BHARATA: SENANDUNG RASA MADU


Kira-kira, di masa sekarang, lebih mudah mana, mencari sarjana atau pemain wayang orang? Begitulah ringkasan sederhana dari kompleksitas persoalan yang tengah dihadapi Marsam Moelyo Atmodjo. Ada aura kebanggaan, kesedihan, sekaligus harapan di dalam pertanyaan yang sederhana tadi.

Siapakah Marsam Moelyo Atmodjo? Dia adalah lelaki berusia 58 tahun yang berasal dari Solo dan kini menetap di Magelang. Dia jugalah yang kini mengemban beban tanggung-jawab sebagai Ketua Wayang Orang Bharata. Persoalan mengemban beban tanggung-jawab tidak hanya mengacu pada upaya mewujudkan kesejahteraan para anggota Wayang Orang Bharata, melainkan masih memiliki dimensi profetik, yakni melestarikan kesenian tradisional, wayang orang.

“Wayang Orang Bharata ada karena ada orang yang peduli pada kesenian tradisi,” begitu Marsam memulai percakapan dengan Media di lobi Gedung Pertunjukan Wayang Orang Bharata, Senen, Jakarta , beberapa waktu lalu. Orang yang dimaksud Marsam adalah Djaduk Djayakesuma, tokoh perfilman Indonesia pada era ’70-an, sekaligus juga seorang dosen di lembaga pendidikan yang kini dikenal sebagai Institut Kesenian Jakarta. Marsam bercerita, kepedulian Djaduk Djayakesuma sejak dia mengenal wayang orang. Perkenalan Djaduk Djayakesuma berawal ketika paguyuban Wayang Wong Panca Mukti mendaulat dia sebagai sutradara film yang hendak mereka produksi.

Pada era ’60, popularitas Wayang Wong Panca Mukti di Jakarta sangat luar biasa. “Di jaman itu, memang selain Wayang Wong Panca Mukti yang berpusat di Senen ada enam grup wayang orang lainnya yang juga tenar. Kalau saya tidak keliru, ada berpusat di Tanjung Priok, Balimesteer, juga Kawi,” ujar Marsam, ayah dua anak, mengenang.

Namun seiring perkembangan jaman, perkembangan teknologi, situasi pun berubah. Bila di awal 1960-an hingga akhir 1960-an, pementasan wayang orang merupakan satu-satunya wahana hiburan publik, maka di permulaan 1970-an, pementasan wayang orang sebagai satu-satunya alternatif hiburan mendapat saingan dari media elektronik, yakni televisi.

“Dulu, setiap bulan bisa 36 kali pentas. Setiap kali pertunjukkan, pendapatan dari penjualan tiket bisa menutupi biaya produksi sekaligus membayar honor pemain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Tetapi, setelah tahun ’70-an, tidak begitu lagi,” demikian Marsam mengisahkan masa-masa emas wayang orang yang sempat dia alami ketika masih menjadi anggota grup Wayang Wong Panca Mukti. Sejak kehadiran media hiburan alternatif, masa-masa emas pun memudar. Kesulitan ekonomi menerpa grup-grup wayang orang, tak terkecuali grup Wayang Wong Panca Mukti yang kala itu sudah memiliki gedung pertunjukkan sendiri, Gedung Wayang Wong Panca Mukti, di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Di tahun 1970, grup Wayang Wong Panca Mukti menghilang. Ada anggota yang mencari penghidupan yang lain, ada pula yang masih tetap bertahan di dalam Gedung Wayang Wong Panca Mukti—di kemudian hari hingga sekarang, gedung tersebut berganti nama menjadi Gedung Pertunjukkan Wayang Orang Bharata—termasuk Marsam. “Yang bertahan tinggal di dalam gedung adalah mereka-mereka yang ingin tetap bekerja sebagai pemain wayang orang,” Marsam berkata dengan pelan, jelas, sekaligus bersahabat.

Pada masa-masa kritis itulah Djaduk Djayakesuma bertemu dengan mantan personil Wayang Wong Panca Mukti. Keintiman antara Djaduk Djayakesuma dengan kesenian tradisional wayang orang sekaligus kedekatan emosional Djaduk Djayakesuma dengan mantan personil Wayang Wong Panca Mukti menghadirkan cahaya baru bagi dunia kesenian tradisional. Bersama dengan mantan personil Wayang Wong Panca Mukti yang masih bertahan di Gedung Wayang Wong Panca Mukti, Djaduk Djayakesuma menggagas membentuk grup wayang baru yang bernama Wayang Orang Bharata. “Nama Bharata itu berasal dari Pak Djaduk,” ucap Marsam dengan mata yang berbinar-binar.

Bharata hadir tidak hanya sebagai nama belaka, namun menyimpan muatan filosofis yang mendalam. Nama ‘Bharata’ berasal dari tiga suku kata dalam aksara Jawa hanacaraka. Bha yang berarti bhawa, selanjutnya dilafazkan sebagai ‘bhowo’, mengandung makna orang yang bersenandung. Ra yang berarti rasa, selanjutnya dilafazkan sebagai ‘roso’, mengandung makna penuh perasaan. Terakhir, Ta yang berarti tala, selanjutnya dilafazkan sebagai ‘tolo’, mengandung makna rumah lebah, madu. Berangkat dari pemaknaan demikian, maka Bharata berarti orang yang bersenandung dengan penuh perasaan hingga menyuguhkan keindahan bagi pendengarnya.

“Keindahan itu adalah madu. Kesenian tradisi wayang orang adalah kesenian yang mengandung filsafat kehidupan. Mulai dari cerita, tata rias, tata cahaya, alunan suara, dan lainnya, pementasan wayang orang bertujuan menyuguhkan keindahan bagi pemirsa, menyuguhkan madu bagi pemirsanya,” ungkap lelaki yang memang sudah mengenal wayang ketika menghabiskan masa kanak-kanak di Solo, dan mulai menapaki dunia panggung pementasan wayang orang pada tahun 1964.

Pada 5 Juli 1972 berdirilah grup Wayang Orang Bharata di Jakarta. Seiring dengan berdirinya grup Wayang Orang Bharata, identitas Gedung Wayang Wong Panca Mukti pun berganti menjadi Gedung Pertunjukkan Wayang Orang Bharata. “Mendengar Wayang Orang Bharata berdiri, mantan personil Wayang Wong Panca Mukti yang tadinya sudah pergi, ternyata malah kembali,” lelaki bertubuh gempal ini berucap tenang. Meski begitu, berdirinya Wayang Orang Bharata tidak langsung menyelesaikan persoalan. Kesulitan penghidupan dari bekerja sebagai pemain wayang tetap menghantui tiap personal. Dan Djaduk Djayakesuma membaca kegelisahan itu.

Selama hampir lima tahun Djaduk Djayakesuma, sosok lelaki yang kini potret hitam-putihnya tergantung di lobi Gedung Pertunjukkan Wayang Orang Bharata, wira-wiri mencari pendanaan menutupi kebutuhan ekonomi para personil Wayang Orang Bharata. “Pak Djaduk mencari bantuan ke Kesra hingga Gubernur. Tetapi, tetap saja tidak bisa mencukupi. Dari situlah maka timbul ide untuk membentuk yayasan,” Marsam melanjutkan penjelasan kesejarahan Wayang Orang Bharata.

Setelah terjadi pertemuan antara Djaduk Djayakesuma dengan Soedharmo Djayadiwangsa, perwira tinggi di TNI-Angkatan Darat, pada tahun 1977 Yayasan Bharata yang bertujuan menjamin kesejahteraan para anggota grup Wayang Orang Bharata pun berdiri. Meski begitu, masalah tidak berhenti. Kepekaan Soedharmo menimbulkan kegelisahan yang baru. Para anggota Wayang Orang Bharata tidak bisa selamanya tinggal di dalam Gedung Pertunjukkan Wayang Orang Bharata. “Mulailah Pak Soedharmo Djayadiwangsa memikir tempat tinggal bagi para anggota Wayang Orang Bharata,” tutur Marsam sambil melepaskan topi hitam di kepalanya.

Di tahun 1977, Soedharmo Djayadiwangsa menemukan lokasi seluas 5.000-an meter persegi di daerah Sunter, Jakarta Utara, yang bisa didirikan rumah tinggal dan aula berlatih bagi para anggota Wayang Orang Bharata. Ada kisah yang menarik sehubungan dengan sebidanga tanah tersebut. Ketika Soedharmo Djayadiwangsa sedang mencari-mencari sebidang lahan buat perumahan anggota Wayang Orang Bharata, dia bertemu dengan teman lamanya di masa jaman perjuangan. Teman lamanya Soedharmo Djayakesuma adalah warga keturunan Tionghoa yang bermarga Tan, berasal dari Kudus, dan dikenal orang-orang sebagai Tan Kudus. “Pak Tan Kuduslah yang memberikan lahan tersebut secara cuma-cuma kepada Pak Soedharmo. Selanjutnya, sebidang lahan pemberian Pak Tan Kudus pun disertifikatkan,” papar Marsam.

Pada tahun 1982, 65 rumah tipe 36 berukuran 5 x 15 meter serta satu aula latihan berdiri lahan pemberian Tan Kudus. Anggota Wayang Orang Bharata pun bisa membeli rumah tersebut dengan cara menganggsur Rp15 ribu per-bulan selama 15 tahun. Bersamaan dengan pendirian Yayasan Bharata, kehidupan perekonomian para anggota Wayang Orang Bharata mulai menggeliat kembali. Masa kejayaan rupanya sudah kembali. Sayangnya, masa emas hanya berlangsung pada periode ’70-an hingga menjelang penghujung ’90-an. Lagi-lagi, persoalan kesulitan ekonomi dan jaminan kehidupan yang tak pasti bila memilih pekerjaan sebagai pemain wayang orang.

“Sekarang, dari 65 rumah yang ada di Padepokan Amarta, paling hanya 20 persen saja yang masih dihuni anggota Wayang Orang Bharata. Yang lainnya sudah berpindah kepemilikan,” kali ini, Marsam berkata sambil menghela nafas dengan sangat perlahan. Ternyata, keberadaan Yayasan Bharata pun tidak lagi menjamin keberlangsung hidup para personil Wayang Orang Bharata.

Sampai pada titik ini, Marsam melontarkan hasil permenungannya. “Hidup seni tradisi sekarang ini bergantung pada peran pemerintah,” begitulah lelaki yang sejak tahun 2003 mengemban beban tanggung jawab sebagai Ketua Wayang Orang Bharata. Marsam yakin pemerintah punya kepedulian untuk melestarikan kehidupan seni tradisi. Marsam yakin pemerintah menyediakan dana bagi keberlangsungan hidup seni tradisi. “Sebagai Gareng, tokoh punakawan, tokoh awam yang selalu menyuarakan apa yang dia ketahui, tokoh yang selalu saya perankan dalam setiap pementasan wayang orang, saya hanya bisa tahu dana sebagai bentuk kepedulian dari pemerintah itu ada. Yang menjadi persoalan, ada dimana sebenarnya dana itu.” Itulah kalimat-kalimat penuh pesona satir yang pertama kali diucapkan Marsam selama berbincang dengan Media. Kalimat yang mengacu tidak saja pada ironi personal membaca kenyataan, melainkan juga berperan sebagai peluru tajam mengkritik birokrasi pemerintahan Indonesia yang cenderung tak bersih.

Meski begitu, nyala harapan tak pernah padam dalam perkataan Marsam. “ Ada kebanggaan yang saya rasakan sekarang. Kebanggaan yang disebabkan perhatian para remaja di Padepokan Amarta untuk tetap melanjutkan kesenian tradisi wayang orang. Dan kepada mereka, saya menanamkan sikap bahwasanya melakoni kesenian tradisi wayang orang tidak bakal membuat mereka menjadi kaya harta. Melakoni kesenian tradisi wayang orang adalah ketulusan untuk melestarikan kesenian tradisional, seni wayang orang,” ujar Marsam Moelyo Atmodjo menutup perbincangan—tentang Bharata.

No comments:

Post a Comment