Indonesia’. Di tahun 1924, kata ‘Indonesia’ dipergunakan untuk mengganti nama organisasi Indies Social Democratic Association—didirikan pada 1914 oleh orang Belanda yang bernama Hendricus Sneevliet—menjadi Partai Komunis Indonesia di wilayah Hindia-Belanda. Setahun kemudian, di Eropa, tepatnya di Belanda, kata ‘Indonesia’ juga dipergunakan untuk mengganti nama Indische Vereeniging, sebuah organisasi pelajar-pelajar Hindia Belanda yang berdiri pada 1908, menjadi Perhimpunan Indonesia. Sebagai catatan tambahan, pada 1922 Indische Vereeniging sempat mengubah nama menjadi Indonesische Vereeniging, yang bila dialihbahasakan ke dalam bahasa Melayu menjadi Perhimpunan Indonesia. Tiga tahun setelah Perhimpunan Indonesia berdiri, tepatnya pada 28 Oktober 1928, kata ‘Indonesia’ muncul di dalam teks Sumpah Pemuda. Fakta terakhir, pada 17 Agustus 1945, kata ‘Indonesia’ muncul lagi di dalam teks Proklamasi yang menjadi penentu eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara di panggung dunia.

4.

Berdasarkan fakta-fakta yang telah saya sebutkan, saya melihat ada hal yang menarik menyangkut motivasi penggunaan kata ‘Indonesia’. Penggunaan kata ‘Indonesia’ pada J.R Logan-Adolf Bastian dan pada ‘selain-J.R Logan-Adolf Bastian’ memiliki motivasi yang berbeda, keilmuan dan politik. Penggunaan kata ‘Indonesia’ pada ‘selain-J.R Logan-Adolf Bastian’ merujuk penggunaan kata ‘Indonesia’ pada rentang waktu 1922-1945 sesuai dengan fakta yang terungkap dalam tulisan ini.

Indonesia’ yang dimaksud dalam tulisan-tulisan dua ahli etnologi itu adalah budaya bangsa-bangsa yang berada di Asia Tenggara. Mereka memandang sekaligus mempergunakan ‘Indonesia’ sebagai entitas kebudayan. Cara pandang begini jelas punya tendensi motivasi keilmuan. Dalam konteks keilmuan, relasi yang muncul ada dalam pola subjek-intelek dengan objek-pengetahuan. Sepanjang subjek-intelek punya keinginan untuk mengetahui objek-pengetahuan, maka secara langsung subjek-intelek mengakui eksistensi dari entitas objek-pengetahuan. Kata ‘Indonesia’ sebagai representasi dari objek-pengetahuan dengan sendirinya menyatakan entitas ‘Indonesia’ bersifat terbuka bagi siapa saja sepanjang orang-orang bersangkutan punya keinginan untuk mengatahui ‘Indonesia’.

Memaknai fakta penggunaan kata ‘Indonesia’ oleh J.R Logan-Adolf Bastian menggiring benak saya pada kesimpulan yang subjektif sekaligus emosional: tanpa mereka sadari, mereka sudah mendirikan tonggak inklusifitas ‘Indonesia’, ‘Indonesia’ sebagai entitas objektif yang terbuka dan bisa dimasuki bahkan dihuni siapa saja.

Bila penggunaan kata ‘Indonesia’ oleh J.R Logan dan Adolf Bastian mengarah pada inklusifitas entitas objektif, penggunaan kata ‘Indonesia’ oleh ‘selain-J.R Logan-Adolf Bastian’ menghadirkan fenomena yang lain lagi. Fakta kelahiran Partai Komunis Indonesia pada 1924 di Hindia Belanda, fakta kelahiran Perhimpunan Indonesia pada 1925 di Belanda, fakta kelahiran Partai Nasional Indonesia pada 1927, fakta ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, hingga fakta Proklamasi Indonesia pada 17 Agustus 1945, penggunaan kata ‘Indonesia’ menyimpan pemaknaan yang farik dari pemaknaan J.R Logan dan Adolf Bastian. Penggunaan kata ‘Indonesia’ oleh ‘selain-J.R Logan dan Adolf Bastian’ tidak lagi merujuk pada objek-pengetahuan, melainkan seakan-akan sudah berpindah ke subjek-intelek. Ketika ‘Indonesia’ telah menjadi subjek-intelek, lalu apa yang menjadi objek-pengetahuan? Tentunya, pertanyaan yang saya ajukan bisa mengarah pada kekeliruan. Sebab, pola relasi antara subjek-intelek dengan objek-pengetahuan ada di dalam konteks keilmuan, tegasnya dalam konteks ‘J.R Logan-Adolf Bastian’. Di dalam konteks ‘selain-J.R Logan-Adolf Bastian’ pola relasi yang ada hidup dalam konteks politik, hidup dalam motivasi politik subjek. Sebagai konsekuensi, tentunya pola relasi yang ada pun berbeda pola relasi dengan pola relas yang berdasarkan motivasi keilmuan.

Menurut saya, motivasi politik menghadirkan pola relasional subjek-ekspresif dengan subjek-represif. Perubahan motivasi dari keilmuan menjadi politik menyebabkan perubahan posisi entitas ‘Indonesia’. Sebelum menentukan posisi entitas ‘Indonesia’ dalam pola relasional subjek-ekspresif dengan subjek-represif, saya menyimak kronologis penggunaan kata ‘Indonesia’ oleh ‘J.R Logan-Adolf Bastian’ hingga oleh ‘selain-J.R Logan-Adolf Bastian’menghadirkan tiga dialektika menarik. Pertama, berkaitan dengan perubahan posisi entitas ‘Indonesia’. Kedua, berkenaan dengan perubahan pola relasional. Ketiga, motivasi.

Dalam pola relasional ‘J.R Logan-Adolf Bastian’, entitas ‘Indonesia’ merujuk pada objek-pengetahuan. Apabila pola relasional dari konteks ‘selain-J.R Logan-Adolf Bastian’ dimasukkan ke dalam konteks ‘J.R Logan-Adolf Bastian’, maka entitas ‘Indonesia’ menempati posisi subjek-intelek. Mengapa demikian? ‘Indonesia’ di dalam konteks ‘selain-J.R Logan dan Adolf Bastian’ bukan lagi hadir sebagai ‘Indonesia’ yang diafirmasi oleh subjek-intelek, melainkan sebagai ‘Indonesia’ yang mengafirmasikan diri melalui subjek-intelek. ‘Indonesia’ sebagai entitas objektif sudah berganti menjadi ‘Indonesia’ sebagai entitas subjektif. Karena itulah, upaya menempatkan entitas subjektif ‘Indonesia’ ke dalam pola relasional subjek-intelek dengan objek-pengetahuan dengan sendirinya menempatkan posisi entitas ‘Indonesia’ pada subjek-intelek.

Secara kronologis, dialektika posisional entitas ‘Indonesia’ dari objek-pengetahuan menjadi subjek-intelek menyebabkan dialektika pola relasional kata ‘Indonesia’ dari subjek-intelek dengan objek-pengetahuan menjadi subjek-ekspresif dengan subjek-represif. Dialektika posisional entitas ‘Indonesia’ dengan dialektika pola relasional dari dua konteks penggunaan kata ‘Indonesia’, konteks ‘J.R Logan dan Adolf Bastian’ dan konteks ‘selain-J.R Logan dan Adolf Bastian’, terjadi bersamaan dan bersifat saling menentukan.

Di saat dialektika posisional dan pola relasional terjadi, pada saat yang bersamaan berlangsung pola dialektika motivasi personal. Penggunaan kata ‘Indonesia’ pada konteks ‘J.R Logan dan Adolf Bastian’ bersumbu pada motivasi keilmuan, sedangkan penggunaan kata ‘Indonesia’ pada konteks ‘selain-J.R Logan dan Adolf Bastian’ berpusat pada motivasi politik. Entitas ‘Indonesia’ yang pasif berubah menjadi entitas ‘Indonesia’ yang aktif. Motivasi personal mengubah status afirmasi entitas ‘Indonesia’ dari afirmasi pasif menjadi afirmasi aktif. Di dalam konteks ‘J.R Logan dan Adolf Bastian’, entitas ‘Indonesia’ diafirmasi oleh subjek-intelek, namun di dalam konteks ‘selain-J.R Logan dan Adolf Bastian’ entitas ‘Indonesia’ mengafirmasikan diri melalui subjek-ekspresif, yang hasil evolusi dari subjek-intelek. Saya menduga kehadiran entitas ‘Indonesia’ yang aktif inilah yang memunculkan dimensi eksklusifitas entitas ‘Indonesia’. Entitas objektif yang bisa dimasuki siapa saja dalam konteks ‘J.R Logan-Adolf Bastian’, inklusifitas ‘Indonesia’, berubah menjadi entitas subjektif yang belum tentu bisa secara bebas dimasuki oleh siapa pun, eksklusifitas ‘Indonesia’.

5.

Sekarang, yang menjadi persoalan adalah apa atau siapakah yang dimaksud dengan subjek-represif dari pola relasional subjek-ekspresif dengan subjek-represif dalam konteks ‘selain-J.R Logan dan Adolf Bastian’?

Dialektika entitas ‘Indonesia’ dari pasif-objektif menjadi aktif-subjektif mengakibatkan perubahan posisi entitas ‘Indonesia’ dari objek-pengetahuan menjadi subjek-intelek. Selanjutnya, subjek-intelek pun berevolusi menjadi subjek-ekspresif bersamaan dengan dialektika entitas ‘Indonesia’. Konsekuensinya, subjek-ekspresif pun memainkan peran sebagai subjek-intelek dari ‘Indonesia’ yang tidak lagi dalam pengertian objek yang pasif menyatakan diri, melainkan sebagai objek yang aktif menyatakan diri. Apa yang saya maksud dengan ‘objek yang aktif menyatakan diri’ mengacu pada inklusifitas sekaligus eksklusifitas ‘Indonesia’, mengacu pada entitas ‘Indonesia’, subjek/objek-‘Indonesia’.

Pola relasional subjek-ekspresif dengan subjek-represif dalam konteks ‘selain-J.R Logan dan Adolf Bastian’ sesungguhnya memiliki jembatan perantara, yakni subjek/objek-‘Indonesia’. Subjek-ekspresif mendukung subjek/objek-‘Indonesia’ untuk mengaktualisasikan diri sebagai ‘objek yang aktif menyatakan diri’. Sedang subjek-represif berada pada kutub yang berseberangan dengan subjek-ekspresif, subjek-represif tidak mendukung subjek/objek-‘Indonesia’ untuk mengaktualisasikan diri sebagai ‘objek yang aktif menyatakan diri’. Berada dalam tegangan antar subjek-ekspresif dengan subjek-represif, subjek/objek-Indonesia berhadapan dengan pilihan hidup atau mati. Subjek-ekspresif berpotensi menghidupkan subjek/objek-‘Indonesia’, sedangkan subjek-represif berpotensi mematikan subjek/objek-‘Indonesia’. Selanjutnya, subjek-ekspresif yang menghidupkan subjek/objek-‘Indonesia’ adalah subjek-‘Indonesia’; sedangkan subjek-represif yang mematikan subjek/objek-‘Indonesia’ adalah subjek-‘yang-bukan-‘Indonesia’’.

Motivasi politik yang mendasari penggunaan kata ‘Indonesia’ pada konteks ‘selain-J.R Logan dan Adolf Bastian’ ternyata berakar pada hidup atau matinya entitas ‘Indonesia’. Secara tak langsung, ada dialektika baru dari entitas ‘Indonesia’. Bila dua entitas pertama, yakni entitas pasif-objektif dan entitas aktif-subjektif, kini tampil entitas ‘Indonesia’ yang baru, yakni sebagai ‘objek yang aktif menyatakan diri’. Di sini, entitas ‘Indonesia’ berhadapan dengan pilihan hidup atau mati. Mewujudnya salah satu dari dua pilihan tersebut bergantung pada pertarungan dari subjek-‘Indonesia’ dengan subjek-‘yang-bukan-‘Indonesia’’. Selama pertarungan antara kedua subjek masih terjadi, entitas ‘Indonesia’ masih berpotensi hidup atau mati.

6.

Penggalian entitas ‘Indonesia’ mengungkapkan betapa peliknya ‘Indonesia’. Entitas ‘Indonesia sesungguhnya bukan sesuatu yang bebas dan independen. Kehadiran entitas ‘Indonesia’ membutuhkan kehadiran subjek, mulai dari subjek-intelek yang berevolusi menjadi subjek-ekspresif dan berakhir pada subjek-‘Indonesia’.

Tapi permasalahan belum selesai. Apa yang saya lakukan masih mengacu pada investigasi berdasarkan penggunaan kata ‘Indonesia’ yang membuahkan hasil keterikatan entitas ‘Indonesia’ dengan subjek. Di dalam pikiran subjek, menurut saya, kata ‘Indonesia’ berperan sebagai representasi eksistensialitas konseptual. Menggunakan perangkat analisa sistem triadik tanda Ferdinand de Saussure, ‘Indonesia’ merupakan penanda dari suatu petanda, penanda dari suatu eksistensialitas konseptual, representasi eksistensialitas konseptual. Pada masa ‘setelah selain-J.R Logan dan Adolf Bastian’, periode 1945 hingga sekarang (sampai waktu kiamatnya semesta Bima Sakti), representasi eksistensialitas konseptual mewujudkan diri sebagai representasi eksistensialitas material. Apa yang saya niatkan sebagai representasi eksistensialitas material dari kata ‘Indonesia’ adalah bentuk nyata ‘Indonesia’, wilayah-wilayah geografis ‘Indonesia’ di planet ketiga Galaksi Bimasakti.

Dari penggunaan kata ‘Indonesia’ pada organisasi Partai Komunis Indonesia, Perhimpunan Indonesia, pada ikrar Sumpah Pemuda, dan pada teks Proklamasi, saya tidak menemukan kehadiran ‘Indonesia’ sebagai representasi eksistensialitas material. Saya yakin, kegagalan saya menemukan kehadiran ‘Indonesia’ sebagai representasi eksistensialitas material dikarenakan kelalaian saya menjelajahi fakta-fakta di luar fakta yang telah saya nyatakan dalam tulisan ini.

Di dalam teks Sumpah Pemuda, kata ‘Indonesia’ lebih menempati posisi sebagai representasi eksistensialitas konseptual. Sepintas, frase ‘bertanah air satu’ yang dikaitkan dengan frase ‘tumpah darah Indonesia’ berpotensi hadir sebagai representasi eksistensialitas konkrit dari kata ‘Indonesia’. Tapi, frase ‘tumpah darah Indonesia’ tidak secara langsung menunjukkan wilayah-wilayah mana sajakah yang termasuk ke dalam ‘tumpah darah Indonesia’. Mungkin, bagi mereka yang ikut dalam kongres akbar pada 28 Oktober 1928, apa yang dimaksud ‘tumpah darah Indonesia’ sudah jelas dan nyata. Dan saya sendiri tidak mengabaikan kemungkinan seperti itu terjadi. Sebab yang menjadi persoalan bagi saya yang hidup setelah konteks 28 Oktober 1928 adalah ketidaknyataan bahkan kekaburan dari frase ‘tumpah darah Indonesia’.

Bila mengacu pada teks pidato Proklamasi yang dibacakan Soekarno pada 17 Agustus 1945, saya pun tidak menemukan representasi eksistensialitas material dari kata ‘Indonesia’. Di bawah ini saya kutipkan secara lengkap teks pidato Proklamasi yang dibacakan di Jalan Pegangsaan No.56, Jakarta:

Saudara-saudara sekalian!

Saya telah minta saudara-saudara hadir disini untuk menyaksikan satu peristiwa maha penting dalam sejarah kita.

Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah-air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun!

Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya dan turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju cita-cita.

Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti-henti. Didalam jaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri, tetapi kita tetap percaya kepada kekuatan sendiri.

Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah-air didalam tangan kita sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya.

Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarat dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia, dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.

Saudara-saudara! Dengan ini kami nyatakan kebulatan tekad itu.

Dengarkanlah proklamasi kami:

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara yang saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 17 Agustus 1945

Atas nama bangsa Indonesia,

Soekarno-Hatta

Demikianlah saudara-saudaraku!

Kita sekarang telah merdeka!

Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah-air kita dan bangsa kita!

Mulai saat ini kita menyusun negara kita!

Negara merdeka, Negara Republik Indonesia merdeka kekal dan abadi.

Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.

Di dalam teks pidato Proklamasi, kata ‘Indonesia’ cenderung hadir sebagai representasi eksistensialitas konseptual. Memang, teks pidato Proklamasi pun mengandung abstraksi dari representasi eksistensialitas material konkrit kata ‘Indonesia’ yang mewujud melalui frase ‘pemindahan kekuasaan’. Meski begitu, saya tidak mengabaikan keberadaan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut dan punya potensi memahami apa yang dimaksud dengan frase ‘pemindahan kekuasaan’ dihubungkan dengan representasi eksistensialitas material dari kata ‘Indonesia’. Lagi-lagi, saya menemukan kegagalan yang dikarenakan keterbatasan saya untuk mengakses informasi-informasi penting yang berkaitan dengan upaya pengutuhan makna dari pidato Proklamasi. Tanpa melupakan keterbatasan saya, saya menyimpulkan bahwasanya penggunaan kata ‘Indonesia’ pada konteks ‘selain-J.R Logan dan Adolf Bastian’ cenderung hadir sebagai representasi eksistensialitas konseptual daripada representasi eksistensialitas material.

Berdasarkan pelacakan seadanya yang saya lakukan, upaya mewujudkan ‘Indonesia’ sebagai representasi eksistensialitas material diperbincangkan secara lugas oleh Prof. Mr. H. Muhammad Yamin dalam risalah yang bertajuk ‘Pembebasan Irian-Barat Dalam Rangka Perkembangan Kedaulatan Indonesia Dan Pembelaan Wilayah Indonesia’. Secara sepintas, saya melihat Pak Yamin mengalami kesulitan yang luar biasa untuk mewujudkan representasi eksistensialitas material dari kata ‘Indonesia’. Kesulitan dari upaya mewujudkan representasikan eksistensialitas material dari kata ‘Indonesia’ diselesaikan Pak Yamin dengan berpegang pada keyakinan intelektual yang berpijak pada frase ‘memerlukan interpretasi’. Pak Yamin menyajikan enam patokan penting yang harus tetap dipegang oleh siapa saja yang hendak menginterpretasi representasi eksistensialitas material dari kata ‘Indonesia’. Enam patokan itu adalah:

I. Sejarah Pra-historia dan Proto-historia Indonesia dan sejarah Sriwijaya dan Majapahit.

II. Pengartian mandala Nusantara menurut kitab Negarakertagama (1365) karangan Prapanca.

III. Perjanjian Tordesillas 1494, perjanjian Saragosa 1529 dan perjanjian Belanda-Spanyol 1648 di Muenster.

IV. Segala perjanjian dan naskah resmi yang menentukan daerah Hindia Belanda.

V. Interpretasi resmi dari istilah kedaulatan Indonesia oleh perjuangan kemerdekaan Indonesia.

VI. Pengartian-tetap dari istilah ‘seluruh tumpah-darah Indonesia’.

Pelacakan Pak Yamin yang bersumbu pada kitab Negarakertagama karangan pujangga Kerajaan Majapahit Empu Prapanca pada 1365. Di dalam kitab yang lahir di masa keemasan Kerajaan Majapahit, ketika diperintah Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gadjah Mada, rumusan eksistensialitas material konkrit ‘Indonesia’ dinyatakan sebagai ‘wilayah tumpah-darah Nusantara’ yang meliputi Astadwipa, yakni: 1) Pulau Jawa meliputi Jawa, Madura, Kangenan/Galiyao, 2) Pulau Sumatera meliputi Lampung, Palembang, Jambi, Karitang/Indragiri, Muara Tebo, Dharmmaçraya/Sijunjung, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rekan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tamiang, Perlak, Barat/Aceh, Lawas/Padang Lawas/Gayo Luas, Samudera/Aceh, Aceh Tiga Segi/Lamuri, Batan, Barus, 3) Pulau Kalimantan meliputi Kapuas, Katingan, Sampit, Kuta Lingga/Serawak, Sedu/Sedang di Serawak, Kota Waringin, Sambas, Lawai/Muara Labai, Kadangdangan/Kendangwangan, Landak, Samedang/Simpang, Tirem/Peniraman, Sedu/Serawak, Brunai, Kalka Saludung, Solot/Solok/Sulu, Pasir, Baritu, Sebuku, Tabalong/Amuntai, Tanjung Kutai, Malanau, Tanjungpuri, 4) Semenanjung Melayu meliputi Pahang, Hujungmedini/Johor, Lengkaksuka/Kedah, Saimwang/Semang, Kelantan, Terangganau, Naçor/Ligor, Pakamuar/Pekan Muar, Dungun/di Terangganau, Tumasik/Singapura, Sanghyang Hujung, Kelang/Kedah/Negeri Sembilan, Keda, Jere/Jering/Petani, Kanjap/Singkep, Niran/Karimun, 5) sebelah timur Pulau Jawa dan seluruh Nusa Tenggara meliputi Bali, Bedulu, Lwagajah/Lilowan/Negara, Gurun/Nusa Penida, Taliwang/Sumbawa, Dompo/Sumbawa, Sapi/Sumbawa, Sanghyang Api/Gunung Api/Sengeang, Bima, Geram, Hutan/Sumbawa, Kadali/Baru, Gurun/Gorong, Lombok Mirah/Lombok Barat, Saksak/Lombok Timur, Sumba, Timur, 6) Pulau Sulawesi meliputi Bantayan/Bonthain, Luwuk/Luwu, Udamakatraja/Talaud, Makasar, Butun/Buton, Banggawi/Banggai, Kunir/P. Kunyit, Galiyao, Selaya/Saleier, Solot/Solor, 7) Maluku meliputi Muar/Kei, Wandan/Banda, Ambon, Maluku/Ternate, 8) Seluruh Irian Barat meliputi Onin/Irian Barat, Seran/Irian Selatan.

Meski menjadikan kitab Negarakertagama sebagai pegangan utama menginterpretasikan representasi eksistensialitas material kata ‘Indonesia’, Pak Yamin pada dasarnya tidak punya hasrat untuk menguasai atau menundukkan Astadwipa di bawah panji Merah-Putih. Menyadari kondisi sejarah dunia di abad XX sudah berbeda dengan abad XIV, ditambah pula dengan kalimat pertama dari aliena pertama pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi ‘…kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa...’, Pak Yamin meredam hasrat menguasai Astadwipa dan selanjutnya memajukan sikap menghargai kemerdekaan dan kedaulatan masing-masing negara yang berada di Nusantara. Pak Yamin mengekspresikan pandangan tersebut dalam kalimat berikut:

‘Revolusi Indonesia tak kan selesai sebelum peta-ketatanegaraan Astadwipa di Nusa yang Delapan sempurna tergambar. Revolusi Indonesia membina Bangsa Indonesia Raya dan Revolusi Indonesia menggambar peta baru pula: Peta daerah-kedaulatan Nusantara pulau yang delapan, yang diliputi oleh kedaulatan Nusantara.’

Saya berimajinasi, bila Pak Yamin bertemu dengan fakta berpindahnya hak milik atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dari pangkuan Indonesia ke haribaan imperium Kerajaan Monarki-Konstitusional Malaysia pada abad XXI, tentunya Pak Yamin perlu membenahi apa yang pernah menjadi tujuan dari cita-cita ‘Revolusi Indonesia’, selain mempertanyakan eksistensialitas dari pemerintah Indonesia di abad XXI.

Setelah mengembara cukup jauh, dan mudah-mudahan tidak terlampau menyimpang, representasi eksistensialitas material dari kata ‘Indonesia’ ternyata menyimpan sejarah yang panjang. ‘Indonesia’ sebagai kesatuan wilayah geografis-politik membentang di alam sejarah yang sudah berumur lebih dari dua ribu tahun. Menurut Pak Yamin, Indonesia sebagai Negara merupakan evolusi dari dua negara yang pernah ada di Nusantara. Pertama, Kerajaan Sriwijaya yang pernah berdiri di kota Palembang, di kaki Bukit Siguntang, pada 683 Masehi, yang sempat mencapai usia lebih dari sembilan ratus tahun sebelum akhirnya hilang lenyap pada permulaan abad XV Masehi. Kedua, Kerajaan Majapahit yang hanya sempat mencicipi umur 232 tahun (1293 – 1525) namun menorehkan tinta emas di dalam sanubari Pak Yamin dikarenakan kehadiran masa keemasan Nusantara yang sempat diriwayatkan dalam bentuk tulisan sastra bertajuk Negarakertagama oleh Empu Prapanca. Ketiga, Republik Indonesia yang berdiri tegak pada 17 Agustus 1945, yang pada 17 Agustus 2008 bakal menginjak usia 63 tahun, yang masih belum diketahui entah sampai kapan bertahan.

7.

Penelusuran yang saya lakukan tampaknya memberikan secercah cahaya untuk mengobati (atau malah meracuni) kegelisahan saya sendiri berhadapan dengan fenomena akbar selebrasi 100 tahun kebangkitan nasional. Kehadiran entitas ‘Indonesia’ yang mengacu pada subjek/objek-‘Indonesia’, sejauh penelusuran saya, tidak bisa lepas dari eksistensialitas subjek, entah itu sebagai subjek-intelek, atau subjek-ekspresif, ataupun subjek-‘Indonesia’. Selain sebagai entitas ‘Indonesia’ yang mandiri, entitas ‘Indonesia’ pun berada dalam arus tegangan pola relasional, mulai dari pola relasional subjek-intelek dengan objek-pengetahuan, subjek-ekspresif dengan subjek-represif, hingga subjek-‘Indonesia’ dengan subjek-‘yang-bukan-‘Indonesia’’.

Fenomena selebrasi akbar 100 tahun kebangkitan nasional, menurut saya, seturut dengan subjektivitas saya, tak beda dengan nostalgia belaka. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga terbitan Balai Pustaka nostalgia ada dalam kelas kata benda yang berarti 1) kerinduan (kadang-kadang berlebihan) pada sesuatu yang sangat jauh letaknya atau yang sudah tidak ada lagi sekarang, 2) kenangan manis pada masa yang telah silam. Dengan menambahkan awalan ber- pada kata nostalgia, kelas kata nostalgia pun berubah status dari kata benda menjadi kata kerja ‘bernostalgia’. Masih di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga terbitan Balai Pustaka, bernostalgia berarti 1) melepas rindu setelah lama tidak bertemu; 2) mengingat peristiwa-peristiwa manis yang pernah dialami pada masa lalu.

Aih, sebenarnya saya tidak ingin mengucapkan hal ini. Tapi saya tidak punya pilihan untuk mengelak. Fenomena selebrasi 100 tahun kebangkitan nasional, bagi saya, hanyalah nostalgia belaka, nostalgia hampa, acara foya-foya, peristiwa sekejap untuk mengingat cerita-cerita di masa lampau untuk selanjutnya melupakan dengan cara melarutkan diri dalam keseharian yang penuh pertarungan adu-hebat. Dimensi kematian ‘Indonesia’, tampaknya lepas dari selebrasi akbar terkait cerita-cerita penting menyangkut kesejarahan Indonesia. Meski begitu, saya tidak mengabaikan keberadaan orang-orang yang dengan penuh permenungan memaknai peristiwa kebangkitan nasional yang terjadi pada 20 Mei 1908 dalam bingkai Indonesia, dalam bingkai kesejarahan Indonesia. Sebagaimana Pak Yamin menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara ketiga di Nusantara, maka Indonesia pun punya potensi mengalami apa yang telah dialami dua negara pendahulunya, Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Indonesia bisa mati! entah itu sebagai konsep atau sebagai kesatuan wilayah geografis-politik.

Bisa jadi saya seorang yang skeptis berhadapan dengan fenomena akbar 100 tahun kebangkitan nasional—selebrasi yang pada awalnya dilakukan pada tahun 1948 seiring dengan pergolakan antara pemerintah Indonesia dengan aksi agresi militer pemerintahan Belanda—tetapi saya yakin: Sebuah nostalgia yang tidak mengantisipasi kematian adalah nostalgia yang tak bermakna! Mengutip Martin Heidegger dengan variasi interpretasi personal, makna atas segala sesuatu muncul ketika Sein-zum-Tode, Ada-menuju-Kematian, menjadi kesadaran personal subjek.

Akhirnya, saya menemukan obat (atau malah racun) bagi kegelisahan saya sendiri. Penelusuran yang saya lakukan menyadarkan saya bahwasanya kegelisahan saya muncul dikarenakan sikap skeptis saya berhadapan dengan fenomena akbar 100 tahun kebangkitan nasional yang sesungguhnya bersumber pada posisi saya yang ada sebagai sebagai subjek-‘Indonesia’ sekaligus subjek-‘yang-bukan-‘Indonesia’’. Meski cukup menyakitkan perasaan, saya harus mengatakan: Saya, INDONESIA’[eND.oF.NESIA]. Karena hanya dengan begitu saja saya bisa sedikit lega untuk menghadapi fenomena selebrasi akbar yang mungkin masih saya hadapi selama saya masih hidup di dunia, di Bumi, di wilayah geografis-politik Indonesia—hidup sebagai seorang yang menjalani Takdir terlahir sebagai warga negara Indonesia yang tidak saya sesalkan meski pada kenyataannya cukup mengecewakan—hingga Ajal menjemput saya untuk meninggalkan dunia beserta ke-Indonesia-an saya.

Mei 2008

BHARATA: SENANDUNG RASA MADU


Kira-kira, di masa sekarang, lebih mudah mana, mencari sarjana atau pemain wayang orang? Begitulah ringkasan sederhana dari kompleksitas persoalan yang tengah dihadapi Marsam Moelyo Atmodjo. Ada aura kebanggaan, kesedihan, sekaligus harapan di dalam pertanyaan yang sederhana tadi.

Siapakah Marsam Moelyo Atmodjo? Dia adalah lelaki berusia 58 tahun yang berasal dari Solo dan kini menetap di Magelang. Dia jugalah yang kini mengemban beban tanggung-jawab sebagai Ketua Wayang Orang Bharata. Persoalan mengemban beban tanggung-jawab tidak hanya mengacu pada upaya mewujudkan kesejahteraan para anggota Wayang Orang Bharata, melainkan masih memiliki dimensi profetik, yakni melestarikan kesenian tradisional, wayang orang.

“Wayang Orang Bharata ada karena ada orang yang peduli pada kesenian tradisi,” begitu Marsam memulai percakapan dengan Media di lobi Gedung Pertunjukan Wayang Orang Bharata, Senen, Jakarta , beberapa waktu lalu. Orang yang dimaksud Marsam adalah Djaduk Djayakesuma, tokoh perfilman Indonesia pada era ’70-an, sekaligus juga seorang dosen di lembaga pendidikan yang kini dikenal sebagai Institut Kesenian Jakarta. Marsam bercerita, kepedulian Djaduk Djayakesuma sejak dia mengenal wayang orang. Perkenalan Djaduk Djayakesuma berawal ketika paguyuban Wayang Wong Panca Mukti mendaulat dia sebagai sutradara film yang hendak mereka produksi.

Pada era ’60, popularitas Wayang Wong Panca Mukti di Jakarta sangat luar biasa. “Di jaman itu, memang selain Wayang Wong Panca Mukti yang berpusat di Senen ada enam grup wayang orang lainnya yang juga tenar. Kalau saya tidak keliru, ada berpusat di Tanjung Priok, Balimesteer, juga Kawi,” ujar Marsam, ayah dua anak, mengenang.

Namun seiring perkembangan jaman, perkembangan teknologi, situasi pun berubah. Bila di awal 1960-an hingga akhir 1960-an, pementasan wayang orang merupakan satu-satunya wahana hiburan publik, maka di permulaan 1970-an, pementasan wayang orang sebagai satu-satunya alternatif hiburan mendapat saingan dari media elektronik, yakni televisi.

“Dulu, setiap bulan bisa 36 kali pentas. Setiap kali pertunjukkan, pendapatan dari penjualan tiket bisa menutupi biaya produksi sekaligus membayar honor pemain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Tetapi, setelah tahun ’70-an, tidak begitu lagi,” demikian Marsam mengisahkan masa-masa emas wayang orang yang sempat dia alami ketika masih menjadi anggota grup Wayang Wong Panca Mukti. Sejak kehadiran media hiburan alternatif, masa-masa emas pun memudar. Kesulitan ekonomi menerpa grup-grup wayang orang, tak terkecuali grup Wayang Wong Panca Mukti yang kala itu sudah memiliki gedung pertunjukkan sendiri, Gedung Wayang Wong Panca Mukti, di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Di tahun 1970, grup Wayang Wong Panca Mukti menghilang. Ada anggota yang mencari penghidupan yang lain, ada pula yang masih tetap bertahan di dalam Gedung Wayang Wong Panca Mukti—di kemudian hari hingga sekarang, gedung tersebut berganti nama menjadi Gedung Pertunjukkan Wayang Orang Bharata—termasuk Marsam. “Yang bertahan tinggal di dalam gedung adalah mereka-mereka yang ingin tetap bekerja sebagai pemain wayang orang,” Marsam berkata dengan pelan, jelas, sekaligus bersahabat.

Pada masa-masa kritis itulah Djaduk Djayakesuma bertemu dengan mantan personil Wayang Wong Panca Mukti. Keintiman antara Djaduk Djayakesuma dengan kesenian tradisional wayang orang sekaligus kedekatan emosional Djaduk Djayakesuma dengan mantan personil Wayang Wong Panca Mukti menghadirkan cahaya baru bagi dunia kesenian tradisional. Bersama dengan mantan personil Wayang Wong Panca Mukti yang masih bertahan di Gedung Wayang Wong Panca Mukti, Djaduk Djayakesuma menggagas membentuk grup wayang baru yang bernama Wayang Orang Bharata. “Nama Bharata itu berasal dari Pak Djaduk,” ucap Marsam dengan mata yang berbinar-binar.

Bharata hadir tidak hanya sebagai nama belaka, namun menyimpan muatan filosofis yang mendalam. Nama ‘Bharata’ berasal dari tiga suku kata dalam aksara Jawa hanacaraka. Bha yang berarti bhawa, selanjutnya dilafazkan sebagai ‘bhowo’, mengandung makna orang yang bersenandung. Ra yang berarti rasa, selanjutnya dilafazkan sebagai ‘roso’, mengandung makna penuh perasaan. Terakhir, Ta yang berarti tala, selanjutnya dilafazkan sebagai ‘tolo’, mengandung makna rumah lebah, madu. Berangkat dari pemaknaan demikian, maka Bharata berarti orang yang bersenandung dengan penuh perasaan hingga menyuguhkan keindahan bagi pendengarnya.

“Keindahan itu adalah madu. Kesenian tradisi wayang orang adalah kesenian yang mengandung filsafat kehidupan. Mulai dari cerita, tata rias, tata cahaya, alunan suara, dan lainnya, pementasan wayang orang bertujuan menyuguhkan keindahan bagi pemirsa, menyuguhkan madu bagi pemirsanya,” ungkap lelaki yang memang sudah mengenal wayang ketika menghabiskan masa kanak-kanak di Solo, dan mulai menapaki dunia panggung pementasan wayang orang pada tahun 1964.

Pada 5 Juli 1972 berdirilah grup Wayang Orang Bharata di Jakarta. Seiring dengan berdirinya grup Wayang Orang Bharata, identitas Gedung Wayang Wong Panca Mukti pun berganti menjadi Gedung Pertunjukkan Wayang Orang Bharata. “Mendengar Wayang Orang Bharata berdiri, mantan personil Wayang Wong Panca Mukti yang tadinya sudah pergi, ternyata malah kembali,” lelaki bertubuh gempal ini berucap tenang. Meski begitu, berdirinya Wayang Orang Bharata tidak langsung menyelesaikan persoalan. Kesulitan penghidupan dari bekerja sebagai pemain wayang tetap menghantui tiap personal. Dan Djaduk Djayakesuma membaca kegelisahan itu.

Selama hampir lima tahun Djaduk Djayakesuma, sosok lelaki yang kini potret hitam-putihnya tergantung di lobi Gedung Pertunjukkan Wayang Orang Bharata, wira-wiri mencari pendanaan menutupi kebutuhan ekonomi para personil Wayang Orang Bharata. “Pak Djaduk mencari bantuan ke Kesra hingga Gubernur. Tetapi, tetap saja tidak bisa mencukupi. Dari situlah maka timbul ide untuk membentuk yayasan,” Marsam melanjutkan penjelasan kesejarahan Wayang Orang Bharata.

Setelah terjadi pertemuan antara Djaduk Djayakesuma dengan Soedharmo Djayadiwangsa, perwira tinggi di TNI-Angkatan Darat, pada tahun 1977 Yayasan Bharata yang bertujuan menjamin kesejahteraan para anggota grup Wayang Orang Bharata pun berdiri. Meski begitu, masalah tidak berhenti. Kepekaan Soedharmo menimbulkan kegelisahan yang baru. Para anggota Wayang Orang Bharata tidak bisa selamanya tinggal di dalam Gedung Pertunjukkan Wayang Orang Bharata. “Mulailah Pak Soedharmo Djayadiwangsa memikir tempat tinggal bagi para anggota Wayang Orang Bharata,” tutur Marsam sambil melepaskan topi hitam di kepalanya.

Di tahun 1977, Soedharmo Djayadiwangsa menemukan lokasi seluas 5.000-an meter persegi di daerah Sunter, Jakarta Utara, yang bisa didirikan rumah tinggal dan aula berlatih bagi para anggota Wayang Orang Bharata. Ada kisah yang menarik sehubungan dengan sebidanga tanah tersebut. Ketika Soedharmo Djayadiwangsa sedang mencari-mencari sebidang lahan buat perumahan anggota Wayang Orang Bharata, dia bertemu dengan teman lamanya di masa jaman perjuangan. Teman lamanya Soedharmo Djayakesuma adalah warga keturunan Tionghoa yang bermarga Tan, berasal dari Kudus, dan dikenal orang-orang sebagai Tan Kudus. “Pak Tan Kuduslah yang memberikan lahan tersebut secara cuma-cuma kepada Pak Soedharmo. Selanjutnya, sebidang lahan pemberian Pak Tan Kudus pun disertifikatkan,” papar Marsam.

Pada tahun 1982, 65 rumah tipe 36 berukuran 5 x 15 meter serta satu aula latihan berdiri lahan pemberian Tan Kudus. Anggota Wayang Orang Bharata pun bisa membeli rumah tersebut dengan cara menganggsur Rp15 ribu per-bulan selama 15 tahun. Bersamaan dengan pendirian Yayasan Bharata, kehidupan perekonomian para anggota Wayang Orang Bharata mulai menggeliat kembali. Masa kejayaan rupanya sudah kembali. Sayangnya, masa emas hanya berlangsung pada periode ’70-an hingga menjelang penghujung ’90-an. Lagi-lagi, persoalan kesulitan ekonomi dan jaminan kehidupan yang tak pasti bila memilih pekerjaan sebagai pemain wayang orang.

“Sekarang, dari 65 rumah yang ada di Padepokan Amarta, paling hanya 20 persen saja yang masih dihuni anggota Wayang Orang Bharata. Yang lainnya sudah berpindah kepemilikan,” kali ini, Marsam berkata sambil menghela nafas dengan sangat perlahan. Ternyata, keberadaan Yayasan Bharata pun tidak lagi menjamin keberlangsung hidup para personil Wayang Orang Bharata.

Sampai pada titik ini, Marsam melontarkan hasil permenungannya. “Hidup seni tradisi sekarang ini bergantung pada peran pemerintah,” begitulah lelaki yang sejak tahun 2003 mengemban beban tanggung jawab sebagai Ketua Wayang Orang Bharata. Marsam yakin pemerintah punya kepedulian untuk melestarikan kehidupan seni tradisi. Marsam yakin pemerintah menyediakan dana bagi keberlangsungan hidup seni tradisi. “Sebagai Gareng, tokoh punakawan, tokoh awam yang selalu menyuarakan apa yang dia ketahui, tokoh yang selalu saya perankan dalam setiap pementasan wayang orang, saya hanya bisa tahu dana sebagai bentuk kepedulian dari pemerintah itu ada. Yang menjadi persoalan, ada dimana sebenarnya dana itu.” Itulah kalimat-kalimat penuh pesona satir yang pertama kali diucapkan Marsam selama berbincang dengan Media. Kalimat yang mengacu tidak saja pada ironi personal membaca kenyataan, melainkan juga berperan sebagai peluru tajam mengkritik birokrasi pemerintahan Indonesia yang cenderung tak bersih.

Meski begitu, nyala harapan tak pernah padam dalam perkataan Marsam. “ Ada kebanggaan yang saya rasakan sekarang. Kebanggaan yang disebabkan perhatian para remaja di Padepokan Amarta untuk tetap melanjutkan kesenian tradisi wayang orang. Dan kepada mereka, saya menanamkan sikap bahwasanya melakoni kesenian tradisi wayang orang tidak bakal membuat mereka menjadi kaya harta. Melakoni kesenian tradisi wayang orang adalah ketulusan untuk melestarikan kesenian tradisional, seni wayang orang,” ujar Marsam Moelyo Atmodjo menutup perbincangan—tentang Bharata.