Cinta: Ruang dan Waktu Yang-Akan-Datang


We know the truth, not only by the reason, but also by the heart

Blaise Pascal (1623 – 1662)


Apa sebenarnya Cinta? Apakah cinta merupakan objek yang bisa disetarakan dengan benda? ataukah cinta menyangkut suatu perbuatan yang dilakukan satu subjek terhadap objek atau subjek yang lainnya? Apakah manusia purba, semisal Pithecantropus erectus, sudah mengalami cinta dan melakukan cinta? Atau yang lebih radikal lagi, apakah cinta hanya milik manusia? Apakah Tuhan memiliki cinta?

Suatu ketika, seorang teman bercerita kepada saya sambil menenggak alkohol. Dia baru saja patah hati. Relasi hati yang dia bangun terhadap perempuan yang dia sayangi ambruk. Teman saya menderita kesedihan, kesedihan yang merupakan representasi dari kesendirian, kehilangan yang dia alami akibat patah hati.

Di saat yang berbeda, teman saya berkata bahwa dia akan menikah. Ritual pernikahan yang mereka rencanakan mengalami percepatan waktu akibat campur tangan pihak keluarga. Rencananya, teman saya dan pasangannya akan menikah pada 2009. Campur tangan pihak keluarga mengubah komposisi rencana mereka menjadi 2008. Dan teman saya tidak keberatan usul dari pihak keluarga dia dan calon istrinya atas perubahan rencana tersebut. Lebih ekstrem lagi, teman saya tidak merasa dirugikan dengan adanya perubahan waktu pernikahan yang berakar pada soal kehadiran intervensi subjek lain pada dirinya dan pasangannya untuk mengambil keputusan percepatan waktu menikah.

Pertanyaan sederhana pun muncul di dalam benak saya. Dari dua peristiwa tersebut, manakah yang mengandung cinta? Apakah peristiwa pertama yang lebih bersifat destruktif atau malah peristiwa kedua yang bersifat konstruktif?


Cinta dan Manusia

Saya memahami dua peristiwa yang dialami teman saya sebagai representasi cinta. Persoalannya, ternyata cinta memiliki sifat destruktif dan konstruktif. Unsur pembeda dari dua sifat cinta adalah ruang dan waktu. Cinta yang bersifat destruktif—dalam perspektif: subjek mengalami kesendirian dan kehilangan—muncul ketika cinta tidak mencapai pelaminan. Sedang cinta yang bersifat konstruktif tercapai ketika cinta mewujudkan diri di dalam pelaminan. Karena ada perbedaan sifat itulah saya mengajukan proposal pembeda verbal-visual dengan menyebut cinta yang bersifat destruktif sebagai ‘cinta’, sedangkan cinta yang bersifat konstruktif sebagai ‘Cinta’.

Pengalaman yang hadir sebagai kenyataan di hadapan saya menguatkan saya untuk berpendapat bahwa C(/c)inta itu ada. Dua teman saya dengan dua cerita yang berbeda mengajarkan saya bahwa C(/c)inta itu ada dan tidak dapat dibantah. C(/c)inta merupakan kebutuhan manusia. Persoalannya, apakah kebutuhan itu merupakan sesuatu yang sudah ada di dalam diri manusia, atau memang sesuatu yang bersifat kebetulan saja? Bila C(/c)inta merupakan representasi dari kebutuhan yang bersifat kebetulan, mungkinkah C(/c)inta bisa disetarakan dengan kebutuhan manusia akan benda-benda teknologi, semisal kebutuhan manusia akan mobil Jaguar atau televisi layar datar 28 inci? Dalam aksentuasi yang lebih tajam, apakah C(/c)inta merupakan sesuatu yang bisa diperjualbelikan atau ditransaksikan sebagaimana kebutuhan dalam konteks ekonomi, yakni kebutuhan primer, sekunder, pun tertier?

Menyadari kalimat ‘C(/c)inta merupakan kebutuhan manusia’, saya pun sadar bahwa mengungkai persoalan cinta tidak bisa berangkat dari kata ‘kebutuhan’ yang termasuk kelas kata benda. Bila saya tetap bertahan mengurai persoalan C(/c)inta melalui ‘kebutuhan’ maka saya secara tidak langsung menyamakan C(/c)inta dengan benda atau objek; padahal bagaimana benda dan objek cinta itu sesungguhnya belum saya pahami. Menurut saya, pendekatan demikian bakal berujung pada konsep C(/c)inta sebagai transaksi benda dalam konteks perekonomian. Karena argumentasi beginilah, saya memutuskan untuk menggeser pusat kajian bukan lagi pada kata ‘kebutuhan’, melainkan pada kata ‘manusia’. Bahasan C(/c)inta tidak mungkin dilakukan tanpa terlebih dahulu memperbincangkan manusia. Begitu pula dengan upaya membahas ‘kebutuhan’ tak bisa dilepaskan dari keterikatan kebutuhan itu sendiri dengan manusia. Maka, adalah lebih baik bila saya menyatakan bahwa C(/c)inta merupakan sesuatu yang ada di dalam manusia.

Mengapa manusia bisa memiliki C(/c)inta? Dari peristiwa yang dialami dua teman saya, saya menyimpulkan C(/c)inta hadir sebagai relasi intim antar dua manusia, dalam konteks yang ideal berupa relasi antara perempuan dengan laki-laki. Dua manusia atau dua individu bisa pula saya sebut sebagai dua subjek. Dalam konteks ‘dua individu sebagai dua subjek’, tampaknya pendekatan filsafat Idealisme Jerman yang digagas Hegel cukup mumpuni menjelaskan relasi intim yang terjadi. Relasi C(/c)inta mengubah persoalan relasi subjek-objek menjadi subjek-subjek. Dalam skema pemikiran Hegelian, Yang Absolut mewujud dalam bentuk relasi subjek-subjek yang diperantarai oleh kategori hak milik. Berangkat posisi argumentasi yang demikian, saya melihat kata kunci yang baru untuk memahami C(/c)inta, yakni relasi antara subjek dengan subjek yang lain.

Lalu, apa yang memungkinkan relasi subjek dengan subjek lain terwujud? Menurut saya, pertanyaan tersebut mengacu pada hakikat yang tersembunyi dari manusia sendiri. Sepanjang pembacaan saya atas literatur filsafat, ada beragam model hakikat manusia, antara lain keberadaan potensi rasionalitas atau kemampuan berpikir di dalam diri manusia, jalinan antara pribadi dengan sosial yang mengutuh, kesatuan antara jasmani dan rohani. Pada posisi ini, saya memahami C(/c)inta yang ada dan tidak bisa dibantah di dalam diri manusia berakar pada hakikat manusia sebagai mahluk yang harus menjalin relasi. Karena itu, definisi awal C(/c)inta sebagai relasi subjek dengan subjek lain ada baiknya direvisi dengan definisi baru, yakni C(/c)inta merupakan representasi dari hakikat manusia.

Relasi yang dibangun manusia tidak hanya menyentuh pada segala apa yang ada di luar dirinya, melainkan relasi dengan segala apa yang ada di dalam dirinya. Relasi manusia dengan alam dan manusia lainnya merupakan representasi dari relasi antara manusia dengan segala apa yang ada di luar dirinya. Sedangkan relasi manusia dengan tubuhnya, pikirannya, perasaannya, jiwanya, imannya, merupakan relasi antara manusia dengan segala apa yang ada di dalam dirinya. Dalam situasi ‘menjalin relasi’, konteks C(/c)inta beroleh aksentuasi baru sebagai representasi relasi antara manusia dengan alam dan manusia lainnya sekaligus representasi relasi antara manusia dengan dirinya sendiri. Apa terjadi lewat penjelajahan yang saya lakukan dalam konteks relasi C(/c)inta menegaskan afirmasi relasi subjek-subjek sebagai representasi dari Yang Absolut dalam skema pemikiran Hegelian.

Lalu, apa pula yang memungkinkan terjadinya ‘relasi’? Dalam penjabaran di atas, secara implisit tersimpan jawaban dari pertanyaan tersebut. Kemungkinan adanya ‘relasi’ disebabkan kodrat manusia sebagai sesuatu yang berada di dalam ruang dan waktu. Karena itu, manusia sebagai mahluk yang berada di dalam ruang dan waktu memungkinkan manusia untuk mengungkapkan hakikat dirinya sendiri melalui tindakan menjalin relasi. Konsekuensi dari pemahaman demikian tentu saja menyiratkan pengandaian bahwasanya pada suatu masa, ketika manusia tidak lagi berada di dalam ruang dan waktu, manusia tidak lagi memiliki hakikat untuk menjalin relasi. Dalam pemahaman yang demikian, saya bisa mengerti maksud Heidegger ketika menyatakan manusia sebagai Ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Melalui rajutan awal peziarahan akal budi, saya pun bisa memahami dua peristiwa berbeda yang dialami dua teman saya.

Peristiwa teman saya yang patah hati tak lain merupakan representasi dari kehancuran ruang dan waktu di dalam diri teman saya. Kesendirian menjadikan ruang dan waktu teman saya tidak hadir sebagai sesuatu yang universal, melainkan partikular. Ruang dan waktu tidak lagi hadir sebagai wahana untuk menjalin relasi antara dia dengan yang dengan alam dan manusia lainnya serta relasi dia dengan dirinya sendiri, melainkan ruang dan waktu yang hanya menyediakan relasi antara dia dengan dirinya sendiri.

Situasi demikian berbeda dengan situasi yang dialami teman saya yang hendak mempercepat jadwal ritual pernikahan. Di dalam diri teman saya, ruang dan waktu hadir sebagai sesuatu yang universal. Ruang dan waktu yang dialami teman saya yang hendak menikah merupakan representasi dari keberlanjutan ruang dan waktu yang memampukan teman saya untuk mewujudkan relasi antara dia dengan alam dan manusia lainnya sekaligus mewujudkan relasi antara dia dengan dirinya sendiri. Melalui pemahaman demikian, saya melihat adanya keperluan untuk melakukan dilakukan revisi atas definisi ‘C(/c)inta merupakan representasi dari hakikat manusia’ menjadi C(/c)inta merupakan representasi dari kodrat manusia.

Melalui penjabaran demikian, maka teranglah mengapa C(/c)inta bisa bersifat destruktif sekaligus konstruktif. Jawaban atas pilihan destruktif atau konstruktif berkaitan dengan kontinuitas ruang dan waktu saat subjek merepresentasikan C(/c)inta. C(/c)inta yang berada di dalam kontinuitas ruang dan waktu merupakan C(/c)inta yang bersifat konstruktif, sedangkan C(/c)inta yang berada dalam diskontinuitas ruang dan waktu merupakan C(/c)inta yang bersifat destruktif. Namun, posisi pengertian yang demikian bisa menyebabkan saya tergelincir pada sifat mendua C(/c)inta. Bila C(/c)inta hanya dipahami dalam status yang terbelah, maka C(/c)inta selalu punya potensi destruktif. Persoalannya, apakah yang menyebabkan sifat destruktif C(/c)inta bisa muncul? Lalu, mengapa pula potensi C(/c)inta yang konstruktif bisa muncul?

Pembahasan ini saya mulai dari satu kepastian yang berasal dari konsekuensi argumentatif, yakni kemungkinan potensi sifat destruktif atau konstruktif C(/c)inta hanya bisa muncul di dalam ruang dan waktu. Dikarenakan C(/c)inta merupakan representasi dari kodrat manusia, maka subjek pun merupakan satu-satunya faktor yang menyebabkan pemunculan sifat destruktif atau konstruktif C(/c)inta. Mengapa bisa demikian? Potensi C(/c)inta yang bersifat destruktif atau desktruktif di dalam ruang dan waktu, sesungguhnya merujuk pada pengertian ruang dan waktu ‘yang-akan-datang’ yang ada di dalam subjek. Ketika ruang dan waktu ‘yang-akan-datang’ di dalam subjek hadir dalam kondisi ruang dan waktu ‘kini-dan di sini’ di dalam subjek, maka C(/c)inta pun menghadirkan potensi yang dimilikinya, yakni sifat destruktif atau konstruktif. Ketika subjek memutuskan untuk tidak menjalin relasi, maka C(/c)inta pun menghadirkan sifat destruktif. Diskontinuitas ruang dan waktu pun menjadi terpecah. Selain menerima sifat destruktif dari C(/c)inta, subjek pun mengalami keterlemparan dari hakikat subjek sebagai manusia. Subjek tidak lagi menjalani hakikat sebagai manusia yang harus menjalankan relasi antara diri dengan alam dan manusia lainnya sekaligus relasi antara diri dengan diri sendiri. Situasi keterlemparan dari hakikat pun mengakibatkan subjek berada kondisi keterasingan. Dalam kondisi keterasingan, subjek melakukan perenungan untuk melepaskan diri dari kondisi keterasingan. Caranya, tentu saja dengan mengutuhkan kembali relasi yang terpecah. Pengutuhan relasi dilakukan dengan cara menyatukan relasi antara subjek dengan dirinya sendiri serta relasi antara subjek dengan manusia lainnya.

Pada sisi lain, ketika subjek memutuskan untuk tetap menjalin relasi, maka C(/c)inta pun menghadirkan sifat konstruktif. Di dalam ruang dan waktu ‘kini-dan di sini, ruang dan waktu ‘yang-akan-datang’ hadir sebagai ruang dan waktu ‘yang-akan-datang’. Dalam situasi demikian, kontinuitas ruang dan waktu ‘yang-akan-datang’ tidak mengalami keterpecahan di dalam ruang dan waktu ‘kini dan di sini’.

Penelaahaan fenomena sifat destruktif dan konstruktif dari C(/c)inta pada dasarnya mengarah pada apa sebenarnya yang menjadi kodrat dari C(/c)inta. Sifat destruktif dari C(/c)inta yang menyebabkan subjek kehilangan kodrat sebagai manusia tentulah bukan C(/c)inta. Sedangkan sifat konstruktif dari C(/c)inta menyebabkan subjek berada mengalami keutuhan kodrat sebagai manusia. Pada posisi ini, saya memahami kodrat C(/c)inta sebagai C(/c)inta. C(/c)inta merupakan realitas Yang Absolut. C(/c)inta memampukan subjek mewujudkan hakikatnya yang utuh di dalam kontinuitas ruang dan waktu, yakni keharusan menjalin relasi antara dirinya dengan alam dan manusia lainnya sekaligus keharusan menjalin relasi antara dirinya dengan dirinya sendiri.


C(/c)inta: Realitas Ruang dan Waktu Yang-Akan-Datang

Apa yang memungkinkan C(/c)inta hadir di dalam kehidupan manusia adalah hakikat manusia untuk menjalin relasi. Di dalam C(/c)inta, relasi yang terjalin pada dasarnya mengacu pada relasi di dalam ruang dan waktu yang-akan-datang. Pada posisi demikian, C(/c)inta sesungguhnya merepresentasikan diri bukan sebagai objek dalam pengertian benda, melainkan sebagai ruang dan waktu. Ruang dan waktu C(/c)inta bukanlah ruang dan waktu yang-kini atau yang-lampau di dalam subjek, melainkan ruang dan waktu yang-akan-datang. Di dalam C(/c)inta, subjek tidak lagi berada dalam kondisi kini-dan disini, melainkan sudah berpindah pada kondisi ruang dan waktu yang-akan-datang. Kalau begitu, apa yang memungkinkan C(/c)inta berada pada kondisi ruang dan waktu yang-akan-datang?

Situasi yang memungkinkan C(/c)inta ada di dalam ruang dan waktu yan-akan-datang berangkat dari keberadaan subjek di dalam ruang dan waktu. Di dalam ruang dan waktu, subjek menjalin relasi dengan alam dan manusia lain dalam konteks memahami apa yang ada di luar dirinya. Relasi antara subjek dengan alam dan manusia lain mewujud dalam hubungan Subjek-objek. Di samping menjalin relasi dengan alam dan manusia lain, subjek pun menjalin relasi dengan dirinya sendiri. Relasi antara subjek dengan dirinya mewujud dalam hubungan Subjek-Objek. Dalam perspektif Descartes, hubungan Subjek-Objek inilah yang menghasilkan kesimpulan cogito ergo sum. Hubungan Subjek-Objek menghadirkan situasi penemuan kebenaran yang tidak terbantahkan. Subjek yang berpikir menjadi penentu kebenaran atas eksistensi eksistensi subjek di dalam ruang dan waktu. Selanjutnya, masih dalam perspektif Descartes, hubungan antara Subjek-objek menjadi wahana penerapan hubungan Subjek-Objek. Hubungan Subjek-Objek menjadi payung utama bagi perwujudan hubungan Subjek-objek. Dalam bentuk pengucapan lain, hubungan Subjek-objek menjadi hubungan (Subjek-Objek)-objek.

Hubungan (Subjek-Objek)-objek merupakan representasi dari relasi antara subjek dengan alam dan manusia lain sekaligus relasi antara subjek dengan dirinya sendiri. Melalui hubungan (Subjek-Objek)-objek, sesungguhnya C(/c)inta sudah hadir di dalam diri subjek.

Hubungan (Subjek-Objek)-objek merupakan hubungan dari dua entitas yang berbeda dalam dua ruang dan waktu eksistensial yang berbeda pula. Mengapa demikian? Hubungan Subjek-Objek menghasilkan situasi kebenaran eksistensial bagi subjek sendiri. Kebenaran eksistensial dari subjek mengacu pada keberadaan subjek di dalam ruang dan waktu kini-dan di sini. Bila hubungan Subjek-Objek disatukan dengan objek, maka kepastian di dalam objek hanyalah satu saja, yakni keberadaan objek di dalam ruang dan waktu. Dengan demikian, perwujudan hubungan (Subjek-Objek)-objek merupakan perwujudan hubungan dari dua entitas yang berbeda yang masing-masing berada di dalam ruang dan waktu yang berbeda. (Subjek-Objek) berada di dalam ruang dan waktu eksistensial spesifik, yakni ruang dan waktu kini-di sini; sedangkan objek berada di dalam ruang dan waktu eksistensial umum. Hubungan (Subjek-Objek)-objek merupakan hubungan yang bersifat mengkooptasi objek melalui klaim kepemilikan, dikarenakan (Subjek-Objek) memaksakan objek yang berada di dalam ruang dan waktu umum untuk masuk ke dalam ruang dan waktu kini-di sini. Dominasi (Subjek-Objek) atas objek menjadi dasar bagi terwujudnya hubungan (Subjek-Objek)-objek.

Dalam konteks hubungan (Subjek-Objek)-objek, kehadiran objek bersifat pasif. Sifat pasif di dalam objek sesungguhnya bukanlah sifat yang benar-benar pasif yang menerima segala perlakuan (Subjek-Objek). Sifat pasif objek lebih mengacu pada pemaknaan sifat tanpa penolakan aktif. Jadi, sifat pasif objek pada dasarnya berpijak pada sifat penolakan yang dilakukan secara pasif. Kepasifan objek di hadapan (Subjek-Objek) sesungguhnya berakar dari ketercerabutan objek dari keberadaan objek pada ruang dan waktu eksistensial umum. Kondisi ketercerabutan objek dari ruang dan waktu eksistensial umum memampukan (Subjek-Objek) memasukkan objek ke dalam ruang dan waktu eksistensial spesifik dari (Subjek-Objek). Karena ruang dan waktu eksistensial objek merupakan sesuatu yang melekat pada objek, maka pada suatu saat keberadaan ruang dan waktu eksistensial objek bakal muncul di hadapan (Subjek-Objek). Kemunculan ruang dan waktu eksistensial objek di hadapan (Subjek-Objek) merupakan perwujudan dari tanpa penolakan aktif (baca: perlawanan pasif) objek atas dominasi (Subjek-Objek). Di hadapan (Subjek-Objek), perlawanan pasif selalu dihadirkan objek. Namun, (Subjek-Objek) berhasil meredam perlawanan pasif objek dengan menggunakan kekuatan dominasi yang dimiliki.

Perlawanan pasif objek ibarat setetes air yang terus-menerus jatuh pada sebuah batu. Akibat tetesan air yang terus-menerus, permukaan batu yang diteteskan pun bakal mengalami perubahan bentuk. Kiranya, perlawanan pasif dari objek terhadap dominasi (Subjek-Objek) ibarat tetesan air yang menghantam permukaan batu secara terus-menerus. Akibat perlawanan pasif objek, (Subjek-Objek) mengalami perubahan bentuk yang berujung pada kehancuran dari klaim kepemilikan (Subjek-Objek) atas objek. Runtuhnya klaim kepemilikan (Subjek-Objek) atas objek menyebabkan perubahan hubungan dari hubungan (Subjek-Objek)-objek menjadi hubungan (Subjek-Objek)-objek. Dalam konteks C(/c)inta, perubahan demikian berdampak pada perubahan C(/c)inta menjadi C(/c)inta. Perubahan hubungan (Subjek-Objek)-objek menjadi hubungan hubungan (Subjek-Objek)-objek mengakibat relasi subjek tidak lagi utuh. Meski begitu, kondisi demikian tidak mengakibat eksistensi subjek di dalam ruang dan waktu tidak hilang atau hancur lebur. Eksistensi subjek di dalam ruang dan waktu kini-dan di sini masih mewujud dalam relasi subjek dengan dirinya sendiri, dalam hubungan Subjek-Objek. Saya pikir, teman saya yang patah hati mengalami hubungan (Subjek-Objek)-objek. Situasi kesendirian dan kehilangan yang dialami teman saya yang patah hati dikarenakan keterpisahan dia dengan keharusan menjalin relasi dengan alam dan manusia lain dan kehilangan dia atas klaim kepemilikan atas objek.

Kemungkinan C(/c)inta hadir di dalam ruang dan waktu yang-akan-datang dikarenakan hubungan dari relasi subjek. Subjek memiliki potensi menjalin hubungan Subjek-Objek, (Subjek-Objek)-objek/objek, atau (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek). C(/c)inta hadir ketika subjek mengaktualisasikan hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek), atau dengan kata lain: objek mengaktualisasikan kualitas (Subjek-Objek) di dalam dirinya. Kehadiran objek dalam kualitas Subjek-Objek berangkat dari kemampuan objek sendiri untuk meningkatkan kualitas dari ruang dan waktu eksistensial umum menjadi ruang dan waktu eksistensial spesifik. Atau, kualitas Subjek-Objek dari objek dimunculkan melalui tindakan subjek yang memandang objek tidak semata-mata sebagai objek yang tak memiliki ruang dan waktu eksistensial, melainkan dengan cara memandang objek sebagai sesuatu yang memiliki potensi aktualitas ruang dan waktu eksistensial spesifik. Perubahan objek menjadi kualitas Subjek-Objek, melalui kemampuan objek sendiri atau tindakan subjek, tentu berdampak pada perubahan ruang dan waktu di dalam subjek dan objek. Seturut dengan perubahan objek menjadi kualitas Subjek-Objek, maka hubungan Subjek-Objek di dalam ruang dan waktu kini-dan di sini juga mengalami perubahan kualitas menjadi ruang dan waktu yang-akan-datang. Ruang dan waktu kini-dan di sini mengalami proses dialektika menjadi ruang dan waktu yang-akan-datang.

Dalam situasi ruang dan waktu yang-akan-datang, keterasingan potensial subjek yang timbul dari hubungan (Subjek-Objek)-objek hilang dengan sendirinya. Subjek, dalam pengertian individu, memperoleh kebebasan aktual merealisasikan segala kodrat yang ada di dalam, yakni menjalin relasi antara dirinya dengan dengan alam dan manusia lain sekaligus menjalin relasi antara dirinya dengan dirinya sendiri. Perwujudan dari hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek) merupakan repersentasi dari subjek/objek menuju dan masuk ke dalam ruang dan waktu yang-akan-datang. Maka, C(/c)inta pun hadir ketika hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek) mewujud. Di dalam ruang dan waktu yang-akan-datang, setiap subjek/objek mengaksentuasikan hakikat di dalam dirinya masing-masing. Relasi yang bersifat partikular dan kebetulan antara subjek dengan objek mengalami perubahan menjadi relasi universal antara subjek/objek dengan subjek/objek. Di dalam C(/c)inta yang merupakan realitas ruang dan waktu yang-akan-datang, hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek) merupakan hubungan dari dua entitas yang berbeda dengan dalam ruang dan waktu yang sama. Dengan demikian teranglah bahwasanya C(/c)inta tidak lagi merujuk pada situasional eksistensial ruang dan waktu kini-dan disini, melainkan situasional eksitensial ruang dan waktu yang-akan-datang. Bagi subjek/objek, C(/c)inta merupakan orientasi subjek/objek untuk melampaui situasional eksistensial ruang dan waktu kini-dan di sini menjadi situasional eksistensial ruang dan waktu yang-akan-datang. Bila subjek sudah mewujudkan hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek), maka C(/c)inta berada dalam situasional eksistensial ruang dan waktu yang-akan-datang, bisa mewujud utuh di dalam situasional eksistensial ruang dan waktu kini-dan di sini. Karena itu, kehadiran C(/c)inta di dalam situasional eksistensial ruang dan waktu kini-dan di sini menjadi C(/c)inta sangat bergantung kepada modus subjek mewujudkan hubungan, apakah berbentuk (Subjek-Objek)-objek/objek atau (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek).


Cinta, Realisasi Pengalaman Eksistensial Subjek

C(/c)inta merupakan realitas pengalaman eksistensial subjek yang mengacu pada ruang dan waktu yang-akan-datang. Apa yang menjadi esensi dari pengalaman eksistensial pada ruang dan waktu yang-akan-datang adalah hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek). Selanjutnya, pengalaman eksistensial yang beresensikan hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek) diwujudkan subjek melalui pengalaman eksistensial subjek yang berada di dalam ruang dan waktu kini-dan di sini. Pada saat perwujudan itulah, C(/c)inta hadir menjadi sebentuk proyeksi dari hakikat manusia yang harus menjalin relasi.

‘Penyatuan’ relasi keterpecahan antara manusia dengan alam dan manusia lainnya, serta relasi keterpecahan antara manusia dengan dirinya sendiri menjadi relasi utuh antara manusia dengan alam dan manusia lain sekaligus antara manusia dengan dirinya sendiri hanya dimungkinkan ketika manusia mengutuhkan pemahaman dirinya atas relasi dia dengan dunia di luar dia sekaligus dunia di dalam dia dalam Akal Budi yang Berdialektika. Hegel mendeklarasi pola pendekatan demikian sebagai apa yang rasional adalah riil, dan apa yang riil adalah rasional.

Subjek yang mempergunakan Akal Budi yang Berdialektika mampu menembus situasional keterpecahan relasi dengan cara mengutuhkan relasi antara subjek dengan dunia di luar subjek sekaligus relasi antara subjek dengan dunia di dalam subjek. Ada hal yang menarik untuk dicermati, bila kemungkinan perwujudan ‘relasi’ berakar pada keberadaan atau eksistensi manusia pada ruang dan waktu, lalu bagaimanakah sebenarnya hubungan antara ruang dan waktu keberadaan manusia dengan ruang dan waktu C(/c)inta?

Sesungguhnya, ruang dan waktu yang-akan-datang ada di dalam ruang dan waktu keberadaan atau eksistensial manusia. Karena itu, perlu dilakukan revisi penyebutan verbal-visual atas ruang dan waktu keberadaan atau eksistensial manusia menjadi Ruang dan Waktu. Di dalam Ruang dan Waktu, subjek menghidupkan pengalaman eksistensial subjek personal yang mengacu pada ruang dan waktu yang-akan-datang. Ruang dan Waktu menjadi wahana bagi subjek untuk mewujudkan potensialitas yang terkandung di dalam ruang dan waktu eksistensial yang bisa bersifat yang-lampau dan di sana, yang kini-dan di sini, serta yang-akan-datang. Dalam konteks yang begini, relasi subjek dengan C(/c)inta merupakan situasi keterarahan eksistensial subjek pada yang-akan-datang. Pada posisi ini, subjek sesungguhnya sudah melampaui dirinya sendiri. Kematian yang bakal dialami manusia bukan lagi dianggap sebagai keterbatasan subjek yang berada di dalam Ruang dan Waktu.

Ruang dan Waktu memang menyediakan potensi aktualitas kematian bagi subjek yang hidup di dalamnya. Namun, subjek yang sudah mentransendensikan diri tidak lagi mengacu pada realitas eksistensial kematian yang bersifat kini-dan di sini. Kehendak Sokrates untuk tetap meminum racun merupakan representasi dari pengabaian-sadar Sokrates pada realitas eksistensial kematian yang bersifat kini-dan di sini. Sokrates, menurut saya, tidak meragukan adanya kematian yang bersifat kini-dan di sini. Meski begitu, Sokrates lebih memilih untuk tetap mengarahkan orientasi eksistensial pada ruang dan waktu yang-akan-datang. Atau dengan kata lain, Sokrates memandang realitas eksistensial kini-dan di sini merupakan penghambat bagi perwujudan situasional eksistensial ruang dan waktu yang-akan-datang. Pengabaian-sadar Sokrates untuk tetap meminum racun merupakan representasi keterikatan eksistensial Sokrates pada ruang dan waktu yang-akan-datang.

Di dalam situasional eksistensial ruang dan waktu yang-akan-datang, subjek personal melepaskan situasional eksistensial ruang dan waktu kini-dan di sini. Pada posisi demikian, keterikatan eksistensial subjek pada ruang dan waktu kini-dan di sini serta keterikatan eksistensial subjek pada ruang dan waktu yang-akan-datang merupakan keterikatan yang partikular. Mengapa bisa demikian? Situasional keterikatan eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu kini-dan di sini, juga situasional keterikatan eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu yang-akan-datang berada dibawah naungan Ruang dan Waktu. Realitas dari situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu kini-dan di sini, juga realitas dari situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu yang-akan-datang, merupakan representasi dari realitas relasi subjek dengan Ruang dan Waktu. Pencapaian universalitas dari keterikatan eksistensial ruang dan waktu subjek personal terjadi ketika situasional eksistensial subjek personal berubah menjadi situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu Yang-Akan-Datang. Situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu Yang-Akan-Datang merupakan perwujudan dari relasi subjek pada Ruang dan Waktu yang utuh, yang berasal dari modus keterikatan situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu lampau-dan di sana, keterikatan situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu kini-dan di sini, serta keterikatan situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu yang-akan-datang. Maka, Ruang dan Waktu sebagai dasar keberadaan manusia juga berperan sebagai wahana bagi subjek personal untuk mengalami keterikatan situasional eksistensial pada ruang dan waktu Yang-Akan-Datang.

Di dalam konteks agama, Yang-Akan-Datang merupakan wahana bagi manusia bertemu dengan Sang Khalik, Pencipta Segala Ada di Dunia. Subjek personal mengalami pertemuan dengan dengan Tuhan di dalam situasional eksistensial ruang dan waktu Yang-Akan-Datang. Di dalam situasional eksistensial ruang dan waktu Yang-Akan-Datang, C(/c)inta tidak lagi hadir sebagai C(/c)inta, melainkan sudah menjadi Cinta. Melalui penjelasan demikianlah, saya memahami Manusia sebagai mahluk hidup yang sadar bahwa ia harus berhadapan dengan satu pilihan, yakni Cinta-dan Kejeniusan!


Cinta, Realitas Perjumpaan Metafisis

Pada awalnya, Cinta hadir di dalam diri subjek personal di dalam batin, perasaan, hati. Keberlanjutan upaya di dalam diri subjek personal yang mengalami keterikatan situasional eksistensial pada ruang dan waktu kini-dan di sini untuk mewujudkan keterikatan situasional eksistensial pada ruang dan waktu yang-akan-datang berlangsung memulai langkah dari dalam hati subjek personal.

Karena itu, ungkapan ‘I love you’ atau ‘Aku cinta kamu’ yang diucapkan satu subjek personal kepada subjek personal lain merupakan proyeksi subjek personal untuk mengubah keterikatan situasional eksistensial ruang dan waktu kini-dan di sini menjadi keterikatan situasional eksistensial pada ruang dan waktu yang-akan-datang. Maka teranglah bahwasanya perbuatan mencinta atau mencintai bukanlah perbuatan subjek personal untuk menguasai subjek personal lain, melainkan pengajuan tawaran subjek personal yang-satu kepada subjek personal yang-lain untuk memasuki situasional eksistensial pada ruang dan waktu yang-akan-datang sekaligus melepas keterikatan situasional eksistensial pada ruang dan waktu kini-dan di sini di dalam diri masing-masing subjek personal. Di dalam C(/c)inta, dua subjek personal yang merupakan dua entitas yang berbeda hidup dalam situasional eksistensial ruang dan waktu yang sama, yakni yang-akan-datang.

Meski C(/c)inta merupakan konsensus metafisis antara dua subjek personal, C(/c)inta bukanlah sesuatu yang ekslusif bagi subjek personal yang-lain-lagi. Karena C(/c)inta merupakan realitas dari ruang dan waktu yang-akan-datang, maka sesungguhnya subjek personal yang-lain-lagi bisa masuk ke dalam ruang dan waktu yang-akan-datang asalkan subjek personal yang-lain-lagi sudah mewujudkan hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek) di dalam dirinya. Dalam konteks yang seperti inilah, saya memahami mengapa teman saya tidak merasa campur tangan para kerabatnya untuk mempercepat jadwal pernikahan sebagai representasi dominasi para kerabat atas dirinya. Dalam konteks ini, C(/c)inta merupakan wahana pertemuan metafisis bagi subjek apa pun membangun sesuatu ke arah yang lebih baik. Bila teman saya menikah dan memiliki anak, maka C(/c)inta semakin mengukuhkan diri sebagai wahana yang memungkin siapa saja hidup dan berkembang di dalamnya.

Selanjutnya, dalam konteks C(/c)inta sebagai realitas ruang dan waktu yang-akan-datang juga menyimpan potensi aktualitas ruang dan waktu Yang-Akan-Datang. Ketika dua subjek personal berada di dalam C(/c)inta, maka sesungguhnya Sang Khalik pun hadir bersama-sama dengan mereka di dalam situasional eksistensial ruang dan waktu yang-akan-datang. Tiap-tiap subjek personal di dalam C(/c)inta bisa mengetahui dan menyadari keberadaan Sang Khalik ketika tiap-tiap subjek personal terus-menerus berupaya menghilangkan variabel (/c) yang melekat pada C(/c)inta hingga menghasilkan Cinta. Penghilangan variabel (/c) yang melekat pada C(/c)inta dilakukan dengan mentransendensikan keterlibatan situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu yang-akan-datang menjadi keterlibatan situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu Yang-Akan-Datang.

Di dalam ruang dan waktu Yang-Akan-Datang, di dalam Cinta, manusia mengalami perjumpaan metafisis dengan Sang Khalik. Mengapa hanya terjadi perjumpaan metafisik antara subjek personal dengan Sang Khalik, tidak sampai pada perjumpaan fisik? Jawaban ini sesungguhnya berasal pada realitas hubungan Sang Khalik dengan manusia. Dalam modus yang bagaimanakah Sang Khalik mewujudkan hubungan-Nya dengan manusia? Apakah dalam hubungan (Subjek-Objek)-objek/objek atau (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek)? Pada posisi ini, saya hanya bisa memahami C(/c)inta merupakan wahana bagi Sang Khalik hadir di dalam diri manusia ketika manusia sudah mengutuhkan hakikat kemanusiaan dengan membangun hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek). Selanjutnya, keterikatan pada situasional eksistensial pada ruang dan waktu yang-akan-datang, pada C(/c)inta, seharusnya menjadi subjek personal untuk terus-menerus berupaya, meski tidak membuahkan hasil permanen, untuk menghadirkan situasional eksistensial Yang-Akan-Datang, Cinta, agar mengalami perjumpaan metafisis dengan Sang Khalik. Perjumpaan metafisis bersifat seketika. Di dalam momen keseketikaan itulah subjek personal mengalami perjumpaan metafisis dengan Sang Khalik. Dalam salah satu sajaknya yang berjudul ‘Padamu Jua’, Amir Hamzah membunyikan pengertian demikian dalam larik sajak: mangsa aku dalam cakarmu / bertukar tangkap dengan lepas. Dalam tingkatan yang paling sederhana, Sang Khalik menyatakan Diri di dalam hati manusia melalui suara, panggilan untuk berjumpa; dan panggilan untuk berjumpa adalah representasi dari perjumpaan metafisis.

Terakhir, sebagai penutup risalah Cinta: Ruang dan Waktu Yang-Akan-Datang, saya tuliskan kembali petuah filosof religius Perancis Blaise Pascal, “We know the truth, not only by the reason, but also by the heart.

April 2008

6 comments:

  1. Cinta atau cinta? atau CINTA?

    ReplyDelete
  2. Tawaran menarik. Tinggal pemaknaannya saja yang lebih dipertegas. Cinta merujuk pada apa, cinta merujuk pada apa, CINTA merujuk pada apa.

    Salam.

    ReplyDelete
  3. Tawaran menarik. Tinggal pemaknaannya saja yang lebih dipertegas. Cinta merujuk pada apa, cinta merujuk pada apa, CINTA merujuk pada apa.

    Salam.

    ReplyDelete
  4. Anonymous4:57 PM

    Jadi apa bedanya, Sayang dan Cinta? Lalu apakah ada strata untuk kata2 sayang atau cinta? Mohon penjelasannya..!!!

    ReplyDelete
  5. Mohon penjelasannya bang!
    Apakah beda suka , sayang dan cinta?

    ReplyDelete
  6. Mohon penjelasannya bang.
    Apakah beda suka , sayang , dan cinta?

    ReplyDelete