TENTANG KUALITAS OTORITAS PENULIS.

(Terjemahan Bebas David Tobing Atas Naskah ON LITERATURE-ARTHUR SCHOPENHAUER)


Pada dasarnya, ada dua macam penulis: mereka yang menulis demi kebahagiaan subjek personal sendiri, dan mereka yang menulis demi kenikmatan menulis sendiri. Mereka yang menulis demi kebahagiaan subjek personal punya pemikiran atau pengalaman yang menurut mereka sangat berharga dan patut dikomunikasikan dengan sesama; sedangkan jenis penulis kedua lebih mengutamakan uang, karena uanglah mereka menulis, demi uang(!). Pola pikir mereka yang menulis demi kenikmatan menulis sendiri adalah pola pikir yang berorientasi pada bisnis penulisan. Mereka yang tergolong jenis yang ‘menulis demi kenikmatan menulis sendiri’ memang punya kemungkinan tenar; dan ketenaran mereka bergantung pada bagaimana cara mereka mengolah pemikiran mereka menjadi bentuk pemikiran terbaik hingga punya batas kadaluarsa yang agak lebih lama; selanjutnya, cara lain yang mereka tempuh bisa pula melalui pandangan mereka yang alamiah, ‘pandangan yang alamiah’ di dalam kepala mereka sesungguhnya merupakan pandangan yang setengah-benar, pandangan yang jahat, pandangan yang menakutkan, pandangan yang penuh kebimbangan; atau cara lain lagi melalui pemutar-balikan pandangan atas segala sesuatu yang sudah jelas, yang mengakibatkan penampilan mereka berbeda dengan mereka yang sesungguhnya. Maka apa yang mereka tulis tidak lagi jelas, melainkan samar dan penuh kabut tak bermakna dan juga tidak punya dasar yang kuat, tak punya defenisi yang jernih; dan tulisan yang punya dasar yang kuat tak bakal hidup lama sebelum mereka mengakui bahwa apa yang sebenarnya menjadi objek dari kerja menulis mereka, pada dasarnya, hanyalah suatu upaya untuk memproduksi buku belaka alias uang. Peristiwa seperti itu pun kadang terjadi pada penulis-penulis hebat; sekarang dan di kemudian hari, contoh, Lessing di dalam buku Dramaturgie-nya, dan bahkan di banyak cerita romantis karangan Jean Paul. Segera setelah pembaca menyadari hal ini, biarkanlah pembaca bersangkutan mencampakkan buku karangan penulis-penyesat; dikarenakan waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Yang menjadi kebenaran dalam perkara ini adalah, ketika penulis mulai menulis cuma untuk kenikmatan buku belaka alias uang, penulis itu sudah membohongi pembaca; karena dia menulis di bawah bayang-bayang dalih, karena dia menulis untuk menutupi apa yang seharusnya dia katakan.

Menulis demi uang dan demi mendapatkan hak cipta belaka adalah tujuan kerja menulis yang paling dangkal, akar penghancur budaya literatur. Bila penulis hanya tulisan memandang sebagai tulisan belaka, maka penulis begitu hanya menyuguhkan tulisan yang sia-sia, tak berguna. Tulisan menjadi berharga apabila seorang menulis demi kebahagiaan personal dirinya. Sungguh tak dapat dibayangkan betapa mahalnya tulisan yang begitu, apabila tulisan yang begitu memang ada; sekalipun di dalam setiap cabang literatur hanya ada sedikit sekali buku seperti itu; meskipun sedikit, buku begitu masuk kategori buku yang unggul! Hal seperti itu tidak bakal terjadi selama penulis berpikir untuk menghasilkan uang dari kerja menulis. Itulah kutukan uang; bagi setiap penulis pola pikir mencari uang bakal mendorong penulis mulai mengambil pena lalu menulis di atas kertas cuma untuk kenikmatan menulis saja. Karya-karya tulisan kategori unggul yang dihasilkan oleh manusia-manusia yang tergolong unggul pula muncul dari saat ketika mereka memutuskan menulis tidak untuk apa pun atau, dan kalau pun mereka berharap, harapan mereka ada dalam kadar yang sangat-sangat minimal. Ada pepatah Spanyol yang menyimpan kebajikan seperti yang saya maksudkan, pepatah yang mendeklarasikan bahwasanya kehormatan dan uang tidak bisa ditemukan dalam dompet yang sama—‘honora y provecho no caben en un saco’. Alasan mengapa Literatur dalam kondisi yang demikian terpuruk sekarang ini adalah sangat sederhana, dan itu semata-mata disebabkan orang-orang yang menulis buku untuk mendapatkan uang. Cuma karena ada orang yang ingin duduk dan menulis buku demi uang belaka, serta publik tolol yang datang sebagai pembeli buku. Dampak kedua dari perilaku begitu adalah kehancuran bahasa!

Penulis-penulis buruk seperti yang saya ungkapkan di atas, penulis buruk yang membangun kehidupan mereka dengan cara membodohi publik, membodohi publik dengan mendesak publik untuk membaca sesuatu yang tak ada makna, membaca sesuatu yang baru saja dicetak,—mereka itu adalah para jurnalis! Saya serius akan hal ini. Mereka yang masuk kategori demikian adalah jur-na-lis! Sungguh, itulah ungkapan yang lebih tepat dan lebih sopan. Dalam bahasa pasaran, buruh, kuli!

Selanjutnya dapat pula disebutkan masih ada tiga macam penulis lainnya. Pertama, mereka yang menulis tanpa berpikir. Mereka yang masuk golongan pertama ini menulis dari posisi yang penuh memori, dari ingatan; bahkan mungkin pula apa yang mereka ungkapkan berasal dari buku orang lain. Jumlah penulis tipe begini sangatlah banyak. Tapi, dari perilaku begitu muncullah penulis yang masuk golongan kedua, yakni penulis yang berpikir hanya ketika dia sedang menulis. Penulis golongan kedua berpikir dengan tujuan agar bisa menulis; dan tak sedikit pula orang yang model begini. Tahapan terakhir dari kronologis seperti ini adalah penulis golongan ketiga, yakni penulis yang berpikir sebelum mereka mulai menulis. Jumlah penulis golongan ketika bisa dibilang jarang.

Penulis golongan kedua atau penulis yang berpikir hanya ketika dia sedang menulis adalah penulis yang melepaskan pemikiran mereka ketika mereka tidak menulis; perilaku mereka ibarat olahragawan yang berlatih serampangan, hasilnya tentu saja olahragawan yang demikian tak bakal pulang dengan membawa piala. Di sisi lain, ketika penulis yang masuk kategori ‘berpikir sebelum menulis’ atau ‘penulis yang jarang ditemui’, mereka itu ibarat petarung badai. Penulis kategori ‘berpikir sebelum menulis’ hadir sebagai olahragawan unggul—sebelum pertandingan dimulai, sudah diketahui bahwa dialah yang bakal jadi juara. Ada pula pemahaman lain atas ilustrasi itu. Penulis kategori ‘berpikir sebelum menulis’ merupakan peserta dalam suatu pertandingan, dan selama pertandingan berlangsung dia lebih banyak mendiamkan diri di suatu ruang yang terpencil; hingga suatu saat—di saat pertandingan masih terus berlangsung—ia keluar dari sana menuju ruang yang lain, alias menjadi pemenang. Suatu pertandingan tidak menyimpan kemungkinan untuk melepaskan olahragawan yang ikut serta; olahragawan itu hanya punya pilihan membidik dan menembak—dengan kata lain, menuliskan apa pemikirannya. Menulis ibarat pertandingan olahraga dan hanya melalui keikutsertaan sebagai peserta pertandinganlah seorang bakal punya sesuatu yang berharga, piala.

Tetapi, sekalipun jumlah orang yang berpikir serius sebelum menulis sedikit, sesungguhnya hanya ada beberapa saja di antara mereka yang sedikit itu yang benar-benar memikirkan ‘subjek utama dari apa yang bakal dituliskan’; lainnya hanya bermodalkan pemikiran yang sudah ada dan usang dari buku-buku yang menceritakan ‘subjek utama dari apa yang bakal dia dituliskan’, dengan kata lain menulis apa yang sudah diungkapkan orang lain. Bila punya tujuan untuk memikirkan subjek tulisan seutuhnya, ada juga penulis yang membutuhkan arahan dan rangsangan yang kuat dari pemikiran-pemikiran orang lain yang ada dalam sejarah sebelum si penulis bersangkutan hadir di dunia. Apa yang dipelajari penulis bersangkutan menjadi tema keberlanjutan saja; dan apabila penulis bersangkutan masih tetap berada dalam tema keberlanjutan, maka si penulis bakal berada dibawah pengaruh pemikiran-pemikiran yang sudah dia baca, dan penulis bersangkutan tidak akan pernah, bahkan dalam artian sebenarnya menjelma menjadi sesuatu yang otentik, asli(!). Jadi, apa yang utama adalah, pertama-pertama ‘subjek utama dari apa yang bakal dituliskan’ itulah yang seharusnya terbit di dalam pemikiran penulis bersangkutan secara langsung, bukan melalui penelaahan buku-buku lapuk yang berisi pemikiran-pemikiran orang di masa lalu. Hanya dengan cara begini sajalah penulis-penulis bermutu, penulis berkualitas unggul, hadir.

Apa yang saya ungkapkan, apa yang menjadi konteks pembicaraan saya adalah para penulis penyuguh subjek yang agung; bukan kategori penulis cara-cara praktis menjadi kaya-raya, atau penulis buku resep meracik alkhohol menjadi racun mematikan yang nikmat.

Selama si penulis mengambil materi-materi tulisan yang bakal dia tuliskan bukan berasal dari dalam benaknya sendiri, dengan kata lain bukan berasal dari observasi penulis sendiri, maka penulis bersangkutan masihlah dalam kategori ‘membaca buku’ alias membuat resensi belaka. Percetakan-percetakan, para editor, penulis sejarah, dan masih banyak penulis semacam itu lainnya mendapatkan materi-materi tulisan secara langsung dari buku-buku yang sudah ada; dan materi-materi itulah yang meluncur ke jari-jemari mereka—materi mentah yang tidak menjalani proses filterisasi di dalam benak mereka, dengan kata lain penulis bersangkutan tak pernah melakukan elaborasi atau revisi. Maka lihat, pasti penulis perdana yang bakal girang sebab dia melihat buku-buku yang terbit setelah bukunya hanya memuat segala apa yang sudah telanjang di dalam bukunya! Sebagai konsekuensinya, si penulis-lanjutan itu cuma berkoar-koar tentang sesuatu yang tidak dia kuasai dan tidak dia pahami, dan pembaca malah kesusahan memahami rangkaian puzzle di dalam tulisannya—padahal, bila ditelusuri lebih jauh, kegiatan memahami rangkaian puzzle yang dilakukan si pembaca pasti bakal berujung pada kesia-siaan; disebabkan apa dituliskan dan dipikirkan si penulis memang benar-benar tidak jelas. Penulis demikian adalah penulis yang tolol, tidak berpikir apa pun. Maka selalu muncul kemungkinan bahwa buku yang dia tulis benar-benar merupakan ciplakan utuh dari buku yang dia baca; jadi cara menulis demikian serupa tempelan-tempelan belaka; dan di pengakhiran, hanya kekosonganlah yang mencuat ke permukaan, dan karena itu pula penulis bersangkutan pastilah lenyap ditelan zaman! Biarlah buku-buku kompilasi dibaca sejarang mungkin. Dan memang susah pula bila ingin mengacuhkan buku-buku kompilasi; semenjak buku-buku kompilasi dan buku-buku tekstual, meski dalam porsi yang sangat minim, mengandung sejarah perkembangan pengetahuan dari masa ke masa.

Tidak ada kesalahan yang sangat fatal selain pengandaian yang menyatakan bahwa karya terakhirlah yang lebih tepat, lebih benar; dan apa tertulis di dalam buku setelah adalah pengembangan dari apa tertulis di dalam buku sebelum; dan perubahan yang ada bermakna perkembangan dari buku sebelum menuju buku setelah. Pemikir sejati, hakim kebenaran, orang yang lahir-bersama-dan-melahirkan ‘subjek tulisan’ merupakan kekecualian dari kondisi yang sudah saya jabarkan di atas. Para gembel pasti ada di bagian mana pun di dunia ini: itulah yang menjadi sinyal petanda, pengambil opini matang dari pemikir-pemikir sejati, dan ironisnya kalangan industri lebih berniat mengembangkan orang-orang yang demikian (catat bagian ini!) dengan cara-cara yang amat ganjil.

Jika seorang pembaca berniat meneliti suatu objek pengetahuan, biarkanlah ia mengacuhkan buku-buku terbaru yang berbicara dengan objek tersebut. Adalah lebih baik bagi ia bila ia hanya memfokuskan kajiannya pada objek itu saja, di bawah terang pemahaman bahwa pengetahuan yang bakal dia peroleh pastilah berfaedah—dan buku-buku yang tergolong lampau sesungguhnya sudah mengungkapkan apa yang tertulis di dalam buku-buku terbaru yang bersoal tentang objek pengetahuan tersebut. Mereka, buku-buku lampau itu, sudah menuliskan hal tersebut, merupakan sebuah kebenaran; tetapi lewat cara yang bagaimanakah kebenaran itu muncul? Para penulis buku baru seringkali tidak paham isi dari buku-buku lama, dan si penulis itu pun punya rasa enggan untuk menerima kata-kata dari penulis lampau; jadi penulis baru itu mengacuhkan penulis lampau, dan si penulis baru itu malah mengungkapkan dengan cara yang sangat-sangat buruk apa yang telah diungkapkan oleh penulis lampau, yang pada dasarnya lebih jernih dan bernas, karena penulis masa lampau itu menulis berdasarkan pengetahuan akan objek tersebut di dalam diri dan pengalaman mereka sendiri. Para penulis baru kerap kali mengabaikan hal-hal terbaik yang sudah diungkapkan oleh penulis lampau. Tak hanya itu pula, para penulis baru yang belagu ini pun mengabaikan ilustrasi terbaik para penulis lampau, serta segala kecemerlangan penulis lampau; semua itu disebabkan ketidakmampuan dari penulis baru melihat nilai yang terkandung dalam tulisan para penulis lampau, atau penulis baru itu tidak sadar diri bahwa diri mereka sesungguhnya masih kategori piyik. Dan apa yang memancarkan dari tulisan para penulis baru yang belagu itu hanyalah kesamaran dan ketololan.

Zaman memberikan bukti, buku tua dan unggul sering sekali menjadi pencilan dikarenakan kehadiran buku-buku baru dan buku-buku buruk, buku-buku yang ditulis cuma untuk mendapatkan uang. Dan ironisnya, buku baru dan buruk paling-paling cuma menawarkan atmosfir kehampaan dan cuma punya dampak bagi segelintir orang saja, orang yang menjadi sahabat-sahabat si penulis rendah itu saja. Di dalam sains, orang berupaya meraih pretise dengan cara mengungkapkan sesuatu yang segar. Sayangnya, upaya demikian menjadi tidak berarti dikarenakan dia hanya menyerang suatu teori yang sudah terbukti, suatu teori yang benar-benar tepat dan memadai menjelaskan suatu permasalahan. Upaya penyerangan yang mereka lakukan tak lebih dari upaya untuk menciptakan ruang agar pemahaman mereka yang salah itu bisa eksis. Kadang kala upaya yang begitu berhasil sekejap waktu saja; tetapi selanjutnya semua orang bakal berpaling kepada yang lama, teori yang benar-benar terbukti valid! Inovator model begituan hanya mengungkapkan bualan semata. Mereka tak mengungkapkan apa pun kecuali gagah-gagahan belaka: inilah yang sebenarnya hendak mereka ajukan, dan jalan pintas terbaik untuk mencapai posisi seperti itu, sebagaimana yang mereka pikirkan, memulai dengan paradoks. Benak mereka yang mandul mengambil jalan alamiah, jalur negasi; dengan begitu mereka pun mulai mengingkari kebenaran yang telah lama mereka terima—kekuatan vital, sebagai contoh, sistem saraf simpatetik, ‘generatio equivoca’, pembedaan Bichat tentang mekanisme hasrat dan mekanisme intelektual; atau para penulis belagu itu hanya ingin membawa kita pada ketololan belaka dikarenakan pemutar-balikan fakta, dan model begitu pula yang memang disukai para penulis rendahan. Maka, sepanjang zaman kerap hadir ungkapan ‘wacana sains selalu mundur atau retrogresif’.

Bagi penulis model begituan hadirlah pula para penerjemah yang bekerja tak hanya untuk menerjemahkan tulisan mereka, tetapi juga membenarkan dan merevisi tulisan mereka; dan hasil terjemahannya, bagi saya, sama saja: Nol Besar! Kepada beberapa penulis saya sarankan: Tulislah buku melalui dan untuk dirimu sendiri sebuah buku yang beanr-benar berfaedah bila diterjemahkan, dan biarkanlah tulisan-tulisan orang lain tetap sebagaimana adanya!

Para pembaca seharusnya meneliti, jika dia sanggup, penulis asli, orang yang membangun suatu teori dan menemukan suatu hal baru; atau, dalam tingkat apa pun juga, mereka yang sudah dikenal sebagai guru unggul di setiap cabang pengetahuan. Lebih baik lagi bagi mereka untuk membeli buku-buku bekas yang berisi tulisan penulis asli daripada mereka membaca buku tersebut dalam bentuk yang baru, bentuk yang tidak asli lagi. Sekadar meyakinkan, inilah cara yang paling gampang untuk belajar memahami suatu pandangan dan menemukan pandangan atau hal baru—‘inventis aliquid addere facile est’: dan, sebagai akibat, para pelajar yang sudah paham betul seluk-beluk hingga akar dari suatu pengetahuan bakal punya potensi yang cukup memadai untuk menambahkan sesuatu yang baru ke dalam pengetahuan tersebut. Dan, secara jeneral, saya menyematkan prinsip yang berlaku di mana saja tentang apa itu ‘baru’: jika ada sesuatu yang baru, jarang ada yang bagus; jika ada sesuatu yang bagus, maka itu cumalah kebaruan yang bersifat sementara saja.

Alamat penujuan berkenaan dengan surat, judul seharusnya berkenaan dengan buku; dengan kata lain, judul merupakan objek utama yang menjadi jembatan antara buku dengan publik, sebab judul bisa memikat public untuk mengetahui apa yang terkandung di dalam buku. Karena itu, judul haruslah ekspresif; dan apa yang menjadi kealamiahan dari judul adalah ke-singkat-an, judul sebaiknya ringkas, pendek, matang, dan bila dimungkinkan, judul memberikan gambaran utuh tentang isi buku dalam satu kata. Judul yang bertele-tele merupakan judul yang buruk (!); dan yang judul begituan tak menyiratkan apa pun kecuali kehampaan, atau kabur dan ambigu, atau malah bisa menimbulkan kesalahpahaman dan kekeliruan; tampilan judul yang demikian bisa disetarakan dengan kesalahan menulis alamat penujuan surat. Judul yang paling buruk diantara segala judul adalah judul yang lahir dari proses pencurian, maksud saya, judul yang berasal dari judul buku yang sudah pernah ada; bagi mereka yang berbuat begitu, pertama bisa dicap sebagai penjiplak, kedua bisa dianggap sebagai bukti ketiadaan orisinalitas penulis. Orang yang tak punya orisinalitas menemukan judul baru bagi bukunya bakal tak mampu pula memberikan sesuatu yang baru di dalam isi bukunya. Yang setara dengan pencurian judul adalah meniru-niru judul, yang berarti mencuri sekaligus menambahkan atau menghilangkan satu atau beberapa kata dari judul yang diadaptasi; contohnya, lama setelah saya menghasilkan risalah ‘On Will in Nature’, Oersted menulis buku berjudul ‘On Mind in Nature’.

Buku tak bisa melebihi apapun selain impresi dari pemikiran penulis; dan nilai dari impresi tersebut bakalan hadir di dalam ‘persoalan yang dia pikirkan’, atau di dalam ‘konfigurasi’ dari pemikiran si penulis itu sendiri, dengan kata lain, ‘apa sebenarnya objek yang tengah dia pikirkan’.

Persoalan yang diungkapkan dalam tiap-tiap buku sangat beragam; dan keberagaman itulah yang mengikat buku-buku yang ada untuk menentukan derajat keunggulan di antara buku-buku yang ada saat mendedahkan pelik-rumit persoalan yang hendak diterangkan. Apa yang saya sebut dengan persoalan adalah segala apa pun yang berasal dari domain pengalaman aktual, yakni fakta sejarah dan fakta alamiah yang diangkat dan ditelaah di dalam ‘dirinya sendiri’ atau ‘objek yang telah menjadi subjek’, selanjutnya dijabarkan melalui pengertian yang seluas-luasnya. Di sini ‘sesuatu’ dibicarakan, dan pembicaraan atas ‘sesuatu’ itulah yang memberikan karakter yang khas pada suatu buku; dan apa yang menjadikan suatu buku penting adalah keluasan dan kedalaman penjelasan yang ada di dalam buku tersebut, tak peduli siapa pun yang menuliskannya.

Tetapi, berkenaan dengan ‘konfigurasi’, karakter yang khas pada suatu buku bergantung pada ‘orang’ yang menulis buku. Karakter khas berkenaan pada cara menyajikan suatu persoalan hingga bisa diakses dan dipahami oleh siapa pun juga; penulis harus mampu menyajikan seluk-beluk persoalan yang utuh, apa sebenarnya objek yang tengah dia pikirkan, dan pekerjaan yang demikianlah yang menjadikan buku tersebut bernilai; dan semua itu berasal dari si penulis. Apabila di kemudian hari, melalui prosedur kerja penulisan tadi, buku yang dihasilkan menjadi buku yang unggul, maka si penulis pun tergolong penulis unggul. Sebagai tambahan, bila si penulis merupakan orang yang gemar membaca, maka keberhasilan yang dia raih justru merupakan hasil akhir dari kerja keras si penulis yang terus-menerus berupaya mengikis ketidakpahamannya akan sesuatu persoalan; karena itu, pemahaman yang mendalam dan menyeluruh mulai dari yang terbaru hingga yang terdahulu menjadi penentu kehebatan si penulis. Sebagai contoh, tiga penulis tragedi yang hebat dari Yunani berangkat dari kerja memahami subjek-persoalan yang sama.

Jadi ketika sebuah buku tenar, perlu pulalah dicatat apa yang menjadi dasar ketenaran buku bersangkutan, apakah menyangkut persoalan buku atau konfigurasi buku; dan pembedaan itu mestilah dibuat setepat-tepatnya.

Buku-buku unggul yang bercerita tentang suatu persoalan bisa dihasilkan oleh orang-orang yang biasa dan awam, melalui fakta bahwa mereka sendiri punya akses ke persoalan tersebut; misalnya buku yang memaparkan petualangan di suatu daerah, kejanggalan fenomena alam, atau pengalaman; atau peristiwa sejarah yang di dalamnya penulis menjadi saksi mata, atau di dalam hubungan kerja keras si penulis dan keikhlaskannya meluangkan waktu untuk menyelesaikan segala kendala yang muncul ketika meneliti sesuatu, dan bisa pula menyangkut studi dokumen-dokumen asli.

Di sisi sebaliknya, ketika persoalan itu sudah bisa diakses semua orang atau sudah jamak dipahami semua orang, maka keunggulan buku bakal bergantung pada konfigurasi; dan konfigurasi yang berkenaan dengan apa yang tengah dipikirkan penulis atas persoalan yang hendak dia jelaskan bakal menjadi penentu keberadaan nilai lebih di dalam buku tersebut. Di sini, hanya orang-orang yang punya kemampuan pembeda yang tinggi saja yang mampu menghasilkan suatu nilai dari bahan bacaan yang dia baca; yang bagi orang lain adalah kehampaan, padahal yang dianggap kehampaan itu sesungguhnya bisa dipikirkan oleh siapa pun juga. Mereka yang punya kemampuan pembeda yang tinggi akan menghasilkan impresi dari pikiran mereka sendiri; tetapi patut diingat, inilah yang menjadi jejak pencapaian bagi siapa pun juga hendak mendapat predikat: orisinil.

Yang patut diperhitungkan, mereka yang tergolong kategori publik selalu punya kecenderungan yang lebih pada apa yang disebut persoalan ketimbang konfigurasi; dan inilah yang menjadi alasan mendasar mengapa selalu ada kekurangan di setiap kebudayaan yang sudah mencapai derajat yang unggul. Publik sendiri membuktikan kesimpulan saya ini melalui cara mereka menghargai sajak. Publik menghargai sajak dengan menertawakan sajak, yang bagi saya inilah bentuk ketololan mereka ketika berhadapan dengan sajak; dan ketika sikap menertawakan itu muncul maka kekaburan pun hadir. Kekaburan itu sendiri muncul ketika mereka membaca sajak dengan cara melacak peristiwa aktual atau kondisi personal dari kehidupan si penyair itu sendiri, yang mereka duga merupakan muasal dari beragam corak sajak-sajak si penyair; dan itulah yang salah(!), segala peristiwa dan kondisi personal dari kehidupan si penyair seharusnya hadir sebagai kesimpulan akhir, akhir dari segenap proses pembacaan yang utuh hingga menghasilkan sesuatu yang sungguh penting dan unggul bila dibandingkan dengan sajak-sajak itu sendiri; bila dianjurkan untuk membaca Goethe, orang yang masuk kategori publik malah memilih membaca apa-apa saja yang telah ditulis tentang Goethe, dan publik begitu lebih suka bersusah-payah meneliti legenda Faust daripada menelaah drama yang terkandung di dalam nama Faust itu sendiri. Dan ketika Buerger mendeklarasikan “orang bakal menulis esai panjang yang menjelaskan pertanyaan, Siapakah sebenarnya Leonora,” dan hal yang sewujud dengan itu pun kita temukan dalam segala macam perkara sastra yang memperbincangkan Goethe; dan sekarang kita sudah memiliki esai panjang yang unggul yang berbicara tentang Faust dan legenda yang juga bersangkutan dengan nama itu. Penelitian yang model begini, dan yang bakal datang, merupakan buah dari penelaahan atas materi dari drama itu sendiri. Perilaku memberikan perhatian yang lebih pada persoalan dan mengenyahkan konfigurasi, sama seperti orang yang mengambil jambangan bunga Etruscan, dan sialnya tindakan mengambil jambangan bunga Etruscan itu ditujukan bukan untuk mengamati wujud jambangan bunga Etruscan atau warna jambangan bunga Etruscan, melainkan untuk mengetahui analisis kimiawi pencampuran antara tanah liat dengan cat yang membentuk jambangan tersebut.

Upaya mencari dampak dengan menganalisa materi-yang-sudah-menjadi-persoalan yang diolah—upaya yang merupakan representasi dari kecenderungan kebanalan publik—itulah yang seharusnya paling dihina di dalam setiap cabang sastra, sebab penghargaan atas sastra merupakan ekspresi yang timbul dari konfigurasi yang diajukan para sastrawan ke hadapan sidang pembaca; apa yang saya maksudkan dengan sastra itu tak lain adalah kerja puitikalisasi. Karena itu semua, tak sulitlah untuk menemukan dramawan yang buruk, dramawan yang mencoba menggubah naskah hanya dengan mengambil materi-yang-sudah-menjadi-persoalan belaka lalu merangkaikan materi tersebut menjadi apa yang disebut naskah. Sebagai contoh, penulis macam begini tak bakal malu-malu memilih orang yang sudah tenar sebagai pemeran utama naskahnya di atas panggung, tak masalah pula bagi si penulis macam begini apabila si orang tersebut sama-sekali tak pernah mengalami peristiwa dramatik di dalam naskah tersebut; bahkan, kadang kala pula mereka-mereka yang begitu tak sabaran menunggu untuk menuliskan naskah dramanya dan mementaskan naskah tersebut hingga orang yang benar-benar menghasilkan materi-yang-sudah-menjadi-persoalan, penulis aslinya meninggal dunia.

Perbedaan antara persoalan dan konfigurasi yang sudah saya singgung pun sebenarnya mengandung pembicaraan menarik tersendiri. Kualitas utama yang memampukan manusia menerjemahkan segala hal dengan sebaik mungkin adalah daya intelektual, daya ketajaman, daya kejenakaan (baca: kecendekiawanan) serta semangat penuh kegembiraan: inilah yang menjadi bahan bakar utama bagi berbagai macam bentuk perbincangan. Tapi hal seperti itu tidak bakal terjadi selama tidak muncul perhatian—dan perhatian itu adalah harga yang harus dibayar untuk mendapatkan sesuatu yang berharga—pada persoalan yang dia percakapkan; dengan kata lain, dan subjek yang memampukan seseorang bercakap-cakap dengan suatu persoalan tak lain merupakan pengetahuan dari orang itu sendiri! Jika pengetahuan orang itu berkadar rendah, percakapan itu tak bakal berharga, sampai dia sendiri harus memiliki perangkat kualitas formal—daya intelektual, daya ketajaman, daya kejenakaan (baca: kecendekiawanan) serta semangat penuh kegembiraan—dalam derajat tertentu; dan bila dia masih saja tak memiliki kualitas formal tersebut, maka dia tidak punya kemampuan bicara atas suatu topik kecuali topik-topik yang menyangkut fakta kehidupan dan alam, fakta-fakta yang sudah diketahui setiap orang. Tapi lain halnya bila orang tersebut, orang yang nyata-nyata punya kekurangan kualitas formal namun memiliki segudang pengetahuan; pengetahuan itulah yang memberikan nilai pada setiap kata yang meluncur dari mulut dia. Nilai dari apa yang dia ucapkan sepenuhnya bergantung pada materi-yang-sudah-menjadi-persoalan dari perbincangan yang terjadi; sebagaimana yang diungkapkan pepatah Spanyol ‘mas sabe el necio en su casa, que el sabio en la agena’, si tolol pasti banyak omong, sedang orang bijak paham apa yang menjadi persoalan orang lain.


Catatan:

Apa yang disebut dengan ‘persoalan’ dalam risalah ini, berasal dari bahasa Inggris ‘matter’ di dalam risalah Arthur Schopenhauer ON AUTHORSIP versi www.guttenberg.org yang dipublikasikan pertama kali pada 14 Januari 2004, label: EBook #10714. Pada pola pemikiran Aristotelian, menurut saya, apa yang dimaksud Schopenhauer dengan ‘matter’ adalah kerangka.

Selanjutnya, apa yang disebut dengan ‘konfigurasi’ dalam risalah ini, berasal dari bahasa Inggris ‘form’ di dalam risalah Arhur Schopenhauer ON AUTHORSHIP versi www.guttenberg.org yang dipublikasikan pertama kali pada 14 Januari 2004, label: EBook #10714. Pada pola pemikiran Aristotelian, menurut saya, apa yang dimaksud Schopenhauer dengan ‘form’ adalah subtansi.

No comments:

Post a Comment